"Ica, kamu pulang, gih, antar kunci rumah sebelah ke orang yang mau ngontrak di sana!" seru Vina_ibu_Ica dari balik rak-rak sembako di tokonya.
"Ibu aja lah, biar Ica yang jaga toko." Gadis bertubuh mungil itu enggan beranjak dari kegiatannya menimbang tepung dalam kemasan kiloan.
"Kalau Ibu yang pergi nanti siapa yang nerima sales gula?"
"Ica, lah."
"Enggak, Ibu enggak percaya sama kamu. Kemarin disuruh nemuin sales minyak untuk ditolak dulu agar enggak ngambil lagi. Eh, kamu malah terima barang lagi."
Ica tersenyum mendengar penuturan ibunya. Gadis itu teringat kembali peristiwa tiga hari lalu, saat ia ditugaskan oleh ibunya untuk menyetor uang pada sales minyak dan tidak mengambil barang dulu. Sayangnya, pesan ibu buyar begitu saja di kepalanya, ketika mata bening Ica, menangkap pemandangan indah di dalam truk kontainer pengiriman barang. Supir truk tersebut berwajah tampan, sekilas mirip artis Rizky Billar. Jiwa ganjen Ica pun muncul ketika sang sales menanyakan apakah ingin turun barang lagi? Ica mengangguk pelan, demi bisa melihat Rizky Billar kawe 50 lebih lama.
"Ica, cepetan! Orangnya sudah nungguin,tuh!"
"Ya udah, sini Ica yang temuin." Ica pun mengehentikan kegiatannya dan menerima kunci yang disodorkan oleh Ibunya.
"Celemek-nya buka dulu Mba Ica, masa nemuin orang bajunya penuh tepung gitu," saran Wati, pegawai toko ibunya.
"Udah biarin. Cuma ngasih kunci, doang kan, Bu?"
"Iya. Inget ya, Ca, kuncinya langsung kasih ke orangnya. Terus, kamu nggak usah lewat lapangan basket."
"Loh, kan lebih cepat lewat situ, Bu."
"Iya sih, tapi ibu khawatir konsentrasimu pecah pas lihat cowok-cowok lagi main basket, terus lupa, deh, buat nganter kunci." Ibu langsung menyodorkan kunci rumah sebelah kepada Ica.
"Ish, Ibu." Ica cuma bisa nyengir mendengar Ibu meroasting dirinya.
Ica memang memiliki kebiasaan buruk ketika bertemu makhluk tampan. Ia akan membeku dan memandang cowok tampan itu sambil senyum-senyum sendirian dan mimisan. Gara-gara kebiasaan anehnya ini, Ica pernah salah masuk sekolah karena mengikuti guru SMA berwajah tampan sampai ke sekolah tempat si guru mengajar.
"Ica, awas ya jangan sampai lupa anterin kuncinya. Mata enggak usah jelalatan, kalau ada cowok cakep di jalan jangan kamu kintilin," pesan Vina kepada anak gadis semata wayang yang tengah bersiap menyalakan motor.
"Ica nggak janji ya, Bu. Doain aja selamat sampai tujuan," jawab Ica sambil tersenyum. Gadis itu pun pergi menunaikan tugas dari sang Ibu untuk mengantarkan kunci kepada calon tetangga sebelah rumahnya.
***
Sudah satu jam gadis berambut ikal itu berdiri di sebrang jalan sambil menatap rumah yang ada di depannya dengan penuh senyum. Ada cairan berwarna merah menetes dari hidungnya. Dari kejauhan terlihat Vina yang kesal mendapati anaknya tengah berdiri seperti orang lupa ingatan, senyum-senyum sendirian.
"Ica, masuk!" hardik Vina, menarik lengan anak gadisnya pulang, masuk ke rumah yang sudah ada di depan mata mereka.
Ica menurut. Darah masih menetes dari hidung dengan wajah penuh senyum yang mengembang.
"Kamu habis lihat cowok ganteng, ya?" Vina memberikan tisu pada Ica untuk segera membersihkan hidungnya.
Ica mengangguk
"Pantesan enggak balik lagi ke toko." Vina sudah hafal dengan kebiasaan jelek anaknya yang suka mematung dan mimisan bila melihat cowok ganteng untuk pertama kalinya. Itu sebabnya, Vina memutuskan untuk menyusul Ica karena sudah terlalu lama meninggalkan toko hampir satu jam, padahal hanya butuh waktu lima belas menit untuk Ica memberikan kunci kepada pengontrak baru.
Beruntung kelainannya itu hanya berlangsung pada pandangan pertama, dalam artian terjadi saat Ica baru pertama kali melihat, bila sudah yang kedua kali, maka sikap Ica akan normal meski sedikit kikuk dan salah tingkah. Dokter bilang Ica mengidap Androphobia ringan. Namun, Vina merasa dokter salah diagnosa, sebab anaknya tidak takut atau gelisah melihat pria tampan, melainkan bahagia. Entahlah, apa nama kelainan Ica yang sesungguhnya? Yang jelas dia akan mematung sambil senyum dan mimisan bila melihat pria tampan untuk pertama kali.
"Bu, kayanya Ica jatuh cinta, deh." Vina melirik mendengar penuturan anaknya.
"Sama cowok yang barusan kamu lihat?"
"Iya." Vina mencebik, mendengar jawaban anaknya.
"Kunci rumah sebelah sudah kamu kasih ke yang ngontrak?" selidik ibu yang khawatir anaknya gagal melaksanakan misinya gara-gara cowok ganteng yang dilihatnya.
"Sudah, Bu," jawab Ica, masih dengan senyum menatap langit-langit.
"Tumben! Eh, terus kamu lihat cowok gantengnya di mana?"
"Di sebelah."
Vina melongo mendengar jawaban dari Ica. itu berarti yang dilihat Ica adalah ...
Ting Nong!
Suara bel pintu mengalihkan rasa penasaran Vina atas cerita Ica.
"Nanti lanjutin lagi, ya, ceritanya. Ibu buka pintu dulu." Wanita yang dulu menikah di usia 20 tahun itu bergegas membuka pintu. Rupanya tetangga sebelah yang datang.
Dari ruang tengah masih terdengar suara Ica yang tengah bersenandung karena larut dalam pikirannya akan pria tampan yang mengontrak di sebelah rumahnya.
"Masuk, Riz!" pinta Vina dengan suara yang kencang, memberi kode pada anak gadisnya agar menghentikan senandungnya.
Ica yang mendengar suara lantang Ibunya pun menghentikan senandungnya, tetapi wajahnya masih penuh dengan senyum.
"Maaf ya, Vin, ganggu malam-malam gini," ucap si tamu yang suara baritonnya membuat Ica kembali mimisan.
"Itu suara cogan yang tadi," gumam Ica pelan, matanya kembali berbinar, begitu juga dengan darah yang kembali menetes di hidungnya. Susah payah Ica mencoba menghentikan mimisannya.
"Sendiri aja, Caca mana?" Sepertinya Vina sudah mengenal akrab tetangga barunya.
Ica berjalan mendekat ke arah bufet yang menjadi pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah, untuk mengintip. Memastikan apakah pendengarannya sama dengan pikirannya, bahwa yang datang itu adalah tetangga barunya.
"Sudah tidur, sepertinya kecapean," jawab si pria yang garis wajahnya begitu tegas dengan alis tebal dan hidung mancung dihiasi kacamata minus. Pria yang merupakan sahabat lama Vina itu mendaratkan bokongnya di sofa setelah dipersilahkan duduk.
"Kamu sudah ke Pak RT, melapor jadi warga baru?"
"Belum, mungkin besok saja. Kamu, bisa antar aku ke Pak RT, kan?"
"Pliss, Ica aja yang anterin, Bu," guman Ica dalam hati dengan wajah mulai terlihat pucat karena darah yang keluar dari hidungnya semakin banyak.
"Nanti kamu diantar sama anakku aja, ya. Soalnya, besok pagi aku ada keperluan. Ic ...."
Bruk!
Suara benda jatuh terdengar di ruang tamu tepat di saat Vina ingin memanggil Ica. Membuat kedua orang dewasa itu menoleh ke sumber suara.
"Astaghfirullah, Ica!" pekik Vina, kaget melihat tubuh Ica yang terjatuh dengan wajah penuh darah.
Terdengar dengkuran halus yang keluar dari rongga hidung Ica ketika Vina dan temannya Fariz menghampiri Ica. "Kok, dia ngorok Riz?" tanya Vina yang keheranan setelah menghampiri anaknya. "Berarti dia bukan pingsan, hanya tidur." Fariz segera menggendong Ica dan membawanya ke kamar sesuai arahan Vina. "Riz, gimana menurut kamu tentang Ica? Dia nggak seperti biasanya seperti ini." Vina bertanya dengan suara yang pelan seolah tak ingin menggangu Ica yang sedang tertidur. "Sebaiknya kamu periksain Ica, deh." "Sudah. Dokter bilang androphobia." "Aku curiganya bukan itu. Kalau adrophobia itu kan rasa takut atau trauma, kalau Ica rasanya bukan." Betul, Ica nggak pernah cerita kalau dirinya takut melihat cowok ganteng, yang ada malah senang, batin Vina. "Iya juga, sih. Terus ini aneh, baru pertama kali terjadi dia mimisan dua kali setelah melihat orang yang sama." "Jadi maksudmu, dia nggak pernah mimis
Cataplexy, nama yang disematkan oleh Dokter Fariz setelah melihat hasil CT Scan, dan serangkaian tes, Ica. Merupakan penyakit langka yang menggangu fungsi bagian pada limbik otak, di mana kondisi emosi yang sangat kuat terjadi tiba-tiba seperti marah, takut, dan tertawa dapat memicu kelumpuhan pada otot tubuh."Jadi Ica bisa lumpuh?" tanya Vina, panik."Bukan begitu. Begini, secara gampangnya jika Ica memiliki perasaan bahagia yang berlebih akibat melihat pria tampan. Maka, dia akan mengalami kelumpuhan otot seperti tubuhnya lemas seketika. Dalam kasus Ica, cataplexy diawali dengan hidung mimisan dan tertidur," terang Fariz mencoba menenangkan sahabatnya."Apa bisa sembuh?""Untuk sembuh, tidak. Tapi nerkolepsinya bisa diobati.”"Nerkolepsi? Apalagi itu?""Serangan tidur, Vin. Ica pasti sering mengantuk di siang hari dan tertidur ketika beraktivitas.""Tidak, Ica nggak pernah mengalami itu, serangan tidur terjadi s
"Kamu serius mau nikahin, Ica?" Vina menatap lekat mata sahabatnya, mencari sebuah ketulusan di sana.Fariz menunduk, tak berani membalas tatapan Vina. Dalam hati ia menyesal telah mengucapkan pertanyaan itu. Pertanyaan yang dua hari lalu sempat dia tolak kala Vina memintanya di rumah sakit. Ponsel Fariz bergetar, sebuah pesan masuk di aplikasi WhatsApp-nya. Lelaki itu merasa terselamatkan oleh bunyi pesan tersebut."Nanti kita bicarakan lagi, ya, Vin. Pasienku sudah menuggu. Ica akan bangun setelah dua menit, beritahu aku jika waktu tidurnya lebih lama dari biasanya. Aku titip Caca, ya." Vina mengangguk."Kamu tak perlu melakukan itu, Riz. Lupakan permintaanku dua hari yang lalu," ucap Vina, sebelum Fariz menutup pintu.Pria yang bagi Vina seperti saudara lelakinya itu hanya mengangguk pelan dan menutup pintu perlahan. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, tak henti-hentinya Fariz berdecak menyesali ucapannya saat di rumah Vina. Harusnya dia tak
Fariz benar-benar tidak habis pikir dengan kelakuan Vina dan anaknya. Kenapa Vina bisa begitu santainya menanggapi curhatan anaknya yang menyukai teman ibunya? Meski jujur, harus Fariz akui bahwa dirinya tersanjung karena ditaksir oleh gadis yang layak jadi ponakannya. Dokter bedah saraf itu pun tersenyum sendiri mengingat peristiwa di toko, tadi sore. Ia merasa dejavu, karena ditaksir oleh cewek yang usianya jauh lebih muda darinya. Hal ini pernah ia alami, dulu saat bersama Bella, mantan istrinya.Bella terpaut usia sepuluh tahun darinya. Fariz kira, pernikahannya dengan Bella akan berjalan lancar mengingat usia mereka sama-sama matang. Fariz yang kala itu berusia 35 tahun akhirnya memutuskan menikahi Bella yang berusia 25 tahun. Pandangan Bella yang tak ingin memiliki anak dalam pernikahannya, Fariz pikir akan hilang seiring berjalannya waktu, tetapi semua salah. Bella benar-benar tidak menikmati pernikahan mereka setelah mereka punya anak. Lima
Ica menangis tersedu setelah mendengar penuturan ibunya. Mau tidak mau, Vina harus menceritakan tentang penyakitnya kepada anak semata wayangnya. Ia pun menceritakan tentang rencananya untuk menikahkan Ica dengan sahabatnya."Ica nggak mau nikah, Ica maunya Ibu sembuh," isak gadis pengidap Cataplexy itu menangis di pangkuan ibunya."Ica doain, ya. Besok, Ibu udah harus operasi. Malam ini Ibu sudah panggil Pak RT." Vina mengusap lembut kepala anaknya. Mendengar kata Pak RT disebut, Ica bangun dari pangkuan Vina, menatap heran kepada Ibunya."Ibu mau nitipin Ica ke Pak RT?" tanya Ica, panik.Dulu, waktu Ica masih sekolah dan ibunya harus dirawat di rumah sakit karena penyakit yang sama. Vina menitipkan gadis kecilnya di rumah Pak RT yang sudah menganggap Ica seperti anaknya sendiri."Nggak, Sayang.""Alh
_Kanker kolorektal stadium 4 any T any N M1a_ hasil dari tes CT scan, USG perut, rontgen dada, USG endorektal dan USG intraoperatif yang dijalani Vina."Ini artinya apa, Om?" tanya Ica yang tak paham akan hasil lab yang diberikan oleh dokter Rita untuknya.Fariz tak menjawab, bibirnya terasa kelu untuk menjelaskan bahwa sahabat sekaligus mertuanya itu sangat tipis berkemungkinan untuk sembuh."Dok, ini artinya apa?" Lagi, Ica bertanya mencoba minta penjelasan kepada dokter Rita, orang yang selama ini menangani penyakit ibunya.Dokter yang asli timur itu hanya bisa melirik ke arah Fariz. Pria itu sudah meminta ijin agar dirinya yang akan menjelaskan penyakit Vina kepada anaknya."Biar dokter Fariz yang akan menjelaskannya," jawab dokter Rita mengusap pundak Ica yang duduk mematung di kursinya lalu meninggalkan dua orang itu untuk berbicara.&
Fariz langsung membawa Ica masuk ke dalam kamarnya. Wajahnya masih cemberut karena melihat pemuda asing yang tak dikenalnya itu mengikuti langkahnya. Tepat di depan pintu kamar Fariz menghentikan langkah dan memutar badan menghadap ke Reno."Sebaiknya Anda pulang saja, Ica baik-baik saja," ucap Fariz ketus.Reno terkejut, menyadari bahwa dirinya telah bertindak di luar kesadaran, karena panik melihat Ica yang berdarah dan pingsan ia malah ikut masuk ke rumah orang yang tak dikenalnya tanpa di undang. Ia pun bergegas pulang.Di dalam kamar, Fariz masih terlihat khawatir dengan kondisi Ica yang belum sadar juga. Sampai akhirnya pria paruh baya itu menyadari ada yang aneh pada reaksi dirinya ke Ica. Ini terlalu berlebihan, kenapa pula aku mengecek suhu tubuh dan detak nadinya? Bukankah dua atau tiga menit lagi gadis ini akan sadar? Pikir Fariz. 
"Hai Sayang, perlu bantuan?" Ramah Fariz menyapa istrinya hingga membuat sang istri meneteskan darah dari hidungnya."Yah, Mama Ica mati lagi, deh," celetuk Caca yang panik melihat hidung Ica mulai mimisan.Brug!Suara rolling door terdengar keras ketika Ica menyandarkan tubuhnya, berusaha mengatur ritme jantungnya yang melonjak cepat ketika mendengar kata 'Sayang' dari Fariz."Kamu kenapa, Ca?" Reno kaget melihat Ica yang menyandar pada pintu toko dengan wajah yang pucat."Biar saya saja," cegah Fariz, saat Reno ingin memapah tubuh Ica.Ica menunduk, ia tak ingin menatap wajah Fariz, karena tak ingin pingsan lagi. Sekuat tenaga ia mengatur napas dengan membuang dan menghirup udara dari mulut dan hidungnya."Tetap lakukan itu, dan jangan membuka mata," bisik Fariz yang menyadari kalau Ica sedang mengatu