Eva merasa tubuhnya seperti terguncang dan terdengar suara orang yang berbicara.
“Cepat bawa dia ke UGD!”
Tetapi suara tersebut semakin lama semakin menghilang, hingga akhirnya semua terasa sangat hening.
‘Ibu, sebentar lagi aku akan menyusulmu. Tunggu aku ya.’
Sementara itu di luar ruang UGD, seorang pria sedang berbincang dengan dokter.
“Bagaimana keadaannya?”
Dokter menghela nafas, “hah… nyawanya berhasil kami selamatkan, untung saja bapak membawanya tepat waktu. Tetapi kondisi tubuhnya sangat memprihatinkan.”
Dokter tersebut menoleh ke arah Eva yang sedang tak sadarkan diri di ruang UGD. Ia menggelengkan kepalanya.
“Kami menemukan cukup banyak luka luar di seluruh tubuhnya, lukanya terlihat seperti bekas cambukan. Bahkan menyebabkan pembuluh darah di kakinya pecah.”
Pria itu sedikit terkejut, “separah itu? Lalu bagaimana dengan kondisi fisiknya yang lain?”
Dokter tersebut diam sejenak, ia terlihat sedang menarik nafas dalam-dalam. Lalu ia mulai berbicara.
“Selain luka luar, dia juga mengalami patah tulang dibagian kaki, mungkin saat dipukul menggunakan cambuk, tulang kakinya sudah retak. Lalu kecelakaan yang baru saja terjadi memperparah kondisinya sehingga mengakibatkan patah tulang total di kedua kakinya.” Jelas dokter.
Setelah mendengar kata ‘amputasi’, jantung pria itu terasa tercekat. Ia tidak bisa berkata apapun, tangannya mengepal dengan sangat kuat hingga gemetaran.
“Ap- apa tidak ada cara untuk menyelamatkan kakinya, Dok?”
Dokter menggelengkan kepalanya, “sudah kami coba, tetapi kondisinya sangat parah. Kalau tidak segera diamputasi, bisa terjadi infeksi yang dapat membahayakan nyawanya.”
Pria itu menggertakannya giginya, ia tidak menyangka kalau kejadian itu bisa merenggut kehidupan seorang gadis. Di dalam hatinya, ia mengutuk dirinya sendiri.
“Baiklah, terima kasih banyak atas bantuannya, Dok.”
Dokter tersebut mengangguk lalu pergi meninggalkan pria itu sendirian. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, lalu ia juga mendongakkan kepala sambil mengusap pelipisnya.
“Kenapa ini bisa terjadi? Tadi itu…”
Pria itu teringat kembali kejadian sebelumnya, sopir yang mengendarai mobil tersebut menerobos lampu merah dan mobil melesat dengan sangat cepat, ia tidak melihat ada seseorang yang sedang menyebrang hingga tidak sengaja menabraknya.
Pria itu mengambil ponsel miliknya yang berada di saku jasnya dan menelepon seseorang. Suaranya terdengar sangat berat dan tatapannya tajam.
“Segera pecat sopir pribadiku, mulai sekarang aku nggak akan menggunakan sopir lagi.”
Ia diam sejenak lalu kembali berbicara, “selain itu, bantu aku carikan informasi tentang anak ini. Sebisa mungkin carikan dengan detail.”
Terdengar suara dari seberang telepon, ‘baik, saya mengerti.’
Dia langsung menutup panggilannya dan duduk di kursi sebelahnya. Ia menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
----
Dua hari sudah berlalu, terlihat pergerakan kecil dari jari tangan Eva. Lalu ia mulai membuka matanya dengan perlahan.
“Aku… dimana?”
Eva ingin bangun tetapi rasa nyeri mengalir ke seluruh tubuhnya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri lalu pandangannya beralih ke tangannya yang diperban.
“Jadi, aku masih hidup?”
Terdengar suara pintu yang terbuka, seorang pria berkacamata yang mengenakan kemeja abu-abu masuk ke dalam. Setelah melihat Eva yang sudah sadarkan diri, ia langsung melangkah cepat ke arahnya.
“Bagaimana keadaanmu? Apa ada bagian yang terasa nggak nyaman?”
Eva mendongak dan menatap pria itu dengan heran.
“Kamu siapa? Dan kenapa aku diperban seperti ini?”
Pria itu meletakkan kantong plastik di meja. Lalu ia menoleh ke arah Eva, “namaku William Vanderbilt. Waktu itu kamu mengalami kecelakaan, jadi aku menolongmu dan membawamu ke rumah sakit.”
Wajah Eva berubah menjadi sedikit kesal, lalu ia ingin menyandarkan tubuhnya ke dinding kasur. Dengan cekatan, pria itu menegakkan bantal yang ada di belakang Eva. Dahi Eva berkerut, ia menahan nyeri ditubuhnya.
“Pelan-pelan, jangan paksakan dirimu.”
Eva akhirnya bisa bersandar. Tetapi ia merasa ada yang aneh, entah mengapa ia tidak bisa merasakan kedua kakinya.
“Ada apa?”
Eva langsung membuka selimutnya, matanya langsung membelalak. Jantungnya berdebar dengan sangat kencang, ia sangat terkejut setelah melihat kedua kakinya yang diamputasi dan hanya menyisakan pahanya saja.
Air mata mengalir dari ujung mata Eva, ia menggenggam celananya dengan kuat. Kepalanya tertunduk dan terdengar suara isak tangis. Melihat kondisi Eva saat ini membuat hati William terasa sangat sakit.
“Maaf, aku dan dokter sudah berusaha mencari cara untuk menyembuhkan kakimu, tapi…“
William ingin mengelus Eva, tetapi tangannya ditepis.
“JANGAN SENTUH AKU!!”
Pergerakan William terhenti dan ia segera menarik tangannya kembali. Mata Eva memerah, ia menatap William dengan sangat tajam.
“Kenapa kau menolongku?? Kenapa kau nggak membiarkanku mati saja di tengah jalan?? Kenapa kau membiarkanku hidup?!”
Eva terus berteriak, ia sangat merasa putus asa. Baginya, kematian adalah satu-satunya jalan untuk keluar dari neraka ini. Semasa hidupnya, ia tidak pernah merasakan kasih sayang maupun kebahagiaan sedikitpun.
Eva menangis dengan kencang. Dada William terasa sangat nyeri, ia tanpa sadar meraih kepalanya dan memeluk Eva.
“Maaf… ini semua salahku.”
“JANGAN SENTUH AKU!! PERGI!!” Eva terus berteriak dan memukul William, tetapi William hanya diam saja meneriman pukulan itu.
“Kenapa hidupku selalu sial seperti ini? KENAPA??” teriak Eva sambil mencengkram baju William.
Eva menangis sejadi-sejadinya, ia merasa kalau hidupnya sudah hancur dan tidak ada lagi masa depan yang cerah untuknya. Akibat ledakan emosi yang besar, tubuh Eva terasa sangat lemas dan tak sadarkan diri.
William tampak tertegun. Ia tak menyangka kalau Eva memperkenalkan dirinya begitu saja. Lalu bibirnya perlahan membentuk senyuman lembut.“Eva ya? Nama yang sangat indah.”Eva langsung menoleh ke arah William, “indah apanya? Namaku ini ‘kan tergolong pasaran dan terdengar biasa saja…”William mendorong kursi roda Eva dan berkeliling di sekitar taman. Eva hanya duduk diam sambil mengamati bunga-bunga yang melewatinya.“Kamu tahu nggak kalau nama kamu itu sebenarnya punya arti yang sangat indah, bahkan jauh lebih indah dibandingkan bunga-bunga ini.”Eva menggelengkan kepalanya, “memangnya ada nama yang lebih bagus daripada nama bunga?”“Tentu saja ada. Salah satunya adalah namamu sendiri, Nama ‘Eva’ sebenarnya memiliki arti ‘hidup’ atau bisa juga ‘pemberi kehidupan’. Sangat indah ‘kan?”Eva terkejut mendengarnya, ia tidak mengatakan apapun. Bahkan dirinya sendiri tidak menyangka kalau namanya memiliki makna yang cukup dalam.William menghentikan langkahnya, lalu ia berlutut sehingga waj
Di malam hari, Eva tidak bisa tidur. Ia ingin pergi ke toilet, tetapi ia tidak tahu cara untuk menurunkan pagar besi tersebut. Ia terus meraba dan menggoyangkan pagar besinya.“Kamu mau ngapain?”Eva terkejut dan langsung menoleh ke belakang. William sedang berdiri di samping kasur dengan mata yang terkantuk.“Aku… mau ke toilet.”“Aku sudah pernah bilang ‘kan, kalau perlu sesuatu langsung beritahu aku saja.”“Kamu saja sedang tidur, bagaimana aku- ahh!”Tanpa aba-aba, tubuh Eva sudah digendong oleh William. “shh… sudah malam jangan teriak-teriak.”“Kamuu..” Eva langsung memukul dada William.William hanya tersenyum melihat tingkahnya, lalu ia segera membawa Eva ke toilet. Pergerakan yang tiba-tiba itu membuat Eva refleks merangkul leher William.Saat keluar dari bangsal, cahaya lampu mulai menyinari wajah William. Kulitnya yang putih terlihat sangat bersih, hidungnya mancung, bibir tipisnya samar-samar tampak tersenyum. Eva juga bisa mendengar suara detak jantung William yang stabil.
William membaringkan tubuh Eva dengan perlahan, ia mengambil selimut dan menyelimutinya hingga ke dada. William menatap Eva sejenak, pikirannya sedang kacau. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang ini.Ponsel milik William berdering, lalu ia mengangkatnya.‘Pak, saya sudah mencari tahu informasi tentang anak itu. Dia bernama Eva Brown, usia 19 tahun. Ibu kandung Eva sudah meninggal dunia sejak ia dilahirkan, jadi sekarang dia tinggal bersama ayah dan ibu tirinya.’William melirik ke arah Eva, tetapi ia hanya diam mendengarkan. Terdengar lagi suara dari telepon.‘Selama tinggal di keluarga tersebut, Eva tidak pernah makan dengan kenyang. Kamarnya juga ditempatkan di gudang yang sempit, sejauh orang yang sering memberikannya makan hanyalah para pelayan saja.’William menghembuskan nafas panjang, ia tidak menyangka kalau Eva sudah sangat menderita selama ini. Tidak heran jika gadis itu sudah tidak memiliki semangat hidup lagi.“Apa yang sebenarnya terjadi di malam itu? Sebelum d
Eva merasa tubuhnya seperti terguncang dan terdengar suara orang yang berbicara.“Cepat bawa dia ke UGD!”Tetapi suara tersebut semakin lama semakin menghilang, hingga akhirnya semua terasa sangat hening.‘Ibu, sebentar lagi aku akan menyusulmu. Tunggu aku ya.’Sementara itu di luar ruang UGD, seorang pria sedang berbincang dengan dokter.“Bagaimana keadaannya?”Dokter menghela nafas, “hah… nyawanya berhasil kami selamatkan, untung saja bapak membawanya tepat waktu. Tetapi kondisi tubuhnya sangat memprihatinkan.”Dokter tersebut menoleh ke arah Eva yang sedang tak sadarkan diri di ruang UGD. Ia menggelengkan kepalanya.“Kami menemukan cukup banyak luka luar di seluruh tubuhnya, lukanya terlihat seperti bekas cambukan. Bahkan menyebabkan pembuluh darah di kakinya pecah.”Pria itu sedikit terkejut, “separah itu? Lalu bagaimana dengan kondisi fisiknya yang lain?”Dokter tersebut diam sejenak, ia terlihat sedang menarik nafas dalam-dalam. Lalu ia mulai berbicara.“Selain luka luar, dia ju
“Dasar anak durhaka! Berani-beraninya kamu mencuri barang kakakmu!”“Bu-bukan aku yang mencurinya- AHH!”Mason mengayunkan tangannya, cambuk tersebut mengenai tangan Eva hingga meninggalkan garis panjang merah yang pedih. Eva jatuh tersungkur.“Padahal kami sudah bersusah payah membesarkanmu. Seperti inikah caramu membalas budi??”Tubuh Eva gemetaran disertai rasa perih yang menusuk. Air mata Eva mengalir dengan deras di wajahnya.“Bukan aku...”“Masih nggak mau ngaku ya??”Mason mengangkat tangannya, Eva buru-buru merangkak ke arah Mason dan memegang kakinya.“Ayah, aku mohon percayalah padaku. Bukan aku yang mencuri barang kakak.”Mason mendorong tubuh Eva menggunakan kakinya, “kalau bukan kamu lalu siapa lagi?? Di rumah kita, cuma kamu yang berani melakukannya.”Eva terdorong, tangannya yang penuh dengan luka menopang tubuhnya yang hampir jatuh ke lantai. Dengan perlahan ia mendongakkan kepalanya.“Sudahlah, Eva. Lebih baik kamu mengaku saja, ayah pasti mau kok memaafkanmu.”Eva me