Share

Bab 6

Tiga bulan telah berlalu, semenjak terakhir kali aku bertemu Pria bernama Kris bersama Umi Mutia dan Bunda di restoran madurasa.

Siapa sangka dibalik pertemuan kami yang tidak sengaja di Toko Buku tempo hari itu menjadi titik awal kemalangan ku dimulai, karena tepat satu bulan yang lalu aku telah sah menjadi istri cowo rese yang melihatnya pun membuat darahku langsung mendidih.

Awal ceritanya bermula pada saat aku menjadi pendonor darah untuk Umi Mutia.

Flashback on

Sinar matahari lambat laun meredup digantikan dengan sorot lampu jalan untuk menerangi jalanan kota, bahkan suasana kota sudah mulai terlihat sepi.

Disaat semua orang telah terlelap tidur sambil mengarungi dunia mimpi masing-masing. Mobil 

Daihatsu Xenia milik Bunda masih melesat memecah keheningan malam, menuju Rumah Sakit Karisma yang berada di pusat kota.

"Bunda, pokoknya aku gak mau karena menolong Umi Mutia. Imbalannya aku harus menikah dengan anaknya," ucapku berdebat didalam mobil sambil menyilangkan kedua tanganku di dada.

"Loh, kenapa. Apa kurangnya coba Kris," jawab Bunda Lita tanpa melihat lawan bicaranya.

"Aku tidak suka main jodoh-jodohin. Kayak aku gak laku aja," ucapku sambil mengerucutkan bibirku.

"Semua ini demi kebaikan kamu," jawab Bunda singkat.

"Tetap aja aku tidak suka. TITIK." Aku sengaja menekankan kata terakhirnya.

"Padahal, Bunda pengen banget punya cucu dari kamu, Ri," ucap Bunda. Aku langsung melirik sekilas ke arah Bunda, terlihat matanya mulai berkaca-kaca.

'Duh, kalau udah gini. Aku gak bisa nolak. Gak tega liatnya. Tapi, masa iya aku dipersunting oleh cowo rese itu.' batinku.

Aku yang melihat itu langsung mengelus pundak Bunda berulangkali, "Bunda ku tersayang, ya udah aku setuju. Tapi-" belum selesai aku mengutarakan alasanku menerima tawaran tersebut, tiba-tiba mobil yang dikendarai Bunda berhenti mendadak.

"Serius kamu menerima ajakan nikah Kris?" tanya Bunda sambil memegangi kedua telapak tanganku.

"Hemmm..." Aku hanya merespon pertanyaan Bunda dengan berdehem, sambil memalingkan wajah ke sembarang arah.

Bunda langsung melajukan kembali mobilnya, terdengar Bunda bersenandung kecil disana.

"Akhirnya, Bunda punya menantu Dosen," gumam Bunda yang masih cukup terdengar olehku.

"Dosen?" tanyaku langsung menatap Bunda. Bunda langsung mengangguk, "Betul. Lebih tepatnya Dosen di UI."

Seketika aku terbatuk-batuk sebab tersedak air liurku sendiri.

'Aku tidak salah dengar kan. Cowo rese itu Dosen di UI? Aku pastikan, Dia pasti Dosen killer disana.' monologku dalam hati sambil tersenyum smirk.

"Oh, cuman Dosen di UI," ucapku terjeda sejenak, "Aku banyak teman di UI," sambungku mencoba membohongi perasaanku. Karena untuk bekerja di UI apalagi menjadi Dosen itu sangatlah sulit, kalaupun ada pasti Dia seorang yang sangat kompeten dalam bidangnya.

"Anak ini. Ya, itu bedalah, sayang," sahut Bunda dengan lembut.

"Gak tau ah, pusing." Aku langsung memalingkan kembali wajahku melihat pemandangan jalan dibalik kaca spion mobil.

Flashback off

*****

Pagi yang cerah untuk jiwa yang lelah itulah yang dirasakan ku saat ini. Karena semalam aku tidak bisa tidur, selalu kepikiran dengan kata-kata Bunda. Ditambah Kris sepertinya tidak pulang ke rumah, karena kasur lipatnya masih tergulung rapi di pojokan kamar.

'Palingan Dia tidur lagi ke rumah Umi Mutia.' pikirku sambil melenggang pergi menuju kamar mandi.

Setelah bersiap-siap, aku berjalan keluar kamar dengan langkah malas dan gontai. Kulirik diatas meja makan telah tersedia berbagai masakan untuk serapan yang sepertinya baru selesai di masak karena asap dari makanan itu masih mengepul dan harum makanannya sangat menggugah selera.

Aku segera mengambil nasi goreng dan beberapa lauk pelengkapnya. Tidak lama berselang, Bunda ikut bergabung di meja makan yang telah menyapu halaman rumah.

"Ri, tadi pagi Kris menelepon. Katanya Dia sebentar lagi sampai kesini sekalian bersama Umi Mutia," ucap Bunda sambil menyentong nasi goreng di hadapannya. Aku hanya mengangguk untuk menjawabnya.

"Kalian udah satu bulan loh menikah. Belum ada tanda-tanda..." ucap Bunda tergantung sambil menaik turunkan kedua telunjuk tangannya.

Aku yang mendengar itu sudah paham arah pembicaraan ini, "Belum," jawabku singkat.

Terdengar hembusan nafas panjang dari Bunda, "Gak apa-apa. Yang penting kalian sehat, mungkin belum diberi kepercayaan sama yang diatas."

Aku tidak menjawab, aku memilih menghabiskan serapan di piringku.

Tidak lama kemudian terdengar deru mobil di halaman rumah. Pertanda yang ditunggu-tunggu ternyata telah datang.

"Nah, itu pasti suara mobil Kris," ucap Bunda langsung membereskan bekas serapannya.

"Ayo buruan, Ri," ajak Bunda dengan nada tidak sabarnya.

"Bentar, Bun. Ini tinggal satu suap lagi," sahut Riri sambil menyuapkan sesendok nasi goreng yang masih setengah jalan dimakannya.

"Bunda tunggu didepan ya, kamu cepat nyusul keluar. Nanti keburu siang."

"Hemmm..." Riri hanya merespon perkataan Bundanya dengan berdehem, karena Dia sedang meminum air putih didepannya untuk menyegarkan tenggorokannya yang kering.

Terlihat Bunda melangkah menuju ke halaman rumah.

'Kenapa sih sama Bunda jika menyangkut dengan Kris, selalu bersemangat gitu.' monologku dalam hati.

Setelah semua urusan di dalam rumah terlihat beres, aku langsung melangkah menuju keluar rumah. Tidak lupa aku merapikan khimar abu-abu yang sedang ku pakai dan gamis favoritku yang berwarna peach ini.

"Bunda, aku pergi dulu ya. Udah siang, takut keburu macet," pamitku dengan nada lembut sambil mencium punggung tangan Bunda dengan takzim.

"Hati-hati ya, Ri," jawab Bunda sambil mengelus lembut ubun-ubun kepalaku

Tidak lupa aku berpamitan juga sama Umi Mutia. Umi Mutia hanya mengangguk dan mengelus kepalaku dengan lembut. Bertepatan dengan itu aku menatap tajam ke arah Pria yang telah menjadi suamiku seakan berkata, "CEPAT!" dari sorot mataku.

Emang kami pasangan suami istri tidak seromantis pasangan kebanyakan. Karena jangankan untuk romantis, mengenal satu sama lain pun baru akhir-akhir ini.

Terlihat Kris bangkit dari duduknya, "Umi, Tante. Saya izin pamit juga. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab mereka berdua kompak.

"Ayo, sayang," ajaknya sambil merangkul pundak ku mesra. Aku yang mendapat perlakuan itu hanya mengikuti skenarionya.

Ya, kami memperlihatkan sama Bunda dan Umi bahkan sama semua anggota keluarga kami, kalau kami adalah pasangan harmonis dan romantis. Pokoknya sakinah mawadah warahmah. Tapi, kenyataannya berbanding terbalik. Jangankan untuk romantis, tidur bareng satu kasur pun belum pernah.

Singkat cerita aku telah berada didalam mobil Kris. Tidak banyak interaksi antara kami, disepanjang jalan menuju restoran. 

Disaat jarak menuju restoran madurasa tinggal dua kilometer kedepan, mobil Kris tiba-tiba berhenti di tengah jalan.

"Ini kenapa lagi," ucapku sambil mengernyitkan karena kesal, "mobil aja bagus tapi mogok," sambungku.

Tidak ada respon darinya, terlihat Dia langsung turun dari mobilnya dan melihat kondisi mobilnya dari luar.

Akupun langsung keluar karena penasaran.

"Makanya kalau punya mobil itu perbanyak di servis, jangan hanya dipakai saja," ucapku dengan nada mengejek. Sukses membuat amarahnya terpancing mungkin karena malu dengan ucapanku, karena terlihat wajahnya lambat laun memerah dan nafasnya memburu.

"Jika kamu tidak banyak membantu, lebih baik diam saja!" ucapnya sedikit membentak.

"Dibilangin juga," jawabku seadanya.

Aku segera mengambil gawai didalam tas selempangku, terlihat dari ekor mataku Dia melirik ke arah ku mungkin penasaran apa yang aku lakukan dan siapa yang ku hubungi. Setelah selesai mengirimkan pesan ke temanku. Aku memasukkan kembali gawaiku ketempat semula.

"Cepat, aku sudah kesiangan," ajakku ke Kris.

Namun, sudah beberapa langkah aku melangkahkan kakiku. Kris masih setia diam ditempat.

"Kamu mau ikut denganku, tidak?" tanyaku sambil menoleh kebelakang. Namun bukannya menjawab, Dia seakan membisu disana.

'Sabar, Ri. Ingat Dia adalah suamimu,' batinku sambil mengelus dada.

"Mobilmu nanti di derek oleh temanku untuk di masukkan ke bengkel," terangku.

"Kenapa tidak bilang dari tadi," ucapnya sambil melangkah mendahuluiku tanpa ucapan terima kasih.

'Kata Bunda, Dia baik seperti malaikat. Mungkin lebih tepatnya malaikat pencabut nyawa,' gumamku sambil mengepal kuat pergelangan tanganku sampai kuku-kuku jari tanganku memutih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status