Bree menunduk memijat kepalanya dengan kedua tangan yang juga masih tertutup sarung tangan putih, bagian dari gaun pengantin.
Dia menolak mempercayai jika dia harus mengalami pernikahan ini dua kali, tapi apa yang saat ini di depan mata mempertunjukkan hal yang sebaliknya.
“Ah… Tidak. Ini pasti mimpi! Atau aku sudah mati. Apa aku menjadi hantu penasaran yang mengikuti kemanapun Rad pergi?”
Bree menimbang berbagai kenyataan yang mungkin.
Dia tidak percaya dengan hantu meski sering mendengar jerit aneh saat malam-malam dalam kastil, tapi siapa yang tahu hal itu bisa terwujud. Jika menjadi hantu, Bree tidak keberatan menghantui Rad.
Jika beruntung mungkin dia bisa mencekiknya sampai mati seperti kisah horor yang diceritakan ibunya dulu.
Bree memandang rawa di luar jendela, dan kembali mengingat apa yang terjadi hari pada hari pernikahannya. Perjalanan mereka ke Marseille tidak lancar, roda kereta mewah ini akan masuk ke lubang, dan mereka berhenti beberapa lama di tepi hutan. Lantas perampok menyerang.
Perampok malang, karena Rad dan pasukannya dengan mudah mengalahkan mereka.
GLAK!
Baru saja Bree akan menyingkirkan pikiran itu, kereta yang dia tumpangi terguncang. Bree sesaat memandang keluar.
“Tidak mungkin! Ini mustahil!”
Bree membuka pintu kereta yang ada di samping lututnya untuk memandang keluar. Tidak diragukan lagi mereka ada di tepi hutan. Bree bisa melihat pucuk kumpulan pohon dan jajaran batang kayu berdiri rapat.
“Non!” (Tidak!)
Bree memekik pelan saat melihat gerombolan perampok yang memang sejak awal sengaja memasang jebakan agar keretanta terperosok, bermunculan dari balik pohon.
Apa yang terjadi saat ini sangat sesuai dengan apa yang ada dalam ingatan Bree. Perampok itu ada sekitar sepuluh orang.
Semuanya memakai topi lebar, sementara wajahnya tertutup kain, dengan pedang tipis dan runcing terhunus di tangan.
Bree membuka pintu, turun dan berdiri di samping kereta untuk memastikan jika semua ini adalah pengulangan. Mimpi ini terasa begitu nyata.
“Apa menjadi hantu berarti mengulang masa paling menyebalkan dalam kehidupan?” Bree mengguman pelan.
“Kalian mencari mati saja!” Teriakan nyaring terdengar
Itu adalah Rad. Dan persis sama, Bree ingat kata demi kata teriakan itu. Tapi dulu Bree hanya mendengar, karena dia meringkuk ketakutan di dalam kereta. Untuk kali ini, Bree melihat wajah Rad yang marah, sambil menunjuk orang yang menghadang mereka itu.
Lalu seolah ada orang yang melempar batu untuk mengagetkan, semua orang bergerak bersama, dan denting besi pedang beradu memenuhi udara.
Bree hanya bisa terpana, memandang apa yang sedang terjadi di depannya. Semua baru untuknya.
Ingatan Bree yang dulu, hanya berhenti saat dia melihat perampok, lalu bergegas meringkuk di dalam kereta, sama sekali tidak melihat bagaimana Rad dan para pengawal membasmi semua orang itu.
Dulu Bree tidak melihat bagaimana Rad bergerak lincah, memutar tubuh dengan cepat, sementara tangannya berayun menyabetkan pedang yang ada di tangannya, dengan wajah penuh amarah.
Bree nyaris tidak pernah melihat Rad menunjukkan emosi, kecuali saat dia terlihat puas saat memeluk tubuh wanita simpanannya. Bree pernah memergokinya saat memeluk wanita lain dengan wajah puas, dan Rad juga tahu, tapi tidak terlihat bersalah saat hal itu terjadi.
Bree mengira emosinya mati. Tapi ternyata tidak.
Di sini Bree melihat bagaimana Rad berlari ke arah dirinya dengan sangat cepat. Lalu dia menusukkan pedang di tangannya pada salah satu perampok yang ternyata sudah begitu dekat dengan Bree. Perampok itu sudah mengangkat pedang berniat menyerang Bree.
Jarak yang begitu dekat tidak terlihat oleh Bree karena dia terlalu fokus pada Rad. Bree mengedip perlahan, saat wajah dan gaunnya terciprat darah penyerangnya itu. Basah.
“Apa kau ingin mati juga seperti mereka? Untuk apa kau di luar?!” bentak Rad dengan mata melotot memandang Bree, yang juga memandangnya.
Napas Rad memburu karena kesal, sementara wajahnya juga penuh cipratan darah. Bree perlahan mengusap darah di wajahnya sendiri.
“Kau bisa melihatku? Maksudku… Aku hidup?” Bree sekali lagi menatap warna merah pada wajahnya. Tadi Bree berharap dia hantu jadi Rad tidak akan melihatnya.
“Kau pikir aku buta?! Dan kau tidak akan hidup lebih lama jika terus berada di sini! Masuk!”
Rad menunjuk pintu kereta, dengan rahang mengatup erat, seolah sedang menahan keinginan untuk tidak meledak seperti meriam.
Bree perlahan melangkah naik ke dalam kereta, setelah itu Rad membanting pintu itu sampai menutup.
Bree duduk bersandar di dalam kereta dengan mata kosong, dan pikiran kembali berkelana.
Satu hal pasti dan jelas sekarang, dirinya masih hidup karena Rad melihatnya, juga perampok yang tadi. Bree tidak sedang bermimpi, maupun menjadi hantu. Saat ini dia sedang mengulang kehidupan yang sama.
Kejadian yang sama di hari pernikahannya dulu, dengan sedikit perbedaan, karena dia memutuskan untuk turun dari kereta, membuat gaun pengantinnya kotor penuh darah.
Bree menekuk tubuh, membenamkan wajah pada pahanya. Dia tidak mengerti kenapa semua ini terjadi. Namun, satu hal yang pasti, Bree tidak ingin mengulang, dia tidak ingin mengulang kehidupannya dalam masa ini.
Dirinya kehilangan begitu banyak hal, dan hatinya tersakiti begitu dalam. Bentuk luka dan kesakitan yang tidak ingin dia hadapi lagi.
Namun, kemudian Bree tersentak dan menegakkan tubuh. Menyadari satu hal paling penting.
Dirinya memang mengalami banyak kesakitan dan juga kehilangan, tapi sekarang Bree tahu semua hal itu akan terjadi kapan dan bagaimana.
Bree bisa mencegahnya.
Seperti gaunnya yang kini ternoda darah karena turun dari kereta, keputusan yang berbeda akan menghasilkan nasib berbeda, hasil berbeda.
Bree meremas bagian gaun putih yang menutupi lututnya dengan amat kencang.
“Aku akan mengubahnya.” Bree berguman, lalu perlahan tersenyum. Senyum dingin yang tidak mencapai matanya.
Ya, semua orang boleh menyiksanya, semua orang bisa tertawa atas penderitaannya, tapi kali ini adalah gilirannya tertawa. Gilirannya untuk merasa menang dan mengubah kedudukan.
Pembalasan.
Dan satu yang paling penting, dia harus memastikan untuk membalas Rad, dan juga tidak jatuh cinta pada pria itu. Segala bentuk pengkhianatan, tidak akan membuatnya sakit hati tanpa perasaan itu.
Bree menghela napas, kembali menatap rawa yang ada di luar sana.
Awalnya mungkin terlihat buruk, tapi pengulangan ini tidak buruk. Bree mulai merasa ini menyenangkan.
Tidak akan lagi ada Bree yang polos dan penurut. Dia akan mengubah nasibnya yang berujung kematian mengenaskan itu. Pasti.
***
Perjalanan itu membuat mereka tiba di kastil Marseilles sudah hampir tengah malam. Tidak ada apapun yang terlihat, karena cahaya obor hanya menerangi petak kecil halaman kastil. Namun, Bree tidak membutuhkan banyak cahaya.
Meski hanya beberapa bulan tinggal di kastil ini, Bree cukup mempunyai ingatan cukup tentang detail tempat ini.Bree menghirup udara malam dalam-dalam, segar bercampur aroma laut. Kastil Marseilles memang berada di puncak bukit, sementara bibir pantai terletak tak jauh di kaki bukit..
Tempat ini indah, Bree tidak akan mengutuk tempat seindah kastil ini. Yang salah hanyalah para penghuninya. Tetapi Bree punya cara untuk memperbaikinya kini.
Bree kembali menatap punggung Rad, yang kini ada di depan mereka, menyusuri lorong remang gerbang dan memasuki bangunan utama kastil.
Kastil batu itu masih seperti ingatan Bree, kokoh, dingin dengan warna coklat pucat. Saat mereka melewati ruang makan, Bree sedikit bergeser mendekati meja. Dengan sangat cepat, tangannya menyambar pisau buah yang ada di atas meja, dan menyusupkan pisau itu ke dalam lengan gaun.
Bree bertekad untuk membuat perbedaan lain malam ini.
"Bagaimana keadaan Anda?" tanya Alex. "Jauh lebih baik. Bagaimana dengan yang lainnya?" Rad bertanya balik. "Saat ini anak buah saya sedang menggiring penonton untuk keluar dari aren. King Bastien dan juga Pangeran, sudah meninggalkan arena sejak tadi, dan kembali ke istana untuk lebih amannya." Alex tidak tidak wajib melapor pada Rad, tapi pertanyaan tegas itu membuatnya dengan otomatis melaporkan keadaan dengan lengkap. "Bagus. Kalian memberi pengawalan yang ketat bukan?" "Tentu saja. Kami menempatkan beliau berdua di kereta yang berbeda, dengan pengawalan ketat." Rad sekali lagi mengangguk puas. "Sekarang Anda yang harus saya kawal kembali ke istana." Alex menjelaskan tugasnya datang ke situ. "D'accord." Rad bangun dari duduk. Dengan cekatan, Alex menghampiri dan membantunya lagi. Tidak perlu, tapi Rad harus mempertahankan keadaan pura-pura sakitnya. "Saya sudah menyiapkan kereta untuk Anda berdua." Bree mengikuti mereka berdua dengan langkah lebar. Menutup mulut, karen
Bree berlari mengikuti orang yang menggotong Rad dalam tandu, melewati kerumunan penonton dan kaum bangsawan yang kini ribut, tak tahu apa yang terjadi. Tapi jelas kehadiran darah dan juga luka, adalah pertunjukan yang semakin menarik untuk mereka. Banyak leher menjulur penasaran ingin melihat apa yang terjadi, dan bagaimana luka Rad. Keributan menyebar, bertanya-tanya bagaimana dan kenapa. Lalu beberapa yang tahu apa yang terjadi mulai berbisik bercerita. Untuk kali ini, Rad tidak mempermasalahkan seluruh perhatian itu, karena itu adalah apa yang dibutuhkannya. Rad lalu dengan sengaja memejamkan mata, meringis kesakitan sambil menekan lukanya, saat digotong melewati kerumunan banyak orang. Tapi Bree juga mendengar desisan itu, semakin panik. Tapi saat akan bertanya bagaimana keadaan Rad, Bree melihat pria itu menggeleng sangat halus, sambil mengedipkan satu matanya. Kurang lebih mengatakan jika tidak perlu khawatir. Bree kini tak tahu harus bereaksi bagaimana, khawatir tapi orang
Karena kecurigaan dari Bastien, Rad dengan terpaksa mengambil jarak yang cukup jauh darinya. Rad harus membuka mata lebih lebar lagi, agar tidak kehilangan sosok Bastien diantara pepohonan. Pria itu rupanya cukup gesit untuk ukuran pria berumur. Setelah memastikan mereka ada pada jarak aman --Bastien tak bisa lagi melihat, Rad mulai melayangkan pandangan untuk memeriksa sekitar. Dia harus memastikan apakah ada musuh di antara semua orang yang ada di hutan itu. Ini masalah menyebalkan baginya, karena dia tidak tahu bagaimana bentuk musuhnya saat ini. Yang dilihatnya pelayan yang menjadi sasaran perburuan berlalu-lalang. Dan mereka yang mendominasi. Jumlah mereka masih banyak. Entah para peserta hari ini payah, atau mungkin para pelayan itu yang sudah mulai ahli untuk bersembunyi dan kabur dari para pemburu. Menurut pandangan Rad, hampir tidak terlihat ada perubahan jumlah pelayan. Seragam mereka masih berkelebat di antara pepohonan. Setelah berpikir sebentar, Rad mengambil anak panah
Usulan Ben tidak bisa lebih buruk lagi.Kalau berada di tribun saja kemungkinan besar akan ada orang yang mengincar Bastien, maka kemungkinan itu akan semakin besar, saat dia berada di tengah hutan belantara, bercampur dengan banyak orang, baik pelayan maupun bangsawan. Kesempatan yang mempermudah Bastien untuk menjadi sasaran. Rad menyamakan ide itu sebagai bencana. “Ternyata ada tradisi seperti itu.” Rad mengeluh, tapi dengan nada datar, yang dianggap Ben sebagai pertanyaan. “Ya, benar. Ayah tentu tak mau kalah bersaing dengan bangsawan yang lain, sekaligus memamerkan kemampuannya,” jelas Ben. Bastien hanya mendengus, tapi tetap berdiri. “Apa ini ide yang bagus?” Bree yang juga menyadari bahaya dari Bastien turun ke langsung mengikuti perlombaan, bertanya dengan terlalu berani. “Tentu saja ini ide yang bagus, Bree. Apa maksudmu bertanya itu?” Ben mengernyit ke arahnya. Tentu merasa pertanyaan itu aneh. “Tidak ada. Hanya menurutku hutan adalah daerah yang berbahaya.” Bree me
“Apa kau tidak setuju dengan usulanku?” tanya Rad. Sambil menarik Bree, agar lebih dekat bersama selimut yang menutupi mereka. Mereka ada salah satu kamar yang ada di istana megah itu. Tentu setelah bertemu dengan Ben, tak mungkin mereka kembali ke penginapan. Mereka menghabiskan malam yang cukup tenang di istana. Dan kini sebentar lagi mereka harus bersiap untuk menghadiri lomba terkutuk itu. “Usulan?” Bree berbalik menghadap Rad yang berbaring miring sejak tadi. “Usulan tentang Le Mans. Sejak kemarin kau diam tak membahas hal itu.” Sepanjang makan malam, sampai pagi hari ini, Bree sama sekali tak membahas usulan Rad. Mereka tetap bicara biasa tentang hal lain--kebanyakan mengomentari istana yang mulai terlihat terlalu penuh, tapi tidak membahas. Dan Rad kini mulai merasa jika mungkin dia terlalu berlebihan, jadi membuat Bree keberatan. Usulan yang dikeluarkannya kemarin spontan, tanpa meminta pertimbangan Bree atau apa pun. Dan setelahnya, Rad juga menghirup aroma lezat dari B
Seperti Ben, Bastien dengan sopan mengucapkan duka cita untuk Bree begitu dia sampai di tempat mereka minum teh. Untuk masalah sopan santun, mereka berdua jelas tidak bercela, hanya kadang penalarannya yang tidak masuk akal. “Aku dengar dari Ben kau kesini untuk menghibur diri,” kata Bastien. Bree mengangguk, tapi tidak meneruskan karena Rad yang mengambil alih. Dia yang membuat alasan ini. “Benar, Yang Mulia. Bree sedikit terpukul dengan kepergian ayahnya. Jadi saya memutuskan untuk membawanya ke sini. Kami sedang ada di Le Mans, jadi perjalanan ke sini tak akan terlalu jauh.” “Tapi kau tanpa pemberitahuan, Rad. Seharusnya kau bisa berkunjung dengan lebih resmi, maka kami akan menyambutmu.” Bastien menggelengkan kepala. “Perjalanan ini memang tidak direncanakan. Saya memutuskan untuk ke sini setelah melihat keadaan Bree yang yang murung.” Rad memang sudah menyiapkan alasan yang kuat, jadi tidak akan mudah diserang. “Oh... Aku mengerti. Kau datang ke sini bukan untuk kunjunga