"Krisan Adi Pratama," eja ku dari kartu identitas yang telah kudapatkan.
Tanpa disangka ternyata kartu identitas ini milik cowok rese barusan, terlihat dari foto yang tercetak didalam kartu identitas tersebut.
Tanpa berpikir panjang aku segera memasukkan dompet tersebut ke dalam tas selempangku. Setelah itu aku segera melanjutkan langkahku yang sempat tertunda untuk keluar dari toko buku ini.
*****
Keesokan harinya tepatnya pada siang hari aku segera menghubungi nomor telepon pemilik dompet kulit ini. Walaupun aku sebenarnya malas mengembalikannya tapi dilihat dari isi dompetnya yang kebanyakan barang-barang penting seperti, beberapa kartu ATM, SIM, dan masih banyak lagi. Ditambah ada uang tunai yang jumlahnya tidak sedikit didalam dompetnya ini.
Tak lama kemudian, dering suara panggilan di gawai ku berubah senyap bertanda seseorang tengah mengangkat telepon darinya.
"Halo?" ucap seseorang di seberang telepon.
"Ini dengan Krisan Adi Pratama," sahutku tanpa basa-basi.
"Ada apa?" Terdengar ada helaan nafas panjang sebelum Dia menjawab.
"Saya mendapatkan dompet anda tergeletak di-" Belum selesai aku berkata orang diseberang telepon sudah memotong perkataanku.
"Syukurlah, dompet saya ditemukan. Dikiranya dompet saya telah hilang."
"Dompet anda aman ada di saya. Jadi-" Lagi-lagi perkataanku terpotong olehnya.
"Baiklah, kirimkan lokasi kamu. Saya segera mengambil dompetnya sekarang."
'Sabar, Ri, sabar. Menghadapi orang seperti ini harus banyak sabar kalau enggak, udah ku cekek lehernya.' batinku.
Tanpa menjawab orang di seberang telepon, aku segera mengirimkan sesuai perintahnya yang kebetulan sekarang sedang berada di rumah bersama Bunda. Jadi jika Dia macam-macam langsung aku lapor sama Bunda.
Tiga puluh menit kemudian terdengar deru mobil di depan halaman rumahku yang kemungkinan itu si pemilik dompet kulit ini. Sebelum aku keluar rumah, aku mengintip dari jendela rumah untuk memastikan bahwa betul yang datang si pemilik dompet ini. Setelah cukup memastikan aku segera berjalan keluar dari rumah yang sebelumnya telah menceritakan perihal dompet ini kepada Bunda, setelah sampai di teras rumah kami hanya saling pandang satu sama lain namun terlihat raut wajahnya seakan terkejut.
"Jadi kamu ternyata pencuri dompet saya?"
Riri mengerutkan alisnya, "Saya gak salah denger, jika niat saya mencuri dompet anda buat apa saya capek-capek menelepon anda, HAH!"
"Kalau bukan pencuri terus apa?"
Aku langsung meletakkan dompet tersebut di telapak tangannya yang sebelumnya aku telah berjalan menghampirinya yang berjarak dua meter, "Terserah anda menilai saya seperti apa, yang jelas ini saya kembalikan dompet anda tanpa kurang sedikit pun." Segera ku langkahkan kakiku kedalam rumah.
"Tunggu!" Sontak langkah kakiku hentikan.
"Jika kamu bukan pencuri berarti kamu salahsatu cewek yang modusin saya kan?"
'Ini orang kebanyakan ngemil micin jadi gini dah.’ gumamku.
"Buat apa saya ngedeketin anda, emang anda artis atau selebritis. Sampai saya ngedeketin anda, gak ada kerjaan bange.” ucapku final sembari melenggang masuk kedalam rumah tanpa mengindahkannya.
*****
Setelah kejadian perihal dompet yang bernama Krisan beberapa hari yang lalu, aku kembali ke rutinitas sehari-hari seperti biasa yaitu mengelola restoran madu rasa dan untuk permasalahan dengannya, aku tidak ambil pusing aku anggap terselesaikan.
"Bun, kapan Kak Bagas pulang. Aku dah kangen tau?" Aku bertanya ke Bunda disampingku yang tengah sibuk menyetir mobil Daihatsu Xenia berwarna terang.
Hari ini aku memang bersama Bunda untuk datang ke restoran madu rasa, bukan hal baru Bunda berkunjung ke restorannya karena setiap sebulan sekali atau lebih Bunda selalu datang hanya sekadar mengecek kesediaan bahan baku atau melihat kondisi restoran.
"Kamu jangan ganggu mereka. Harusnya kamu maklum namanya juga pengantin baru," jawab Bunda tanpa melihat ke lawan bicaranya.
Aku hanya mendengar tanpa berniat untuk merespon balik ucapan Bunda sembari menatap keluar spion mobil disampingku.
Tanpa sengaja ekor mataku menatap seorang perempuan paruh baya tengah berdiri di samping mobilnya yang kemungkinan mobilnya sedang mogok.
"Bunda," panggilku tiba-tiba, "Bukannya Dia salahsatu teman arisannya Bunda ya?" Kulihat Bunda pun ikut melirik telunjuk tanganku yang ku arahkan ke wanita sebaya Bunda.
Tanpa menjawab Bunda segera menghentikan laju mobilnya yang sebelumnya telah memarkirkan mobil tersebut.
"Sebentar ya, Ri. Bunda mau menghampiri Umi Mutia didepan," ucap Bunda langsung turun dari mobilnya sedangkan aku menunggu didalam mobil.
Terlihat perbincangan singkat antara Bunda dengan Umi Mutia di depan sana sesekali kulihat juga canda tawa menyelimuti perbincangan mereka, tidak berselang lama Bunda berjalan kembali kesini diikuti Umi Mutia yang mengekori dari belakang.
"Ri, Umi Mutia mobilnya mogok terus Dia harus buru-buru check up di rumah sakit sekarang. Gak apa-apa kan kita nganter Umi Mutia dulu?"
Terlihat raut wajah memohon Bunda disana. Aku yang melihat itupun jadi tidak tega. Segera ku mengangguk untuk menjawabnya namun setelah itu samar-samar terdengar ada yang berkata, “Alhamdulilah.” sontak ku lirik ke sumber suara ternyata dari Umi Mutia berada dibelakang Dia memberikan senyuman manis kearahku yang hanya ku anggukki untuk menerimanya.
Singkat cerita kami telah selesai membawa Umi Mutia untuk check up di rumah sakit langganannya dan sekarang kami sedang makan siang bersama di restoran madurasa.
"Masakan Bunda Lita memang paling juara. Gak pernah berubah cita rasanya," puji Umi Mutia yang tengah menyantap menu ayam bakar madu.
"Alhamdulillah. Ini juga berkat bantuan Riri, usaha saya banyak kemajuan," jawab Bunda.
Aku yang mendengar itu hanya tertunduk malu.
"Bunda Lita sangat beruntung mempunyai anak seperti nak Riri ini. Sudah cantik, baik, cerdas lagi."
Umi Mutia mengelus punggung tanganku dengan lembut. Ku merasa kehangatan disisinya sama seperti bersama Bunda.
"Saya masih banyak kekurangan, Umi. Jangan terlalu berlebihan menilai saya," jawabku.
Terlepas dari perbincangan kami, tiba-tiba seorang Pria berjalan menghampiri Umi Mutia dan tanpa permisi Dia duduk disampingnya.
"Umi, kenapa gak nelepon Kris. Kris bisa jemput Umi kan?"
Aku tidak terlalu jelas melihat Pria itu karena terhalang oleh Umi Mutia disampingku, namun suaranya serasa aku pernah mendengarnya. Tapi, dimana?
"Oh ini anak bungsu Umi yang dibicarakan itu?" Sontak aku melirik Bunda terdapat raut wajah Bunda yang tidak bisa diartikan.
"Betul. Dia baru pulang setelah menyelesaikan pendidikannya di universitas Al-Azhar," Aku alihkan pandanganku ke Umi Mutia dan Umi pun mendapat raut wajah sama seperti Bunda diantara senang tapi ada kepuasan disana.
"Hebat-hebat ya anak-anaknya Umi. Semuanya melanjutkan pendidikan di Kairo?”
Aku hanya menjadi pendengar setia disini dan hendak mengambil jus alpukat di meja depanku. Tidak sengaja ekor mataku melirik kearah Pria yang duduk disamping Umi Mutia yang tengah diobrolkan itu dan kebetulan Pria itu pun melirik kearahku juga.
"Kamu bukannya..." Terlihat Pria yang bernama Kris ini menunjukku dengan telunjuk tangannya.
"Loh, Kris. Kamu udah kenal sama anaknya Bunda Lita?"
Aku langsung meneguk jusku dengan rakus.
‘Mimpi apa aku tadi malam. Bisa-bisanya ketemu sama cowok rese ini lagi.’ batinku.
"Kebetulan aja," jawab Kris singkat.
"Wah, ternyata jodoh gak kemana ya Umi," Aku yang mendengar itu dari Bunda spontan langsung tersedak jus yang tengah ku minum.
'TIDAK.’ teriakku dalam hati.
Tiga bulan telah berlalu, semenjak terakhir kali aku bertemu Pria bernama Kris bersama Umi Mutia dan Bunda di restoran madurasa. Siapa sangka dibalik pertemuan kami yang tidak sengaja di Toko Buku tempo hari itu menjadi titik awal kemalangan ku dimulai, karena tepat satu bulan yang lalu aku telah sah menjadi istri cowo rese yang melihatnya pun membuat darahku langsung mendidih. Awal ceritanya bermula pada saat aku menjadi pendonor darah untuk Umi Mutia. Flashback on Sinar matahari lambat laun meredup digantikan dengan sorot lampu jalan untuk menerangi jalanan kota, bahkan suasana kota sudah mulai terlihat sepi. Disaat semua orang telah terlelap tidur sambil mengarungi dunia mimpi masing-masing. Mobil Daihatsu Xenia milik Bunda masih melesat memecah keheningan malam, menuju Rumah Sakit Karisma yang berada di pusat kota. "Bunda, pokoknya aku gak mau karena menolong Umi Mutia. Imbalannya aku harus menikah dengan anaknya," ucapku berdebat didalam mobil sambil menyilangkan kedua tan
Terik matahari seakan menyengat tubuh, ditambah padatnya lalu lintas membuat siapapun tidak sabar untuk segera sampai ke tempat tujuan masing-masing. Sama halnya dengan Restoran madurasa, padatnya lalu lintas ibu kota menjadi peluang emas untuk restoran tersebut. Terlihat pengunjung terus berdatangan tidak habis-habisnya memadati restoran. Restoran berlantai tiga itu memiliki rooftop bernuansa klasik berwarna dominan kuning kecoklatan, namun tidak mengurangi sisi modern. Spot ini cocok untuk anak muda yang menongkrong atau pengunjung yang ingin sekadar bersantai melihat pemandangan ibu kota sambil menikmati makanan yang disajikan restoran madurasa. Dengan kepadatan pengunjung di Restoran madurasa, terlihat Kris sedang duduk manis di salahsatu sofa yang berada di rooftop. Tidak berselang lama Riri berjalan menghampiri Kris disana dengan membawa nampan berisi makanan yang telah Dia masakan barusan. Dug... "Makanlah, anggap saja ini untuk balas budi," ucap Riri setelah meletakkan namp
Hari ini Restoran tidak terlalu ramai akan pengunjung. kesempatan ini Riri luangkan untuk membaca buku yang berada di ruang kerjanya. Dari beberapa buku yang berada di meja kerjanya, ada satu buku yang terbilang cukup terkesan bahkan selalu membuatnya tertawa sendiri jika mengingat momen tersebut. Buku bersampul berwarna dominan hijau daun perpaduan putih dengan karakter wanita menjadi objeknya itu menjadi pertemuan pertama dengan suaminya. Disaat Riri sedang asyik membaca isi buku di genggamannya. Terdengar seseorang mengetuk pintu ruangannya berulangkali. Riri segera meletakkan bukunya diatas meja. "Masuk," ucap Riri memberi tanda ke orang diluar ruangannya. Seorang wanita muda masuk perlahan dan berjalan menghampiri Riri, "Maaf, Mbak. Diluar ada tamu," lapor wanita dengan poni lempar itu. Riri mengernyitkan dahi, "Siapa. Kris?" tanyanya. "Bukan, Mbak," jawab Wanita berponi itu singkat. "Seorang Pria yang tampan lebih tampan dari Mas Kris," sambungnya dengan nada dibuat manja s
"Bunda," seru Riri sedikit berteriak sambil berlari masuk kedalam rumahnya. "Iya. Bunda disini," jawab Bunda Lita diarah dapur. Mendengar respon dari Bundanya, bergegas Riri berlari ke sumber suara, "Bunda, bantu aku untuk gotong Kris yang berada didalam mobil," ucap Riri dengan nada panik. Bunda Lita yang mendengarnya ikut panik, "Loh Kris kenapa, Ri?" tanya Bunda Lita sambil berjalan keluar rumah. "Kris pingsan saat mau jalan pulang, Bun," jawab Riri singkat. "Iya, tapi pingsannya kenapa?" "Mungkin gara-gara ditonjok sama Asoka di Restoran kali," Dengan susah payah Bunda Lita dan Riri menggotong tubuh Kris dan di baringkan untuk sementara di sofa ruang tamu. Riri langsung duduk didepan Kris untuk mengompres luka lebam yang ada di wajah tampan suaminya. Disaat Riri sedang membersihkan wajahnya Kris, tidak sengaja Riri menempelkan punggung tangannya di pipi Kris, "Bun, kayaknya Kris demam?" tanya Riri ke Bunda Lita yang duduk di sampingnya. Spontan Bunda Lita ikut menempelkan
Tiga bulan kemudian. "Saya terima nikahnya-" belum selesai sang mempelai pria mengucapkan kabul untuk mengikrarkan janji pernikahannya. Terlihat seorang Pria berbadan tinggi besar, berlari tergesa-gesa menghampiri mempelai pria membuat acara tersebut tertunda sejenak. "Maaf, Bos. Diluar ada..." ucap Pria tinggi besar tergantung karena kelanjutan ucapannya langsung Dia bisikkan ke telinga sang mempelai pria. Mempelai pria itu langsung bangkit dari duduknya dan langsung berjalan keluar rumah setelah mendengar laporan dari salahsatu anak buahnya. Terlihat diluar rumah telah datang tiga orang Pria berseragam berwarna cokelat lengkap dengan lentera emas di dadanya sedang berdiri dengan gagahnya menunggu sang pemilik rumah. "Selamat siang. Apa betul saudara bernama Asoka Bramasta Kusuma?" tanya salahsatu Pak Polisi berhidung mancung dengan suara baritonnya yang khas. "Betul," jawab singkat mempelai pria tersebut ternyata Asoka. "Kami mendapat laporan dari keluarga korban, bahwa sauda
"Tolong!" teriak Riri sampai membuat Asoka disampingnya spontan menutup mulut Riri."Ada apa, Manis. Kamu kenapa berteriak? tanya Asoka dengan nada lembut sambil mengelus pipi mulus Riri."Kumohon. Tolong bebaskan aku, aku mohon," mohon Riri dengan raut wajah memelas nya.Asoka hanya tertawa terbahak-bahak dan Riri yang mendengarnya hanya bisa menumpahkan air matanya, seakan Dia sudah lelah dengan keadaannya saat ini.Asoka yang melihat Riri seperti itu langsung memasang wajah sendu dan perlahan melepaskan mulut Riri yang ia bekap, "Manis, kenapa? Apa kamu tidak senang bersama denganku. Hem," ucapnya dengan nada lembut.Tidak ada respon dari Riri, Asoka mengangkat dagu Riri dengan telunjuk tangannya, "Ayolah. Aku tidak suka Riri yang cengeng seperti ini, nanti kamu sakit, Manis," ucapnya terjeda sejenak, "Kamu-" belum selesai Asoka mengucapkan kata-katanya. Terdengar suara bising dari luar.Duag...Suara pintu ruangan terbuka paksa dari luar. Asoka yang mendengar itu langsung mengerny
Flashback on'Perasaanku saja atau memang tadi ada yang teriak minta tolong?’ tanya Kris dalam hati.Pria berstatus Dosen dan suami Riri itu terus melangkahkan kakinya menuju arah suara yang sempat terdengar oleh indera pendengarannya."Loh, ini cuman halaman belakang rumah biasa?" tanyanya ke diri sendiri sambil melihat sekeliling tempat tersebut.Hanya terdapat lemari kaca berwarna hitam yang tinggi nya hampir dua meter di depannya. Selain itu hanya halaman luas yang berada dibelakangnya, yang terdiri empat celah masuk atau keluar yang sengaja di buat tanpa pintu untuk jalan pintas menuju ke taman.Seakan tidak ada artinya Kris berdiam diri disini. Dia hendak melangkah pergi meninggalkan tempat tersebut, namun langkahnya terhenti ketika ada seseorang yang berjalan kearahnya. Bukan melarikan diri, Kris memilih untuk bersembunyi di balik tembok yang berukuran setinggi pinggangnya."Asem banget dah, harus bertugas di waktu libur gini," gerutu seorang Pria dengan brewok lebat berwarna k
Duagh...Kris mendobrak pintu didepannya dengan paksa. Aksi Kris tersebut, membuat orang yang berada didalam langsung terkejut. Disaat Kris mendengar langkah kaki dari dalam ruangan tersebut menuju keluar, bergegas Kris bersembunyi dibalik tembok yang berukuran sepinggangnya.Betapa terkejutnya Kris melihat orang yang berada didalam ruangan tersebut ialah Asoka. 'Ngapain Dia diruangan itu. Lalu, kenapa harus ada ruangan rahasia segala,' monolognya dalam hati.Penasaran dengan apa yang berada didalam ruangan itu, dengan langkah pelan tapi pasti Kris masuk kedalam yang kebetulan Asoka tengah sibuk memanggil pengawalnya.Aksi nekadnya itu Dia tahu akan fatal dan tidak dipungkiri bahwa ada rasa takut didalam hatinya. Namun jika Dia tidak masuk keruangan ini, pasti Dia akan menyesal seumur hidupnya."Kris," ucap Riri dengan lirih matanya membola seakan tidak percaya apa yang Dia lihat.Kris hanya menempelkan telunjuk tangannya ke mulutnya untuk merespon Riri.Kris segera membantu Riri untu