"Vio! Kamu kenapa? Kenapa wajah kamu babak belur gitu?" Handoko terlihat panik ketika melihat putri semata wayangnya itu babak belur. Wajah cantik yang biasa dia tampilkan sekejap lenyap berganti dengan luka lebam yang begitu mengerikan.
"Eh, Bapak. Ini Vio tadi jatuh, Pak," jawab Vio. Dia tak mungkin jujur pada ayahnya karena tahu jika ayahnya itu akan sangat khawatir jika dia mengatakan yang sebenarnya.
"Jatuh? Di mana? Nggak mungkin kamu cuma jatuh, Nak?" Handoko mendekati Vio. Dia ingin menyimpulkan sendiri luka itu benar karena jatuh atau dipukuli.
Vio agak menjauhkan wajahnya saat ayahnya menelisik pada area wajahnya itu. "Iya, Pak. Vio tadi cuma jatuh. Nyungsep di aspal. Jadinya babak belur gini." Vio nyengir. Seolah tak ada masalah apa pun yang dia hadapi kini.
"Jangan bohong, Vio. Bapak tahu kamu lagi bohong. Bapak kenal kamu dari bayi." Dengan suara lemahnya, Handoko tetap pada penilainnya. Dia sudah makan asam garam kehidupan selama ini, tak mu
"Morning, Honey." Azzura turun dari lantai atas kamarnya. Dia langsung menuju ke ruang makan untuk menemani Brian, suaminya sarapan. Azzura terlihat sangat cantik dengan dres berwarna hitam di bawah lutut. Brian sudah mencuri pandang semenjak dia mencium aroma sang istri. Meski dari jarak bermeter-meter, Brian sangat hafal aroma parfum Azzura. "Hm ...!" Entah kenapa dia masih merasa kesal dengan permintaan Azzura waktu itu. Meski dia juga telah menghabiskan malam panjang penuh gairah bersama wanita yang dia cintai itu. Brian tidak akan pernah bosan melakukan hal itu dengan Azzura. "Ck!" Azzura yang sangat hafal Brian luar dalam. Dia tahu jika saat ini, suaminya itu sedang ingin merajuk padanya. Hal yang sudah lama tak ada dalam hubungan rumah tangga mereka. Selama ini, hanya ada gairah tanpa ada gelombang yang berarti dalam rumah tangga mereka. Setidaknya itulah yang ada di pikiran Azzura. Zura berjalan mendekati Brian dan mengalungkan tangannya pada bahu sua
Setelah Vio pamit dengan Handoko untuk menceri pekerjaan, dia terus berjalan menyusuri trotoar tak tentu arah. Dia sendiri bingung harus mencari ke mana. Vio hanya tak mau Handoko khawatir dengan keadaannya. Karena jika terus di rumah maka dia hanya akan merenung."Capek banget. Udah keliling gini nggak ada yang buka lowongan. Ijazah juga cuma SMA, nanya di mana lagi?" Vio kini telah duduk di sebuah kursi panjang di pinggir jalan. Dia mengelap keningnya yang telah berkeringat, meski kadang dia harus menahan perih karena luka yang belum kering."Aw ...!" keluh Vio kala tangannya tak sengaja menyenggol luka lebam yang masih terasa nyeri. Dia hanya bisa meringis menahan sakit. Mungkin rasanya dia saat ini sangat ingin menangis, tetapi itu semua hanya akan membuatnya menjadi lemah.Vio mencebik, dia merasa jika nasibnya terlalu buruk. Apa dia pernah melakukan kesalahan di masa lalu hingga dia menerima karma seperti ini. Kehidupan yang buruk dan jauh dari kata bahagi
Brian pulang ke rumah dengan suasana hati yang ama buruk. Setiap hari dia harus bertemu dengan Mark karena urusan bisnis. Entah dirinya yang seperti anak kecil atau memang keduanya yang terlanjur tak bisa akur. Namun, pertemuannya dengan Mark sama sekali tak baik untuknya.Azzura mengikuti Brian yang masuk ke dalam kamarnya. Wanita itu melihat suaminya membanting jas dan juga dasi di atas tempat tidur. Dia dengan sigap segera memunguti kedua benda itu."Kamu kenapa, Mas?" tanya Azzura. Akhir-akhir ini memang suaminya itu terlihat lebih sering uring-uringan. Dia belum pernah melihat Brian seperti ini sebelumnya.Brian melirik Azzura sekilas. Entah apa yang dia rasakan kini pada istrinya itu? Rindu, benci, marah, kecewa. Semua perasaan campur aduk jadi satu.Brian mendengkus, dia membuang muka. Brian tak mau bingung lagi dengan perasaannya. Jika dia menatap ke dalam manik mata Zura, pasti dia akan kembali luluh pada pesona istrinya itu."Mas ...." Zu
Brian membuka matanya. Dia merasa ada sesuatu yang panas yang menggelitik indera penglihatannya tadi. Brian berkedip, mencoba menyesuaikan matanya dari yang terpejam hingga kini melihat sesuatu yang terang."Aku ... di rumah?" Dia sangat hapal dengan suasana kamarnya. Ada foto keluarganya yang terpampang dengan indah dan megah saat dia membuka mata."Sudah bangun, Sayang." Azzura masuk ke dalam kamar dan tersenyum manis pada suaminya itu. Dia masuk dengan membawa kemeja dan satu stel jas.Azzura menyampirkannya pada sandaran sofa yang ada di dalam kamarnya. Setelahnya dia menghampiri Brian yang masih menatap kebingungan ke arahnya. Tak ada raut kemarahan apalagi kekesalan pada wajah Azzura. Dia bersikap biasa saja seolah semalam sama sekali tak ada pertengkaran."Cepat bangun, Mas. Kamu mandi dulu." Senyuman itu sungguh bisa membuat Brian luluh. Dia langsung beranjak dari kasurnya dan masuk ke kamar mandi.Terdengar suara guyuran shower pertanda Br
Dengan menahan amarah yang sangat ingin meledak, Brian kini telah duduk di depan penghulu. Dia sama sekali tak berkeinginan untuk menikah lagi, tetapi ancaman istrinya sungguh tak bisa dia abaikan. Saat itu Azzura benar-benar menatapnya dengan kesungguhan. Tak terlihat jika dia sedang bercanda."Jika Mas nggak mau memenuhi permintaanku kali ini, maka ceraikanlah aku!"Ucapan Azzura saat sebelum berangkat ke tempat ini sungguh bisa membuat langitnya runtuh. Bahkan Brian nyaris tak percaya jika yang mengucapkan hal itu adalah istri yang telah dua belas tahun ini mendampinginya, yang dia cumbui dengan sepenuh hati.Brian yang takut kehilangan Azzura, tentu saja langsung menyetujui pernikahan ini. Mana mungkin dia bisa hidup tanpa istrinya itu? Azzura adalah separuh jiwanya dan seluruh napasnya."Saudara Brian. Apakah Anda siap!" tanya penghulu.Di rumah sederhana itu hanya ada seorang penghulu, Azzura, dirinya, dan juga empat orang lainnya yang bertin
Azzura keluar dari kamar yang dia berikan untuk Vio. Wanita itu mencari suaminya yang ternyata malah masuk ke dalam kamar mereka."Mas. Kenapa kamu ada di sini?" tanya Azzura. Dia mendekati Brian yang terduduk di atas kasur milik mereka. Tak ada cahaya di wajahnya. Brian sama sekali tak mau melihat ke arah istrinya. Dia masih sangat marah pada ancaman Azzura tadi, sehingga membuatnya sama sekali tak berkutik."Apa maksud semua ini, Zura?" Zura melihat kilatan amarah di mata Brian. Sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Apa dia sudah keterlaluan?"Mas sudah menikah dan memiliki dua istri," jawab Zura dengan entengnya. Padahal saat ini rahang Brian sudah mengeras hingga Azzura bisa melihat dengan jelas otot-otot di sekitar rahangnya itu.Azzura benar-benar menahan segalanya saat ini. Dia kini telah memiliki seorang adik madu, sudah sepantasnya dia membuat Brian berlaku adil pada keduanya.Brian menggeleng, "Kamu itu kena guna-guna apa sama g
Dalam pikiran Azzura, dia sudah menyiapkan semuanya. Dia akan baik-baik saja ketika melihat Brian bermesraan dengan Vio, tetapi nyatanya tidak. Dia tidak baik-baik saja saat ini."Lepas!" Vio mendorong tubuh Brian agar menjauh darinya. Dia merasa bersalah ketika melihat wajah shock Azzura."Mbak Zura ... saya--"Azzura menaikkan tangannya memberi isyarat pada Vio untuk menghentikan ucapannya. Wanita itu mengangkat kepalanya, dia mencoba tetap melengkungkan bibirnya saat ini."Tenang saja, Vio. Aku nggak papa," ucap Azzura sembari berusaha menahan tangisnya yang sebentar lagi mungkin akan pecah. Azzura melirik ke arah Brian yang sama sekali tak melihat ke arahnya. Suaminya itu memilih untuk memunggungi istrinya."Mbak, aku--""Aku permisi dulu. Selamat menikmati malam pertama kalian." Azzura berbalik, dia meninggalkan kamar itu dengan berlinangan air mata. Ini bukan salah Vio maupun Brian, ini semua murni salahnya. Dia kira akan kuat, tetapi
"Kenapa Mbak Zura menyuruh saya menikah dengan Mas Brian?" Tentu saja Vio penasaran . Bukan hanya Vio mungkin, tetapi seluruh orang akan mempertanyakan keputusan Zura kali ini."Kamu nggak perlu tahu, Vio. Kamu hanya perlu melakukan kewajiban kamu sebagai istri Mas Brian." Azzura tersenyum saat ini. Namun, Vio tahu di dalam senyum itu tersimpan sebuah luka yang dia pendam sendiri.Vio ingin tahu lebih lanjut, tetapi dia memutuskan untuk kembali mengunci rapat bibirnya. Benar jika hubungan mereka kini adalah keluarga, meski dari ikatan yang aneh. Tetapi Vio harus sadar bagaimana posisinya di rumah ini."Kamu sarapan dulu." Azzura menyerahkan nampan yang berisi makanan untuk Vio. Azzura tahu ini berat untuk Vio, untuknya, dan untuk Brian. Tetapi, keputusan ini telah dia pikirkan matang-matang. Dan dia harus tetap menjalaninya apa pun yang terjadi."Mama ...." Seorang anak perempuan berusia 11 tahun berlari menuju ke arah Azzura. Dia merentangkan tangannya,