“Lepaskan! Tidak! Pergi!”
Sosok Bree yang ada di atas ranjang berteriak, terlihat gelisah, sementara tangannya terus menggapai udara, mengusir sesuatu yang hanya ada dalam mimpinya.
Keringat membanjiri wajah, sementara wajahnya pucat. Kepalanya bergerak menggeleng panik, dengan mata terpejam erat. Rambut Bree yang berwarna gelap kemerahan tampak berantakan di sekitar kepala.
“Duchess?”
Panggilan itu membuat Bree tersentak dan membuka mata. Ia bangkit dan duduk, matanya yang berwarna abu-abu terang berputar memandang sekitar kamar dengan kebingungan
Napasnya memburu dan keras, bahkan tangannya yang terangkat untuk menutup mulut terlihat gemetar. Bree ingin menutup mulut agar suara nafasnya yang tersengal tidak terdengar.
Tapi tangannya gemetar terlalu hebat, dan membutuhkan waktu lama sebelum mencapai wajah.
Mimpi itu terlihat terlalu nyata, mimpi kejadian lain yang ingin Bree ubah keberadaannya. Setelah semua hal yang disusun tadi malam, ada satu kejadian lagi yang harus dia pastikan berubah.
“Duchess? Apa Anda sakit?”
Bree kembali tersentak, lalu memandang Aima, yang rupanya berdiri di samping ranjang. Lantas Bree bergegas menggeleng.
“Tidak. Hanya mimpi buruk.” Bree mengepalkan tangan, untuk menghentikan gemetar. Dia tidak boleh terlihat lemah, terutama karena ada Aima di sini.
“Anda tidur masih memakai korset, mungkin itu penyebabnya.”
Aima tersenyum ramah, tapi kalimatnya mengandung teguran. Tadi malam Bree menolak bantuannya.
Kalimat itu singkat itu menyakitkan. Karena menyalahkan diri Bree sendiri atas mimpi buruk yang dia alami tadi.
“Kalaupun aku mimpi buruk karena korset ada di badanku, hal itu bukan urusanmu!”
Bree membalas sinis, membuat Aima pucat.
“Maafkan saya, Duchess.” Gadis mudah yang sebenarnya berumur sama seperti Bree itu -dua puluh dua- membungkuk meminta maaf.
Bree melirik ke arah Aima, dalam hati tersenyum puas tapi sekaligus menyesal, karena dulu membiarkan Aima bertindak sesuka hati.
Posisi Bree di rumah ini begitu lemah, bahkan seorang pelayan saja bisa meremehkannya. Keadaan yang pasti juga akan dia ubah.
Bree turun dari ranjang, lalu berdiri di dekat jendela, sementara Aima mulai bekerja untuk melepas tali korset yang membelit tubuhnya.
Hal ini memang tidak bisa dilakukan sendiri. Ada tiga lapis baju lain yang dipakai Bree sebelum gaun luar, salah satunya adalah korset dan menjadi yang paling menantang karena memiliki banyak tali yang terikat erat, agar bentuk tubuh pemakainya menjadi lebih sintal.
Sejujurnya Bree benci dengan korset, selain cara pemakaiannya yang merepotkan sampai harus melibatkan orang lain, benda itu membuatnya tidak bebas.
Tidak ada yang bersuara dari mereka berdua. Bree tentu saja malas untuk mengobrol. Dia ingat bagaimana dengan polos dulu bertanya tentang seluk beluk rumah ini pada Aima.
Ini membuat Aima tahu benar sifat polos dari Bree, dan membuatnya diremehkan.
Bree kini hanya memandang keluar jendela, menikmati hembusan angin dan juga ombak laut biru di bawah bukit.
Mengatur agar pikirannya tenang. Bree mencoba melupakan mimpi buruk yang tadi dialaminya. Mimpi itu adalah pengulangan apa yang terjadi pada dirinya saat ada di penjara, satu hari sebelum dia dihukum mati.
Bree memejamkan mata erat. Dia ingin melupakan kejadian itu. Kejadian mengerikan yang seharusnya saat ini tidak menjadi masalah, karena tidak berjejak apapun pada tubuhnya saat ini. Kejadian itu tidak terjadi.
Tapi ingatannya saja rupanya cukup untuk membuat Bree bermimpi buruk.
Bree menghela napas panjang, kembali memandang keluar. Menatap laut biru di kejauhan yang hari ini terlihat indah, berkilauan, dengan buih menari di antara ombak. Dia ingin pikirannya jernih saat ini, tidak ingin teralih oleh yang lain.
Sebentar lagi, dia harus melawan orang yang jauh lebih kuat daripada Aima.
“Air mandi Anda sudah siap,” kata Aima. Kali ini tidak mencoba berbasa-basi, hanya melayani seperti biasa. Bree mengangguk dengan wajah datar lalu berjalan ke kamar mandi.
***
Bree mematut dirinya, memandang sekali lagi bayangan di dalam cermin besar di depannya. Bree memilih gaunnya dengan lebih seksama. Hal yang dulu dia abaikan. Bree berpikir gaun adalah gaun saja, tidak ada bedanya dia memakai yang mana.
Namun, tidak semudah itu. Pemilihan gaun dan penampilan menjadi bahan celaan yang akhirnya membuat dirinya malu. Pelajaran berharga, dan kini Bree memastikan penampilannya sempurna.
Gaun pilihannya berwarna hijau lumut, tidak terlalu mencolok, dan gaun itu pemberian ibunya yang terakhir sebelum meninggal. Tidak baru, tapi seharusnya cukup. Gaun itu tidak akan membuatnya terlihat seperti pengemis.
Hinaan itu yang selalu dipakai Irene untuk membuatnya tersudut. Le Mans tidak sekaya Marseilles, tentu saja gaya hidupnya memang ada di bawah Irene. Namun, bukan berarti dia terlihat seperti pengemis.
Bree mengelus lengan gaunnya, tidak ada yang tercela, kini Bree menatap wajahnya. Rambutnya rapi tertata, oleh Aima. Dia juga menyapukan bedak tipis yang terbuat dari tepung terigu, membuat kulit Bree terlihat lebih halus lagi. Dia sempurna.
“Ayo.”
Bree tidak menoleh ataupun berterima kasih pada Aima, langsung saja berjalan keluar. Dia bisa menemukan dimana ruang makan berada, tapi akan aneh jika dia menemukannya tanpa Aima.
Seharusnya saat ini adalah pertama kalinya dia turun untuk makan.
Mereka kini menjalani hal yang persis sama dalam ingatan Bree. Menyusuri lorong menuju ruang makan yang ada di lantai satu.
Kastil Marseilles tidak lebih besar dari Le Mans, tapi lebih terurus. Tidak ada bagian yang dibiarkan runtuh atau terbengkalai. Dua menara yang ada juga utuh berdiri.
Ekor mata Bree terarah ke menara itu. Dia juga punya kenangan di situ. Irene pernah mengurungnya di sana selama beberapa hari.
Bree tahu seharusnya hal itu menyiksanya, tapi masa tinggal di atas menara malah menjadi masa yang sangat damai bagi Bree. Kala itu.
Tidak ada teriakan, hinaan, maupun sakit hati karena tidak ada yang mengganggunya. Bree merasa sangat nyaman dan bisa menikmati pemandangan indah dari kamar di puncak menara itu.
Namun, saat ini bukan saatnya mengenang. Bree memandang ke depan, ruang makan sudah terlihat.
“Silakan, Duchess.”
Aima mempersilakan Bree duduk di samping kursi utama. Kursi yang selalu kosong. Seharusnya diisi oleh Rad, tapi pria itu tidak pernah muncul untuk makan jika tidak ada tamu khusus.
Saat ada tamu berkunjung, dia akan menempati kursi itu saat perjamuan, tapi saat biasa seperti ini Champy akan membawa makanannya ke kamar. Entah apa sebabnya.
Bree sendiri bersyukur atas kebiasaan itu. Dengan tidak sering bertemu dengannya, Bree bisa berpikir jernih dan menikmati suasana makan. Keberadaannya hanya akan membuat perutnya sakit menahan kesal saat ini.
Namun, ada satu lagi manusia yang datang dan akan membuat perutnya sakit. Mereka berdua kini berjalan masuk dengan mata menyipit memandang Bree.
Seharusnya Bree menyapa dan berkenalan dengannya kemarin saat baru tiba di kastil, tapi dia tiba tengah malam akibat perampok itu.
Bree memundurkan kursi, memasang senyum terindah, lalu membungkuk sambil mengangkat bagian samping gaunnya. Sikap menghormat yang membuat bulu tubuh Bree berdiri, seolah memprotes, kalau mereka tidak pantas mendapat penghormatan itu.
“Selamat pagi, Lady Irene, Blanche.”
Irene adalah ibu Rad, dia harus memanggilnya Lady, semetara Blanche adalah adik dari Rad. Meski umurnya dua tahun lebih tua dari Bree, dia bisa memanggil nama saja.
“Hmm… Rupanya aroma tidak enak yang aku cium sejak tadi adalah aroma ketidak sopanan. Pantas saja!”
Bree yang dulu akan menunduk dan menangis mendengar itu, tapi Bree yang sekarang, tersenyum mengangkat kepala, sambil menatap Irene.
"Bagaimana keadaan Anda?" tanya Alex. "Jauh lebih baik. Bagaimana dengan yang lainnya?" Rad bertanya balik. "Saat ini anak buah saya sedang menggiring penonton untuk keluar dari aren. King Bastien dan juga Pangeran, sudah meninggalkan arena sejak tadi, dan kembali ke istana untuk lebih amannya." Alex tidak tidak wajib melapor pada Rad, tapi pertanyaan tegas itu membuatnya dengan otomatis melaporkan keadaan dengan lengkap. "Bagus. Kalian memberi pengawalan yang ketat bukan?" "Tentu saja. Kami menempatkan beliau berdua di kereta yang berbeda, dengan pengawalan ketat." Rad sekali lagi mengangguk puas. "Sekarang Anda yang harus saya kawal kembali ke istana." Alex menjelaskan tugasnya datang ke situ. "D'accord." Rad bangun dari duduk. Dengan cekatan, Alex menghampiri dan membantunya lagi. Tidak perlu, tapi Rad harus mempertahankan keadaan pura-pura sakitnya. "Saya sudah menyiapkan kereta untuk Anda berdua." Bree mengikuti mereka berdua dengan langkah lebar. Menutup mulut, karen
Bree berlari mengikuti orang yang menggotong Rad dalam tandu, melewati kerumunan penonton dan kaum bangsawan yang kini ribut, tak tahu apa yang terjadi. Tapi jelas kehadiran darah dan juga luka, adalah pertunjukan yang semakin menarik untuk mereka. Banyak leher menjulur penasaran ingin melihat apa yang terjadi, dan bagaimana luka Rad. Keributan menyebar, bertanya-tanya bagaimana dan kenapa. Lalu beberapa yang tahu apa yang terjadi mulai berbisik bercerita. Untuk kali ini, Rad tidak mempermasalahkan seluruh perhatian itu, karena itu adalah apa yang dibutuhkannya. Rad lalu dengan sengaja memejamkan mata, meringis kesakitan sambil menekan lukanya, saat digotong melewati kerumunan banyak orang. Tapi Bree juga mendengar desisan itu, semakin panik. Tapi saat akan bertanya bagaimana keadaan Rad, Bree melihat pria itu menggeleng sangat halus, sambil mengedipkan satu matanya. Kurang lebih mengatakan jika tidak perlu khawatir. Bree kini tak tahu harus bereaksi bagaimana, khawatir tapi orang
Karena kecurigaan dari Bastien, Rad dengan terpaksa mengambil jarak yang cukup jauh darinya. Rad harus membuka mata lebih lebar lagi, agar tidak kehilangan sosok Bastien diantara pepohonan. Pria itu rupanya cukup gesit untuk ukuran pria berumur. Setelah memastikan mereka ada pada jarak aman --Bastien tak bisa lagi melihat, Rad mulai melayangkan pandangan untuk memeriksa sekitar. Dia harus memastikan apakah ada musuh di antara semua orang yang ada di hutan itu. Ini masalah menyebalkan baginya, karena dia tidak tahu bagaimana bentuk musuhnya saat ini. Yang dilihatnya pelayan yang menjadi sasaran perburuan berlalu-lalang. Dan mereka yang mendominasi. Jumlah mereka masih banyak. Entah para peserta hari ini payah, atau mungkin para pelayan itu yang sudah mulai ahli untuk bersembunyi dan kabur dari para pemburu. Menurut pandangan Rad, hampir tidak terlihat ada perubahan jumlah pelayan. Seragam mereka masih berkelebat di antara pepohonan. Setelah berpikir sebentar, Rad mengambil anak panah
Usulan Ben tidak bisa lebih buruk lagi.Kalau berada di tribun saja kemungkinan besar akan ada orang yang mengincar Bastien, maka kemungkinan itu akan semakin besar, saat dia berada di tengah hutan belantara, bercampur dengan banyak orang, baik pelayan maupun bangsawan. Kesempatan yang mempermudah Bastien untuk menjadi sasaran. Rad menyamakan ide itu sebagai bencana. “Ternyata ada tradisi seperti itu.” Rad mengeluh, tapi dengan nada datar, yang dianggap Ben sebagai pertanyaan. “Ya, benar. Ayah tentu tak mau kalah bersaing dengan bangsawan yang lain, sekaligus memamerkan kemampuannya,” jelas Ben. Bastien hanya mendengus, tapi tetap berdiri. “Apa ini ide yang bagus?” Bree yang juga menyadari bahaya dari Bastien turun ke langsung mengikuti perlombaan, bertanya dengan terlalu berani. “Tentu saja ini ide yang bagus, Bree. Apa maksudmu bertanya itu?” Ben mengernyit ke arahnya. Tentu merasa pertanyaan itu aneh. “Tidak ada. Hanya menurutku hutan adalah daerah yang berbahaya.” Bree me
“Apa kau tidak setuju dengan usulanku?” tanya Rad. Sambil menarik Bree, agar lebih dekat bersama selimut yang menutupi mereka. Mereka ada salah satu kamar yang ada di istana megah itu. Tentu setelah bertemu dengan Ben, tak mungkin mereka kembali ke penginapan. Mereka menghabiskan malam yang cukup tenang di istana. Dan kini sebentar lagi mereka harus bersiap untuk menghadiri lomba terkutuk itu. “Usulan?” Bree berbalik menghadap Rad yang berbaring miring sejak tadi. “Usulan tentang Le Mans. Sejak kemarin kau diam tak membahas hal itu.” Sepanjang makan malam, sampai pagi hari ini, Bree sama sekali tak membahas usulan Rad. Mereka tetap bicara biasa tentang hal lain--kebanyakan mengomentari istana yang mulai terlihat terlalu penuh, tapi tidak membahas. Dan Rad kini mulai merasa jika mungkin dia terlalu berlebihan, jadi membuat Bree keberatan. Usulan yang dikeluarkannya kemarin spontan, tanpa meminta pertimbangan Bree atau apa pun. Dan setelahnya, Rad juga menghirup aroma lezat dari B
Seperti Ben, Bastien dengan sopan mengucapkan duka cita untuk Bree begitu dia sampai di tempat mereka minum teh. Untuk masalah sopan santun, mereka berdua jelas tidak bercela, hanya kadang penalarannya yang tidak masuk akal. “Aku dengar dari Ben kau kesini untuk menghibur diri,” kata Bastien. Bree mengangguk, tapi tidak meneruskan karena Rad yang mengambil alih. Dia yang membuat alasan ini. “Benar, Yang Mulia. Bree sedikit terpukul dengan kepergian ayahnya. Jadi saya memutuskan untuk membawanya ke sini. Kami sedang ada di Le Mans, jadi perjalanan ke sini tak akan terlalu jauh.” “Tapi kau tanpa pemberitahuan, Rad. Seharusnya kau bisa berkunjung dengan lebih resmi, maka kami akan menyambutmu.” Bastien menggelengkan kepala. “Perjalanan ini memang tidak direncanakan. Saya memutuskan untuk ke sini setelah melihat keadaan Bree yang yang murung.” Rad memang sudah menyiapkan alasan yang kuat, jadi tidak akan mudah diserang. “Oh... Aku mengerti. Kau datang ke sini bukan untuk kunjunga