Share

Calon Mantu

Cataplexy, nama yang disematkan oleh Dokter Fariz setelah melihat hasil CT Scan, dan serangkaian tes, Ica. Merupakan penyakit langka yang menggangu fungsi bagian pada limbik otak, di mana kondisi emosi yang sangat kuat terjadi tiba-tiba seperti marah, takut, dan tertawa dapat memicu kelumpuhan pada otot tubuh.

"Jadi Ica bisa lumpuh?" tanya Vina, panik.

"Bukan begitu. Begini, secara gampangnya jika Ica memiliki perasaan bahagia yang berlebih akibat melihat pria tampan. Maka, dia akan mengalami kelumpuhan otot seperti tubuhnya lemas seketika. Dalam kasus Ica, cataplexy diawali dengan hidung mimisan dan tertidur," terang Fariz mencoba menenangkan sahabatnya.

"Apa bisa sembuh?"

"Untuk sembuh, tidak. Tapi nerkolepsinya bisa diobati.”

"Nerkolepsi? Apalagi itu?"

"Serangan tidur, Vin. Ica pasti sering mengantuk di siang hari dan tertidur ketika beraktivitas."

"Tidak, Ica nggak pernah mengalami itu, serangan tidur terjadi setelah dia melihatmu. Sebelumnya hanya mimisan saja. Sembuhkan anakku, Riz." Suara Vina tercekat menahan tangis. Lembut Fariz mengusap punggung sahabatnya bermaksud memberi kekuatan tetapi malah membuat Vina semakin menangis.

"Gimana masa depannya, Riz. Dia nggak bisa menikah, dong?" Isak Vina semakin tergugu.

"Istighfar, Vin. Jangan mendahului Allah."

"Bagaimana jika umurku tak cukup untuk menjaganya, siapa yang jagain dia?" Fariz tak menjawab, ia hanya mengusap punggung Vina, memberi ruang pada sahabatnya untuk tetap menangis. Percuma memberi semangat pada Vina saat ini, yang dia butuhkan cuma menangis.

Yah, kadang tangisan dapat meringankan perasaan seseorang. Ibu mana yang tak sedih, mendengar anaknya memiliki penyakit aneh dan langka? Fariz mungkin akan melakukan hal yang sama jika cataplexy hinggap di tubuh Caca, putrinya. Di ruang berbeda, Ica tengah mendengar hasil diagnosa penyakitnya bersama dokter lain, rekan sejawat Fariz. Gadis itu mengerucutkan bibirnya setelah mendengar penjelasan dari Dokter Lulu yang usianya sudah 50 tahun.

"Jadi, saya harus menundukkan pandangan biar tak sering mimisan?"

"Ya, biar kamu tak membeku dan mematung saat melihat cowok tampan."

"Kemarin lihat Om duda saya tidak mematung, hanya mimisan, doang."

"Tapi kamu tertidur." Dokter Lulu sudah mendengar apa yang dialami gadis muda ini kemarin, ketika berkonsultasi dengan Fariz.

"Memang berbahayakah jika saya sering tertidur ketika melihat pria tampan?"

"Bisa berbahaya dan merepotkan. Jika otakmu sering lumpuh sesaat, lambat laun itu bisa menyebabkan kerusakan jaringan saraf. Tak menutup kemungkinan kamu akan mengalami lumpuh total."

Hmm! Ica membuang napas dengan kasar, berusaha menerima diagnosa baru atas penyakitnya. Meski harus ia akui, bahwa dirinya lebih menyukai berobat ke dokter yang dulu karena vonisnya tidak sehoror yang sekarang. Bagaiman dirinya bisa punya pacar kalau baru mau pedekate saja sudah pingsan.

"Baiklah, mulai sekarang saya akan ghadlul bhasar." Kecuali sama Om duda, tekat Ica dalam hati.

"Baik, saya akan memberikan resep obat untukmu. Untuk meminilasir terjadinya nerkolesi atau serangan tidur."

"Dok, apa saya bisa menikah?" Dokter Lulu tampak terkejut mendengar pertanyaan dari Ica. Jika gadis ini memiliki kekasih, bisa jadi bukan cataplexy yang membuatnya mimisan.

"Kamu punya pacar? Apa dia tampan?"

"Belum punya, tapi akan." Dokter Lulu tersenyum mendengar jawaban Ica.

"Jika calon pacarmu mengerti dengan kondisimu, kalian bisa saja menikah." Giliran Ica yang tersenyum semringah mendengar jawaban positif dari dokter bernampilan nyentrik dengan rambut hijaunya itu.

***

"Udah, dong, Bu. Jangan nangis terus," bujuk Ica kepada ibunya di hari ke dua sejak pulang dari rumah sakit.

Wanita yang paling Ica cintai itu tak menjawab, sesekali tangannya mengambil tisu, menyusut air mata yang menetes di pipinya. Sejak kepulangan dari pemeriksaan putrinya, Vina selalu menangis setelah menunaikan sholat. Ica pun kadang melihat ibunya menangis saat di toko.

"Maafin ibu, ya, Ca. Harusnya ibu nggak secengeng ini."

"Iya, sih, Bu. Santai aja, Ica aja yang sakit, kalem." Direbahkan kepalanya di pangkuan ibu.

"Kata Om Fariz, kamu sudah nggak boleh bawa motor, takut cataplexy-mu kumat saat sedang mengendarai."

"Om Fariz nggak asik!"

"Nurut aja, Ca. Daripada kamu kenapa-kenapa."

"Bu, apa Ica nikah aja,ya." Ica merubah posisinya menjadi duduk di samping Vina setelah mendapat tatapan tajam dari Ibunya.

"Memang kamu sudah punya pacar? Kok, nggak dikenalin ke ibu?"

"Nggak usah dikenalin. Kan, ibu sudah kenal." Senyum jahil mengembang di wajah Ica.

"Siapa?"

"Om Duda, tetangga sebelah."

"Icaaa!" Gadis itu langsung ngibrit menghindari lemparan bantal dari Ibunya.

Ting Nong!

"Ica, bukain pintu ada tamu, tuh!" teriak Vina dengan wajah yang sudah bisa kembali tersenyum.

Ica yang tadinya ingin melipir ke kamar jadi membelokkan langkahnya ke ruang tamu. Dari lubang pintu Ica mengintip, ada gadis cilik berambut kriwil tengah digendong oleh seseorang berlengan kekar.

"Itu, Caca. Berarti yang datang Om ganteng!" Gumam Ica kegirangan.

Korteks limbik yang ada di dalam otak Ica mulai bereaksi, menjebol sensorik wajah dan hidungnya untuk tersenyum dan mimisan secara bersamaan. Ica yang sekarang paham oleh gejala lemas yang dialaminya ketika senang, kini mulai menarik nafas, mengatur ritme jantungnya.

"Bu! Calon mantunya datang!" teriak Ica dari ruang tamu setelah membukakan pintu pada sang tamu sambil memejamkan mata.

Fariz yang keheranan dengan ucapan Ica hanya bisa bengong dan bergegas menurunkan Caca dari gendongannya.

"Kakak Ica, hidungnya berdarah!" seru Caca.

Sigap, Fariz mengambil tisu yang ada di meja dan mengelapkannya pada hidung Ica. Masih dengan memejamkan mata Ica meraba tangan kekar yang tengah membersihkan hidungnya.

"Nggak apa, Om. Ini sudah biasa, nggak usah repot ngelapin entar Ica jadi nyaman," celoteh Ica sambil senyum-senyum.

"Icaa." Suara Vina menghentikan tangan Fariz yang tengah mengelap darah di hidung Ica. Masih dapat dilihat oleh Vina, pipi sahabatnya itu memerah karena terkejut dengan suaranya yang muncul tiba-tiba.

"Duduk Riz, aku bawa Ica ke dalam dulu, ya."

"Eh, nggak usah Vin. Aku cuma mau nitipin Caca, soalnya ada panggilan operasi mendadak."

Ica yang mendengar pujaan hatinya akan pergi langsung membuka matanya.

"Om Fariz, jangan pergi!" seru Ica spontan dengan senyum mengembang. Dirasakan olehnya seluruh tungkai kakinya lemas sebelum ia menjatuhkan diri.

 "Ica!" teriak Vina, panik karena anaknya tiba-tiba merbahkan diri ke tubuhnya.

Fariz yang melihat reaksi Vina yang tak siap menerima tubuh Ica yang terkulai, bergegas menopang tubuh gadis muda itu agar tidak jatuh ke lantai.

"Kakak Ica, mati?" tanya Caca, polos.

"Nggak, Sayang, Kakak Ica cuma kecapean," jawab Fariz sambil memapah tubuh Ica ke sofa.

"Makasih ya, Riz."

"Tawaranmu waktu di rumah sakit masih berlaku?"

Vina terkejut akan pertanyaan sahabatnya. Namun ia cepat menganggukkan kepala untuk menjawab Fariz.

"Kamu serius, mau nikahin Ica?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status