Tama berdiri di belakang Rinjani. Ia mendengar apa yang dikatakan sang adik. Melihat Rinjani, ia kembali merasa bersalah. Jika ia khilaf, maka ia masih merajut cinta dan menyebut namanya dalam ijab kabul. Namun, semua berantakan akibat kecerobohannya.
“Tami, jangan nggak sopan sama Rinjani. Dia lebih tua dari kamu, lagi pula dia guru di sekolah kamu, kan?” Tama membela Rinjani.
Tami memasang wajah tidak suka dengan teguran sang kakak. Dia memilih pergi meninggalkan mereka. Rinjani pun memalingkan wajah, bukan berarti ia dibela, dirinya bisa berdamai dengan pria itu.
“Jan, maafkan Tami. Dia masih kecil, belum mengerti apa-apa.” Tama mencoba menenangkan Rinjani yang sejak tadi mulai tersulut emosi.
“Usianya sudah 17 tahun, sudah dewasa,” ujar Rinjani.
Tidak salah apa yang di katakan Rinjani. Walau masih labil, setidaknya Tami bisa lebih sopan dengan mantan calon kakak iparnya.
“Bu, Jani permisi dulu, ya.”
Rinjani pamit pada mantan ibu mertuanya. Ia tak mau berlama-lama di depan mantan kekasihnya. Tami memang sering membuat ulah, apalagi jika di sekolah, sikapnya selalu arogan hingga membuat ia sering ke luar masuk ruangan BP.
Rinjani kembali mencari makanan, ia mulai lapar menghadapi drama orang di sekitarnya. Ia pun mencari-cari di mana Erik, pria yang tiba-tiba mengakui dirinya kekasih baru Rinjani. Sayangnya, ia tak menemukan pria itu. Rinjani kembali mengelilingi tempat itu dan sesekali mencicipi makanannya.
***
Sang ayah sudah menunggunya sejak tadi. Ada hal yang akan dibicarakan pria dengan rambut memutih itu. Rinjani menghampiri kedua orang tuanya dan duduk di samping ayahnya.
“Om yang tadi, ketemu di mana, Jan?” Rinjani tersedak saat mendengar ucapan sang ayah.
Gegas sang ibu mengelus lembut punggung Rinjani. Pertanyaan sang ayah membuatnya kembali mengingat sosok Erik yang tiba-tiba saja menjadi pacarnya. Ia tak menduga jika akan berakibat yang lain.
Sang ayah menunggu jawaban Rinjani. Pria itu membetulkan kaca matanya, lalu kembali menunggu sang anak bicara.
“Jadi, bagaimana? Setelah Kakakmu, kalian akan menyusul.” Lagi, pertanyaan sang ayah membuat Rinjani kembali tersedak untuk kedua kali.
Sedikit tergelak, ia tak berpikir dengan apa yang ia lakukan. Niat hati hanya untuk membuat dirinya terkesan sudah move on. Namun, malah membuat masalah baru yang membuatnya pusing.
Bukan hanya sang ayah, ibunya pun menunggu jawaban anak mereka. Keduanya berharap, Rinjani bisa melupakan kisah bersama Tama dan memulai dengan yang baru.
“Jani, bisa kamu ajak dia ke sini lagi? Mau ada yang papa bicarakan.”
Rinjani terdiam sejenak sembari berpikir mencari pria bernama Erik itu di mana? Apa yang harus ia lakukan sekarang?
**
“Pa, dia bukan Om. Jangan panggil seperti itu.” Rinjani mengerucutkan bibir.
“Sepertinya lebih tua dari kamu,” ujar sang ayah meledek.
“Dih, salah memangnya pasangan lebih tua? Nggak menjamin yang lebih muda atau seumuran bisa setia, bukan?” Rinjani kembali melihat ke arah Tama yang duduk tidak jauh dari mereka.
Sang ayah hanya tertawa mendengar sang anak berceloteh. Ia pun bisa mengerti bagaimana perasaan Rinjani. Baru saja hatinya tersakiti, mana mungkin ia bisa menolak pria yang terlihat lebih tua.
“Yang penting kaya aja, deh. Dari pada mulai dari nol lagi, eh kecewa lagi,” tutur Rinjani. Sengaja ia meninggikan suaranya agar terdengar di telinga mantan kekasihnya juga sang kakak.
Ratna yang sejak tadi memasang telinganya merasa kesal mendengar apa yang dikatakan Rinjani. Ia menoleh seketika ke arah sang adik yang ternyata sudah menatapnya sejak tadi.
Lagi- lagi Rinjani dengan sengaja memperkeras suaranya agar kedua pengantin itu mendengar. Benar katanya, untuk apa mencari yang tak ada uang, jika saat sukses malah bersanding dengan yang lain. Contohnya adalah mantanya—Tama.
“Apa kamu yakin Om itu kaya?” tanya sang ibu.
“Ma, bukan Om. Dia punya nama, Erik, Ma.” Lagi Rinjani menjelaskan pada sang ibu.
Kedua orang tuanya hanya tertawa mendengar ucapan Rinjani. Anak itu begitu polos hingga sejak tadi dirinya digoda. Rinjani pun sedang berpikir bagaimana mencari Erik lagi. Akan tetapi, sepertinya Ratna mengenalnya karena tadi sang kakak bertanya ia mengenal Erik dari mana.
Namun, Rinjani enggan bertanya pada sang kakak. Ia pasrah jika memang berjodoh akan bertemu lagi. Tiba-tiba Rinjani menggeleng membayangkan mengapa harus berjodoh dengan pria itu.
“Mama terserah kamu, sih. Mau kapan acaranya. Sepertinya Om, eh Erik itu sudah mapan, benar nggak, Pa,” ujar sang ibu sembari melirik ke arah suaminya.
Budi—ayahnya Rinjani hanya mengiyakan. Sebelumnya ia pun akan mencari tahu lebih dahulu bagaimana calon sang anak.
“Aku mau istirahat dulu,” ujar Rinjani.
“Ya, sudah.”
Kedua orang tua Rinjani seling pandang. Irma—ibunya Rinjani sangat cemas dengan keadaan sang anak. Maka dari itu, jika Erik serius dengan Rinjani pun mereka akan menerima tanpa ada seleksi.
“Ma, sepertinya Papa kok kenal sama pria itu, ya,” ujar Budi. Ia kembali berpikir pernah menemuinya di mana. Seperti pernah kenal dan sangat tidak asing baginya. Namun, ingatan Budi tidak seperti saat muda. Ia menyerah untuk mengingat.
Ratna menghampiri kedua orang tuanya yang terlihat sangat serius berbicara. Semua tamu sudah pulang dan acara pun sudah selesai. Ia ingin tahu apa saja yang mereka bicarakan, apalagi saat ada Rinjani.
Wanita dengan body gitar Spanyol itu duduk di samping sang ibu. Irma sepertinya tahu saat Ratna datang karena ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Ia pun sudah bisa menebak jika memang sejak tadi Ratna pun ikut menguping mereka.
“Ma, serius amat bicara sama Papa. Apa si, topiknya, aku kasih tahu dong,” ujar Ratna.
“Oh, tadi Rinjani membahas pria yang dia kenalkan ke kita. Katanya beberapa bulan lagi mau datang resmi melamar dia,” ucap Irma sedikit berbohong. Ia sengaja melakukan hal itu agar Ratna merasa kesal, ia pun merasa tidak terima saat Rinjani mengalami nasib seperti itu.
“A—apa? Pak Erik mau melamar Rinjani?” Wajah Ratna terlihat sangat kaget mendengarnya. Ia kembali mengerutkan kening, berpikir bagaimana bisa sang adik malah mendapatkan bos di perusahaannya setelah ia mencoba mendekati tapi tidak ada respon.
Irma hanya tersenyum saat sang suami menyenggolnya. Ia pun berbisik pelan di telinga Budi. “Papa diam aja, ini urusan mama.”
“Baiklah.” Budi menjawab pelan.
“Kamu kenal Pak Erik? Dia bekerja juga sama kamu di satu kantor?”
Ratna tak menjawab pertanyaan sang ibu. Ia masih diam dan kesal pada Rinjani. Ia bangkit lalu pamit pergi begitu saja. Perasaan Ratna menjadi terganggu. Harusnya ia bahagia telah menikah dengan Tama, pria yang sengaja ia rebut dari sang adik. Namun, Rinjani kembali mengacaukan pikirannya.
“Rinjani, awas saja kamu.”
***
Sebulan sudah permasalahan itu berlalu. Rinjani pun sudah tidak begitu memikirkan tentang masalah itu lagi. Wanita cantik itu lebih memilih fokus untuk mengurus kehidupannya sendiri serta keluarga kecilnya. Dia juga sangat menjaga dirinya bahkan jarang dan hampir tidak pernah bertemu dengan Tama. Dia ingin menjaga hubungannya dengan Erik dan Ratna. Tidak ingin ada kesalahpahaman yang akan membuat kakaknya ataupun suaminya kembali marah dan berpikiran buruk tentangnya. Rinjani sama sekali tidak merasa marah dan keberatan jika pada kenyataannya kakaknya itu masih menyimpan rasa dendam atau apa pun itu pada dirinya. Yang terpenting bagi dirinya saat ini adalah kehidupannya dan juga dirinya yang sudah semaksimal mungkin menjauhi segala sesuatu yang bisa menimbulkan semua kesalahpahaman itu sendiri. Namun, hal tidak terduga terjadi. Ratna kini, sudah mulai berbicara lagi padanya. Dan Rinjani sangat bersyukur akan hal itu. Sepertinya kakaknya itu sudah memaafkan dirinya. D
Ratna dan Rinjani masih berdebat sengit. Kedua wanita cantik itu sama sekali tidak ada yang mau mengalah. Keduanya sama-sama ingin menang sendiri. Memenangkan pertengkaran itu dan tidak ada yang ingin disalahkan. Rinjani merasa dirinya yang paling benar. Begitu pun sebaliknya. Ratna merasa hal yang sama. Hingga ayah mereka masuk ke ruangan Ratna. Laki-laki paruh baya itu menghela napas sejenak sebelum mendekat ke arah anak-anaknya itu. Setelah itu, ayah Rinjani mendekat dan mencoba melerai pertengkaran kedua anaknya itu. Rinjani dan Ratna pun hanya terdiam membisu. Pertengkaran yang tadi memanas kini hilang sudah, terganti dengan keterdiaman. Ayah Rinjani yang melihat itu pun mengembuskan napas lega. Setelahnya, laki-laki paruh baya itu berjalan menuju sofa yang ada di ruang rawat Ratna dan mendudukkan diri di sana. Sementara itu Rinjani masih berada di samping sang kakak. Rinjani menatap ke arah ayahnya, setelah itu mendekat pada Ratna yang terbaring di ranjang dan b
Perdebatan SengitSuasana antara Rinjani dan Erik menjadi canggung. Erik masih saja diam, sedangkan Rinjani masih menyiapkan hatinya untuk kembali berbicara. Membicarakan masalah Tama. Seseorang yang menjadi sumber masalah di antara keduanya sekarang ini. Bukan apa, Rinjani hanya ingin agar masalah ini cepat selesai dan tidak berlarut-larut. Rinjani tidak mau jika kesalahpahaman yang kecil ini akan menjadi bumerang dalam rumah tangganya dan berakhir dengan adanya masalah yang lebih besar di rumah tangganya nanti. Hanya itu yanh Rinjani inginkan dan juga pikirkan.Apalagi tidak baik jika seorang istri dan suami saling memendam kemarahan. Itu yang selalu Rinjani ingat dari ibunya. Wanita tak bersayapnya, Rinjani banyak belajar tentang bagaimana menjadi seorang istri dan juga ibu yang baik pada ibunya.“Mas, aku minta maaf kalau memang ini semua bikin kamu marah. Tapi ini Cuma kesalahpahaman dan aku gak mau kalau kita bertengkar hanya karena masalah sepele ini,” ujar Rinjani.Namun, masi
Ratna langsung beringsut ke arah Tama, suaminya. Tama yang tidak mengerti dengan tingkah istrinya yang terlihat aneh hanya diam dan menurut saat istrinya itu menariknya menuju kamar mereka.Sesampainya di kamar, Ratna menghempaskan tangan Tama dengan sedikit kasar. Kekesalan memenuhi pikirannya. Melihat suaminya dan asiknya datang bersamaan dan berada di dalam mobil yang sama membuat Ratna tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.Baru saja kemarin dirinya berdamai dengan dirinya sendiri dan mulai meyakinkan jika Tama dan Rinjani tidak memiliki hubungan apa pun. Namun, hari ini semua usahanya gagal hanya karena melihat suaminya dan adiknya datang bersama. Tak hanya itu, tadi dirinya juga sempat melihat keduanya berbincang dan saling berbalas senyum. Itu semakin menambah kecemburuannya.“Kamu kenapa sih, Ratna?” tanya Tama yang sedang dilanda kebingungan karena sikap istrinya yang tiba-tiba berubah.Napas Ratna tidak teratur, kedua bahunya naik turun akibat kesal.“Kamu masih tanya aku k
Pagi ini, Bian, anak Erik sudah rapi dengan pakaian kasualnya. Namun, hal itu membuat Erik bertanya-tanya saat melihatnya. Karena hal tersebut adalah hal yang sangat jarang dilakukan oleh Bian. Biasanya anak itu akan lebih memilih tidur dan bersantai di rumah bukan pergi dan keluar bersama teman-temannya. Bian lebih suka berada di rumah daripada di luar.“Kamu mau ke mana, Bi?” tanya Erik yang duduk di kursi kayu dengan koran yang ada di tangannya. Kebiasaan Erik setiap pagi sebelum pergi ke kantor adalah membaca koran, tak lupa ditemani oleh secangkir teh lemon.Bian yang mendengar pertanyaan Erik, ikut mendudukkan diri di kursi tempat Erik duduk.“Mau ketemu Mama, Pa,” jawab Bian.Perkataan Bian membuat Erik terkejut. Untuk apa Bian bertemu Andini? Itu yang ada di pikiran Erik. Ya, Mama yang dimaksud Bian adalah Andini, ibu kandungnya.Erik meletakkan korannya dengan sedikit kasar, lalu menatap Bian penuh selidik.“Mau apa bertemu dia?” tanya Erik.“Entah, Mama Cuma bilang mau ketem
Pukul lima sore, Erik keluar dari kantor. Dia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Kekesalan masih menguasai dirinya. Erik sudah tidak sabar ingin segera sampai di rumah.Sesampainya di rumah, Erik mengetuk pintu. Rinjani yang mendengar pintu diketuk pun tergopoh-gopoh menghampiri dan membukanya. Di sana, Erik suaminya datang, wajahnya kusut. Dengan terheran-heran, Rinjani mengajak Erik untuk segera masuk ke dalam.“Duduk dulu, Mas,” ujar Rinjani. Erik menurut dan duduk di sofa. Dirinya pun melepas sepatu yang dipakainya dan meletakkannya di rak yang berada tepat di samping ruangan itu.Tak berapa lama, Rinjani kembali dengan nampan dan juga segelas minuman dingin. Rinjani meletakkannya di meja, setelahnya dirinya mendudukkan dirinya di sofa sebelah Erik duduk.“Minum dulu, Mas,” kata Rinjani. Erik pun segera mengambil gelas itu dan meneguk isinya hingga tandas. Tak bisa Erik mungkiri jika setelah minum, hatinya terasa jauh lebih tenang.Erik menyandarkan punggung