Tiga bulan telah berlalu, semenjak terakhir kali aku bertemu Pria bernama Kris bersama Umi Mutia dan Bunda di restoran madurasa.
Siapa sangka dibalik pertemuan kami yang tidak sengaja di Toko Buku tempo hari itu menjadi titik awal kemalangan ku dimulai, karena tepat satu bulan yang lalu aku telah sah menjadi istri cowo rese yang melihatnya pun membuat darahku langsung mendidih.
Awal ceritanya bermula pada saat aku menjadi pendonor darah untuk Umi Mutia.
Flashback on
Sinar matahari lambat laun meredup digantikan dengan sorot lampu jalan untuk menerangi jalanan kota, bahkan suasana kota sudah mulai terlihat sepi.
Disaat semua orang telah terlelap tidur sambil mengarungi dunia mimpi masing-masing. Mobil
Daihatsu Xenia milik Bunda masih melesat memecah keheningan malam, menuju Rumah Sakit Karisma yang berada di pusat kota.
"Bunda, pokoknya aku gak mau karena menolong Umi Mutia. Imbalannya aku harus menikah dengan anaknya," ucapku berdebat didalam mobil sambil menyilangkan kedua tanganku di dada.
"Loh, kenapa. Apa kurangnya coba Kris," jawab Bunda Lita tanpa melihat lawan bicaranya.
"Aku tidak suka main jodoh-jodohin. Kayak aku gak laku aja," ucapku sambil mengerucutkan bibirku.
"Semua ini demi kebaikan kamu," jawab Bunda singkat.
"Tetap aja aku tidak suka. TITIK." Aku sengaja menekankan kata terakhirnya.
"Padahal, Bunda pengen banget punya cucu dari kamu, Ri," ucap Bunda. Aku langsung melirik sekilas ke arah Bunda, terlihat matanya mulai berkaca-kaca.
'Duh, kalau udah gini. Aku gak bisa nolak. Gak tega liatnya. Tapi, masa iya aku dipersunting oleh cowo rese itu.' batinku.
Aku yang melihat itu langsung mengelus pundak Bunda berulangkali, "Bunda ku tersayang, ya udah aku setuju. Tapi-" belum selesai aku mengutarakan alasanku menerima tawaran tersebut, tiba-tiba mobil yang dikendarai Bunda berhenti mendadak.
"Serius kamu menerima ajakan nikah Kris?" tanya Bunda sambil memegangi kedua telapak tanganku.
"Hemmm..." Aku hanya merespon pertanyaan Bunda dengan berdehem, sambil memalingkan wajah ke sembarang arah.
Bunda langsung melajukan kembali mobilnya, terdengar Bunda bersenandung kecil disana.
"Akhirnya, Bunda punya menantu Dosen," gumam Bunda yang masih cukup terdengar olehku.
"Dosen?" tanyaku langsung menatap Bunda. Bunda langsung mengangguk, "Betul. Lebih tepatnya Dosen di UI."
Seketika aku terbatuk-batuk sebab tersedak air liurku sendiri.
'Aku tidak salah dengar kan. Cowo rese itu Dosen di UI? Aku pastikan, Dia pasti Dosen killer disana.' monologku dalam hati sambil tersenyum smirk.
"Oh, cuman Dosen di UI," ucapku terjeda sejenak, "Aku banyak teman di UI," sambungku mencoba membohongi perasaanku. Karena untuk bekerja di UI apalagi menjadi Dosen itu sangatlah sulit, kalaupun ada pasti Dia seorang yang sangat kompeten dalam bidangnya.
"Anak ini. Ya, itu bedalah, sayang," sahut Bunda dengan lembut.
"Gak tau ah, pusing." Aku langsung memalingkan kembali wajahku melihat pemandangan jalan dibalik kaca spion mobil.
Flashback off
*****
Pagi yang cerah untuk jiwa yang lelah itulah yang dirasakan ku saat ini. Karena semalam aku tidak bisa tidur, selalu kepikiran dengan kata-kata Bunda. Ditambah Kris sepertinya tidak pulang ke rumah, karena kasur lipatnya masih tergulung rapi di pojokan kamar.
'Palingan Dia tidur lagi ke rumah Umi Mutia.' pikirku sambil melenggang pergi menuju kamar mandi.
Setelah bersiap-siap, aku berjalan keluar kamar dengan langkah malas dan gontai. Kulirik diatas meja makan telah tersedia berbagai masakan untuk serapan yang sepertinya baru selesai di masak karena asap dari makanan itu masih mengepul dan harum makanannya sangat menggugah selera.
Aku segera mengambil nasi goreng dan beberapa lauk pelengkapnya. Tidak lama berselang, Bunda ikut bergabung di meja makan yang telah menyapu halaman rumah.
"Ri, tadi pagi Kris menelepon. Katanya Dia sebentar lagi sampai kesini sekalian bersama Umi Mutia," ucap Bunda sambil menyentong nasi goreng di hadapannya. Aku hanya mengangguk untuk menjawabnya.
"Kalian udah satu bulan loh menikah. Belum ada tanda-tanda..." ucap Bunda tergantung sambil menaik turunkan kedua telunjuk tangannya.
Aku yang mendengar itu sudah paham arah pembicaraan ini, "Belum," jawabku singkat.
Terdengar hembusan nafas panjang dari Bunda, "Gak apa-apa. Yang penting kalian sehat, mungkin belum diberi kepercayaan sama yang diatas."
Aku tidak menjawab, aku memilih menghabiskan serapan di piringku.
Tidak lama kemudian terdengar deru mobil di halaman rumah. Pertanda yang ditunggu-tunggu ternyata telah datang.
"Nah, itu pasti suara mobil Kris," ucap Bunda langsung membereskan bekas serapannya.
"Ayo buruan, Ri," ajak Bunda dengan nada tidak sabarnya.
"Bentar, Bun. Ini tinggal satu suap lagi," sahut Riri sambil menyuapkan sesendok nasi goreng yang masih setengah jalan dimakannya.
"Bunda tunggu didepan ya, kamu cepat nyusul keluar. Nanti keburu siang."
"Hemmm..." Riri hanya merespon perkataan Bundanya dengan berdehem, karena Dia sedang meminum air putih didepannya untuk menyegarkan tenggorokannya yang kering.
Terlihat Bunda melangkah menuju ke halaman rumah.
'Kenapa sih sama Bunda jika menyangkut dengan Kris, selalu bersemangat gitu.' monologku dalam hati.
Setelah semua urusan di dalam rumah terlihat beres, aku langsung melangkah menuju keluar rumah. Tidak lupa aku merapikan khimar abu-abu yang sedang ku pakai dan gamis favoritku yang berwarna peach ini.
"Bunda, aku pergi dulu ya. Udah siang, takut keburu macet," pamitku dengan nada lembut sambil mencium punggung tangan Bunda dengan takzim.
"Hati-hati ya, Ri," jawab Bunda sambil mengelus lembut ubun-ubun kepalaku
Tidak lupa aku berpamitan juga sama Umi Mutia. Umi Mutia hanya mengangguk dan mengelus kepalaku dengan lembut. Bertepatan dengan itu aku menatap tajam ke arah Pria yang telah menjadi suamiku seakan berkata, "CEPAT!" dari sorot mataku.
Emang kami pasangan suami istri tidak seromantis pasangan kebanyakan. Karena jangankan untuk romantis, mengenal satu sama lain pun baru akhir-akhir ini.
Terlihat Kris bangkit dari duduknya, "Umi, Tante. Saya izin pamit juga. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab mereka berdua kompak.
"Ayo, sayang," ajaknya sambil merangkul pundak ku mesra. Aku yang mendapat perlakuan itu hanya mengikuti skenarionya.
Ya, kami memperlihatkan sama Bunda dan Umi bahkan sama semua anggota keluarga kami, kalau kami adalah pasangan harmonis dan romantis. Pokoknya sakinah mawadah warahmah. Tapi, kenyataannya berbanding terbalik. Jangankan untuk romantis, tidur bareng satu kasur pun belum pernah.
Singkat cerita aku telah berada didalam mobil Kris. Tidak banyak interaksi antara kami, disepanjang jalan menuju restoran.
Disaat jarak menuju restoran madurasa tinggal dua kilometer kedepan, mobil Kris tiba-tiba berhenti di tengah jalan.
"Ini kenapa lagi," ucapku sambil mengernyitkan karena kesal, "mobil aja bagus tapi mogok," sambungku.
Tidak ada respon darinya, terlihat Dia langsung turun dari mobilnya dan melihat kondisi mobilnya dari luar.
Akupun langsung keluar karena penasaran.
"Makanya kalau punya mobil itu perbanyak di servis, jangan hanya dipakai saja," ucapku dengan nada mengejek. Sukses membuat amarahnya terpancing mungkin karena malu dengan ucapanku, karena terlihat wajahnya lambat laun memerah dan nafasnya memburu.
"Jika kamu tidak banyak membantu, lebih baik diam saja!" ucapnya sedikit membentak.
"Dibilangin juga," jawabku seadanya.
Aku segera mengambil gawai didalam tas selempangku, terlihat dari ekor mataku Dia melirik ke arah ku mungkin penasaran apa yang aku lakukan dan siapa yang ku hubungi. Setelah selesai mengirimkan pesan ke temanku. Aku memasukkan kembali gawaiku ketempat semula.
"Cepat, aku sudah kesiangan," ajakku ke Kris.
Namun, sudah beberapa langkah aku melangkahkan kakiku. Kris masih setia diam ditempat.
"Kamu mau ikut denganku, tidak?" tanyaku sambil menoleh kebelakang. Namun bukannya menjawab, Dia seakan membisu disana.
'Sabar, Ri. Ingat Dia adalah suamimu,' batinku sambil mengelus dada.
"Mobilmu nanti di derek oleh temanku untuk di masukkan ke bengkel," terangku.
"Kenapa tidak bilang dari tadi," ucapnya sambil melangkah mendahuluiku tanpa ucapan terima kasih.
'Kata Bunda, Dia baik seperti malaikat. Mungkin lebih tepatnya malaikat pencabut nyawa,' gumamku sambil mengepal kuat pergelangan tanganku sampai kuku-kuku jari tanganku memutih.
Terik matahari seakan menyengat tubuh, ditambah padatnya lalu lintas membuat siapapun tidak sabar untuk segera sampai ke tempat tujuan masing-masing. Sama halnya dengan Restoran madurasa, padatnya lalu lintas ibu kota menjadi peluang emas untuk restoran tersebut. Terlihat pengunjung terus berdatangan tidak habis-habisnya memadati restoran. Restoran berlantai tiga itu memiliki rooftop bernuansa klasik berwarna dominan kuning kecoklatan, namun tidak mengurangi sisi modern. Spot ini cocok untuk anak muda yang menongkrong atau pengunjung yang ingin sekadar bersantai melihat pemandangan ibu kota sambil menikmati makanan yang disajikan restoran madurasa. Dengan kepadatan pengunjung di Restoran madurasa, terlihat Kris sedang duduk manis di salahsatu sofa yang berada di rooftop. Tidak berselang lama Riri berjalan menghampiri Kris disana dengan membawa nampan berisi makanan yang telah Dia masakan barusan. Dug... "Makanlah, anggap saja ini untuk balas budi," ucap Riri setelah meletakkan namp
Hari ini Restoran tidak terlalu ramai akan pengunjung. kesempatan ini Riri luangkan untuk membaca buku yang berada di ruang kerjanya. Dari beberapa buku yang berada di meja kerjanya, ada satu buku yang terbilang cukup terkesan bahkan selalu membuatnya tertawa sendiri jika mengingat momen tersebut. Buku bersampul berwarna dominan hijau daun perpaduan putih dengan karakter wanita menjadi objeknya itu menjadi pertemuan pertama dengan suaminya. Disaat Riri sedang asyik membaca isi buku di genggamannya. Terdengar seseorang mengetuk pintu ruangannya berulangkali. Riri segera meletakkan bukunya diatas meja. "Masuk," ucap Riri memberi tanda ke orang diluar ruangannya. Seorang wanita muda masuk perlahan dan berjalan menghampiri Riri, "Maaf, Mbak. Diluar ada tamu," lapor wanita dengan poni lempar itu. Riri mengernyitkan dahi, "Siapa. Kris?" tanyanya. "Bukan, Mbak," jawab Wanita berponi itu singkat. "Seorang Pria yang tampan lebih tampan dari Mas Kris," sambungnya dengan nada dibuat manja s
"Bunda," seru Riri sedikit berteriak sambil berlari masuk kedalam rumahnya. "Iya. Bunda disini," jawab Bunda Lita diarah dapur. Mendengar respon dari Bundanya, bergegas Riri berlari ke sumber suara, "Bunda, bantu aku untuk gotong Kris yang berada didalam mobil," ucap Riri dengan nada panik. Bunda Lita yang mendengarnya ikut panik, "Loh Kris kenapa, Ri?" tanya Bunda Lita sambil berjalan keluar rumah. "Kris pingsan saat mau jalan pulang, Bun," jawab Riri singkat. "Iya, tapi pingsannya kenapa?" "Mungkin gara-gara ditonjok sama Asoka di Restoran kali," Dengan susah payah Bunda Lita dan Riri menggotong tubuh Kris dan di baringkan untuk sementara di sofa ruang tamu. Riri langsung duduk didepan Kris untuk mengompres luka lebam yang ada di wajah tampan suaminya. Disaat Riri sedang membersihkan wajahnya Kris, tidak sengaja Riri menempelkan punggung tangannya di pipi Kris, "Bun, kayaknya Kris demam?" tanya Riri ke Bunda Lita yang duduk di sampingnya. Spontan Bunda Lita ikut menempelkan
Tiga bulan kemudian. "Saya terima nikahnya-" belum selesai sang mempelai pria mengucapkan kabul untuk mengikrarkan janji pernikahannya. Terlihat seorang Pria berbadan tinggi besar, berlari tergesa-gesa menghampiri mempelai pria membuat acara tersebut tertunda sejenak. "Maaf, Bos. Diluar ada..." ucap Pria tinggi besar tergantung karena kelanjutan ucapannya langsung Dia bisikkan ke telinga sang mempelai pria. Mempelai pria itu langsung bangkit dari duduknya dan langsung berjalan keluar rumah setelah mendengar laporan dari salahsatu anak buahnya. Terlihat diluar rumah telah datang tiga orang Pria berseragam berwarna cokelat lengkap dengan lentera emas di dadanya sedang berdiri dengan gagahnya menunggu sang pemilik rumah. "Selamat siang. Apa betul saudara bernama Asoka Bramasta Kusuma?" tanya salahsatu Pak Polisi berhidung mancung dengan suara baritonnya yang khas. "Betul," jawab singkat mempelai pria tersebut ternyata Asoka. "Kami mendapat laporan dari keluarga korban, bahwa sauda
"Tolong!" teriak Riri sampai membuat Asoka disampingnya spontan menutup mulut Riri."Ada apa, Manis. Kamu kenapa berteriak? tanya Asoka dengan nada lembut sambil mengelus pipi mulus Riri."Kumohon. Tolong bebaskan aku, aku mohon," mohon Riri dengan raut wajah memelas nya.Asoka hanya tertawa terbahak-bahak dan Riri yang mendengarnya hanya bisa menumpahkan air matanya, seakan Dia sudah lelah dengan keadaannya saat ini.Asoka yang melihat Riri seperti itu langsung memasang wajah sendu dan perlahan melepaskan mulut Riri yang ia bekap, "Manis, kenapa? Apa kamu tidak senang bersama denganku. Hem," ucapnya dengan nada lembut.Tidak ada respon dari Riri, Asoka mengangkat dagu Riri dengan telunjuk tangannya, "Ayolah. Aku tidak suka Riri yang cengeng seperti ini, nanti kamu sakit, Manis," ucapnya terjeda sejenak, "Kamu-" belum selesai Asoka mengucapkan kata-katanya. Terdengar suara bising dari luar.Duag...Suara pintu ruangan terbuka paksa dari luar. Asoka yang mendengar itu langsung mengerny
Flashback on'Perasaanku saja atau memang tadi ada yang teriak minta tolong?’ tanya Kris dalam hati.Pria berstatus Dosen dan suami Riri itu terus melangkahkan kakinya menuju arah suara yang sempat terdengar oleh indera pendengarannya."Loh, ini cuman halaman belakang rumah biasa?" tanyanya ke diri sendiri sambil melihat sekeliling tempat tersebut.Hanya terdapat lemari kaca berwarna hitam yang tinggi nya hampir dua meter di depannya. Selain itu hanya halaman luas yang berada dibelakangnya, yang terdiri empat celah masuk atau keluar yang sengaja di buat tanpa pintu untuk jalan pintas menuju ke taman.Seakan tidak ada artinya Kris berdiam diri disini. Dia hendak melangkah pergi meninggalkan tempat tersebut, namun langkahnya terhenti ketika ada seseorang yang berjalan kearahnya. Bukan melarikan diri, Kris memilih untuk bersembunyi di balik tembok yang berukuran setinggi pinggangnya."Asem banget dah, harus bertugas di waktu libur gini," gerutu seorang Pria dengan brewok lebat berwarna k
Duagh...Kris mendobrak pintu didepannya dengan paksa. Aksi Kris tersebut, membuat orang yang berada didalam langsung terkejut. Disaat Kris mendengar langkah kaki dari dalam ruangan tersebut menuju keluar, bergegas Kris bersembunyi dibalik tembok yang berukuran sepinggangnya.Betapa terkejutnya Kris melihat orang yang berada didalam ruangan tersebut ialah Asoka. 'Ngapain Dia diruangan itu. Lalu, kenapa harus ada ruangan rahasia segala,' monolognya dalam hati.Penasaran dengan apa yang berada didalam ruangan itu, dengan langkah pelan tapi pasti Kris masuk kedalam yang kebetulan Asoka tengah sibuk memanggil pengawalnya.Aksi nekadnya itu Dia tahu akan fatal dan tidak dipungkiri bahwa ada rasa takut didalam hatinya. Namun jika Dia tidak masuk keruangan ini, pasti Dia akan menyesal seumur hidupnya."Kris," ucap Riri dengan lirih matanya membola seakan tidak percaya apa yang Dia lihat.Kris hanya menempelkan telunjuk tangannya ke mulutnya untuk merespon Riri.Kris segera membantu Riri untu
Tiga bulan telah berlalu semenjak aku dibawa paksa oleh Asoka, Pria yang dulu sempat mengisi kekosongan hati ini. Masih sangat teringat jelas dibenakku, disaat Asoka terus membujukku untuk ikut pergi bersamanya, walaupun aku menolak namun dia terus memaksaku.Flashback on"Mbak, Cogan yang kemarin datang lagi ke sini." Agnes seorang karyawan restoranku itu tengah melaporkan bahwa Asoka kembali datang berkunjung kemari.Namun berbeda dengan pertemuan pertama kami waktu itu, Dia memilih untuk menungguku di parkiran. Tanpa curiga aku langsung berjalan menghampirinya."Ka, kamu kenapa menunggu disini. Ayo kita ke rooftop," ajakku setelah sampai didepannya."Aku tidak akan lama. Aku hanya ingin mengajakmu ikut bersamaku ke London, membangun keluarga kecil kita disana," ucapnya dengan nada lembut sambil meraih tanganku."Apa kamu lupa, Ka," jawabku terjeda sejenak sambil melepaskan tangannya, "aku sudah bersuami dan kamu tahu itu siapa," sambungku."Aku tahu, pernikahan kamu pasti hanya pak