1800 M
“Ugh!”
Bibir Bree menyebut keluhan pelan, saat lemparan batu menghantam kepalanya, membubuhkan luka lain di sana. Kepala dan wajahnya memang sudah babak belur.
Selain akibat lemparan batu dan entah benda apapun lagi, wajah Bree memang sudah terluka semenjak mereka membawanya dari penjara tadi.
Langkah Bree yang lambat dianggap tidak mengesankan, maka dia mendapat ‘hadiah’ luka. Mereka menyeretnya dengan paksa menuju kereta dengan penjara kayu, yang akan membawanya ke lapangan, tempat dimana hukuman mati untuknya akan dilakukan.
Sebelum Bree berada dalam posisi ini, dia pernah mengikuti ayahnya menonton proses pemenggalan kepala untuk terhukum mati. Dan Bree ingat, dia tidak bisa tidur nyenyak selama tujuh hari setelahnya.
Dia sama sekali tidak bisa mengerti bagaimana ratusan manusia bisa menikmati tontonan bar-bar yang mengerikan seperti itu dan menganggapnya sebagai hiburan.
Kini Bree merasakan situasi yang sama dengan orang yang dulu dilihatnya, diarak sepanjang jalan sebelum dipenggal.
Keadaan tubuhnya juga persis sama. Meski tak punya cermin, Bree sangat yakin jika tubuhnya saat ini pastilah kotor. Gaun kasar yang dia pakai, pasti penuh dengan noda darah dan juga tanah.
Gaun yang awalnya sudah jauh dari indah itu, keadaannya semakin kumal.
Keadaan mengenaskan itu seharusnya membuatnya menangis, tetapi air mata Bree sudah tidak lagi sanggup untuk menetes. Semuanya telah habis di malam-malam saat dia berharap akan ada yang membebaskan dirinya. Bree berharap akan ada orang baik hati yang akan menolongnya dari segala kesulitan ini.
Namun harapan Bree tentu saja laksana menepuk udara kosong, tidak menghasilkan apapun.
Tidak ada yang datang menolongnya, tidak ada keajaiban yang tiba-tiba membuatnya bebas dari segala fitnah bertubi-tubi yang menghampirinya.Bree mengelus cincin yang ada di jarinya. Bukan cincin pernikahan, itu adalah cincin peninggalan ibunya yang masih berhasil dia simpan sampai sekarang, karena terlihat tidak berharga.
Cincin itu hanya berharga bagi Bree, terutama saat ini. Cincin itu memberinya kekuatan untuk menghadapi kematian. Memberinya harapan akan ada hal baik yang menantinya setelah mati. Harapan dia akan bertemu ibunya setelah mati nanti.
“Naik!” bentak penjaga, yang membuka pintu penjara kayu.
Bree tersentak, lalu menunduk saat menyadari ternyata kereta yang membawanya itu, telah sampai di tengah lapangan.
Orang-orang berteriak mengejek dan menunjuk, terlalu riuh, Bree justru tidak mendengar satupun kalimat jelas, dan bersyukur karenanya. Dia tidak memerlukan hal lain lagi untuk menjadi lebih sengsara daripada sekarang.
Bree mengubah wajahnya menjadi datar. Tidak ingin memperlihatkan dirinya tersiksa ataupun terluka. Denyut pedih antara kedua paha, maupun kepalanya yang terasa seperti berputar, semuanya dia abaikan, agar terlihat baik-baik saja.
Bree ingin orang-orang itu melihat bagaimana wajahnya hanya menampakan kemarahan, bukan takut atau mengiba.
Pengawal itu menunjuk tangga, yang akan membawa Bree menuju panggung pertunjukan hari ini. Dari bawah, Bree bisa melihat guillotine* yang ada di tengah panggung.
Diiringi oleh suara gemerincing rantai yang membelenggu kakinya, Bree menapaki tangga kayu satu demi satu, menuju alat yang akan memisahkan kepala dengan tubuhnya.
Namun, mustahil Bree tidak takut. Semakin langkah kaki membawa tubuhnya ke atas, semakin lututnya gemetar.
Kenyataan keji kembali menubruk Bree saat matanya tertumbuk pada balkon, tempat para bangsawan menonton acara ini.
Dulu Bree bersama ayahnya menempati balkon yang sama, dan balkon itu kini diisi oleh Rad, pria yang seharusnya adalah suaminya.
Saat pandangan mata mereka bertemu, jangankan bersimpati atas keadaan Bree, pria yang kaku dan dingin itu, tidak menampakan emosi apapun.
Dia tidak terlihat benci, marah maupun sedih. Rad terlihat seperti batu yang kebetulan ada di sana dan tidak berguna
Mata Bree bergulir, beralih kepada wanita yang kini ada di sebelah Rad.
Gadis berambut ikal berwarna kecoklatan, membisikkan sesuatu pada telinga Rad. Pria itu tetap tidak bereaksi. Tapi gadis bernama Amber yang seharusnya adalah kakaknya itu, tidak membutuhkan reaksi. Dia melirik ke arah Bree dengan wajah menyunggingkan senyum licik dan puas.
Amber sedang memamerkan kemesraan.
Tubuh Bree perlahan gemetar. Sejak tadi dia bisa bersikap tenang, tapi melihat senyum Amber itu, membuat Bree diserbu oleh amarah yang tertahan.
Bree tidak bisa mengerti bagaimana, tetapi Bree yakin jika Amber dan Rad, adalah dua orang yang bertanggung jawab atas nasib yang saat ini dijalaninya. Mereka berdua pastilah yang membuatnya berada dalam posisi ini.
“Berlutut!”
Bree masih menatap tajam ke arah Rad yang tidak bergerak, mata masih menatapnya dengan dingin. Tidak menunjukkan emosi.
“BERLUTUT!”
Algojo yang bertugas untuk menurunkan guillotine, membentak karena Bree belum bergerak. Dia menekan bahu Bree, memaksanya untuk berlutut.Lutut Bree menekuk dan turun pada posisi yang diinginkan, di depan guillotine yang menantinya kepalanya.
Bree masih menghadap ke arah Rad. Tidak memutuskan kontak mata, karena ingin menghapus semua perasaan yang pernah rasakan untuk pria itu. Semua kebodohan yang membuatnya jatuh cinta kepada pria yang berkulit amat pucat dan pernah disebutnya tampan itu.
Tapi pandangan mata Bree terputus oleh orang yang baru saja naik. Dia akan mengumumkan kejahatan Bree.
“Bree Valois, hari ini akan dihukum pegal karena telah terbukti membunuh Duke Donovan dari Le Mans, juga melakukan perzinahan dengan Prince Benjamin Bourbon. Masih ditambah penghianatan yang hampir menyebabkan King Bourbon IV terbunuh. Demikian, maka saksikanlah!”
Orang itu menggulung kertas yang ada di tangannya, lalu turun tanpa menatap Bree. Sama sekali tidak peduli jika semua tuduhan yang baru saja dia bacakan, satu pun tidaklah benar.
Keinginan Bree untuk berteriak jika itu fitnah, dijegal oleh algojo yang sudah menunggunya.
Dia mendorong tubuh Bree sampai lehernya pas masuk ke dalam cekungan, dan bergegas mengembalikan papan kayu yang berfungsi untuk mengunci tubuh pesakitan.
Bree kini meronta, berlutut dengan leher terjulur.
Tangannya dan bergetar, sementara napasnya memburu. Matanya kembali nyalang menatap Rad, dan melihat pria itu bergerak berdiri, melompat turun dari balkon.
Tapi Bree menutup mata, karena mendengar suara desing pisau guillotine yang ada di atasnya, meluncur turun.
Ini akhir dari napasnya.
***
“Perbaikilah dan jangan menjadi bodoh lagi!”
Bree mengerutkan kening, saat mendengar suara itu. Suara yang salah berasal dari kegelapan entah dimana.
Dengan penasaran, Bree membuka mata, dan dinding kayu di depannya. Napas Bree tersengal dan sulit, sementara matanya membuka kebingungan.
Seharusnya dia mati saat ini.
“Apa ini? Apa mati seperti ini?” Bree memandang sekitar, lalu merasakan tangannya basah. Ada air menetes di tangannya.
Pipinya terasa basah saat tangan Bree menyentuh. Dia lalu menunduk, memeriksa tangannya yang basah. Ini bukan mimpi, karena Bree bisa merasakan air itu.
“Oh!” Bree berseru, saat melihat pakaian apa yang menempel di tubuhnya. Bukan lagi pakaian kasar yang dekil dan kumal penuh darah, tapi gaun indah putih bersih yang penuh renda.
Terasa halus menyentuh kulitnya, karena bahan gaun adalah sutra, yang dibeli dari pedagang Negeri Tengah yang bermata sipit itu. Sutra dari mereka mahal dan bermutu tinggi.
Bree bisa menyebut semua itu, karena gaun yang saat ini ada di tubuhnya adalah gaun pernikahannya.
Pernikahannya bersama Rad. Duke Radford Valois penguasa Marseille. Salah satu daerah yang ada di bawah kekuasaan kerajaan Frankia (Perancis).
Pernikahan yang akhirnya memberinya gelar Duchess Valois, meninggalkan nama Donovan milik ayahnya.
Pernikahan yang dulu dia nantikan dengan bahagia, tapi berubah menjadi petaka.
Semua fakta itu membuat Bree masih mengingat dengan jelas detik-detik apa yang terjadi hari itu, meski sudah enam bulan berlalu.
Bree menggeleng, tidak ingin mengingat kenangan itu, yang terpenting sekarang dia harus segera memikirkan keberadaannya di tempat aneh ini.
“Eh?”
Bree yang masih duduk, kini berpegangan pada kursi tempat duduknya. Ruang tempatnya berada tidak diam tapi bergoyang. Bree memeriksa sekitarnya sekali lagi, dan kini dia sadar sedang ada di mana.
Setelah mengingat detail hari pernikahannya, Bree paham dia ada dimana. Saat ini dia sedang ada di dalam kereta kuda yang membawanya ke kastil Marseille.
Kereta kuda indah dengan tirai berwarna merah yang ada di jendela samping kereta, lalu berbagai ukiran lengkung yang bercat warna emas, jok berwarna merah. Semua sama.
Bree bergeser dan menengok ke samping keluar jendela, pemandangan rawa lebar yang dibatasi oleh langit abu-abu mendung. Dia lalu memandang ke arah depan.
Rad bersama beberapa pengawal, naik di atas kuda hitam miliknya, dia juga memakai jubah yang dipakainya saat pernikahan. Jubah hitam dengan aksen hiasan emas. Bree hanya melihat punggung, tapi dia tahu seperti apa ketampanan Rad dari arah depan.
Dulu Bree menatap punggung itu dengan malu-malu karena memang hari pernikahan itu adalah pertama kalinya dia bertemu dengan Rad. Saat pemberkatan di gereja dia melihat bagaimana Rad sangat tampan.
Tapi perasaannya sangat berbeda saat ini, hanya ada kebencian murni yang menguasai hati Bree, membuatnya ingin melompat dan menerjang ke arah Rad agar dia terjatuh terguling dari kuda, dan mungkin mati jika perlu.
Lalu Bree kembali mengedip, mengatur pikirannya.
“Apa yang sebenarnya terjadi ini? Apa aku menikah dengannya untuk kedua kali?”
"Bagaimana keadaan Anda?" tanya Alex. "Jauh lebih baik. Bagaimana dengan yang lainnya?" Rad bertanya balik. "Saat ini anak buah saya sedang menggiring penonton untuk keluar dari aren. King Bastien dan juga Pangeran, sudah meninggalkan arena sejak tadi, dan kembali ke istana untuk lebih amannya." Alex tidak tidak wajib melapor pada Rad, tapi pertanyaan tegas itu membuatnya dengan otomatis melaporkan keadaan dengan lengkap. "Bagus. Kalian memberi pengawalan yang ketat bukan?" "Tentu saja. Kami menempatkan beliau berdua di kereta yang berbeda, dengan pengawalan ketat." Rad sekali lagi mengangguk puas. "Sekarang Anda yang harus saya kawal kembali ke istana." Alex menjelaskan tugasnya datang ke situ. "D'accord." Rad bangun dari duduk. Dengan cekatan, Alex menghampiri dan membantunya lagi. Tidak perlu, tapi Rad harus mempertahankan keadaan pura-pura sakitnya. "Saya sudah menyiapkan kereta untuk Anda berdua." Bree mengikuti mereka berdua dengan langkah lebar. Menutup mulut, karen
Bree berlari mengikuti orang yang menggotong Rad dalam tandu, melewati kerumunan penonton dan kaum bangsawan yang kini ribut, tak tahu apa yang terjadi. Tapi jelas kehadiran darah dan juga luka, adalah pertunjukan yang semakin menarik untuk mereka. Banyak leher menjulur penasaran ingin melihat apa yang terjadi, dan bagaimana luka Rad. Keributan menyebar, bertanya-tanya bagaimana dan kenapa. Lalu beberapa yang tahu apa yang terjadi mulai berbisik bercerita. Untuk kali ini, Rad tidak mempermasalahkan seluruh perhatian itu, karena itu adalah apa yang dibutuhkannya. Rad lalu dengan sengaja memejamkan mata, meringis kesakitan sambil menekan lukanya, saat digotong melewati kerumunan banyak orang. Tapi Bree juga mendengar desisan itu, semakin panik. Tapi saat akan bertanya bagaimana keadaan Rad, Bree melihat pria itu menggeleng sangat halus, sambil mengedipkan satu matanya. Kurang lebih mengatakan jika tidak perlu khawatir. Bree kini tak tahu harus bereaksi bagaimana, khawatir tapi orang
Karena kecurigaan dari Bastien, Rad dengan terpaksa mengambil jarak yang cukup jauh darinya. Rad harus membuka mata lebih lebar lagi, agar tidak kehilangan sosok Bastien diantara pepohonan. Pria itu rupanya cukup gesit untuk ukuran pria berumur. Setelah memastikan mereka ada pada jarak aman --Bastien tak bisa lagi melihat, Rad mulai melayangkan pandangan untuk memeriksa sekitar. Dia harus memastikan apakah ada musuh di antara semua orang yang ada di hutan itu. Ini masalah menyebalkan baginya, karena dia tidak tahu bagaimana bentuk musuhnya saat ini. Yang dilihatnya pelayan yang menjadi sasaran perburuan berlalu-lalang. Dan mereka yang mendominasi. Jumlah mereka masih banyak. Entah para peserta hari ini payah, atau mungkin para pelayan itu yang sudah mulai ahli untuk bersembunyi dan kabur dari para pemburu. Menurut pandangan Rad, hampir tidak terlihat ada perubahan jumlah pelayan. Seragam mereka masih berkelebat di antara pepohonan. Setelah berpikir sebentar, Rad mengambil anak panah
Usulan Ben tidak bisa lebih buruk lagi.Kalau berada di tribun saja kemungkinan besar akan ada orang yang mengincar Bastien, maka kemungkinan itu akan semakin besar, saat dia berada di tengah hutan belantara, bercampur dengan banyak orang, baik pelayan maupun bangsawan. Kesempatan yang mempermudah Bastien untuk menjadi sasaran. Rad menyamakan ide itu sebagai bencana. “Ternyata ada tradisi seperti itu.” Rad mengeluh, tapi dengan nada datar, yang dianggap Ben sebagai pertanyaan. “Ya, benar. Ayah tentu tak mau kalah bersaing dengan bangsawan yang lain, sekaligus memamerkan kemampuannya,” jelas Ben. Bastien hanya mendengus, tapi tetap berdiri. “Apa ini ide yang bagus?” Bree yang juga menyadari bahaya dari Bastien turun ke langsung mengikuti perlombaan, bertanya dengan terlalu berani. “Tentu saja ini ide yang bagus, Bree. Apa maksudmu bertanya itu?” Ben mengernyit ke arahnya. Tentu merasa pertanyaan itu aneh. “Tidak ada. Hanya menurutku hutan adalah daerah yang berbahaya.” Bree me
“Apa kau tidak setuju dengan usulanku?” tanya Rad. Sambil menarik Bree, agar lebih dekat bersama selimut yang menutupi mereka. Mereka ada salah satu kamar yang ada di istana megah itu. Tentu setelah bertemu dengan Ben, tak mungkin mereka kembali ke penginapan. Mereka menghabiskan malam yang cukup tenang di istana. Dan kini sebentar lagi mereka harus bersiap untuk menghadiri lomba terkutuk itu. “Usulan?” Bree berbalik menghadap Rad yang berbaring miring sejak tadi. “Usulan tentang Le Mans. Sejak kemarin kau diam tak membahas hal itu.” Sepanjang makan malam, sampai pagi hari ini, Bree sama sekali tak membahas usulan Rad. Mereka tetap bicara biasa tentang hal lain--kebanyakan mengomentari istana yang mulai terlihat terlalu penuh, tapi tidak membahas. Dan Rad kini mulai merasa jika mungkin dia terlalu berlebihan, jadi membuat Bree keberatan. Usulan yang dikeluarkannya kemarin spontan, tanpa meminta pertimbangan Bree atau apa pun. Dan setelahnya, Rad juga menghirup aroma lezat dari B
Seperti Ben, Bastien dengan sopan mengucapkan duka cita untuk Bree begitu dia sampai di tempat mereka minum teh. Untuk masalah sopan santun, mereka berdua jelas tidak bercela, hanya kadang penalarannya yang tidak masuk akal. “Aku dengar dari Ben kau kesini untuk menghibur diri,” kata Bastien. Bree mengangguk, tapi tidak meneruskan karena Rad yang mengambil alih. Dia yang membuat alasan ini. “Benar, Yang Mulia. Bree sedikit terpukul dengan kepergian ayahnya. Jadi saya memutuskan untuk membawanya ke sini. Kami sedang ada di Le Mans, jadi perjalanan ke sini tak akan terlalu jauh.” “Tapi kau tanpa pemberitahuan, Rad. Seharusnya kau bisa berkunjung dengan lebih resmi, maka kami akan menyambutmu.” Bastien menggelengkan kepala. “Perjalanan ini memang tidak direncanakan. Saya memutuskan untuk ke sini setelah melihat keadaan Bree yang yang murung.” Rad memang sudah menyiapkan alasan yang kuat, jadi tidak akan mudah diserang. “Oh... Aku mengerti. Kau datang ke sini bukan untuk kunjunga