“Aku memang nggak pernah setuju sama perjodohan ini. Tapi, aku juga nggak mau menjadikan pernikahan ini sebagai permainan,” geram Galang.
Andara melongo mendengar penuturan Galang yang terdengar tegas. “Lho siapa yang bilang kalau Mas Galang mempermainkan pernikahan ini?” sergah Andara. Andara sudah tak bisa lagi memendung emosinya ketika mendengar ucapan Galang. Walaupun suaranya masih terdengar lembut. “Memang nggak ada. Tapi, kamu …,” tunjuk Galang. “Kamu secara nggak langsung udah mulai mempermainkan pernikahan ini. Kamu udah mulai main belakang,” sahut Galang. “Maksud kamu apa sih? Kenapa nyasar nggak karuan gini ngomongnya,” kesal Andara. Galang mendengus kesal mendengar ucapan sang istri. Dia lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. Sedangkan Andara masih menatap tajam ke arah lelaki yang berstatus suaminya itu. “Sekarang aku tanya,” ucap Andara akhirnya. “Kenapa tiba-tiba kamu mengajukan pertanyaan seperti itu sama aku?” “Kamu nggak percaya sama aku? Atau kamu curiga sama aku?” cecar Andara. Galang menatap Andara sekilas sebelum akhirnya menundukkan kepalanya. Menatap rerumputan di bawah kursi yang ia duduki. “Kenapa diam aja sekarang?” Andara tampak tak sabar ketika melihat Galang hanya terdiam saja. “Jawab dong!” Andara mulai hilang kesabaran ketika melihat Galang hanya diam saja di tempatnya. Galang menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Andara. “Aku cuma pengin tahu aja. Siapa cowok yang nganterin kamu semalam? Apa dia pacar kamu? Kalau dia pacar kamu …” “Dia temen kuliah ku. Dan kami nggak ada hubungan apa-apa selain teman biasa,” potong Andara cepat. Galang menghela napas sekali lagi. “Yakin cuma berteman biasa saja? Enggak ada sesuatu yang menyelinap di dalam hati masing-masing dari kalian?” cecar Galang. Andara mengangguk yakin. “Mau percaya atau enggak … itu urusan kamu. Yang jelas aku udah ngomong jujur. Enggak ada yang aku tutup-tutupi dari kamu,” tegas Andara. Andara tak bisa lagi menyembunyikan perasaan kesalnya terhadap lelaki yang kini berstatus menjadi suaminya itu. Galang menganggukkan kepalanya. Dia lalu mencondongkan tubuhnya dan membisikkan sesuatu di telinga Andara. “Jangan pernah mainin perasaan orang yang pernah terluka oleh masa lalunya!” bisik Galang. Belum sempat Andara menyahut, Galang bangkit dari tempat duduknya. Meninggalkan Andara yang tampak kebingungan dan hanya bisa terpaku di tempatnya. ******************* Sudah beberapa hari ini sikap Galang tak berubah. Lelaki itu masih bersikap dingin dan hanya berbicara seperlunya saja dengan istrinya itu. Terkecuali di depan kedua orang tua Andara. Dia akan bersikap biasa saja seolah tak ada masalah di antara mereka berdua. Namun, ketika mereka sedang berdua saja, sikap Galang akan kembali dingin dan kaku. Andara bukannya diam saja melihat sang suami seperti ini. Dia berusaha untuk mencairkan dinginnya sikap Galang dengan berbagai cara. Namun, sejauh ini usahanya belum membuahkan hasil. Galang masih saja bersikap dingin padanya. Seperti pagi ini, Andara tampak bersiap akan pergi kuliah. Dia duduk di depan meja rias dan mulai menyapukan make up tipis ke wajahnya. Galang yang baru saja selesai mandi, tampak melirik sekilas ke arah sang istri. “Aku hari ini pulang sore. Soalnya aku ada janji sama Anessa mau ke toko buku dulu,” ucap Andara sembari menatap pantulan tubuh sang suami di cermin riasnya. Galang tak merespon ucapan sang istri. Dia hanya melirik sekilas lalu kembali sibuk dengan aktifitasnya sendiri. “Boleh nggak aku pergi sama Nessa?” tanya Andara sekali lagi. Galang tak merespon pertanyaan dari sang istri. Dia lagi-lagi hanya melirik sekilas ke arah Andara tanpa berniat untuk membuka mulutnya sedikit pun. Andara menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan sedikit kasar. “Aku tanya baik-baik lho sama kamu. Tolong dong dijawab dengan baik!” ucap Andara. Galang tampak tak peduli. Dia masih saja sibuk merapikan kemejanya. “Bisa nggak sih bersikap biasa aja? Enggak usah kayak anak kecil gini?” protes Andara. Galang menyunggingkan senyum miring. “Diizinkan atau enggak, kamu pasti bakalan tetap pergi, kan?” sergah Galang. “Jadi, buat apa minta izin lagi?” Setelah berkata demikian, Galang pergi keluar kamar. Meninggalkan Andara dengan setumpuk kesal yang semakin menggunung. “Sabar, Ra! Sabar! Orang sabar badannya lebar eh salah. Orang sabar rejekinya lebar!” Andara mengelus dadanya sembari menarik napas dalam-dalam. Di ruang makan, tampak kedua orang tua Andara duduk sembari menikmati sarapan pagi masing-masing. Wajah keduanya nampak sangat berseri-seri bahagia. “Selamat pagi, Pa, Ma,” sapa Galang begitu dirinya sampai di ruang makan. “Selamat pagi menantuku yang ganteng rupawan se-Indonesia raya Nusantara alam semesta.” Mama membalas sapaan Galang dengan senyum menggoda. Membuat Papa yang duduk di sampingnya memelototkan matanya. Galang tersenyum mendengar sang mama mertua memujinya. “Lebay!” sahut Andara yang tiba-tiba sudah berada di ruang makan. “Cowok modelan gitu dibilang ganteng seantero Nusantara. Ganteng dari mananya coba?” gerutu Andara. “Hus!” sergah Mama. “Emang beneran ganteng kok. Iya kan, Pa?” Mama mencoba mencari dukungan dari Papa. “Emang beneran ganteng kok. Ya sebelas dua belas lah sama Papa.” Papa menimpali ucapan Mama sembari menaik-turunkan alisnya. Andara mencebikkan bibirnya setelah mendengar ucapan sang papa. Kemudian tanpa menjawab lagi, dia segera menarik kursi dan menempatkan bobot tubuhnya di sana. “Em … Ma, Galang mau minta izin. Nanti sore kita berdua mau pulang ke rumah,” ucap Galang. Senyum Mama mendadak hilang ketika mendengar ucapan Galang. Dahi wanita berparas lembut itu berkerut. “Kok mendadak mau pulang? Kenapa? Enggak betah ya tinggal di sini? Keganggu ya aktifitas kalian berdua?” cecar Mama. Galang tersenyum ramah. “Bukan begitu, Ma! Cuma nggak enak aja ninggalin rumah terlalu lama. Apa lagi kita berdua mau ….” Galang tak meneruskan kalimatnya. Dia lantas melirik ke arah sang istri yang terlihat cuek dan terus mengunyah makanannya. Mama dan Papa yang awalnya hanya bengong kini mengerti arti lirikan mata sang menantu. Keduanya lantas tersenyum penuh arti. “Ooo iya. Papa paham kok. Kalian mau …” Papa tak meneruskan kalimatnya, tetapi alisnya tampak naik turun dengan senyuman jahil yang terlukis di wajahnya. Galang menundukkan kepalanya. Menyembunyikan rona merah yang tiba-tiba saja muncul. Sedangkan Andara masih tampak cuek saja. Dia tak menghiraukan celotehan papanya walaupun di dalam hati dia penasaran apa maksudnya? “Aku udah selesai.” Andara bangkit dari tempat duduknya dan segera menyambar tas selempang yang senantiasa menemaninya ke kampus. “Pa, Ma, aku berangkat dulu ya!” Andara berpamitan seraya mencium punggung tangan kedua orang tuanya secara bergantian. “Aku anterin kamu ya?” tawar Galang dengan nada lembut. Belum sempat Andara menjawab, Galang sudah berdiri dan menggandeng tangan sang istri. Setelah berpamitan, mereka berdua lantas berjalan sembari tetap bergandengan tangan. Namun, saat akan sampai di ruang tamu, telinga Andara menangkap suara yang membuat dadanya menjadi sesak seketika.Andara tampak duduk termenung. Matanya basah dan sembab. Entah sudah berapa kali air matanya jatuh membasahi pipinya. Pikirannya kacau dan hatinya berdenyut nyeri. Kejadian beberapa jam yang lalu terus berputar di dalam otaknya. Seolah mengejek nasibnya. “Jadi, selama ini aku itu beban buat Papa dan Mama?” tanya Andara setelah mendengar sesuatu yang seharusnya tak ia dengar. “Jadi, selama ini kalian merawat ku supaya bisa menjadi tumbal untuk melunasi utang yang bahkan aku sendiri nggak tahu bentuknya seperti apa?” lanjutnya dengan suara bergetar. “Bukan begitu, Ra. Kami hanya …” Andara menepis tangan sang mama ketika perempuan itu hendak menyentuhnya. Matanya memerah dengan sorot tajam yang mengerikan. “Jadi ini alasan kalian nggak mengizinkan aku untuk berhubungan dengan orang lain?” cecar Andara. “Ini juga yang menjadi alasan kalian nggak merestui hubungan aku yang dulu?” pekik Andara.
“Kami ingin bicara sama kalian berdua,” ucap Papa ketika berada di samping meja Andara dan Galang. “Kami ingin meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di antara kita,” lanjut Mama. Andara menyunggingkan senyuman sinis mendengar ucapan kedua orang tuanya. Matanya menatap sekilas ke arah kedua orang tuanya. “Boleh kami duduk?” tanya Papa dengan hati-hati. Andara menatap sang papa dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tatapannya yang tajam dan sinis membuat Papa sedikit takut. “Silakan, Pa, Ma!” Galang yang kemudian mempersilakan kedua mertuanya untuk duduk di depannya. Sedangkan Andara kini berpindah menempati kursi yang ada di sebelah Galang. “Terus terang kami bingung mau memulai semuanya dari mana. Karena …” “Enggak usah banyak basa-basi deh. Buruan mau ngomong apa?” sentak Andara. Galang menyenggol lengan sang istri. Memperingatkan Andara untuk tetap bersikap sopan
Galang memutuskan untuk meninggalkan pekarangan rumah kedua orang tuanya. Percakapan kedua orang tuanya yang tak sengaja ia dengar mampu memporak-porandakan hatinya saat ini. Dia pun merasa bersalah pada sang istri. Sekarang dia paham bagaimana rasa sakitnya sang istri saat ini. “Lho, Mas!” tegur seseorang yang tak lain adalah Anessa. “Mau pulang atau baru datang?” tanyanya pada Galang yang sudah berada di atas sepeda motor miliknya. Galang mencoba tersenyum. “Baru datang. Tapi, kayaknya Bunda dan Ayah lagi ada tamu deh,” jawab Galang. “Tamu? Tamu siapa?” tanya Anessa dengan dahi berkerut heran. Galang mengangkat bahunya tanda dirinya tidak tahu. “Mungkin rekan kerja Ayah,” sahut Galang sekenanya. Anessa mengerutkan dahinya. Dia tak percaya dengan ucapan sang kakak. Karena di luar pagar rumahnya tak ada kendaraan yang terparkir. Biasanya jika ada tamu, mereka memarkir kendaraannya di luar pagar. Akan tetapi, ini … “Udah ya. Aku mau pulang dulu
Anessa menatap kepergian sang kekasih dengan perasaan yang campur aduk. Terus terang saja dia ingin kekasihnya berada di sini saat ini. Menemaninya ke butik untuk melakukan fitting baju. Namun, apa boleh buat. Sang kekasih tak bisa menemani dirinya. Pekerjaannya tak mengizinkan lelaki itu untuk tinggal lebih lama. Anessa menarik napas dalam-dalam sembari memejamkan matanya. Setelah itu ia embuskan napasnya secara perlahan. Walaupun masih ada setitik rasa kecewa, tetapi itu lebih baik dari pada sebelumnya. “Kenapa kamu diam saja di sini?” Tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang Anessa. Sontak saja gadis itu menoleh ke belakang. “Kenapa malah diam saja? Dia itu mau ketemuan sama selingkuhannya. Cepat ikuti dia sekarang!” ujar orang itu lagi. Anessa mengerutkan keningnya. Dia lantas berdiri dari tempat duduknya. Berniat untuk menghampiri orang itu. Namun, belum sempat langkahnya mendekat, orang itu bangkit dari tempat du
Semenjak keluar dari toko buku, Andara tampak diam saja. Dia hanya berkata seperlunya saja. Tak seperti tadi sebelum dirinya dan Anessa bertemu dengan Galang. “Makan siang dulu yuk!” ajak Anessa. “Ide bagus tuh. Gimana, Ra?” Galang meminta persetujuan dari sang istri atas ajakan Anessa. “Terserah,” jawab Andara pendek. Galang menghela napas panjang. Mulutnya sudah akan memprotes jawaban yang diberikan oleh Andara. Namun, Anessa dengan segera menyela obrolan mereka berdua. “Aku tahu kafe yang lagi hits sekarang. Makanan dan minumannya juga enak-enak,” sela Anessa. “Oh iya? Di mana tuh?” tanya Galang antusias. “Ada di mal ini juga kok. Di lantai tiga. Yuk ke sana aja!” jawab Anessa. Galang mengangguk setuju. Dia melirik ke arah Andara sekilas. Mencoba mencari tahu apa yang membuat istrinya itu menjadi dingin dan cuek. Namun, dia tak bisa menemukan alasan yang masuk akal. Akhirnya dia hanya diam dan memperhatikan Andara secara diam-diam. “Kamu kenapa, Ra?” bisik Anessa y
Andara menutuo mulutnya dengan kedua tangannya. Lidahnya menjadi kelu dan rasa tak percaya menyelimuti relung batinnya. Seseorang yang ia anggap kalem dan sabar, ternyata bisa meledak seperti ini. “Dasar laki-laki ********!” maki Anessa. Setelah melontarkan makian, Anessa segera keluar dari tempat itu. Disusul kemudian oleh Andara. Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk segera pulang ke rumah. “Aku nggak nyangka dia bisa setega ini. Apa coba kurang ku sama dia?” ujar Anessa setelah keduanya berada di rumah Andara. Andara tampak bingung hendak menanggapi bagaimana. Dirinya juga tak tahu dan tak mengenal calon suami Anessa. Dia hanya tahu nama dan pekerjaannya. Untuk yang lain-lainnya, Andara sama sekali tak mengetahuinya. “Selama ini aku selalu ngalah demi dia. Selalu berusaha mengerti posisi dia. Aku nggak pernah merengek minta diantar-jemput seperti kebanyakan cewek-cewek yang lain. Aku … hah!” “Bodoh banget aku yang terlalu percaya sama dia. Ter
“Jadi, cuma gara-gara Papa kamu asal ngomong aja waktu itu. Bukan karena utang yang seperti pikiran kamu selama ini?” tanya Anessa dengan ekspresi tak percaya. Andara menganggukkan kepala sembari mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dia lalu teringat percakapannya dengan kedua orang tuanya tadi siang. “Cuma karena asal ngomong, Papa dan Mama tega numbalin aku,” seru Andara. “Bukan ditumbalkan, Ra. Melainkan dinikahkan dengan seorang cowok cakep yang masa depannya juga cakep,” sahut Mama tetap dengan gaya konyolnya. Andara memutar bola matanya dengan malas. “Sama aja. Intinya aku ditumbalkan untuk memenuhi janji yang nggak sengaja kalian ucapkan, kan?” “Bukan ditumbalkan, Ra. Kan Mama udah bilang berulang kali,” sergah sang mama. Andara mengibaskan tangannya. “Terus sekarang kalian pengin aku maafin ketidaksengajaan yang kalian buat sendiri. Begitu, kan?” Mama dan Papa saling lempar pandang. Sejurus kemudian keduanya menganggukkan kepala secara ber
“Aku serius dengan ucapanku, Ra!” Galang berkata sembari menatap kedua mata sang istri. Andara mencoba mencerna ucapan yang keluar dari mulut Galang. Dia tak ingin terlalu berharap yang pada akhirnya membuatnya kecewa dan terluka. “Aku … sudah lama jatuh hati … sama … kamu, Andara.” Dengan susah payah Galang menyelesaikan ungkapan dari hatinya yang terdalam. “Aku … ingin selamanya bersamamu,” lanjut lelaki berbadan tegap itu. Dada Andara bergemuruh hebat. Cuping telinganya tak begitu saja bisa mempercayai apa yang keluar dari mulut seorang Galang. “Apa … kamu … bersedia hidup bersamaku?” tanya Galang. “Memang terdengar konyol dan gombal. Tapi, itulah yang aku rasakan saat ini. Hatiku sudah terpaut di kamu,” lanjut Galang. Andara masih belum bisa mengatakan sepatah kata pun juga. Lidahnya tiba-tiba saja menjadi kelu dan otaknya mendadak blank. Hanya jantungnya yang sejak tadi berd
“Aku serius dengan ucapanku, Ra!” Galang berkata sembari menatap kedua mata sang istri. Andara mencoba mencerna ucapan yang keluar dari mulut Galang. Dia tak ingin terlalu berharap yang pada akhirnya membuatnya kecewa dan terluka. “Aku … sudah lama jatuh hati … sama … kamu, Andara.” Dengan susah payah Galang menyelesaikan ungkapan dari hatinya yang terdalam. “Aku … ingin selamanya bersamamu,” lanjut lelaki berbadan tegap itu. Dada Andara bergemuruh hebat. Cuping telinganya tak begitu saja bisa mempercayai apa yang keluar dari mulut seorang Galang. “Apa … kamu … bersedia hidup bersamaku?” tanya Galang. “Memang terdengar konyol dan gombal. Tapi, itulah yang aku rasakan saat ini. Hatiku sudah terpaut di kamu,” lanjut Galang. Andara masih belum bisa mengatakan sepatah kata pun juga. Lidahnya tiba-tiba saja menjadi kelu dan otaknya mendadak blank. Hanya jantungnya yang sejak tadi berd
“Jadi, cuma gara-gara Papa kamu asal ngomong aja waktu itu. Bukan karena utang yang seperti pikiran kamu selama ini?” tanya Anessa dengan ekspresi tak percaya. Andara menganggukkan kepala sembari mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dia lalu teringat percakapannya dengan kedua orang tuanya tadi siang. “Cuma karena asal ngomong, Papa dan Mama tega numbalin aku,” seru Andara. “Bukan ditumbalkan, Ra. Melainkan dinikahkan dengan seorang cowok cakep yang masa depannya juga cakep,” sahut Mama tetap dengan gaya konyolnya. Andara memutar bola matanya dengan malas. “Sama aja. Intinya aku ditumbalkan untuk memenuhi janji yang nggak sengaja kalian ucapkan, kan?” “Bukan ditumbalkan, Ra. Kan Mama udah bilang berulang kali,” sergah sang mama. Andara mengibaskan tangannya. “Terus sekarang kalian pengin aku maafin ketidaksengajaan yang kalian buat sendiri. Begitu, kan?” Mama dan Papa saling lempar pandang. Sejurus kemudian keduanya menganggukkan kepala secara ber
Andara menutuo mulutnya dengan kedua tangannya. Lidahnya menjadi kelu dan rasa tak percaya menyelimuti relung batinnya. Seseorang yang ia anggap kalem dan sabar, ternyata bisa meledak seperti ini. “Dasar laki-laki ********!” maki Anessa. Setelah melontarkan makian, Anessa segera keluar dari tempat itu. Disusul kemudian oleh Andara. Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk segera pulang ke rumah. “Aku nggak nyangka dia bisa setega ini. Apa coba kurang ku sama dia?” ujar Anessa setelah keduanya berada di rumah Andara. Andara tampak bingung hendak menanggapi bagaimana. Dirinya juga tak tahu dan tak mengenal calon suami Anessa. Dia hanya tahu nama dan pekerjaannya. Untuk yang lain-lainnya, Andara sama sekali tak mengetahuinya. “Selama ini aku selalu ngalah demi dia. Selalu berusaha mengerti posisi dia. Aku nggak pernah merengek minta diantar-jemput seperti kebanyakan cewek-cewek yang lain. Aku … hah!” “Bodoh banget aku yang terlalu percaya sama dia. Ter
Semenjak keluar dari toko buku, Andara tampak diam saja. Dia hanya berkata seperlunya saja. Tak seperti tadi sebelum dirinya dan Anessa bertemu dengan Galang. “Makan siang dulu yuk!” ajak Anessa. “Ide bagus tuh. Gimana, Ra?” Galang meminta persetujuan dari sang istri atas ajakan Anessa. “Terserah,” jawab Andara pendek. Galang menghela napas panjang. Mulutnya sudah akan memprotes jawaban yang diberikan oleh Andara. Namun, Anessa dengan segera menyela obrolan mereka berdua. “Aku tahu kafe yang lagi hits sekarang. Makanan dan minumannya juga enak-enak,” sela Anessa. “Oh iya? Di mana tuh?” tanya Galang antusias. “Ada di mal ini juga kok. Di lantai tiga. Yuk ke sana aja!” jawab Anessa. Galang mengangguk setuju. Dia melirik ke arah Andara sekilas. Mencoba mencari tahu apa yang membuat istrinya itu menjadi dingin dan cuek. Namun, dia tak bisa menemukan alasan yang masuk akal. Akhirnya dia hanya diam dan memperhatikan Andara secara diam-diam. “Kamu kenapa, Ra?” bisik Anessa y
Anessa menatap kepergian sang kekasih dengan perasaan yang campur aduk. Terus terang saja dia ingin kekasihnya berada di sini saat ini. Menemaninya ke butik untuk melakukan fitting baju. Namun, apa boleh buat. Sang kekasih tak bisa menemani dirinya. Pekerjaannya tak mengizinkan lelaki itu untuk tinggal lebih lama. Anessa menarik napas dalam-dalam sembari memejamkan matanya. Setelah itu ia embuskan napasnya secara perlahan. Walaupun masih ada setitik rasa kecewa, tetapi itu lebih baik dari pada sebelumnya. “Kenapa kamu diam saja di sini?” Tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang Anessa. Sontak saja gadis itu menoleh ke belakang. “Kenapa malah diam saja? Dia itu mau ketemuan sama selingkuhannya. Cepat ikuti dia sekarang!” ujar orang itu lagi. Anessa mengerutkan keningnya. Dia lantas berdiri dari tempat duduknya. Berniat untuk menghampiri orang itu. Namun, belum sempat langkahnya mendekat, orang itu bangkit dari tempat du
Galang memutuskan untuk meninggalkan pekarangan rumah kedua orang tuanya. Percakapan kedua orang tuanya yang tak sengaja ia dengar mampu memporak-porandakan hatinya saat ini. Dia pun merasa bersalah pada sang istri. Sekarang dia paham bagaimana rasa sakitnya sang istri saat ini. “Lho, Mas!” tegur seseorang yang tak lain adalah Anessa. “Mau pulang atau baru datang?” tanyanya pada Galang yang sudah berada di atas sepeda motor miliknya. Galang mencoba tersenyum. “Baru datang. Tapi, kayaknya Bunda dan Ayah lagi ada tamu deh,” jawab Galang. “Tamu? Tamu siapa?” tanya Anessa dengan dahi berkerut heran. Galang mengangkat bahunya tanda dirinya tidak tahu. “Mungkin rekan kerja Ayah,” sahut Galang sekenanya. Anessa mengerutkan dahinya. Dia tak percaya dengan ucapan sang kakak. Karena di luar pagar rumahnya tak ada kendaraan yang terparkir. Biasanya jika ada tamu, mereka memarkir kendaraannya di luar pagar. Akan tetapi, ini … “Udah ya. Aku mau pulang dulu
“Kami ingin bicara sama kalian berdua,” ucap Papa ketika berada di samping meja Andara dan Galang. “Kami ingin meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di antara kita,” lanjut Mama. Andara menyunggingkan senyuman sinis mendengar ucapan kedua orang tuanya. Matanya menatap sekilas ke arah kedua orang tuanya. “Boleh kami duduk?” tanya Papa dengan hati-hati. Andara menatap sang papa dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tatapannya yang tajam dan sinis membuat Papa sedikit takut. “Silakan, Pa, Ma!” Galang yang kemudian mempersilakan kedua mertuanya untuk duduk di depannya. Sedangkan Andara kini berpindah menempati kursi yang ada di sebelah Galang. “Terus terang kami bingung mau memulai semuanya dari mana. Karena …” “Enggak usah banyak basa-basi deh. Buruan mau ngomong apa?” sentak Andara. Galang menyenggol lengan sang istri. Memperingatkan Andara untuk tetap bersikap sopan
Andara tampak duduk termenung. Matanya basah dan sembab. Entah sudah berapa kali air matanya jatuh membasahi pipinya. Pikirannya kacau dan hatinya berdenyut nyeri. Kejadian beberapa jam yang lalu terus berputar di dalam otaknya. Seolah mengejek nasibnya. “Jadi, selama ini aku itu beban buat Papa dan Mama?” tanya Andara setelah mendengar sesuatu yang seharusnya tak ia dengar. “Jadi, selama ini kalian merawat ku supaya bisa menjadi tumbal untuk melunasi utang yang bahkan aku sendiri nggak tahu bentuknya seperti apa?” lanjutnya dengan suara bergetar. “Bukan begitu, Ra. Kami hanya …” Andara menepis tangan sang mama ketika perempuan itu hendak menyentuhnya. Matanya memerah dengan sorot tajam yang mengerikan. “Jadi ini alasan kalian nggak mengizinkan aku untuk berhubungan dengan orang lain?” cecar Andara. “Ini juga yang menjadi alasan kalian nggak merestui hubungan aku yang dulu?” pekik Andara.
“Aku memang nggak pernah setuju sama perjodohan ini. Tapi, aku juga nggak mau menjadikan pernikahan ini sebagai permainan,” geram Galang. Andara melongo mendengar penuturan Galang yang terdengar tegas. “Lho siapa yang bilang kalau Mas Galang mempermainkan pernikahan ini?” sergah Andara. Andara sudah tak bisa lagi memendung emosinya ketika mendengar ucapan Galang. Walaupun suaranya masih terdengar lembut. “Memang nggak ada. Tapi, kamu …,” tunjuk Galang. “Kamu secara nggak langsung udah mulai mempermainkan pernikahan ini. Kamu udah mulai main belakang,” sahut Galang. “Maksud kamu apa sih? Kenapa nyasar nggak karuan gini ngomongnya,” kesal Andara. Galang mendengus kesal mendengar ucapan sang istri. Dia lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. Sedangkan Andara masih menatap tajam ke arah lelaki yang berstatus suaminya itu. “Sekarang aku tanya,” ucap Andara akhirnya. “Kenapa tiba-tiba k