Share

#003 Kau yang Tertolak

Author: aisakurachan
last update Last Updated: 2025-07-03 08:22:25

“Duchess Valois, selamat malam. Selamat datang di Marseilles.”

Seorang pelayang menanti Bree di depan kamar. Pelayan sopan dan manis. Dia juga tersenyum ramah tanpa cela. Dia adalah Aima, pelayan yang akan memenuhi kebutuhannya sehari-hari di kastil ini.

“Perkenalkan, saya Aima. Saya yang akan melayani Anda di sini.”

Kalimat Aima persis sama seperti yang Bree ingat. Artinya dia juga akan persis sama seperti dulu. Culas, dan ada bersamanya hanya sebagai mata-mata Irene, ibu dari Rad.

Bree punya sesuatu untuk Aima pastinya, tapi tidak sekarang. Rad lebih penting.

“Terima kasih.” Bree menjawab sopan, seperti biasa.

“Minggir!” Suara dingin menyahut, membuat Bree menyingkir seketika.

Bree ingin mengutuk dirinya sendiri setelah itu. Gerak reflek tubuhnya masih mengikuti suara itu dengan patuh.

Seharusnya dia tidak perlu sepatuh itu pada Rad. Pria itu kini berjalan masuk ke kamarnya, kamar mereka.

“Saya akan membantu Anda.” Aima menunjuk ke pintu yang baru saja Rad lewati.

“Untuk malam ini tidak perlu. Kau istirahat saja. Aku bisa sendiri.”

Bree memandang Aima dengan tegas. Aima terlihat kaget, tapi kemudian mundur setelah membungkuk, tidak mengikuti Bree masuk ke kamar. Ya, dia harus belajar siapa penguasa di sini.

Bree dulu bahkan tidak bisa memerintah Aima dengan leluasa karena canggung dan takut-takut.

Langkah kaki Bree saat masuk ke dalam kamar sedikit gemetar. Ini adalah saat dimana dia harus melawan, saat dirinya mengalami luka terbesar.

“Kita bisa!” Bree bergumam amat pelan. Kita adalah dirinya di masa lalu, dan dirinya yang bangkit dari kematian.

Bree sedang mengumpulkan keberanian.

Kamar mewah dengan tempat tidur besar dan penuh pernik keemasan itu, masih terlihat mengancam seperti yang Bree ingat. Bree benci ranjang itu, karena mengingatkan akan malam-malam yang dihabiskannya dalam tangis menanti Rad.

Pria itu sekarang berdiri di dekat meja, entah mengawasi apa, tapi kepalanya menunduk sementara di meja terbuka sebuah surat. Tapi dia tidak mungkin membaca, cahaya lilin tidak sampai pada sudut itu. Terlalu gelap untuk membaca.

Dia menoleh saat mendengar langkah Bree, sambil melepas jubah yang penuh darah akibat perampok tadi.

“Kau…”

“Aku tidak ingin kau menyentuhku!” Bree berseru lantang, memotong kalimat Rad. Bree menolak terlebih dahulu sebelum mendengar kata-kata menyakitkan dari Rad.

Bree masih ingat kata demi kata ucapan Rad malam itu.

‘Kau tidak perlu melakukan apapun. Aku tidak akan menyentuhmu malam ini.’

Kata itu yang tadi seharusnya diucapkan Rad, tapi Bree memotongnya dengan penolakan untuk menyelamatkan harga dirinya.

Bree bersyukur dalam hati karena tidak terdengar gemetar, berbeda dengan kakinya. Namun, kakinya tertutup rok lebar, maka penampilan perlawanan Bree terlihat sempurna.

Mata Rad yang tadi membuka lebar, perlahan menyipit.

“Apa…”

“Apa belum jelas? Aku bilang, aku tidak mau kau menyentuhku! Seujung jari pun!”

Bree mengulang dengan lebih keras. Menatap Rad dengan mata birunya yang kini membuka lebar.

“Kau menerima perjodohan ini, tapi menolakku?” tanya Rad, suaranya jelas terheran-heran.

Suara yang biasa tak bernada itu, kembali menunjukkan emosi untuk kedua kali hari ini.

“Ya! Apa aneh?” Bree menantang.

“Aneh, karena ayahmu jelas mengatakan kau ada di sini setelah menerima perjodohan ini dengan rela dan riang gembira.”

Bree kembali goyah saat ayahnya disebut. Itu adalah daftar lain hal yang harus dia lakukan. Menyelamatkan ayahnya. Tapi itu nanti, sekarang Bree ingin sekali menegur ayahnya. Dia tidak ingat pernah terlihat riang gembira saat menerima perjodohan itu.

Bree memang rela karena tahu perjodohan itu penting untuk ayahnya, tapi tidak mungkin terlihat riang gembira. Bree malah awalnya mengira jika Rad adalah pria tua setengah baya. Tidak mungkin dia gembira mendengar perjodohan itu.

Kegembiraan baru datang pada Bree saat mereka bertemu di gereja tadi pagi. Saat melihat bagaimana wajah Rad, tapi sekarang kegembiraan itu adalah sampah. Bree tidak ingin mengingat lagi.

“Aku tidak pernah gembira atas perjodohan ini!” Bree membantah setelah menemukan suara.

“Hmm…” Rad hanya bergumam.

“Lalu apa maumu?” tanyanya.

“Seperti yang aku bilang tadi, aku tidak ingin disentuh olehmu!”

Rad memandang Bree, lalu berjalan mendekat.

“Jadi kau akan ada di sini sebagai istriku tapi tidak berguna? Hanya ada saja?”

Bree mengacungkan pisau yang tadi dia ambil dari meja, membuat langkah Rad terhenti.

“Jangan mendekat!” Bree membawa pisau itu agar Rad mengerti jika dirinya tidak sudi tangannya itu menyentuhnya.

“Kau mengancamku?” Rad jelas terlihat semakin takjub.

“Ya! Coba saja mendekat, aku akan…”

TLANG!

Napas Bree tertahan, saat entah bagaimana tiba-tiba tangan Rad sudah menyapu pisau yang ada di tangannya. Pisau itu jatuh ke lantai. Dengan mudahnya dia menepis perlawanan Bree.

Rad kini tepat ada di hadapan Bree. Menatapnya dengan mata iris berwarna hazel yang indah itu. Apa yang ada pada Rad memang sempurna kecuali isi kepalanya.

Bree sebenarnya ingin memekik karena kaget, tapi berhasil menggigit lidahnya menahan teriakan. Tadi dia sama sekali tidak melihat bagaimana Rad bergerak. Seharusnya masih ada jarak beberapa meter di antara mereka.

“Kau berani sekali!” Rad menggeram.

“Ya, aku berani, dan kenapa? Kau akan membunuhku? Coba saja!” Tantangan kembali datang dari Bree.

Bree tahu saat ini Rad membutuhkan dirinya, paling tidak saat ini Rad tidak akan membunuhnya meski apapun yang dia lakukan. Perjodohan mereka berdasar atas keuntungan pada dua belah pihak. Bree tidak tahu apa, tapi tentu Rad membutuhkan sesuatu dari ayahnya.

“Lucu sekali.” Rad kini tersenyum.

Bukan jenis senyum ramah dan hangat, hanya senyum sinis dan dingin. Dia menghina usaha Bree untuk menolaknya.

“Aku juga tidak terlalu menginginkanmu sebenarnya. Aku benci wanita yang penurut dan hanya tahu menyenangkan orang lain. Tapi kau cukup menarik ternyata.”

Bree mengedip beberapa kali.

“Kau tidak menarik!” Bree membalas singkat, tajam dan menusuk. Meski kakinya melangkah mundur, tapi lidahnya berhasil maju menyakiti.

Rad kembali melayangkan senyum yang sama, sambil membuka kancing leher blus berwarna putih yang masih dia pakai.

“Aku memang tidak berencana untuk menyentuhmu, jangan khawatir.”

Dan begitu saja, Rad berjalan keluar kamar.

“”Camp!” Rad berseru, dia memanggil Campy, pelayan pribadinya, seraya menutup pintu.

Panggilan biasa, tapi Bree tahu benar apa yang akan terjadi. Dia sering mendengar panggilan dengan nada tegas menuntut seperti itu.

Bree tidak ingin mengulang yang buruk, tapi untuk kali ini dia ingin melihat karena harus. Dia memerlukan ini untuk menebalkan niat. Niatnya untuk membenci Rad. Dulu Bree melihatnya dengan tidak sengaja, tapi sekarang Bree sengaja.

Tangannya dengan pelan membuka pintu kamar, lalu berjalan menuju pinggir pagar pembatas lantai dua. Posisi yang membuatnya bisa menatap lantai satu dengan cukup leluasa.

Terlihat Rad turun menghampiri Campy yang berdiri di samping gadis muda berambut pirang, yang wajahnya terlihat berbinar saat melihat Rad mendekat.

Gadis itu memakai gaun yang berbahan cukup bagus, pertanda dia berasal dari kelas menengah. Tidak mewah ala bangsawan seperti gaun milik Bree, maupun kusam ala pelayan seperti Aima.

Tidak ada yang salah dari bahan gaunnya, hanya bentuknya saja yang memperlihatkan dada membusung tinggi dan menonjol.

Bree tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi bisa menebak tentang apa, karena wajah gadis itu semakin cerah, apalagi saat tangan Rad terulur menyentuh lehernya.

Gadis itu terlihat seperti akan meleleh dan goyah. Siapa yang tidak, jika pria dengan wajah Rad mengatakan menginginkannya?

Tangan Rad terus mengusap turun tak hanya di leher, tapi juga bahu, dan sampai kebagian yang menonjol. Gadis itu menggigit bibir, dengan pandangan sayu menatap Rad.

Rad mengangkat tubuhnya, dengan wajah membenam ke bagian leher, membawa gadis yang kini memejamkan mata itu, memasuki salah satu kamar di lantai satu.

Tangan Bree mencengkram pagar pembatas dengan amat erat, sampai terlihat pucat, tapi kemudian melepaskannya dan berjalan masuk kembali ke dalam kamar.

Saat itulah kakinya menyerah. Bree terpuruk dan terduduk di lantai dengan rok membuka lebar di sekitarnya.

Air matanya mengalir turun, tanpa bisa dia cegah. Bree salah untuk yang satu ini, sakit yang dia rasakan ternyata lebih buruk.

Dulu Bree merasa terhina dan buruk, saat melihat Rad membawa wanita lain di malam pertama mereka, maka kini sakit itu semakin menjadi karena dia sudah sempat mencintainya setelah ini.

Ini mungkin jalan baru yang dia pilih, tapi jiwa dan hatinya tidak baru. Perasaan yang sudah Bree anggap mati itu ternyata masih bisa menyakitinya.

Dengan tangan bertumpu pada lantai, sementara air mata menetes pada karpet di lantai, Bree kembali bertekad untuk melupakan semua itu.

Bree yang lemah dan penurut itu telah mati. Tidak akan ada lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Duchess : Terlahir Kembali Demi Dendam   #187 Alasan yang Lengkap

    "Bagaimana keadaan Anda?" tanya Alex. "Jauh lebih baik. Bagaimana dengan yang lainnya?" Rad bertanya balik. "Saat ini anak buah saya sedang menggiring penonton untuk keluar dari aren. King Bastien dan juga Pangeran, sudah meninggalkan arena sejak tadi, dan kembali ke istana untuk lebih amannya." Alex tidak tidak wajib melapor pada Rad, tapi pertanyaan tegas itu membuatnya dengan otomatis melaporkan keadaan dengan lengkap. "Bagus. Kalian memberi pengawalan yang ketat bukan?" "Tentu saja. Kami menempatkan beliau berdua di kereta yang berbeda, dengan pengawalan ketat." Rad sekali lagi mengangguk puas. "Sekarang Anda yang harus saya kawal kembali ke istana." Alex menjelaskan tugasnya datang ke situ. "D'accord." Rad bangun dari duduk. Dengan cekatan, Alex menghampiri dan membantunya lagi. Tidak perlu, tapi Rad harus mempertahankan keadaan pura-pura sakitnya. "Saya sudah menyiapkan kereta untuk Anda berdua." Bree mengikuti mereka berdua dengan langkah lebar. Menutup mulut, karen

  • Duchess : Terlahir Kembali Demi Dendam   #188 Fitnah yang Nyata

    Bree berlari mengikuti orang yang menggotong Rad dalam tandu, melewati kerumunan penonton dan kaum bangsawan yang kini ribut, tak tahu apa yang terjadi. Tapi jelas kehadiran darah dan juga luka, adalah pertunjukan yang semakin menarik untuk mereka. Banyak leher menjulur penasaran ingin melihat apa yang terjadi, dan bagaimana luka Rad. Keributan menyebar, bertanya-tanya bagaimana dan kenapa. Lalu beberapa yang tahu apa yang terjadi mulai berbisik bercerita. Untuk kali ini, Rad tidak mempermasalahkan seluruh perhatian itu, karena itu adalah apa yang dibutuhkannya. Rad lalu dengan sengaja memejamkan mata, meringis kesakitan sambil menekan lukanya, saat digotong melewati kerumunan banyak orang. Tapi Bree juga mendengar desisan itu, semakin panik. Tapi saat akan bertanya bagaimana keadaan Rad, Bree melihat pria itu menggeleng sangat halus, sambil mengedipkan satu matanya. Kurang lebih mengatakan jika tidak perlu khawatir. Bree kini tak tahu harus bereaksi bagaimana, khawatir tapi orang

  • Duchess : Terlahir Kembali Demi Dendam   #187 Luka yang Sengaja

    Karena kecurigaan dari Bastien, Rad dengan terpaksa mengambil jarak yang cukup jauh darinya. Rad harus membuka mata lebih lebar lagi, agar tidak kehilangan sosok Bastien diantara pepohonan. Pria itu rupanya cukup gesit untuk ukuran pria berumur. Setelah memastikan mereka ada pada jarak aman --Bastien tak bisa lagi melihat, Rad mulai melayangkan pandangan untuk memeriksa sekitar. Dia harus memastikan apakah ada musuh di antara semua orang yang ada di hutan itu. Ini masalah menyebalkan baginya, karena dia tidak tahu bagaimana bentuk musuhnya saat ini. Yang dilihatnya pelayan yang menjadi sasaran perburuan berlalu-lalang. Dan mereka yang mendominasi. Jumlah mereka masih banyak. Entah para peserta hari ini payah, atau mungkin para pelayan itu yang sudah mulai ahli untuk bersembunyi dan kabur dari para pemburu. Menurut pandangan Rad, hampir tidak terlihat ada perubahan jumlah pelayan. Seragam mereka masih berkelebat di antara pepohonan. Setelah berpikir sebentar, Rad mengambil anak panah

  • Duchess : Terlahir Kembali Demi Dendam   #186 Ide yang Buruk

    Usulan Ben tidak bisa lebih buruk lagi.Kalau berada di tribun saja kemungkinan besar akan ada orang yang mengincar Bastien, maka kemungkinan itu akan semakin besar, saat dia berada di tengah hutan belantara, bercampur dengan banyak orang, baik pelayan maupun bangsawan. Kesempatan yang mempermudah Bastien untuk menjadi sasaran. Rad menyamakan ide itu sebagai bencana. “Ternyata ada tradisi seperti itu.” Rad mengeluh, tapi dengan nada datar, yang dianggap Ben sebagai pertanyaan. “Ya, benar. Ayah tentu tak mau kalah bersaing dengan bangsawan yang lain, sekaligus memamerkan kemampuannya,” jelas Ben. Bastien hanya mendengus, tapi tetap berdiri. “Apa ini ide yang bagus?” Bree yang juga menyadari bahaya dari Bastien turun ke langsung mengikuti perlombaan, bertanya dengan terlalu berani. “Tentu saja ini ide yang bagus, Bree. Apa maksudmu bertanya itu?” Ben mengernyit ke arahnya. Tentu merasa pertanyaan itu aneh. “Tidak ada. Hanya menurutku hutan adalah daerah yang berbahaya.” Bree me

  • Duchess : Terlahir Kembali Demi Dendam   #185 Masalah yang Itu

    “Apa kau tidak setuju dengan usulanku?” tanya Rad. Sambil menarik Bree, agar lebih dekat bersama selimut yang menutupi mereka. Mereka ada salah satu kamar yang ada di istana megah itu. Tentu setelah bertemu dengan Ben, tak mungkin mereka kembali ke penginapan. Mereka menghabiskan malam yang cukup tenang di istana. Dan kini sebentar lagi mereka harus bersiap untuk menghadiri lomba terkutuk itu. “Usulan?” Bree berbalik menghadap Rad yang berbaring miring sejak tadi. “Usulan tentang Le Mans. Sejak kemarin kau diam tak membahas hal itu.” Sepanjang makan malam, sampai pagi hari ini, Bree sama sekali tak membahas usulan Rad. Mereka tetap bicara biasa tentang hal lain--kebanyakan mengomentari istana yang mulai terlihat terlalu penuh, tapi tidak membahas. Dan Rad kini mulai merasa jika mungkin dia terlalu berlebihan, jadi membuat Bree keberatan. Usulan yang dikeluarkannya kemarin spontan, tanpa meminta pertimbangan Bree atau apa pun. Dan setelahnya, Rad juga menghirup aroma lezat dari B

  • Duchess : Terlahir Kembali Demi Dendam   #184 Pengganti yang Benar

    Seperti Ben, Bastien dengan sopan mengucapkan duka cita untuk Bree begitu dia sampai di tempat mereka minum teh. Untuk masalah sopan santun, mereka berdua jelas tidak bercela, hanya kadang penalarannya yang tidak masuk akal. “Aku dengar dari Ben kau kesini untuk menghibur diri,” kata Bastien. Bree mengangguk, tapi tidak meneruskan karena Rad yang mengambil alih. Dia yang membuat alasan ini. “Benar, Yang Mulia. Bree sedikit terpukul dengan kepergian ayahnya. Jadi saya memutuskan untuk membawanya ke sini. Kami sedang ada di Le Mans, jadi perjalanan ke sini tak akan terlalu jauh.” “Tapi kau tanpa pemberitahuan, Rad. Seharusnya kau bisa berkunjung dengan lebih resmi, maka kami akan menyambutmu.” Bastien menggelengkan kepala. “Perjalanan ini memang tidak direncanakan. Saya memutuskan untuk ke sini setelah melihat keadaan Bree yang yang murung.” Rad memang sudah menyiapkan alasan yang kuat, jadi tidak akan mudah diserang. “Oh... Aku mengerti. Kau datang ke sini bukan untuk kunjunga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status