Suara deheman keras membuat Andara dan teman lelakinya menoleh.
“Mas Galang!” serunya kaget. “Baru pulang kerja, Mas?” tanyanya. Galang tak bereaksi. Dia hanya diam sambil terus menatap ke arah istri dan teman lelakinya itu secara bergantian. “Em … Ra, aku pulang dulu ya. Udah malam soalnya!” pamit teman kuliah Andara itu. Andara mengangguk dan tersenyum manis. “Makasih ya, Wid. Hati-hati di jalan!” ujar Andara. Pemuda itu hanya tersenyum sembari mengangkat jempolnya tinggi-tinggi. Setelah itu motor melaju membelah malam yang dingin. Meninggalkan pelataran rumah Andara yang tiba-tiba terasa panas. Sepeninggal temannya, Andara masuk ke dalam rumah. Disusul kemudian oleh Galang yang berjalan di belakangnya. “Tasnya taruh aja di kamarku,” ucap Andara dengan nada sedikit dingin. “Itu kamarnya yang pintunya ada tulisan CR7.” Andara meneruskan ucapannya sembari menudingkan jarinya ke arah pintu kamarnya. Galang tak menyahut. Lelaki itu tampak berjalan perlahan menuju kamar yang ditunjukkan oleh sang istri barusan. Di dalam kamar, Galang meletakkan tas ranselnya begitu saja di lantai. Dia lalu duduk di atas pembaringan sembari melamun. Kejadian beberapa tahun silam kembali membayang di benaknya. Apalagi setelah melihat Andara bercengkerama dengan teman lelakinya barusan, menambah rasa takut itu semakin besar. ‘Dia nggak mungkin seperti itu. Dia bukan cewek yang suka mengobral kata demi mendapat perhatian dari lawan jenis,” ucap Galang dalam hati. ‘Tapi, dia juga cewek biasa. Bisa aja dia mencari perhatian di luar sana. Apalagi pernikahan ini bukanlah yang dia inginkan. Dia terpaksa menerima semua ini demi baktinya pada kedua orang tuanya,’ bisik sudut hati Galang yang lain. ‘Kalau dia merasa terpaksa, kenapa dia mau saja menerima perjodohan ini. Apa dia tidak mencoba menolak atau kabur mungkin sebelum hari akad tiba?’ bisik sudut hatinya yang lain lagi. ‘Ya … mungkin dia sudah menolaknya. Namun, apalah daya. Keinginan orang tua jauh lebih penting daripada kebahagiaan dia sendiri.’ Suara hati Galang saling sahut menyahut. Galang hanya bisa menghela napas dalam-dalam dan memejamkan matanya. ‘Yang jelas, dia itu sama kayak mantanmu yang dulu. Semua perempuan memang seperti itu, bukan? Selalu mencari yang lebih lagi.’ ‘Andara bukan perempuan seperti itu. Dia itu adalah gadis baik-baik yang rela mengorbankan kebahagiaannya demi orang tuanya.’ Galang menyanggah bisikan hatinya. Walaupun belum sepenuhnya mengenal Andara, tetapi dia yakin jika Andara adalah gadis baik-baik. ‘Halah! Bulshit! Bukankah mantan kamu yang dulu juga seperti itu? Berpura-pura polos, tapi main belakang hingga berbuat ….’ Galang nyaris berteriak ketika teringat kembali kejadian dulu. Namun, dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk menahannya. Dipejamkannya rapat-rapat matanya dan digenggamnya kuat-kuat pinggiran tempat tidur tempatnya duduk. Perlahan dia menggumamkan kalimat istigfar dan berusaha menenangkan gemuruh di dalam hatinya seorang diri. Sampai pada akhirnya dia memutuskan untuk segera pergi tidur dan berharap esok akan lebih baik lagi. Esok paginya, Galang berusaha bersikap biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan melupakan kejadian semalam. Namun, ketika melihat wajah Andara di depan matanya. Bayangan kejadian semalam tebayang kembali. Emosi yang sedikit demi sedikit mulai padam. Kini berkobar kembali dan tanpa sadar Galang membanting sendok yang sedang ia pegang. Semua orang yang berada di meja makan tampak kaget melihat sikap Galang. Termasuk Andara yang sedang duduk di sebelahnya. “Kenapa, Lang?” tanya Zacky yang duduk di seberang Galang. Galang tampak terkejut mendengar pertanyaan Zacky. “Hah … em … enggak … enggak apa-apa kok,” jawab Galang dengan terbata-bata. “Beneran nggak apa-apa?” Zacky memastikan lagi ucapan Galang yang menurutnya meragukan itu. Galang mengangguk. “Cuma … cuma lagi … cuma lagi kepikiran sama target bulan ini,” sahut Galang. Zacky tersenyum mendengarnya. “Santai aja, Bro. Pasti achieve lah. Lagian tinggal sedikit lagi, kan kurangnya?” Galang membalas ucapan Zacky dengan senyuman juga. Setelah menyelesaikan sarapan, Galang bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Begitu pula dengan Zacky. Laki-laki itu juga berdiri dari kursinya dan menyambar tas ransel yang sejak tadi teronggok manis di sofa ruang keluarga. “Kamu lagi berantem ya sama Galang?” Tiba-tiba Desty berbisik di telinga Andara. Membuat Andara menoleh dengan ekspresi wajah heran. “Maksud, Mbak Desty?” tanya Andara tak mengerti. Desty menghela napas panjang. Belum sempat mulutnya terbuka untuk mengeluarkan jawaban, Zacky menyahut terlebih dahulu. “Aku berangkat dulu ya,” pamit Zacky. “Nanti mau dibawain apa?” Desty tersenyum. Dia lalu meraih tangan sang suami dan menciumnya. “Enggak usah, Mas. Aku cuma mau izin aja. Nanti mau ke swalayan sama Andara. Boleh, kan?” “Boleh, Sayang. Asalkan jangan lupa makan dan janga lupakan aku!” jawab Zacky sok romantis. Andara yang mendengar kata-kata itu menampakkan ekspresi eneg dan jijik. “Jijik kali dengar omongan gombal macam itu,” sambar Andara. Zacky meleletkan lidahnya ke arah sang adik. “Biarin aja. Kalau mau romantis-romantisan … tuh sama suami kamu sendiri!” sergah Zacky. Andara memelototkan matanya. Mulutnya sedikit terbuka dan bersiap untuk membalas ucapan sang kakak. Namun, suara Galang menghentikannya dan tanpa aba-aba, lelaki itu mencium kening Andara sebelum beranjak pergi. Andara terkejut melihat perlakuan Galang padanya. Kedua pipinya terasa memanas dan hatinya terasa aneh. Selama ini lelaki itu tak pernah menunjukkan sisi romantisnya di depan orang lain. Bahkan ketika mereka hanya berdua di dalam kamar, Galang lebih suka menyibukkan diri dengan gadgetnya. “Yuk, Ra! Keburu siang entar.” Suara Desty membuyarkan lamunan Andara. “Eh i-iya, Mbak. Ayo … ke mana?” tanya Andara dengan tampang polosnya. Desty mendecakkan lidahnya. Gemas sekali dia melihat tingkah sang adik ipar yang kadang membuatnya ingin terbang ke langit itu. “Gini nih kalau si Putri cuek dapat pasangan yang romantis. Baru dikecup keningnya aja udah hilang ingatan,” ledek Desty. Andara menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Cengiran khas dan tampang innocent pun tergambar jelas di wajahnya yang cantik. “Udah ah ayo buruan!” Desty menarik tangan Andara agar gadis itu mengikuti langkahnya. Malam harinya, Galang mengajak Andara untuk jalan-jalan berdua. Galang ingin menanyakan perihal lelaki yang tempo hari mengantarkan istrinya itu pulang ke rumahnya. “Kamu punya pacar, Ra?” Galang tiba-tiba menanyakan hal yang membuat Andara menatapnya lekat-lekat. “Hah! Maksudnya?” tanya Andara. Galang menyunggingkan senyum miring ketika mendengar pertanyaan Andara. “Enggak mungkin kamu nggak mengerti pertanyaan ku. Dan nggak mungkin juga seorang cewek kayak kamu nggak punya pacar.” “Maksud kamu apa sih? Kok tiba-tiba nanya kayak gitu?” Andara masih belum sepenuhnya mengerti ke mana arah pembicaraan ini. “Cowok kemarin itu, dia … dia pacar kamu, kan?” tanya Galang to the point. “Cowok yang mana?” Galang kembali menyunggingkan senyuman miring mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut sang istri. “Berarti banyak ya cowok yang sering antar jemput kamu?” Pertanyaan Galang semakin membuat Andara tak mengerti. Dia lantas kembali bertanya pada Galang apa maksud dari pertanyaan yang lebih mirip sebuah tuduhan itu. “Jawab aja pertanyaan aku,” ujar Galang. “Kamu punya pacar?” Andara menghela napas panjang. Kepalanya lantas menggeleng pelan. “Terus cowok yang semalam itu siapa? Selingkuhan kamu?” cecar Galang. “Kok jadi bawa-bawa selingkuhan sih?!” sergah Andara. “Aku memang bukan perempuan baik-baik, tapi aku pantang selingkuh ketika hubunganku belum selesai,” tegas Andara. Galang memalingkan wajahnya. Tampak sekali dirinya menahan rasa marah dan cemburu. Entah sejak kapan perasaan itu ada di dalam hatinya. “Lagian kenapa sih kok tiba-tiba Mas Galang tanya tentang itu? Bukannya ….” Belum sempat kalimat Andara selesai terucap. Galang melakukan sesuatu yang membuat bibir wanita muda itu terdiam seketika.Mentari pagi menyinari bumi, seolah ikut merayakan lembaran baru dalam hidup Andara. Tak ada lagi bayang-bayang kelam Dirga, tak ada lagi teror, tak ada lagi ancaman yang mengusik tidur malamnya. Semua berakhir sudah. Dirga kini mendekam di balik jeruji besi. Mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan pada pengadil di dunia. Tentang obsesinya pada Andara dan percobaan menculik wanita muda itu. Semuanya berkasnya sudah lengkap dan siap dilimpahkan ke kejaksaan.Namun, ternyata pengadilan Tuhan datang lebih cepat. Berita tentang Dirga sampai di telinga Andara lewat telepon dari Pak Arman, penyidik yang menangani kasusnya. “Andara, aku harus memberitahumu sesuatu ... Dirga ditemukan meninggal di selnya tadi pagi,” ucap Pak Arman dengan suara serius. Andara terdiam sejenak. Seolah pikirannya berhenti bekerja. "Dia ... meninggal?" suaranya nyaris berbisik. "Ya. Diduga kuat bunuh diri. Polisi menemukan sepucuk surat
Udara sore itu terasa gerah, seolah menyimpan firasat buruk yang sebentar lagi meledak. Di depan rumah Zacky, Andara terus meronta dengan sekuat tenaga. Berusaha melepaskan diri dari genggaman tangan besi Dirga. Tubuhnya yang mungil tampak tak berdaya di hadapan laki-laki itu. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat pasi. “Lepaskan aku, Dirga! Kamu gila!” teriak Andara histeris. Suaranya serak karena terlalu banyak berteriak sejak tadi. Namun, Dirga hanya menyeringai puas. “Diam, Andara. Kamu milikku. Seharusnya sejak dulu kamu jadi milikku, bukan Galang!” desisnya penuh amarah. Genggamannya di lengan Andara semakin kuat, hingga gadis itu meringis kesakitan. “Tolooong!” pekik Andara lagi, suaranya menggema di sepanjang jalan. Namun, tak ada siapa pun yang datang. Seolah dunia menutup mata pada penderitaannya. Dirga menarik paksa tubuh Andara menuju mobil hitam yang terparkir tak jauh dari sana. Andara teru
Langit belum sepenuhnya gelap saat Andara kembali terbangun dari tidur singkatnya. Detak jantungnya berpacu lebih cepat daripada biasanya. Dadanya sesak, seolah ada tangan tak kasatmata yang menekannya kuat-kuat. Sudah berhari-hari ia tak bisa tidur nyenyak sejak pindah ke rumah Zacky. Rumah besar dengan pagar tinggi itu tak memberinya rasa aman. Justru ia merasa terjebak dalam kurungan yang tak terlihat. “Kenapa aku terus merasa seperti ini?” gumamnya pelan sambil memeluk bantal. “Kapan semua ini akan berakhir?” Suaranya terdengar putus asa. Seolah tak ada harapan akan hari esok yang lebih baik lagi. Di setiap sudut rumah, Andara merasa ada mata yang mengintainya. Mengawasi setiap gerak langkahnya. Entah dari bayangan di balik tirai, pantulan kaca jendela, atau bahkan dari cermin di kamarnya sendiri. Ketakutannya bukan tanpa sebab. Teror yang dialaminya tak pernah mengenal waktu. Siang dan malam terasa sama mencekamnya.
Zacky menatap adiknya yang menggigil di pelukannya. Wajah Andara pucat, matanya kosong. Napasnya tersengal, seolah baru saja dikejar mimpi buruk yang tak kunjung usai. “Aku enggak akan biarkan kamu ngerasain ini lagi, Ra …” gumam Zacky dengan rahang mengeras. “Enggak akan ada satu orang pun yang bisa nyentuh kamu tanpa melewati aku dulu.” Galang berdiri tak jauh dari mereka, menatap Andara dengan rasa bersalah yang menggerogoti hati. Tangannya terkepal, napasnya berat, tetapi ia tetap diam. Saat ingin melangkah mendekat, Zacky justru menatapnya tajam. “Jangan dekati dia!” bentak Zacky, matanya berkilat penuh amarah. “Udah cukup kamu memberikan rasa takut padanya, Galang. Kamu enggak becus jagain istri kamu sendiri!” Galang tertegun, tetapi tidak mundur. Dia mengatur napasnya dan irama jantungnya yang tak beraturan. “Aku sudah berusaha untuk melakukan yang terbaik …” “Terbaik?!” Zacky mencibir. “
Dirga melarikan diri dari penjara. Joko membantunya untuk menyelinap keluar ketika ada teman yang menjenguknya di dalam penjara tempo hari. Tak ada yang melihat dan tak ada yang tahu jika Dirga sudah berdiri bebas di luar gedung yang selama ini membelenggu kebebasannya. Dirga menyeringai puas saat mendengar kabar tentang ketakutan yang menyelimuti Andara. Ia duduk santai di kursi kayu reyot di gudang tempat persembunyiannya, menikmati segelas kopi pahit yang kini terasa manis karena rasa puas yang membuncah. Wajahnya yang tirus terlihat lebih menyeramkan ketika cahaya redup dari lampu minyak menyinari setengah bagian mukanya. Matanya menyipit, menatap foto Andara yang tergeletak di atas meja penuh debu. "Aku akan buat kamu menyesal, Andara," gumamnya. “Kamu pikir kamu bisa bahagia setelah ninggalin aku? Kamu salah.” “Aku nggak akan tinggal diam, Sayang. Kamu harus tetap jadi milikku selamanya.” Seringai menakutkan tergambar di wajahnya
Joko akhirnya dijebloskan ke dalam penjara karena membantu rencana Dirga untuk meneror Andara. Galang bisa bernapas dengan lega setelah penangkapan yang dramatis malam itu. Namun, dia tetap harus waspada. Dia tak ingin kecolongan lagi seperti yang sudah-sudah. Semenjak Joko ditangkap dan dipenjara, rumah Andara dan Galang seperti menemukan kembali denyut damainya. Suara tawa pelan, obrolan hangat, dan langkah ringan kembali mengisi ruang-ruang yang sempat dingin oleh rasa takut dan ketegangan. Meski rasa trauma itu masih membayang, terutama saat Andara sendirian. Akan tetapi, hari-hari berjalan lebih tenang. Galang pun seolah berusaha menebus segala waktu yang sempat hilang. Ia lebih sering berada di rumah, menemaninya sarapan, menjemputnya pulang mengajar, bahkan sesekali membantu menyiram tanaman di halaman belakang rumah mereka. Sentuhan kecil semacam itu terasa besar bagi Andara. Kehangatan yang dulu sempat meredup, kini kembali menyala.