“Duchess Valois, selamat malam. Selamat datang di Marseilles.”
Seorang pelayang menanti Bree di depan kamar. Pelayan sopan dan manis. Dia juga tersenyum ramah tanpa cela. Dia adalah Aima, pelayan yang akan memenuhi kebutuhannya sehari-hari di kastil ini.
“Perkenalkan, saya Aima. Saya yang akan melayani Anda di sini.”
Kalimat Aima persis sama seperti yang Bree ingat. Artinya dia juga akan persis sama seperti dulu. Culas, dan ada bersamanya hanya sebagai mata-mata Irene, ibu dari Rad.
Bree punya sesuatu untuk Aima pastinya, tapi tidak sekarang. Rad lebih penting.
“Terima kasih.” Bree menjawab sopan, seperti biasa.
“Minggir!” Suara dingin menyahut, membuat Bree menyingkir seketika.
Bree ingin mengutuk dirinya sendiri setelah itu. Gerak reflek tubuhnya masih mengikuti suara itu dengan patuh.
Seharusnya dia tidak perlu sepatuh itu pada Rad. Pria itu kini berjalan masuk ke kamarnya, kamar mereka.
“Saya akan membantu Anda.” Aima menunjuk ke pintu yang baru saja Rad lewati.
“Untuk malam ini tidak perlu. Kau istirahat saja. Aku bisa sendiri.”
Bree memandang Aima dengan tegas. Aima terlihat kaget, tapi kemudian mundur setelah membungkuk, tidak mengikuti Bree masuk ke kamar. Ya, dia harus belajar siapa penguasa di sini.
Bree dulu bahkan tidak bisa memerintah Aima dengan leluasa karena canggung dan takut-takut.
Langkah kaki Bree saat masuk ke dalam kamar sedikit gemetar. Ini adalah saat dimana dia harus melawan, saat dirinya mengalami luka terbesar.
“Kita bisa!” Bree bergumam amat pelan. Kita adalah dirinya di masa lalu, dan dirinya yang bangkit dari kematian.
Bree sedang mengumpulkan keberanian.
Kamar mewah dengan tempat tidur besar dan penuh pernik keemasan itu, masih terlihat mengancam seperti yang Bree ingat. Bree benci ranjang itu, karena mengingatkan akan malam-malam yang dihabiskannya dalam tangis menanti Rad.
Pria itu sekarang berdiri di dekat meja, entah mengawasi apa, tapi kepalanya menunduk sementara di meja terbuka sebuah surat. Tapi dia tidak mungkin membaca, cahaya lilin tidak sampai pada sudut itu. Terlalu gelap untuk membaca.
Dia menoleh saat mendengar langkah Bree, sambil melepas jubah yang penuh darah akibat perampok tadi.
“Kau…”
“Aku tidak ingin kau menyentuhku!” Bree berseru lantang, memotong kalimat Rad. Bree menolak terlebih dahulu sebelum mendengar kata-kata menyakitkan dari Rad.
Bree masih ingat kata demi kata ucapan Rad malam itu.
‘Kau tidak perlu melakukan apapun. Aku tidak akan menyentuhmu malam ini.’
Kata itu yang tadi seharusnya diucapkan Rad, tapi Bree memotongnya dengan penolakan untuk menyelamatkan harga dirinya.
Bree bersyukur dalam hati karena tidak terdengar gemetar, berbeda dengan kakinya. Namun, kakinya tertutup rok lebar, maka penampilan perlawanan Bree terlihat sempurna.
Mata Rad yang tadi membuka lebar, perlahan menyipit.
“Apa…”
“Apa belum jelas? Aku bilang, aku tidak mau kau menyentuhku! Seujung jari pun!”
Bree mengulang dengan lebih keras. Menatap Rad dengan mata birunya yang kini membuka lebar.
“Kau menerima perjodohan ini, tapi menolakku?” tanya Rad, suaranya jelas terheran-heran.
Suara yang biasa tak bernada itu, kembali menunjukkan emosi untuk kedua kali hari ini.
“Ya! Apa aneh?” Bree menantang.
“Aneh, karena ayahmu jelas mengatakan kau ada di sini setelah menerima perjodohan ini dengan rela dan riang gembira.”
Bree kembali goyah saat ayahnya disebut. Itu adalah daftar lain hal yang harus dia lakukan. Menyelamatkan ayahnya. Tapi itu nanti, sekarang Bree ingin sekali menegur ayahnya. Dia tidak ingat pernah terlihat riang gembira saat menerima perjodohan itu.
Bree memang rela karena tahu perjodohan itu penting untuk ayahnya, tapi tidak mungkin terlihat riang gembira. Bree malah awalnya mengira jika Rad adalah pria tua setengah baya. Tidak mungkin dia gembira mendengar perjodohan itu.
Kegembiraan baru datang pada Bree saat mereka bertemu di gereja tadi pagi. Saat melihat bagaimana wajah Rad, tapi sekarang kegembiraan itu adalah sampah. Bree tidak ingin mengingat lagi.
“Aku tidak pernah gembira atas perjodohan ini!” Bree membantah setelah menemukan suara.
“Hmm…” Rad hanya bergumam.
“Lalu apa maumu?” tanyanya.
“Seperti yang aku bilang tadi, aku tidak ingin disentuh olehmu!”
Rad memandang Bree, lalu berjalan mendekat.
“Jadi kau akan ada di sini sebagai istriku tapi tidak berguna? Hanya ada saja?”
Bree mengacungkan pisau yang tadi dia ambil dari meja, membuat langkah Rad terhenti.
“Jangan mendekat!” Bree membawa pisau itu agar Rad mengerti jika dirinya tidak sudi tangannya itu menyentuhnya.
“Kau mengancamku?” Rad jelas terlihat semakin takjub.
“Ya! Coba saja mendekat, aku akan…”
TLANG!
Napas Bree tertahan, saat entah bagaimana tiba-tiba tangan Rad sudah menyapu pisau yang ada di tangannya. Pisau itu jatuh ke lantai. Dengan mudahnya dia menepis perlawanan Bree.
Rad kini tepat ada di hadapan Bree. Menatapnya dengan mata iris berwarna hazel yang indah itu. Apa yang ada pada Rad memang sempurna kecuali isi kepalanya.
Bree sebenarnya ingin memekik karena kaget, tapi berhasil menggigit lidahnya menahan teriakan. Tadi dia sama sekali tidak melihat bagaimana Rad bergerak. Seharusnya masih ada jarak beberapa meter di antara mereka.
“Kau berani sekali!” Rad menggeram.
“Ya, aku berani, dan kenapa? Kau akan membunuhku? Coba saja!” Tantangan kembali datang dari Bree.
Bree tahu saat ini Rad membutuhkan dirinya, paling tidak saat ini Rad tidak akan membunuhnya meski apapun yang dia lakukan. Perjodohan mereka berdasar atas keuntungan pada dua belah pihak. Bree tidak tahu apa, tapi tentu Rad membutuhkan sesuatu dari ayahnya.
“Lucu sekali.” Rad kini tersenyum.
Bukan jenis senyum ramah dan hangat, hanya senyum sinis dan dingin. Dia menghina usaha Bree untuk menolaknya.
“Aku juga tidak terlalu menginginkanmu sebenarnya. Aku benci wanita yang penurut dan hanya tahu menyenangkan orang lain. Tapi kau cukup menarik ternyata.”
Bree mengedip beberapa kali.
“Kau tidak menarik!” Bree membalas singkat, tajam dan menusuk. Meski kakinya melangkah mundur, tapi lidahnya berhasil maju menyakiti.
Rad kembali melayangkan senyum yang sama, sambil membuka kancing leher blus berwarna putih yang masih dia pakai.
“Aku memang tidak berencana untuk menyentuhmu, jangan khawatir.”
Dan begitu saja, Rad berjalan keluar kamar.
“”Camp!” Rad berseru, dia memanggil Campy, pelayan pribadinya, seraya menutup pintu.
Panggilan biasa, tapi Bree tahu benar apa yang akan terjadi. Dia sering mendengar panggilan dengan nada tegas menuntut seperti itu.
Bree tidak ingin mengulang yang buruk, tapi untuk kali ini dia ingin melihat karena harus. Dia memerlukan ini untuk menebalkan niat. Niatnya untuk membenci Rad. Dulu Bree melihatnya dengan tidak sengaja, tapi sekarang Bree sengaja.
Tangannya dengan pelan membuka pintu kamar, lalu berjalan menuju pinggir pagar pembatas lantai dua. Posisi yang membuatnya bisa menatap lantai satu dengan cukup leluasa.
Terlihat Rad turun menghampiri Campy yang berdiri di samping gadis muda berambut pirang, yang wajahnya terlihat berbinar saat melihat Rad mendekat.
Gadis itu memakai gaun yang berbahan cukup bagus, pertanda dia berasal dari kelas menengah. Tidak mewah ala bangsawan seperti gaun milik Bree, maupun kusam ala pelayan seperti Aima.
Tidak ada yang salah dari bahan gaunnya, hanya bentuknya saja yang memperlihatkan dada membusung tinggi dan menonjol.
Bree tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi bisa menebak tentang apa, karena wajah gadis itu semakin cerah, apalagi saat tangan Rad terulur menyentuh lehernya.
Gadis itu terlihat seperti akan meleleh dan goyah. Siapa yang tidak, jika pria dengan wajah Rad mengatakan menginginkannya?
Tangan Rad terus mengusap turun tak hanya di leher, tapi juga bahu, dan sampai kebagian yang menonjol. Gadis itu menggigit bibir, dengan pandangan sayu menatap Rad.
Rad mengangkat tubuhnya, dengan wajah membenam ke bagian leher, membawa gadis yang kini memejamkan mata itu, memasuki salah satu kamar di lantai satu.
Tangan Bree mencengkram pagar pembatas dengan amat erat, sampai terlihat pucat, tapi kemudian melepaskannya dan berjalan masuk kembali ke dalam kamar.
Saat itulah kakinya menyerah. Bree terpuruk dan terduduk di lantai dengan rok membuka lebar di sekitarnya.
Air matanya mengalir turun, tanpa bisa dia cegah. Bree salah untuk yang satu ini, sakit yang dia rasakan ternyata lebih buruk.
Dulu Bree merasa terhina dan buruk, saat melihat Rad membawa wanita lain di malam pertama mereka, maka kini sakit itu semakin menjadi karena dia sudah sempat mencintainya setelah ini.
Ini mungkin jalan baru yang dia pilih, tapi jiwa dan hatinya tidak baru. Perasaan yang sudah Bree anggap mati itu ternyata masih bisa menyakitinya.
Dengan tangan bertumpu pada lantai, sementara air mata menetes pada karpet di lantai, Bree kembali bertekad untuk melupakan semua itu.
Bree yang lemah dan penurut itu telah mati. Tidak akan ada lagi.
Sakit yang Berisik~~Bree kini paham kenapa Edmond membantah setiap keinginan Bree untuk berlatih besok hari.Seluruh tubuhnya terasa pegal dan nyeri. Meski tidak tidak jatuh dari kuda, Bree merasa dia seperti sudah jatuh dari kuda, karena semua terasa menyakitkan.Penyesalan lain. Bree tadi menolak mandi memakai air hangat. Dia malas menunggu Aima menyiapkannya, karena tubuhnya terlalu lengket dan penuh keringat.Bree merasa air dingin akan membuatnya segar. Memang segar, tapi kini air dingin itu membuat tubuhnya terasa kaku, dan pegal. Belum nyeri di beberapa bagian tubuh yang menyebalkan.Bree kini juga mengerti kenapa Edmond akhirnya memilih diam daripada menjelaskan apa yang sebenarnya akan terjadi pada tubuhnya.Pusat dari seluruh rasa sakit tubuhnya ada pada paha. Paha bagian dalam lebih tepatnya. Bagian yang bertumbukan dengan pelana dan punggung Briar.Edmond telah bersikap sopan dengan diam saja, tak ingin membahas area rasa sakit itu lebih jauh.Bree berbalik mencoba menyam
"Non!" Bree berteriak panikDia tidak membayangkan akan menjadi seperti ini. Niatnya baik, hanya saja seharusnya tidak belajar sendiri tanpa pendamping. Kuda adalah makhluk yang tidak bisa prediksi tingkah dan perilakunya.Kini nyawanya kembali terancam, sebelum dia bisa memperbaiki apa pun. Dia pasti mati jika sampai terjatuh dari punggung Briar.Tapi kemudian suara derap kaki kuda lain terdengar dari arah samping. Bree menoleh, dan terlihat Edmond, memacu kuda di sebelahnya.Berlawanan dengan Bree yang panik, Edmond terlihat tenang. Memakai perhitungan yang tepat, dan kaki menjepit perut kuda tunggangannya, Edmond mencondongkan tubuh ke arah Bree, lalu merebut tali kekang yang tidak berguna dari tangan Bree, karena dia tidak tahu harus melakukan apa.Dengan sangat ahli, Edmond menarik tali kekang itu. Kekuatan Edmond sangat terukur dan tahu seberapa besar tarikan yang diperlukan agar Briar tenang.“Ha!”Mulut Edmond menyerukan aba-aba lain yang membuat Briar dan kuda tunggangannya m
Bree menatap wajah Rad sekilas lalu berpaling.Ini pertemuan kedua mereka setelah hari pernikahan itu. Bree memang tidak pernah berpapasan saat mereka ada di kastil.Bree hanya melihatnya dari kejauhan saat dia masuk ke kastil atau keluar, hanya itu.Bree dengan sengaja menghindari Rad. Tidak ingin mengobrol maupun bertemu dengannya. Itu adalah cara satu-satunya agar Bree tetap merasa waras, dan tidak mengulang segala kedekatan mereka yang membuatnya bodoh.Tapi ternyata tidak bertemu sekian lama dengan Rad tidak berpengaruh apapun. Jantung Bree tetap saja meronta hebat begitu mata Rad menatapnya.Kulit wajah Rad yang pucat terlihat kontras dengan tudung kepala hitam yang dipakainya. Tudung jubah itu seolah membingkai ketampanan Rad, menegaskan jika wajahnya rupawan, tanpa cacat.Dia tidak terlihat buruk sama sekali dengan cambang di dagu yang mulai terlihat lebat, sementara bibir merah gelap berpadu sempurna dengan kulit pucat miliknya. Jenis tampan yang dengan mudah membuatnya menja
Bree tidak bisa melihat wajah gadis itu, karena dia memakai jubah dengan tudung menutup kepala, tapi beberapa helai rambutnya terlihat mengintip, dan rambut itu berwarna gelap. Itu berarti dia adalah wanita berbeda dari yang Bree lihat pada malam hari pernikahannya. Malam itu, wanita yang bersama Rad berambut pirang pucat. Dan itu kurang lebih seminggu yang lalu. Rad telah berpindah selera, dalam waktu singkat. Dia mengganti wanita semudah cuaca Marseilles berganti karena angin laut.Kenyataan itu bukan kejutan lagi untuk Bree, tapi ini pertama kalinya dia melihat wanita yang bersama Rad keluar dari kastil saat hari terang. Dulu Bree hampir setiap hari hanya berada di dalam kastil, mencoba untuk tidak membuat Irene marah.Bree kini ‘menikmati’ pemandangan baru yang belum pernah dialaminya. Wanita itu terlihat lemas, sampai ada dua orang pelayan yang membantunya berjalan menuju kereta, langkah kakinya juga pelan.Melihat bagaimana dua pelayan harus membantunya untuk berjalan, membuat
Aima membantu Bree memakai celana kain longgar, setelah melepaskan korsetnya. Kebebasan yang dinanti Bree, membuatnya bernapas lebih lega.“Saya rasa ini bukan ide yang bagus.”Aima bergumam takut-takut, saat mengikat tapi celana kain itu. Dia lalu membantu Bree memakai gaun yang lebih ringan.“Aku tidak memerlukan pendapatmu. Aku tahu ini bukan ide bagus.”Bree setengah membentak Aima, sambil memakai mantel panjang, untuk menutupi bentuk tubuhnya.Tidak memakai korset membuatnya bebas, tapi sekaligus telanjang, dan terbuka. Dia tidak pernah memakai gaun luar tanpa korset begitu menginjak umur sepuluh tahun.“Tapi Anda akan dipandang aneh oleh…”“Memang kenapa kalau aku dipandang aneh? Apa akan ada yang berani melarangku? Kalau ada biarkan mereka mencoba!” sergah Bree.“Tapi Lady Irene…”“Kau sudah melihat beberapa hari ini jika aku tidak peduli pada pendapatnya bukan? Aku tidak peduli!”Bree menegaskan agar Aima mengingat ini. Setelah konfrontasi saat sarapan beberapa hari lalu, Iren
Hinaan yang didengar Bree berbeda.Dulu Bree mendengar hinaan tentang penampilannya yang kumuh, maka sekarang dia mendengar hinaan tentang sikapnya yang tidak sopan. Perbedaan yang hanya menegaskan jika Irene memang bertekad untuk tidak menerimanya.Orang yang ingin membenci akan selalu menemukan alasan untuk membenci.Meski sudah berusaha untuk memperbaiki, nyata adanya Irene tetap menemukan sesuatu untuk dicela dari diri Bree“Maafkan saya, Lady Irene. Tapi kemarin kami menghadapi sedikit halangan di jalan, karena itu baru sampai di sini saat tengah malam. Saya rasa Anda sudah tidur saat itu. Akan sangat tidak sopan jika saya mengganggu tidur anda bukan? Jika Anda kurang tidur, bisa-bisa Anda menjadi sakit nanti.”Bree bisa mengakhiri kalimatnya pada ucapan memberi salam tengah malam adalah tidak sopan, tapi sengaja menambahkan jika soal sakit. Dengan begitu Irene tidak punya balasan yang cukup pintar. Alasannya memperlihatkan seolah Bree peduli padanya. Alasan yang manis.Irene mem