Mentari pagi menyinari bumi, seolah ikut merayakan lembaran baru dalam hidup Andara. Tak ada lagi bayang-bayang kelam Dirga, tak ada lagi teror, tak ada lagi ancaman yang mengusik tidur malamnya. Semua berakhir sudah.
Dirga kini mendekam di balik jeruji besi. Mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan pada pengadil di dunia. Tentang obsesinya pada Andara dan percobaan menculik wanita muda itu. Semuanya berkasnya sudah lengkap dan siap dilimpahkan ke kejaksaan.Namun, ternyata pengadilan Tuhan datang lebih cepat. Berita tentang Dirga sampai di telinga Andara lewat telepon dari Pak Arman, penyidik yang menangani kasusnya. “Andara, aku harus memberitahumu sesuatu ... Dirga ditemukan meninggal di selnya tadi pagi,” ucap Pak Arman dengan suara serius. Andara terdiam sejenak. Seolah pikirannya berhenti bekerja. "Dia ... meninggal?" suaranya nyaris berbisik. "Ya. Diduga kuat bunuh diri. Polisi menemukan sepucuk suratMentari pagi menyinari bumi, seolah ikut merayakan lembaran baru dalam hidup Andara. Tak ada lagi bayang-bayang kelam Dirga, tak ada lagi teror, tak ada lagi ancaman yang mengusik tidur malamnya. Semua berakhir sudah. Dirga kini mendekam di balik jeruji besi. Mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan pada pengadil di dunia. Tentang obsesinya pada Andara dan percobaan menculik wanita muda itu. Semuanya berkasnya sudah lengkap dan siap dilimpahkan ke kejaksaan.Namun, ternyata pengadilan Tuhan datang lebih cepat. Berita tentang Dirga sampai di telinga Andara lewat telepon dari Pak Arman, penyidik yang menangani kasusnya. “Andara, aku harus memberitahumu sesuatu ... Dirga ditemukan meninggal di selnya tadi pagi,” ucap Pak Arman dengan suara serius. Andara terdiam sejenak. Seolah pikirannya berhenti bekerja. "Dia ... meninggal?" suaranya nyaris berbisik. "Ya. Diduga kuat bunuh diri. Polisi menemukan sepucuk surat
Udara sore itu terasa gerah, seolah menyimpan firasat buruk yang sebentar lagi meledak. Di depan rumah Zacky, Andara terus meronta dengan sekuat tenaga. Berusaha melepaskan diri dari genggaman tangan besi Dirga. Tubuhnya yang mungil tampak tak berdaya di hadapan laki-laki itu. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat pasi. “Lepaskan aku, Dirga! Kamu gila!” teriak Andara histeris. Suaranya serak karena terlalu banyak berteriak sejak tadi. Namun, Dirga hanya menyeringai puas. “Diam, Andara. Kamu milikku. Seharusnya sejak dulu kamu jadi milikku, bukan Galang!” desisnya penuh amarah. Genggamannya di lengan Andara semakin kuat, hingga gadis itu meringis kesakitan. “Tolooong!” pekik Andara lagi, suaranya menggema di sepanjang jalan. Namun, tak ada siapa pun yang datang. Seolah dunia menutup mata pada penderitaannya. Dirga menarik paksa tubuh Andara menuju mobil hitam yang terparkir tak jauh dari sana. Andara teru
Langit belum sepenuhnya gelap saat Andara kembali terbangun dari tidur singkatnya. Detak jantungnya berpacu lebih cepat daripada biasanya. Dadanya sesak, seolah ada tangan tak kasatmata yang menekannya kuat-kuat. Sudah berhari-hari ia tak bisa tidur nyenyak sejak pindah ke rumah Zacky. Rumah besar dengan pagar tinggi itu tak memberinya rasa aman. Justru ia merasa terjebak dalam kurungan yang tak terlihat. “Kenapa aku terus merasa seperti ini?” gumamnya pelan sambil memeluk bantal. “Kapan semua ini akan berakhir?” Suaranya terdengar putus asa. Seolah tak ada harapan akan hari esok yang lebih baik lagi. Di setiap sudut rumah, Andara merasa ada mata yang mengintainya. Mengawasi setiap gerak langkahnya. Entah dari bayangan di balik tirai, pantulan kaca jendela, atau bahkan dari cermin di kamarnya sendiri. Ketakutannya bukan tanpa sebab. Teror yang dialaminya tak pernah mengenal waktu. Siang dan malam terasa sama mencekamnya.
Zacky menatap adiknya yang menggigil di pelukannya. Wajah Andara pucat, matanya kosong. Napasnya tersengal, seolah baru saja dikejar mimpi buruk yang tak kunjung usai. “Aku enggak akan biarkan kamu ngerasain ini lagi, Ra …” gumam Zacky dengan rahang mengeras. “Enggak akan ada satu orang pun yang bisa nyentuh kamu tanpa melewati aku dulu.” Galang berdiri tak jauh dari mereka, menatap Andara dengan rasa bersalah yang menggerogoti hati. Tangannya terkepal, napasnya berat, tetapi ia tetap diam. Saat ingin melangkah mendekat, Zacky justru menatapnya tajam. “Jangan dekati dia!” bentak Zacky, matanya berkilat penuh amarah. “Udah cukup kamu memberikan rasa takut padanya, Galang. Kamu enggak becus jagain istri kamu sendiri!” Galang tertegun, tetapi tidak mundur. Dia mengatur napasnya dan irama jantungnya yang tak beraturan. “Aku sudah berusaha untuk melakukan yang terbaik …” “Terbaik?!” Zacky mencibir. “
Dirga melarikan diri dari penjara. Joko membantunya untuk menyelinap keluar ketika ada teman yang menjenguknya di dalam penjara tempo hari. Tak ada yang melihat dan tak ada yang tahu jika Dirga sudah berdiri bebas di luar gedung yang selama ini membelenggu kebebasannya. Dirga menyeringai puas saat mendengar kabar tentang ketakutan yang menyelimuti Andara. Ia duduk santai di kursi kayu reyot di gudang tempat persembunyiannya, menikmati segelas kopi pahit yang kini terasa manis karena rasa puas yang membuncah. Wajahnya yang tirus terlihat lebih menyeramkan ketika cahaya redup dari lampu minyak menyinari setengah bagian mukanya. Matanya menyipit, menatap foto Andara yang tergeletak di atas meja penuh debu. "Aku akan buat kamu menyesal, Andara," gumamnya. “Kamu pikir kamu bisa bahagia setelah ninggalin aku? Kamu salah.” “Aku nggak akan tinggal diam, Sayang. Kamu harus tetap jadi milikku selamanya.” Seringai menakutkan tergambar di wajahnya
Joko akhirnya dijebloskan ke dalam penjara karena membantu rencana Dirga untuk meneror Andara. Galang bisa bernapas dengan lega setelah penangkapan yang dramatis malam itu. Namun, dia tetap harus waspada. Dia tak ingin kecolongan lagi seperti yang sudah-sudah. Semenjak Joko ditangkap dan dipenjara, rumah Andara dan Galang seperti menemukan kembali denyut damainya. Suara tawa pelan, obrolan hangat, dan langkah ringan kembali mengisi ruang-ruang yang sempat dingin oleh rasa takut dan ketegangan. Meski rasa trauma itu masih membayang, terutama saat Andara sendirian. Akan tetapi, hari-hari berjalan lebih tenang. Galang pun seolah berusaha menebus segala waktu yang sempat hilang. Ia lebih sering berada di rumah, menemaninya sarapan, menjemputnya pulang mengajar, bahkan sesekali membantu menyiram tanaman di halaman belakang rumah mereka. Sentuhan kecil semacam itu terasa besar bagi Andara. Kehangatan yang dulu sempat meredup, kini kembali menyala.