MasukWilliam membaringkan tubuh Eva dengan perlahan, ia mengambil selimut dan menyelimutinya hingga ke dada. William menatap Eva sejenak, pikirannya sedang kacau. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang ini.
Ponsel milik William berdering, lalu ia mengangkatnya.
‘Pak, saya sudah mencari tahu informasi tentang anak itu. Dia bernama Eva Brown, usia 19 tahun. Ibu kandung Eva sudah meninggal dunia sejak ia dilahirkan, jadi sekarang dia tinggal bersama ayah dan ibu tirinya.’
William melirik ke arah Eva, tetapi ia hanya diam mendengarkan. Terdengar lagi suara dari telepon.
‘Selama tinggal di keluarga tersebut, Eva tidak pernah makan dengan kenyang. Kamarnya juga ditempatkan di gudang yang sempit, sejauh orang yang sering memberikannya makan hanyalah para pelayan saja.’
William menghembuskan nafas panjang, ia tidak menyangka kalau Eva sudah sangat menderita selama ini. Tidak heran jika gadis itu sudah tidak memiliki semangat hidup lagi.
“Apa yang sebenarnya terjadi di malam itu? Sebelum dia kecelakaan?”
Suara dari telepon tersebut hening sejenak. Lalu ia lanjut berbicara lagi.
‘Berdasarkan informasi yang saya dapatkan, pada malam itu Eva dipukuli dengan cambuk lalu diusir oleh keluarganya. Setelah itu, dia ditelantarkan di tempat yang cukup jauh dari rumahnya.’
Pandangan William berubah menjadi gelap, ia juga menggenggam ponselnya dengan kuat hingga ujung jarinya memutih. “Baiklah, terima kasih atas informasinya.”
‘Baik, pak. Jika bapak ingin tahu lebih lanjut, saya sudah mengirimkan informasi detailnya melalui E-mail.’
“Hm. Terima kasih.” William mematikan panggilannya.
William menoleh ke arah Eva dan mengusap kepalanya dengan lembut. Ia tidak bisa membayangkan penderitaan yang dialami oleh gadis ini.
“Kau pasti sudah sangat menderita ya. Bahkan sampai nggak mau hidup lagi.”
William menarik tangannya perlahan, ia juga memperhatikan Eva dari ujung kepala hingga kaki. Tatapannya terhenti saat ia melihat kakinya, perasaan bersalah masih terus menghantuinya.
Dengan nada yang lembut, ia berkata “mulai hari ini aku akan terus menjagamu. Kamu nggak akan hidup menderita lagi.”
William membuka E-mail nya dan membuka sebuah dokumen. Saat sedang membaca, ia menaikkan alisnya.
---
Keesokan harinya, Eva mulai membuka matanya perlahan. Bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri, lalu ia mencoba untuk bangun. Rasa nyeri ditubuhnya masih terasa.
Eva berhasil duduk, tetapi ia dibingungkan dengan kondisi ruangannya. Pagar besi kasur semuanya dilapisi oleh busa angin yang sangat tebal. Di lantai tergeletak beberapa kasur busa, bahkan meja yang biasanya ada di sebelah kasur juga sudah digeser hingga ke ujung ruangan.
“Sudah bangun?”
Eva menoleh ke arah pintu dan melihat William yang sedang berdiri di pintu sambil membawa kotak makanan.
“Kamu yang menyiapkan semua ini?” pandangan Eva menyapu ke sekeliling.
William tersenyum tipis, “iya.”
Eva menghela nafas, “untuk apa melakukan sesuatu yang nggak berarti seperti ini?”
William tidak menjawab, ia berjalan masuk. Ia melepas sepatunya dan menginjak kasur busa itu lalu berjalan ke arah Eva.
“Ini bukan sesuatu yang nggak berarti. Aku melakukan ini untuk mencegah kamu menyakiti diri sendiri.”
Eva tersenyum sinis, “heh. Kamu nggak perlu sok perhatian begitu, lagipula aku juga sudah gagal mati berkali-kali.”
William menyodorkan kotak makanannya, “sudah berhari-hari kamu pingsan, pasti lapar ‘kan? Makanlah.”
Eva melirik ke arah kotak makanan, lalu ia memalingkan wajahnya, “nggak nafsu.”
William sudah menduga jawabannya, jadi ia langsung membuka kotak makannya dan menaruhnya di paha Eva.
“Kenapa maksa banget sih?!”
William tidak menjawab, ia hanya tersenyum tipis. Kemudian, terdengar suara gemuruh dari perut Eva.
‘Ah, sialan. Kenapa di saat seperti ini sih??’ Gumam Eva dalam hati.
William terkekeh kecil, “sudah kelaparan seperti itu masih nggak mau makan?”
Pipi Eva sedikit merona karena malu. “Berisik ah.”
Dengan terpaksa, Eva mengambil kotak makan tersebut dan mulai menyuap makanannya sedikit demi sedikit. William hanya berdiri di samping sambil memperhatikan Eva yang sedang makan.
“Kamu ada ponsel?”
Eva menggelengkan kepalanya, “enggak.”
William mengambil sebuah ponsel dari kantong kemejanya dan menyodorkannya kepada Eva, “ini untukmu.”
Tatapan Eva beralih ke ponsel yang ada di tangannya, ia memperhatikannya sekilas. Lalu ia mengernyitkan dahinya.
“Untuk apa kau berikan ponsel ini?”
William tersenyum, “anak muda sepertimu pasti memerlukan ponsel, ‘kan? Aku baru beli tadi pagi, ambillah.”
Eva terlihat ragu sejenak, lalu ia mengambil ponsel itu dan menyalakannya. Ponsel itu ternyata sudah disetting sangat rapi, sudah dimasukkan nomor baru, bahkan Wi-Fi rumah sakit juga sudah disambungkan.
Eva berdeham, “terima kasih...”
Mendengar kata-kata itu, William tidak dapat menahan senyumnya.
“Mulai hari ini, aku akan terus menjagamu. Jadi, kalau kamu butuh bantuan, kamu tinggal bilang saja padaku.”
Eva tersenyum sinis. Kalimat itu persis seperti yang dikatakan oleh pelayan di rumahnya, kata-kata yang cukup indah dan juga hangat. Tapi nyatanya apa? Mereka mengkhianati dirinya, tidak ada satupun dari mereka yang mau membelanya.
Dunia ini memang sangat tidak adil!
Eva menatap William dengan tajam, “lalu? Apakah hanya dengan kata-kata itu aku harus menyerahkan diriku pada orang yang sudah menabrakku? Bahkan kamu saja nggak tahu apa yang sudah aku lalui..”
William terdiam.
“Aku…”
Eva mengibaskan tangannya, “sudahlah. Nggak ada gunanya juga aku berbicara seperti ini padamu. Karena nggak ada satupun orang yang bisa dipercaya.”
Eva menutup kotak makanannya lalu menaruhnya dipinggir kasur. Ia membaringkan tubuhnya dengan perlahan, William membantunya. Setelah berbaring, Eva membelakangi William.
William melihat jam tangannya lalu menoleh ke arah Eva, “aku mau pergi dulu sebentar karena ada urusan kerjaan. Kamu istirahat dulu ya disini.”
Eva tidak menjawab. William menghela nafas lalu mengenakan sepatunya, saat ia berjalan ke arah pintu, William menghentikan langkahnya.
“Aku serius dengan perkataanku barusan. Aku akan membuktikannya padamu.”
William berjalan keluar dan menutup pintunya. Setelah mendengar suara pintu ditutup, Eva mendongakkan kepalanya dan melirik ke pintu sekilas.
‘Hmph. Janji palsu… lagipula nggak ada orang yang akan benar-benar menjagaku.’ Pikir Eva.
"Kenapa kamu bisa bilang seperti itu?"Eva sedikit menunduk dan meremas kedua tangannya. "Soalnya ... ada seseorang yang menyebarkan informasi kalau aku ini menyontek saat ujian di forum sekolah, terus ... dia juga memasukkan fotoku di postingan itu."Eva sesekali melirik ke arah William, tetapi William hanya diam mendengarkan saja, tetapi dahinya sedikit berkerut. "Dia memasukkan fotomu? Siapa yang berani melakukan hal itu?"Eva menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tahu, karena akun itu hanyalah akun anonim jadi nggak kelihatan siapa pemilik asli akun tersebut."William mengalihkan pandangannya, ia berpikir sejenak. Lalu, ia menoleh kembali ke arah Eva. "Terus, kamu ada rencana apa?""Untuk saat ini sih ... aku hanya bisa menjalankan kewajibanku sebagai seorang mahasiswa, yaitu belajar untuk ujian. Karena aku pikir, akan lebih baik kalau bisa membuktikkan di depan para dosen kalau aku ini innocent."William tersenyum tipis. "Siapa sangka, se
"Hm ... hanya kebetulan saja. Kebetulan aku sempat lewat Perpustakaan tadi dan sempat melihatmu bertarung dengan pemikiranmu sendiri."William sedikit menunduk dan menempelkan ujung hidungnya dengan ujung hidung Eva. "Kamu ini benar-benar nggak pernah gagal ya, untuk membuatku merasa kagum padamu."Eva tak bisa menahan air matanya, bibirnya sedikit bergetar. Ia meraih kepala William dan menempelkan bibirnya ke bibir William, William seketika terpaku di tempat. Tidak lama kemudian, Eva melepaskan ciumannya dan memeluk leher William."Terima kasih ... terima kasih sudah mau mempedulikanku sampai sejauh ini. Terima kasih sudah mau menjadi rumah untukku, terima kasih karena sudah mempersiapkan semua ini hanya untuk mengembangkan kemampuanku."Eva tidak bisa mengucapkan kata-kata lain selain berterima kasih. Tidak ada yang tahu seberapa bahagia dirinya yang sekarang, setelah belasan tahun tinggal di sebuah keluarga yang tidak pernah mempedulikannya sedikit pun
Eva merenung sejenak, ia mengalihkan pandangannya ke depan. "Hm ... untuk saat ini, aku masih belum tahu. Tapi satu-satunya hal yang bisa aku lakukan sekarang, paling cuman ... belajar buat ujian besok."Seketika mata Clara berkedut. "Kamu ini ya ... baru juga bisa menenangkan diri, tapi masih berniat buat belajar. Otakmu itu sebenarnya terbuat dari apa sih? Heran deh ..."Eva terkekeh. "Aku bener, 'kan? Memangnya apa tugas kita sebagai seorang mahasiswa? Kalau bukan belajar, terus apa lagi?""Ya, tapi ... kamu nggak mau gitu membersihkan namamu? Postingan itu sudah dilihat oleh semua mahasiswa di kampus ini, lho. Memangnya kamu rela dihujat terus sana sini?"Tentu saja mau, akan sangat merepotkan kalau berita ini bisa tersebar hingga keluar kampus. Tetapi Eva tidak ingin mengatakannya kepada Clara, selama buktinya masih belum ditemukan."Aku tahu kalau kamu sangat mengkhawatirkanku, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal itu."Clara mengernyitkan dahinya. "Kenapa begitu
Dengan nafas yang terengah-engah, Eva meraih kalung tersebut dan mengangkatnya hingga sejajar dengan matanya. Walau pun matanya mulai memerah, ia mengamati kalung yang ada di telapak tangannya selama beberapa saat. Dengan hati-hati, ia mengelus kalung itu dengan ibu jarinya.Entah bagaimana, ia bisa merasakan kehadiran seseorang di dekatnya. Dengan spontan, ia langsung menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi yang ia temukan hanyalah beberapa mahasiswa yang sedang membaca buku di mejanya masing-masing yang agak jauh darinya.Eva menoleh kembali pada kalung yang ia pegang. Jari tangannya perlahan-lahan menekuk hingga menutupi kalung yang ada di telapak tangannya. Sikutnya bertumpu pada pegangan tangan kursi roda.'Sudah, tenang ya. Kamu itu kuat.'Begitulah kata-kata yang terlintas di benak Eva. Kemudian, ia melepaskan genggamannya dan menyandarkan punggungnya ke kursi roda, kedua tangannya bertumpu pada pegangan tangan kursi roda, lalu ia menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya
Setelah Eva keluar dari ruang dosen, Eva menghembuskan nafas lega, Kemudian, ia berencana untuk pergi ke kantin sambil menunggu Clara. Selama perjalanan, banyak mahasiswa yang saling berbisik saat mereka melihat Eva."Eh, lihat itu. Dia itu anak yang katanya menyontek itu, 'kan?""Iya, benar. Kalau nggak salah dia baru saja keluar dari ruang dosen deh ...""Pasti habis dihukum."Eva mengerutkan dahinya, ia merasa bingung kenapa semakin banyak mahasiswa yang mengetahui kejadian itu. Padahal ia sudah membuktikan kejujurannya di depan dosen, lalu kenapa mereka masih saja menyinyir?Namun, Eva berusaha untuk mengatur nafasnya dan tetap bersikap tenang. Ia berusaha untuk tidak memikirkan semua itu, karena apa pun yang dikatakan oleh banyak orang, ia sendiri juga tidak bisa menghentikan mereka. Memang pahit, tapi itulah yang dinamakan kenyataan.Karena mendengar hinaan dari mahasiswa lain, Eva memutuskan untuk berpindah tempat. Ia tidak ingin pergi ke kantin, tetapi ke Perpustakaan. Karena
Eva mulai memfokuskan pikirannya untuk mengerjakan ujian. Seperti biasa, ia melakukan ritualnya dahulu sebelum akhirnya menjawab soal satu per satu. Dosen yang ada di sebelah Eva memperhatikannya dengan seksama, begitupula dengan Surya."Dia nggak ngerasa keganggu ya kalau kita di sini?"Surya menggelengkan kepalanya. "Nggak, tuh lihat saja wajah seriusnya. Mau kita berisik juga nggak akan memecah fokusnya."Dosen itu terkekeh. "Hebat ya, bahkan saya saja nggak bisa mempertahankan fokus seperti itu."'Ya dong ... siapa dulu biangnya.' batin Surya."Mahasiswi lagi ujian, kenapa kalian berdua malah berisik?"Surya dan dosen itu menoleh serentak. Lalu raut wajah Surya berubah menjadi masam."Ngapain kamu ke sini?"Ibu Ruth memegang pinggangnya dengan kedua tangan. "Apa maksud pak Surya? Saya di sini hanya ingin mengawasi mahasiswi saya saja kok, nggak boleh?"Surya memutarkan bola matanya dengan malas. Ibu Ruth mel







