Share

Dinner

Fariz benar-benar tidak habis pikir dengan kelakuan Vina dan anaknya. Kenapa Vina bisa begitu santainya menanggapi curhatan anaknya yang menyukai teman ibunya? Meski jujur, harus Fariz akui bahwa dirinya tersanjung karena ditaksir oleh gadis yang layak jadi ponakannya. Dokter bedah saraf itu pun tersenyum sendiri mengingat peristiwa di toko, tadi sore. Ia merasa dejavu, karena ditaksir oleh cewek yang usianya jauh lebih muda darinya. Hal ini pernah ia alami, dulu saat bersama Bella, mantan istrinya.

Bella terpaut usia sepuluh tahun darinya. Fariz kira, pernikahannya dengan Bella akan berjalan lancar mengingat usia mereka sama-sama matang. Fariz yang kala itu berusia 35 tahun akhirnya memutuskan menikahi Bella yang berusia 25 tahun. Pandangan Bella yang tak ingin memiliki anak dalam pernikahannya, Fariz pikir akan hilang seiring berjalannya waktu, tetapi semua salah. Bella benar-benar tidak menikmati pernikahan mereka setelah mereka punya anak. Lima tahun Fariz mencoba menikmati masa pernikahannya dengan Bella yang tak menginginkan kehadiran seorang anak. Mereka memang terlihat bahagia, tetapi lambat laun Fariz merasa hampa. Dia lelaki sehat, istrinya juga, aneh rasanya bila menghabiskan waktu berdua tanpa anak.

Tepat di tahun ke lima, dan usia Bella dianggap cukup siap untuk memiliki anak, Fariz membujuk istrinya untuk hamil. Bella setuju, tetapi semua berubah saat bayi mungil bernama Marsyanda itu lahir. Bella memutuskan tak ingin menyusui darah dagingnya karena takut payudaranya kendor, Fariz mengalah, ia berpikir istrinya terkena baby blues. Pengasuh dan pembantu pun Fariz sediakan untuk Bella, tetapi semua sia-sia. Wanita cantik yang berprofesi sebagai model itu sama sekali tak ingin menyentuh anaknya meski usia Caca sudah hampir memasuki satu tahun. Jangankan mengganti popok atau membuatkan susu. Menggandeng dan memeluk Caca, bila tak di depan kamera saja, Bella tak mau. Baginya anak hanya pengganggu.

Kesabaran Fariz berakhir ketika Bella mengajak Caca untuk ikut foto bareng, kala itu Fariz mengira Bella sudah bisa menerima Caca tapi ternyata salah. Caca hanya dijadikan alat pencitraan dan mesin uang belaka bagi Bella. Wanita itu, memaksa darah dagingnya untuk melakukan sesi pemotretan meski selang infus yang bertengger di lengan anaknya masih terpasang akibat typus karena kecapean mengikuti ritme kerja ibunya.

Di situlah Fariz meradang kepada wanita yang dahulu mengejar-ngejar dirinya, wanita yang dahulu dianggap memiliki mimpi yang sama. Pernikahan mereka usai saat usia Caca genap satu tahun dan mulai berceloteh kata ‘Mama’ Fariz menggelengkan kepalanya seolah sedang mengusir kenangan yang tiba-tiba melintas.

"Papa, ngantuk?" tanya Caca, yang sudah cantik dengan gaun berwarna pink.

Malam ini, mereka akan pergi makan malam bersama Vina dan Ica. Sebagai tanda perdamaian tepatnya barter. Sore tadi Faris akhirnya dapat membujuk Vina untu melakukan operasi. Vina menyetujuinya dengan catatan, Fariz harus mau berkencan dengan anaknya.

"Coba dulu, lah, Riz," bujuk Vina tadi sore, di seberang toko. Mereka memilih berbicara di luar agar Ica tak dapat mendengar.

"Buat apa, di mataku Ica tetap, lah, seorang keponakan, tidak lebih."

"Riz, kamu paham nggak, sih, kenapa aku nyuruh kamu jadi suami Ica?"

"Untuk jagain Ica kan, kalau nanti maut menjemputmu? Aku rasa itu tak perlu, Vin. Andai kamu tak selamat dalam berjuang melawan penyakitmu, aku akan tetep merawat Ica, untukmu."

"Mana bisa seperti itu. Di mata Ica kamu itu seorang pria, bukan Om-nya. Anakku akan hidup sebagai perawan tua karena tak ada pria yang mau menikahinya.

"Lagi-lagi, mendahului takdir Tuhan." Fariz memalingkan wajahnya ke arah toko, di mana ada Ica dan Caca sedang menunggu di sana. Vina melihat tingkah sahabatnya yang sedang memperhatikan putrinya.

"Yang mendahului takdir itu kamu, belum apa-apa sudah merasa yakin tidak akan jatuh cinta sama anakku."

Fariz terkejut akan bisikan Vina. Sial! Dirinya ketahuan sedang memandangi Ica. "Aku ngelihatin, Caca, Vin," ucapnya, kikuk.

"Aku nggak nanya kamu lagi lihatin siapa. Aaa ...." Vina melirik dengan senyum jahil.

"Nggak gitu, Vin," elak Fariz, semakin kikuk.

"Iya, nggak, kalau gitu nanti malam kita dinner, ya? Sekalian pedekate buat mengenal gadis manis yang suka mimisan itu. Aku beritahu anak-anak dulu, ya." Vina menepuk bahu Fariz dan meninggalkan sahabatnya itu bingung sendirian. Dari seberang toko Fariz dapat melihat Ica dan Caca yang melompat-lompat kegirangan setelah Vina berbicara kepada mereka.

***

Restoran khas Sunda menjadi pilihan Fariz untuk dinner bersama tetangga sebelah. Sebenarnya Vina, lah yang memilih tempat itu. Fariz hanya mengikuti saja, lelaki yang kini berpakaian semi formal dengan balutan kaos berwarna biru dan coat berwarna cream, membuat tampilannya seperti 'ahjusi' Korea. Poni rambutnya dibiarkan tergerai tanpa olesan pomed, memberi kesan semakin muda saja.

Ica yang dari tadi sore sudah mengalami pingsan lima kali karena saking senangnya akan pergi dinner bersama 'Om Duda' sang pujaan, akhirnya memutuskan mengenakan rok tutu berwarna pink dan kaos yang dibalut jaket denim, membuat tampilannya terlihat manis dan girly. Daun sirih menghias di hidungnya yang masih sedikit mengeluarkan darah. Vina, sudah mewanti-wanti agar Ica dapat mengontrol rasa bahagianya bila tak ingin makan malam yang berbau pedekate ini, gagal.

Mereka berempat menempati saung yang tak jauh dari _home band_ restoran tersebut. Alunan musik mengalun menemani para pengunjung yang sedang menikmati makanannya. Ica, sesekali melirik ke depan, menatap Fariz yang mengenakan masker, duduk di hadapannya.

"Om, mau makan, kok, maskernya nggak dilepas?" tanya Ica, yang mulai penasaran dengan wajah Fariz jika poninya tergerai.

"Bukanya nanti aja, Kak Ica kalau makanannya sudah datang," jawab Caca, mewakili papanya.

"Kenapa?"

"Nanti, Kak Ica mati lihat Papa, kaya waktu itu." Ica tersedak mendengar celotehan calon anak tirinya hingga membuat daun sirih yang menempel di hidungnya terpental ke arah Fariz lantaran Ica, menahan tawa. Fariz yang melihat daun sirih mendarat di depan mejanya, langsung mendelik kepada Ica. Gadis itu hanya meringis mendapat tatapan setajam silet.

"Duh, untung cinta. Nggak apa, lah, dipelototin," gumam Ica pelan, tetapi masih dapat di dengar oleh Fariz yang semakin melotot dan ibunya yang berusaha menaha tawa.

Ica, lekas mengambil sirih tersebut dan mengelap meja bekas pendaratan sirih tersebut dengan tisu. Dua orang pelayan datang membawa makanan pesanan mereka, satu buah ikan gurame terbang ukuran besar yang cukup untuk mereka berempat, dua bakul nasi, cah kangkung, udang tepung, sambal dan lalapan. Perlahan Fariz membuka masker yang dikenakannya. Vina menyenggol lengan Ica, dan memberi kode pada putrinya bahwa si pujaan hati sudah melepas masker. Ica mengerti akan lirikan mata si ibu, ia pun mengikuti gerakan bola matanya.

"Masyallah, Ibu dinikahin sekarang aja, lah," ucap Ica dengan hidung yang mulai meneteskan darah.

Vina terbahak mendengar ucapan anaknya, tetapi tidak dengan Fariz. Pria itu kini menatap tajam ke sahabatnya.

"Tenang, Om. Ibu ngerestuin kita, kok." Lagi Ica mengoceh sambil senyum-senyum jijay.

"Restu, restu. Hidungmu saja masih suka mimisan bagaimana mau menikah nanti!" bentak Fariz sambil menyodorkan tisu kepada Ica.

Otot leher Ica yang tadinya lemas bersiap untuk terkeluai, mendadak segar kembali karena mendapat bentakan dari Fariz.

"Papa, jangan ngomelin Kakak Ica, kasihan. Nanti kalau dia mati bagaimana?" Caca berusaha menenangkan papanya.

"Hahaha!" Vina tak kuasa menahan tawanya.

"Duh, Caca. Kakak Ica nggak akan mati sebelum nikah sama Papa kamu," jelas Ica menatap gadis kecil yang sedang asik menyantap udang.

"Tau, Caca tau. Kakak Ica itu keren, lo, Pa. Dia bisa mati terus hidup lagi."

"Hahaha!" Kali ini Fariz ikut tertawa bersama Vina setelah mendengar celoteh anaknya.

Tetapi tidak pada Ica. Jantung gadis itu berdegup kencang setelah melihat lesung pipi yang terbingkai di wajah Fariz, hypocretin yang kurang di dalam otak Ica, suskses membuat gadis itu tertidur seketika. Plek! Ica menjatuhkan wajahnya di atas meja, beruntung Vina sigap menangkap putrinya, sehingga wajah Ica tak sampai menyentuh piring nasi di hadapannya.

"Tuh, kan. Kakak Ica mati lagi," seru Caca yang sudah tak aneh melihat Ica pingsan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status