"Kamu serius mau nikahin, Ica?" Vina menatap lekat mata sahabatnya, mencari sebuah ketulusan di sana.
Fariz menunduk, tak berani membalas tatapan Vina. Dalam hati ia menyesal telah mengucapkan pertanyaan itu. Pertanyaan yang dua hari lalu sempat dia tolak kala Vina memintanya di rumah sakit. Ponsel Fariz bergetar, sebuah pesan masuk di aplikasi W******p-nya. Lelaki itu merasa terselamatkan oleh bunyi pesan tersebut.
"Nanti kita bicarakan lagi, ya, Vin. Pasienku sudah menuggu. Ica akan bangun setelah dua menit, beritahu aku jika waktu tidurnya lebih lama dari biasanya. Aku titip Caca, ya." Vina mengangguk.
"Kamu tak perlu melakukan itu, Riz. Lupakan permintaanku dua hari yang lalu," ucap Vina, sebelum Fariz menutup pintu.
Pria yang bagi Vina seperti saudara lelakinya itu hanya mengangguk pelan dan menutup pintu perlahan. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, tak henti-hentinya Fariz berdecak menyesali ucapannya saat di rumah Vina. Harusnya dia tak perlu sok-sokan menjadi pahlawan buat Vina, tapi dia juga tak bisa abai begitu saja pada putri sahabatnya. Masih lekat dalam ingatan Fariz ketika kemarin Vina meminang dirinya untuk Ica.
"Kamu gila, Vin. Segitu frustrasinya kamu sama kondisi Ica, sampai punya usulan ngawur begini," tolak Fariz kala itu.
"Cuma kamu, Riz yang ngerti kondisi Ica."
"Yah, tapi nggak pake nikah juga, kali."
"Terus kamu maunya gimana? Nikah sama aku? Yah, aku nggak bisa Riz. Dari awal Ica lihat kamu, dia udah jatuh cinta, bahkan sampai pingsan segala padahal tadinya nggak kaya gitu."
"Yah, nggak ada nikah-nikahan baik aku ke kamu atau aku ke Ica. Duh, Vina ..., Kondisi Ica memang sudah begitu sebelum dia melihat aku, jadi jangan kamu salahkan aku penyebab Ica jadi suka tidur mendadak."
"Dasar nggak tanggung jawab!" maki Vina, kesal.
"Loh, nggak tanggung jawab gimana? Aku bela-belain, loh, pindah dari apartemen ke kompleks perumahanmu cuma untuk melihat kondisi anakmu."
"Alaaa! Pake alasan pindah karena anakku. Padahal emang kamu aja yang beneran kepo sama penyakit Ica, kan?"
Melihat reaksi Fariz yang tertawa mendengar ocehannya, Vina merasa semakin kesal, dengan wajah ditekuk, Vina keluar dari ruangan Fariz.
"Loh, mau kemana Vin?" tanya Fariz yang ikut mengekor Vina keluar.
Di luar, Vina disapa oleh seorang wanita yang mengenakan jas berwarna putih seperti Fariz. Dia dokter Rita Sp. PD-KHOM. Kening Fariz berkerut, menaruh curiga pada keakraban sahabatnya dan dokter onkologi tersebut. Diurungkan niat Fariz untuk mengejar Vina, ketika sahabatnya itu kelar berbasa-basi dengan dokter Rita. Fariz lebih memilih membuntuti rekan sejawatnya berjalan menuju lift.
"Hai, Rit," sapa Fariz mencegah Rita untuk memencet tombol pintu lift.
"Oh, hai. Naik?" Fariz pun iku masuk ke dalam lift.
"Kamu kenal sama perempuan yang tadi mengobrol di koridor?" tanya Fariz, langsung tanpa berbasabasi.
"Oh, Bu Vina? Dia pasienku."
"Pasien di sini?"
"Bukan, rumah sakit lain."
"Oo, sakit apa dia?" Rita mendelik heran, tak biasanya Fariz begitu antusias terhadap pasiennya, apakah karena wanita itu cantik?
"Dia sahabatku, Rit. Anaknya dalam perawatanku, Cataplexy."
"Wah, kebetulan. Coba kamu bujuk dia untuk menjalani operasi."
"Operasi?"
"Kanker kolon, masuk stadium tiga." Bagai memegang balon yang meletus tiba-tiba, seperti itulah ekspresi Fariz yang terkejut setelah mendengar penuturan Dokter Rita.
Kondisi Vina yang baru Fariz ketahui dua hari lalu itulah yang membuat dirinya memutuskan untuk menerima tawaran untuk menjadi menantu sahabatnya.
***
Sejak Caca memberi tahu kalau Papanya akan menikahi dirinya, Ica selalu bertanya kebenarannya kepada Vina. Namun, Ibunya itu tak mau memberi tahu kebenarannya.
"Jangan percaya sama ucapan anak kecil, dong, Ca. Om Fariz nggak pernah ngomong apa-apa ke Ibu."
"Kalau gitu, Ibu aja yang tanyain ke Om Fariz.
"Ih, ogah. Kurang kerjaan. Kalau benar dia punya niatan seperti itu, kalau nggak, gimana?"
Ica cemberut, perkataan ibu ada benarnya. Ah, kenapa dia percaya begitu saja ucapan Caca, ya? Jangan-jangan bukan papanya yang ingin menikahinya, tetapi gadis cilik itu yang ingin aku menjadi ibunya, pikir Ica dalam hati.
"Ca, apa, sih, yang kamu lihat dari Om Fariz? Kok, sampai segitunya ngebet pengen jadi pacarnya?" tanya Vina yang penasaran akan perasaan anak gadisnya. Bukannya apa, selama ini Ica nggak pernah serius suka sama cowok. Putrinya itu memang mudah tertarik dan bahagia bila melihat cowok ganteng, tetapi tak pernah ada yg membuat Ica ngebet pengen jadi pacarnya. Hal gila yang pernah Ica lakukan ketika melihat cowok ganteng adalah saat dirinya mengikuti seorang guru SMA hingga ke tempatnya mengajar, dulu. Kekonyolan yang membuat Ica ngebet pengen pindah sekolah. Sejak saat itu, Vina sadar kalau putrinya menyukai sosok pria dewasa.
"Apa, ya, Bu? Ica juga nggak tau. Yang jelas hati Ica, tuh, penuh bunga-bunga kalau lihat Om Fariz," jawab Ica, sambil menciumi botol kecap yang sedang ia susun di rak toko.
"Kurang spesifik itu jawabannya. Kamu, kan, kalau nonton Drakor juga gitu."
"Beda Bu, kalau Drakor Ica cuma bisa ngehayal. Tapi kalau Om Fariz, Ica yakin bisa mendapatkan hatinya."
"Kamu tau nggak kalau mantan istrinya Om Fariz itu cantik, loh."
"Tapi kan tua."
"Eh, siapa bilang? Coba kamu cari di I*******m, ketik Bella Ayunda. Kamu lihat berapa followers nya."
Ica segera membuka ponselnya dan mengetik nama yang diucapkan ibunya di kolom pencarian aplikasi berlogo kamera itu. Foto wanita dewasa yang cantiknya begitu paripurna terpampang di layar ponsel Ica. Wanita sosialita dengan kegiatan travelingnya ke seluruh dunia.
"Cantik sih, tapi buat apa kalau nggak mau ngasih anak ke Om Fariz." Vina tersenyum mendengar ucapan Ica.
"Ritme kerja Om Fariz itu beda, nggak seperti orang kantoran. Memang kamu siap ditinggal-tinggal sama Om Fariz malam hari hanya untuk melakukan panggilan tugasnya."
"Siap. Kan, ada Caca yang bakal nemenin jadi Ica nggak bakal kesepian. Ayo, dong, Bu, bujukin Om Fariz buat jadiin Ica istrinya."
Vina terbahak mendengar celotehan anaknya, tetapi tidak bagi pria yang sudah lima menit memasuki toko dan berdiri di dekat freezer ice krim bersama gadis kecilnya.
"Tante Vina, Caca mau beli ice krim!" seru gadis kecil itu mengejutkan Vina dan Ica yang tengah menyusun rak dagangannya. Ibu dan anak itu merasa terkejut dengan kemunculan Caca yang sudah berdiri di ujung lorong rak cemilan.
"Om Fariz denger nggak, ya, Ca? Kalau kita lagi ngomongin dia?" bisik Vina kepada putrinya.
"Nggak tau, sana gih, Ibu layanin dulu," jawab Ica yang juga sambil berbisik.
"Kamu ajalah, Ca. Hitung-hitung latihan pedekate," elak Vina, malu ketahuan lagi ngegosipin sahabat sendiri ke anaknya.
Ica menggeleng, ia pun malu kalau sampai pria pujaannya mendengar semua ucapannya. Tangan Ica melambai, menyuruh Caca untuk menghampiri mereka. Sementara itu, Vina mengintip dari balik rak, mencari keberadaan Fariz.
"Aman, Ca. Om Fariz nggak denger. Dia lagi berdiri dekat meja kasir."
"Tante Vina, Kakak Ica mau jadi istri Papa aku,ya?" tanya Caca polos, membuat ibu dan anak itu bengek seketika.
Fariz benar-benar tidak habis pikir dengan kelakuan Vina dan anaknya. Kenapa Vina bisa begitu santainya menanggapi curhatan anaknya yang menyukai teman ibunya? Meski jujur, harus Fariz akui bahwa dirinya tersanjung karena ditaksir oleh gadis yang layak jadi ponakannya. Dokter bedah saraf itu pun tersenyum sendiri mengingat peristiwa di toko, tadi sore. Ia merasa dejavu, karena ditaksir oleh cewek yang usianya jauh lebih muda darinya. Hal ini pernah ia alami, dulu saat bersama Bella, mantan istrinya.Bella terpaut usia sepuluh tahun darinya. Fariz kira, pernikahannya dengan Bella akan berjalan lancar mengingat usia mereka sama-sama matang. Fariz yang kala itu berusia 35 tahun akhirnya memutuskan menikahi Bella yang berusia 25 tahun. Pandangan Bella yang tak ingin memiliki anak dalam pernikahannya, Fariz pikir akan hilang seiring berjalannya waktu, tetapi semua salah. Bella benar-benar tidak menikmati pernikahan mereka setelah mereka punya anak. Lima
Ica menangis tersedu setelah mendengar penuturan ibunya. Mau tidak mau, Vina harus menceritakan tentang penyakitnya kepada anak semata wayangnya. Ia pun menceritakan tentang rencananya untuk menikahkan Ica dengan sahabatnya."Ica nggak mau nikah, Ica maunya Ibu sembuh," isak gadis pengidap Cataplexy itu menangis di pangkuan ibunya."Ica doain, ya. Besok, Ibu udah harus operasi. Malam ini Ibu sudah panggil Pak RT." Vina mengusap lembut kepala anaknya. Mendengar kata Pak RT disebut, Ica bangun dari pangkuan Vina, menatap heran kepada Ibunya."Ibu mau nitipin Ica ke Pak RT?" tanya Ica, panik.Dulu, waktu Ica masih sekolah dan ibunya harus dirawat di rumah sakit karena penyakit yang sama. Vina menitipkan gadis kecilnya di rumah Pak RT yang sudah menganggap Ica seperti anaknya sendiri."Nggak, Sayang.""Alh
_Kanker kolorektal stadium 4 any T any N M1a_ hasil dari tes CT scan, USG perut, rontgen dada, USG endorektal dan USG intraoperatif yang dijalani Vina."Ini artinya apa, Om?" tanya Ica yang tak paham akan hasil lab yang diberikan oleh dokter Rita untuknya.Fariz tak menjawab, bibirnya terasa kelu untuk menjelaskan bahwa sahabat sekaligus mertuanya itu sangat tipis berkemungkinan untuk sembuh."Dok, ini artinya apa?" Lagi, Ica bertanya mencoba minta penjelasan kepada dokter Rita, orang yang selama ini menangani penyakit ibunya.Dokter yang asli timur itu hanya bisa melirik ke arah Fariz. Pria itu sudah meminta ijin agar dirinya yang akan menjelaskan penyakit Vina kepada anaknya."Biar dokter Fariz yang akan menjelaskannya," jawab dokter Rita mengusap pundak Ica yang duduk mematung di kursinya lalu meninggalkan dua orang itu untuk berbicara.&
Fariz langsung membawa Ica masuk ke dalam kamarnya. Wajahnya masih cemberut karena melihat pemuda asing yang tak dikenalnya itu mengikuti langkahnya. Tepat di depan pintu kamar Fariz menghentikan langkah dan memutar badan menghadap ke Reno."Sebaiknya Anda pulang saja, Ica baik-baik saja," ucap Fariz ketus.Reno terkejut, menyadari bahwa dirinya telah bertindak di luar kesadaran, karena panik melihat Ica yang berdarah dan pingsan ia malah ikut masuk ke rumah orang yang tak dikenalnya tanpa di undang. Ia pun bergegas pulang.Di dalam kamar, Fariz masih terlihat khawatir dengan kondisi Ica yang belum sadar juga. Sampai akhirnya pria paruh baya itu menyadari ada yang aneh pada reaksi dirinya ke Ica. Ini terlalu berlebihan, kenapa pula aku mengecek suhu tubuh dan detak nadinya? Bukankah dua atau tiga menit lagi gadis ini akan sadar? Pikir Fariz. 
"Hai Sayang, perlu bantuan?" Ramah Fariz menyapa istrinya hingga membuat sang istri meneteskan darah dari hidungnya."Yah, Mama Ica mati lagi, deh," celetuk Caca yang panik melihat hidung Ica mulai mimisan.Brug!Suara rolling door terdengar keras ketika Ica menyandarkan tubuhnya, berusaha mengatur ritme jantungnya yang melonjak cepat ketika mendengar kata 'Sayang' dari Fariz."Kamu kenapa, Ca?" Reno kaget melihat Ica yang menyandar pada pintu toko dengan wajah yang pucat."Biar saya saja," cegah Fariz, saat Reno ingin memapah tubuh Ica.Ica menunduk, ia tak ingin menatap wajah Fariz, karena tak ingin pingsan lagi. Sekuat tenaga ia mengatur napas dengan membuang dan menghirup udara dari mulut dan hidungnya."Tetap lakukan itu, dan jangan membuka mata," bisik Fariz yang menyadari kalau Ica sedang mengatu
Mata Fariz masih mendelik tajam, meminta kejelasan, bagaimana bisa Caca mengetahui istilah pancil dicicil?"Jelasin dulu kenapa Caca bisa tau istilah itu?" ancam Fariz yang enggan menjawab pertanyaan anaknya tentang kata 'istri'."Ada sales panci yang datang ke toko menawari sistem pembayaran cicil, mungkin dari situ Caca tahu."Caca mengangguk. "Betul. Kalau istri apa, Pa?""Istri itu ...." Suara bel pintu menghentikan mulut Ica untuk memberi penjelasan pada anak tirinya."Papa kamu aja yang jelasin, Mama Ica, mau bukain pintu dulu," ucap Ica sambil melirik kepada Fariz.Pria senja itu mengangguk pelan tanda setuju, tetapi kembali mendelik setelah membaca gerakan bibir Ica, yang mengucapkan kata S U A M I kepadanya dengan kerlingan mata dan sun jauh.Namun, ekspresi ketidak sukaan itu hanya ditunjukan sebent
Fariz kebingungan mendengar pertanyaan Caca yang begitu ingin tau siapa wanita yang barusan bertamu. Jika ia mengatakan wanita itu adalah Mama kandungnya, Caca pasti akan bingung dan menganggapnya pembohong. Karena selama ini Fariz selalu berkata bahwa Caca tak pernah memiliki mama sejak lahir. Bila tak menjelaskan sekarang, pasti Caca akan lebih kecewa bila mengetahuinya dari mulut Bella, langsung. Tanpa sadar Fariz menggaruk kepalanya yang tak gatal, sambil senyum ia menatap Caca dan Ica secara bergantian. Lalu sebuah ide jahil muncul begitu saja di kepalanya ketika untuk ketiga kalinya ia menatap wajah Ica yang sedang mengejeknya karena pertanyaan Caca."Tanya Mama Ica aja, ya. Dia tau siapa itu Bella Ayunda," jawab Fariz sambil mengerling dan tersenyum jahil pada Ica.Antara sebal dan bahagia, gadis penderita Cataplexy itu melotot mendengar penyataan Fariz dengan senyum dan kerlingannya yang menggoda. Otak Ica tak dapat merespon rasa bahagia yang mene
Ruangan berdinding putih itu hanya boleh dimasuki oleh Ica, Fariz dan Dokter Rita. Pengunjung yang lain hanya boleh menunggu di luar pintu yang bertuliskan Ruangan ICU. Dari balik pintu, Bella dapat mengintip ada tubuh ringkih yang tengah terbujur lemah tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Tubuh tersebut dililit oleh selang infus dan kabel elektroda yang terhubung ke monitor hemodinamik serta saturasi. Parameter di layar monitor menunjukan aktivitas denyut jantung di bawah 60. Angka yang tertera hanya 23.Dokter Rita hanya menggeleng kepada Fariz yang tengah memeluk Ica."Sejak kapan kondisinya melemah seperti ini?" tanya Fariz."Baru tadi pagi. Kankernya sudah menyebar ke jantung. Ica, ikhlasin Ibu, ya. Kami sudah nggak bisa berbuat apa-apa untuk kesembuhan Ibu."Mendengar kata-kata dari Dokter Rita, tangis Ica semakin menjadi