Share

Bab 5

"Krisan Adi Pratama," eja ku dari kartu identitas yang telah kudapatkan.

Tanpa disangka ternyata kartu identitas ini milik cowok rese barusan, terlihat dari foto yang tercetak didalam kartu identitas tersebut. 

Tanpa berpikir panjang aku segera memasukkan dompet tersebut ke dalam tas selempangku. Setelah itu aku segera melanjutkan langkahku yang sempat tertunda untuk keluar dari toko buku ini.

*****

Keesokan harinya tepatnya pada siang hari aku segera menghubungi nomor telepon pemilik dompet kulit ini. Walaupun aku sebenarnya malas mengembalikannya tapi dilihat dari isi dompetnya yang kebanyakan barang-barang penting seperti, beberapa kartu ATM, SIM, dan masih banyak lagi. Ditambah ada uang tunai yang jumlahnya tidak sedikit didalam dompetnya ini.

Tak lama kemudian, dering suara panggilan di gawai ku berubah senyap bertanda seseorang tengah mengangkat telepon darinya.

"Halo?" ucap seseorang di seberang telepon.

"Ini dengan Krisan Adi Pratama," sahutku tanpa basa-basi.

"Ada apa?" Terdengar ada helaan nafas panjang sebelum Dia menjawab.

"Saya mendapatkan dompet anda tergeletak di-" Belum selesai aku berkata orang diseberang telepon sudah memotong perkataanku.

"Syukurlah, dompet saya ditemukan. Dikiranya dompet saya telah hilang." 

"Dompet anda aman ada di saya. Jadi-" Lagi-lagi perkataanku terpotong olehnya.

"Baiklah, kirimkan lokasi kamu. Saya segera mengambil dompetnya sekarang."

'Sabar, Ri, sabar. Menghadapi orang seperti ini harus banyak sabar kalau enggak, udah ku cekek lehernya.' batinku.

Tanpa menjawab orang di seberang telepon, aku segera mengirimkan sesuai perintahnya yang kebetulan sekarang sedang berada di rumah bersama Bunda. Jadi jika Dia macam-macam langsung aku lapor sama Bunda.

Tiga puluh menit kemudian terdengar deru mobil di depan halaman rumahku yang kemungkinan itu si pemilik dompet kulit ini. Sebelum aku keluar rumah, aku mengintip dari jendela rumah untuk memastikan bahwa betul yang datang si pemilik dompet ini. Setelah cukup memastikan aku segera berjalan keluar dari rumah yang sebelumnya telah menceritakan perihal dompet ini kepada Bunda, setelah sampai di teras rumah kami hanya saling pandang satu sama lain namun terlihat raut wajahnya seakan terkejut.

"Jadi kamu ternyata pencuri dompet saya?"

Riri mengerutkan alisnya, "Saya gak salah denger, jika niat saya mencuri dompet anda buat apa saya capek-capek menelepon anda, HAH!" 

"Kalau bukan pencuri terus apa?"

Aku langsung meletakkan dompet tersebut di telapak tangannya yang sebelumnya aku telah berjalan menghampirinya yang berjarak dua meter, "Terserah anda menilai saya seperti apa, yang jelas ini saya kembalikan dompet anda tanpa kurang sedikit pun." Segera ku langkahkan kakiku kedalam rumah.

"Tunggu!" Sontak langkah kakiku hentikan.

"Jika kamu bukan pencuri berarti kamu salahsatu cewek yang modusin saya kan?"

'Ini orang kebanyakan ngemil micin jadi gini dah.’ gumamku.

"Buat apa saya ngedeketin anda, emang anda artis atau selebritis. Sampai saya ngedeketin anda, gak ada kerjaan bange.” ucapku final sembari melenggang masuk kedalam rumah tanpa mengindahkannya.

*****

Setelah kejadian perihal dompet yang bernama Krisan beberapa hari yang lalu, aku kembali ke rutinitas sehari-hari seperti biasa yaitu mengelola restoran madu rasa dan untuk permasalahan dengannya, aku tidak ambil pusing aku anggap terselesaikan.

"Bun, kapan Kak Bagas pulang. Aku dah kangen tau?" Aku bertanya ke Bunda disampingku yang tengah sibuk menyetir mobil Daihatsu Xenia berwarna terang.

Hari ini aku memang bersama Bunda untuk datang ke restoran madu rasa, bukan hal baru Bunda berkunjung ke restorannya karena setiap sebulan sekali atau lebih Bunda selalu datang hanya sekadar mengecek kesediaan bahan baku atau melihat kondisi restoran. 

"Kamu jangan ganggu mereka. Harusnya kamu maklum namanya juga pengantin baru," jawab Bunda tanpa melihat ke lawan bicaranya.

Aku hanya mendengar tanpa berniat untuk merespon balik ucapan Bunda sembari menatap keluar spion mobil disampingku.

Tanpa sengaja ekor mataku menatap seorang perempuan paruh baya tengah berdiri di samping mobilnya yang kemungkinan mobilnya sedang mogok.

"Bunda," panggilku tiba-tiba, "Bukannya Dia salahsatu teman arisannya Bunda ya?" Kulihat Bunda pun ikut melirik telunjuk tanganku yang ku arahkan ke wanita sebaya Bunda.

Tanpa menjawab Bunda segera menghentikan laju mobilnya yang sebelumnya telah memarkirkan mobil tersebut.

"Sebentar ya, Ri. Bunda mau menghampiri Umi Mutia didepan," ucap Bunda langsung turun dari mobilnya sedangkan aku menunggu didalam mobil.

Terlihat perbincangan singkat antara Bunda dengan Umi Mutia di depan sana sesekali kulihat juga canda tawa menyelimuti perbincangan mereka, tidak berselang lama Bunda berjalan kembali kesini diikuti Umi Mutia yang mengekori dari belakang.

"Ri, Umi Mutia mobilnya mogok terus Dia harus buru-buru check up di rumah sakit sekarang. Gak apa-apa kan kita nganter Umi Mutia dulu?"

Terlihat raut wajah memohon Bunda disana. Aku yang melihat itupun jadi tidak tega. Segera ku mengangguk untuk menjawabnya namun setelah itu samar-samar terdengar ada yang berkata, “Alhamdulilah.” sontak ku lirik ke sumber suara ternyata dari Umi Mutia berada dibelakang Dia memberikan senyuman manis kearahku yang hanya ku anggukki untuk menerimanya.

Singkat cerita kami telah selesai membawa Umi Mutia untuk check up di rumah sakit langganannya dan sekarang kami sedang makan siang bersama di restoran madurasa.

"Masakan Bunda Lita memang paling juara. Gak pernah berubah cita rasanya," puji Umi Mutia yang tengah menyantap menu ayam bakar madu.

"Alhamdulillah. Ini juga berkat bantuan Riri, usaha saya banyak kemajuan," jawab Bunda.

Aku yang mendengar itu hanya tertunduk malu.

"Bunda Lita sangat beruntung mempunyai anak seperti nak Riri ini. Sudah cantik, baik, cerdas lagi."

Umi Mutia mengelus punggung tanganku dengan lembut. Ku merasa kehangatan disisinya sama seperti bersama Bunda.

"Saya masih banyak kekurangan, Umi. Jangan terlalu berlebihan menilai saya," jawabku.

Terlepas dari perbincangan kami, tiba-tiba seorang Pria berjalan menghampiri Umi Mutia dan tanpa permisi Dia duduk disampingnya.

"Umi, kenapa gak nelepon Kris. Kris bisa jemput Umi kan?"

Aku tidak terlalu jelas melihat Pria itu karena terhalang oleh Umi Mutia disampingku, namun suaranya serasa aku pernah mendengarnya. Tapi, dimana?

"Oh ini anak bungsu Umi yang dibicarakan itu?" Sontak aku melirik Bunda terdapat raut wajah Bunda yang tidak bisa diartikan.

"Betul. Dia baru pulang setelah menyelesaikan pendidikannya di universitas Al-Azhar," Aku alihkan pandanganku ke Umi Mutia dan Umi pun mendapat raut wajah sama seperti Bunda diantara senang tapi ada kepuasan disana.

"Hebat-hebat ya anak-anaknya Umi. Semuanya melanjutkan pendidikan di Kairo?”

Aku hanya menjadi pendengar setia disini dan hendak mengambil jus alpukat di meja depanku. Tidak sengaja ekor mataku melirik kearah Pria yang duduk disamping Umi Mutia yang tengah diobrolkan itu dan kebetulan Pria itu pun melirik kearahku juga.

"Kamu bukannya..." Terlihat Pria yang bernama Kris ini menunjukku dengan telunjuk tangannya.

"Loh, Kris. Kamu udah kenal sama anaknya Bunda Lita?"

Aku langsung meneguk jusku dengan rakus.

‘Mimpi apa aku tadi malam. Bisa-bisanya ketemu sama cowok rese ini lagi.’ batinku.

"Kebetulan aja," jawab Kris singkat.

"Wah, ternyata jodoh gak kemana ya Umi," Aku yang mendengar itu dari Bunda spontan langsung tersedak jus yang tengah ku minum.

'TIDAK.’ teriakku dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status