Share

Gosipin Om Duda

"Kamu serius mau nikahin, Ica?" Vina menatap lekat mata sahabatnya, mencari sebuah ketulusan di sana.

Fariz menunduk, tak berani membalas tatapan Vina. Dalam hati ia menyesal telah mengucapkan pertanyaan itu. Pertanyaan yang dua hari lalu sempat dia tolak kala Vina memintanya di rumah sakit. Ponsel Fariz bergetar, sebuah pesan masuk di aplikasi W******p-nya. Lelaki itu merasa terselamatkan oleh bunyi pesan tersebut.

"Nanti kita bicarakan lagi, ya, Vin. Pasienku sudah menuggu. Ica akan bangun setelah dua menit, beritahu aku jika waktu tidurnya lebih lama dari biasanya. Aku titip Caca, ya." Vina mengangguk.

"Kamu tak perlu melakukan itu, Riz. Lupakan permintaanku dua hari yang lalu," ucap Vina, sebelum Fariz menutup pintu.

Pria yang bagi Vina seperti saudara lelakinya itu hanya mengangguk pelan dan menutup pintu perlahan. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, tak henti-hentinya Fariz berdecak menyesali ucapannya saat di rumah Vina. Harusnya dia tak perlu sok-sokan menjadi pahlawan buat Vina, tapi dia juga tak bisa abai begitu saja pada putri sahabatnya. Masih lekat dalam ingatan Fariz ketika kemarin Vina meminang dirinya untuk Ica.

"Kamu gila, Vin. Segitu frustrasinya kamu sama kondisi Ica, sampai punya usulan ngawur begini," tolak Fariz kala itu.

"Cuma kamu, Riz yang ngerti kondisi Ica."

"Yah, tapi nggak pake nikah juga, kali."

"Terus kamu maunya gimana? Nikah sama aku? Yah, aku nggak bisa Riz. Dari awal Ica lihat kamu, dia udah jatuh cinta, bahkan sampai pingsan segala padahal tadinya nggak kaya gitu."

"Yah, nggak ada nikah-nikahan baik aku ke kamu atau aku ke Ica. Duh, Vina ..., Kondisi Ica memang sudah begitu sebelum dia melihat aku, jadi jangan kamu salahkan aku penyebab Ica jadi suka tidur mendadak."

"Dasar nggak tanggung jawab!" maki Vina, kesal.

"Loh, nggak tanggung jawab gimana? Aku bela-belain, loh, pindah dari apartemen ke kompleks perumahanmu cuma untuk melihat kondisi anakmu."

"Alaaa! Pake alasan pindah karena anakku. Padahal emang kamu aja yang beneran kepo sama penyakit Ica, kan?"

Melihat reaksi Fariz yang tertawa mendengar ocehannya, Vina merasa semakin kesal, dengan wajah ditekuk, Vina keluar dari ruangan Fariz.

"Loh, mau kemana Vin?" tanya Fariz yang ikut mengekor Vina keluar.

Di luar, Vina disapa oleh seorang wanita yang mengenakan jas berwarna putih seperti Fariz. Dia dokter Rita Sp. PD-KHOM. Kening Fariz berkerut, menaruh curiga pada keakraban sahabatnya dan dokter onkologi tersebut. Diurungkan niat Fariz untuk mengejar Vina, ketika sahabatnya itu kelar berbasa-basi dengan dokter Rita. Fariz lebih memilih membuntuti rekan sejawatnya berjalan menuju lift.

"Hai, Rit," sapa Fariz mencegah Rita untuk memencet tombol pintu lift.

"Oh, hai. Naik?" Fariz pun iku masuk ke dalam lift.

"Kamu kenal sama perempuan yang tadi mengobrol di koridor?" tanya Fariz, langsung tanpa berbasabasi.

"Oh, Bu Vina? Dia pasienku."

"Pasien di sini?"

"Bukan, rumah sakit lain."

"Oo, sakit apa dia?" Rita mendelik heran, tak biasanya Fariz begitu antusias terhadap pasiennya, apakah karena wanita itu cantik?

"Dia sahabatku, Rit. Anaknya dalam perawatanku, Cataplexy."

"Wah, kebetulan. Coba kamu bujuk dia untuk menjalani operasi."

"Operasi?"

"Kanker kolon, masuk stadium tiga." Bagai memegang balon yang meletus tiba-tiba, seperti itulah ekspresi Fariz yang terkejut setelah mendengar penuturan Dokter Rita.

Kondisi Vina yang baru Fariz ketahui dua hari lalu itulah yang membuat dirinya memutuskan untuk menerima tawaran  untuk menjadi menantu sahabatnya.

***

Sejak Caca memberi tahu kalau Papanya akan menikahi dirinya, Ica selalu bertanya kebenarannya kepada Vina. Namun, Ibunya itu tak mau memberi tahu kebenarannya.

"Jangan percaya sama ucapan anak kecil, dong, Ca. Om Fariz nggak pernah ngomong apa-apa ke Ibu."

"Kalau gitu, Ibu aja yang tanyain ke Om Fariz.

"Ih, ogah. Kurang kerjaan. Kalau benar dia punya niatan seperti itu, kalau nggak, gimana?"

Ica cemberut, perkataan ibu ada benarnya. Ah, kenapa dia percaya begitu saja ucapan Caca, ya? Jangan-jangan bukan papanya yang ingin menikahinya, tetapi gadis cilik itu yang ingin aku menjadi ibunya, pikir Ica dalam hati.

"Ca, apa, sih, yang kamu lihat dari Om Fariz? Kok, sampai segitunya ngebet pengen jadi pacarnya?" tanya Vina yang penasaran akan perasaan anak gadisnya. Bukannya apa, selama ini Ica nggak pernah serius suka sama cowok. Putrinya itu memang mudah tertarik dan bahagia bila melihat cowok ganteng, tetapi tak pernah ada yg membuat Ica ngebet pengen jadi pacarnya. Hal gila yang pernah Ica lakukan ketika melihat cowok ganteng adalah saat dirinya mengikuti seorang guru SMA hingga ke tempatnya mengajar, dulu. Kekonyolan yang membuat Ica ngebet pengen pindah sekolah. Sejak saat itu, Vina sadar kalau putrinya menyukai sosok pria dewasa.

"Apa, ya, Bu? Ica juga nggak tau. Yang jelas hati Ica, tuh, penuh bunga-bunga kalau lihat Om Fariz," jawab Ica, sambil menciumi botol kecap yang sedang ia susun di rak toko.

"Kurang spesifik itu jawabannya. Kamu, kan, kalau nonton Drakor juga gitu."

"Beda Bu, kalau Drakor Ica cuma bisa ngehayal. Tapi kalau Om Fariz, Ica yakin bisa mendapatkan hatinya."

"Kamu tau nggak kalau mantan istrinya Om Fariz itu cantik, loh."

"Tapi kan tua."

"Eh, siapa bilang? Coba kamu cari di I*******m, ketik Bella Ayunda. Kamu lihat berapa followers nya."

Ica segera membuka ponselnya dan mengetik nama yang diucapkan ibunya di kolom pencarian aplikasi berlogo kamera itu. Foto wanita dewasa yang cantiknya begitu paripurna terpampang di layar ponsel Ica. Wanita sosialita dengan kegiatan travelingnya ke seluruh dunia.   

"Cantik sih, tapi buat apa kalau nggak mau ngasih anak ke Om Fariz." Vina tersenyum mendengar ucapan Ica.

"Ritme kerja Om Fariz itu beda, nggak seperti orang kantoran. Memang kamu siap ditinggal-tinggal sama Om Fariz malam hari hanya untuk melakukan panggilan tugasnya."

"Siap. Kan, ada Caca yang bakal nemenin jadi Ica nggak bakal kesepian. Ayo, dong, Bu, bujukin Om Fariz buat jadiin Ica istrinya."

Vina terbahak mendengar celotehan anaknya, tetapi tidak bagi pria yang sudah lima menit memasuki toko dan berdiri di dekat freezer ice krim bersama gadis kecilnya.

"Tante Vina, Caca mau beli ice krim!" seru gadis kecil itu mengejutkan Vina dan Ica yang tengah menyusun rak dagangannya. Ibu dan anak itu merasa terkejut dengan kemunculan Caca yang sudah berdiri di ujung lorong rak cemilan.

"Om Fariz denger nggak, ya, Ca? Kalau kita lagi ngomongin dia?" bisik Vina kepada putrinya.

"Nggak tau, sana gih, Ibu layanin dulu," jawab Ica yang juga sambil berbisik.

"Kamu ajalah, Ca. Hitung-hitung latihan pedekate," elak Vina, malu ketahuan lagi ngegosipin sahabat sendiri ke anaknya.

Ica menggeleng, ia pun malu kalau sampai pria pujaannya mendengar semua ucapannya. Tangan Ica melambai, menyuruh Caca untuk menghampiri mereka. Sementara itu, Vina mengintip dari balik rak, mencari keberadaan Fariz.

"Aman, Ca. Om Fariz nggak denger. Dia lagi berdiri dekat meja kasir."

"Tante Vina, Kakak Ica mau jadi istri Papa aku,ya?" tanya Caca polos, membuat ibu dan anak itu bengek seketika.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status