Andara tampak duduk termenung. Matanya basah dan sembab. Entah sudah berapa kali air matanya jatuh membasahi pipinya. Pikirannya kacau dan hatinya berdenyut nyeri. Kejadian beberapa jam yang lalu terus berputar di dalam otaknya. Seolah mengejek nasibnya.
“Jadi, selama ini aku itu beban buat Papa dan Mama?” tanya Andara setelah mendengar sesuatu yang seharusnya tak ia dengar. “Jadi, selama ini kalian merawat ku supaya bisa menjadi tumbal untuk melunasi utang yang bahkan aku sendiri nggak tahu bentuknya seperti apa?” lanjutnya dengan suara bergetar. “Bukan begitu, Ra. Kami hanya …” Andara menepis tangan sang mama ketika perempuan itu hendak menyentuhnya. Matanya memerah dengan sorot tajam yang mengerikan. “Jadi ini alasan kalian nggak mengizinkan aku untuk berhubungan dengan orang lain?” cecar Andara. “Ini juga yang menjadi alasan kalian nggak merestui hubungan aku yang dulu?” pekik Andara.“Foto siapa itu?” tanya Andara. Galang yang hendak duduk pun menghentikan aksinya. Dia menatap Andara dengan tatapan bingung. “Di wallpaper hp kamu. Itu foto siapa?” Andara mengulangi lagi pertanyaannya sembari menatap mata sang suami. Galang menjadi gelagapan mendengar pertanyaan itu. Dia butuh sedikit improvisasi agar Andara tak salah paham padanya. “Itu foto … foto …” “Foto pacar kamu?” potong Andara cepat. Matanya masih menatap sang suami. Lelaki yang berstatus menjadi suaminya itu tampak bingung. Dia tak tahu harus menjawab apa pertanyaan yang mungkin bisa memancing pertengkaran di antara keduanya. “Heh! Lucu ya,” ujar Andara. “Kemarin aja bilang aku sayang kamu, Ra. Aku udah jatuh hati sama kamu. Sekarang …” “Nyimpen foto cewek. Dijadiin wallpaper lagi,” lanjut Andara. Galang menghela napas panjang. Tanpa menjelaskan apa-apa pun pada Andara, dia me
Wajah Andara memerah menahan tawa yang seolah-olah akan meledak. Walpaper yang terpasang di layar laptop milik Galang sukses membuat perutnya terasa kaku. “Narsis banget sih jadi orang!” gumam Andara. Seulas senyum tipis tergambar di wajahnya. Melihat senyum samar itu, Anessa lantas bertanya. “Kenapa, Ra? Senyum-senyum sendiri gitu?” Andara menoleh dan kemudian mengalihkan laptop itu ke arah Anessa. Seketika itu juga tawa Anessa meledak tanpa bisa tertahankan lagi. Bagaimana tidak? Dia melihat foto sang kakak dengan pose yang dibuat sok imut. “Sok cakep banget sih dia!” ujarnya di sela tawanya yang berderai. “Geli banget nggak sih, Ra?” tanya Anessa setelah tawanya reda. Andara menatap sang sahabat lalu tersenyum. “Entahlah! Aku nggak pernah lihat mukanya kalau ….” Belum sempat kalimat itu selesai, terdengar suara seseorang berjalan menuju tempat mereka. Tak lama kemudian munc
“Aku serius dengan ucapanku, Ra!” Galang berkata sembari menatap kedua mata sang istri. Andara mencoba mencerna ucapan yang keluar dari mulut Galang. Dia tak ingin terlalu berharap yang pada akhirnya membuatnya kecewa dan terluka. “Aku … sudah lama jatuh hati … sama … kamu, Andara.” Dengan susah payah Galang menyelesaikan ungkapan dari hatinya yang terdalam. “Aku … ingin selamanya bersamamu,” lanjut lelaki berbadan tegap itu. Dada Andara bergemuruh hebat. Cuping telinganya tak begitu saja bisa mempercayai apa yang keluar dari mulut seorang Galang. “Apa … kamu … bersedia hidup bersamaku?” tanya Galang. “Memang terdengar konyol dan gombal. Tapi, itulah yang aku rasakan saat ini. Hatiku sudah terpaut di kamu,” lanjut Galang. Andara masih belum bisa mengatakan sepatah kata pun juga. Lidahnya tiba-tiba saja menjadi kelu dan otaknya mendadak blank. Hanya jantungnya yang sejak tadi berd
“Jadi, cuma gara-gara Papa kamu asal ngomong aja waktu itu. Bukan karena utang yang seperti pikiran kamu selama ini?” tanya Anessa dengan ekspresi tak percaya. Andara menganggukkan kepala sembari mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dia lalu teringat percakapannya dengan kedua orang tuanya tadi siang. “Cuma karena asal ngomong, Papa dan Mama tega numbalin aku,” seru Andara. “Bukan ditumbalkan, Ra. Melainkan dinikahkan dengan seorang cowok cakep yang masa depannya juga cakep,” sahut Mama tetap dengan gaya konyolnya. Andara memutar bola matanya dengan malas. “Sama aja. Intinya aku ditumbalkan untuk memenuhi janji yang nggak sengaja kalian ucapkan, kan?” “Bukan ditumbalkan, Ra. Kan Mama udah bilang berulang kali,” sergah sang mama. Andara mengibaskan tangannya. “Terus sekarang kalian pengin aku maafin ketidaksengajaan yang kalian buat sendiri. Begitu, kan?” Mama dan Papa saling lempar pandang. Sejurus kemudian keduanya menganggukkan kepala secara ber
Andara menutuo mulutnya dengan kedua tangannya. Lidahnya menjadi kelu dan rasa tak percaya menyelimuti relung batinnya. Seseorang yang ia anggap kalem dan sabar, ternyata bisa meledak seperti ini. “Dasar laki-laki ********!” maki Anessa. Setelah melontarkan makian, Anessa segera keluar dari tempat itu. Disusul kemudian oleh Andara. Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk segera pulang ke rumah. “Aku nggak nyangka dia bisa setega ini. Apa coba kurang ku sama dia?” ujar Anessa setelah keduanya berada di rumah Andara. Andara tampak bingung hendak menanggapi bagaimana. Dirinya juga tak tahu dan tak mengenal calon suami Anessa. Dia hanya tahu nama dan pekerjaannya. Untuk yang lain-lainnya, Andara sama sekali tak mengetahuinya. “Selama ini aku selalu ngalah demi dia. Selalu berusaha mengerti posisi dia. Aku nggak pernah merengek minta diantar-jemput seperti kebanyakan cewek-cewek yang lain. Aku … hah!” “Bodoh banget aku yang terlalu percaya sama dia. Ter
Semenjak keluar dari toko buku, Andara tampak diam saja. Dia hanya berkata seperlunya saja. Tak seperti tadi sebelum dirinya dan Anessa bertemu dengan Galang. “Makan siang dulu yuk!” ajak Anessa. “Ide bagus tuh. Gimana, Ra?” Galang meminta persetujuan dari sang istri atas ajakan Anessa. “Terserah,” jawab Andara pendek. Galang menghela napas panjang. Mulutnya sudah akan memprotes jawaban yang diberikan oleh Andara. Namun, Anessa dengan segera menyela obrolan mereka berdua. “Aku tahu kafe yang lagi hits sekarang. Makanan dan minumannya juga enak-enak,” sela Anessa. “Oh iya? Di mana tuh?” tanya Galang antusias. “Ada di mal ini juga kok. Di lantai tiga. Yuk ke sana aja!” jawab Anessa. Galang mengangguk setuju. Dia melirik ke arah Andara sekilas. Mencoba mencari tahu apa yang membuat istrinya itu menjadi dingin dan cuek. Namun, dia tak bisa menemukan alasan yang masuk akal. Akhirnya dia hanya diam dan memperhatikan Andara secara diam-diam. “Kamu kenapa, Ra?” bisik Anessa y