Share

Duda Tetangga
Duda Tetangga
Penulis: Bia Hikawa

Ica

"Ica, kamu pulang, gih, antar kunci rumah sebelah ke orang yang mau ngontrak di sana!" seru Vina_ibu_Ica dari balik rak-rak sembako di tokonya.

"Ibu aja lah, biar Ica yang jaga toko." Gadis bertubuh mungil itu enggan beranjak dari kegiatannya menimbang tepung dalam kemasan kiloan.

"Kalau Ibu yang pergi nanti siapa yang nerima sales gula?"

"Ica, lah."

"Enggak, Ibu enggak percaya sama kamu. Kemarin disuruh nemuin sales minyak untuk ditolak dulu agar enggak ngambil lagi. Eh, kamu malah terima barang lagi."

Ica tersenyum mendengar penuturan ibunya. Gadis itu teringat kembali peristiwa tiga hari lalu, saat ia ditugaskan oleh ibunya untuk menyetor uang pada sales minyak dan tidak mengambil barang dulu. Sayangnya, pesan ibu buyar begitu saja di kepalanya, ketika mata bening Ica, menangkap pemandangan indah di dalam truk kontainer pengiriman barang. Supir truk tersebut berwajah tampan, sekilas mirip artis Rizky Billar. Jiwa ganjen Ica pun muncul ketika sang sales menanyakan apakah ingin turun barang lagi? Ica mengangguk pelan, demi bisa melihat Rizky Billar kawe 50 lebih lama.

"Ica, cepetan! Orangnya sudah nungguin,tuh!"

"Ya udah, sini Ica yang temuin." Ica pun mengehentikan kegiatannya dan menerima kunci yang disodorkan oleh Ibunya.

"Celemek-nya buka dulu Mba Ica, masa nemuin orang bajunya penuh tepung gitu," saran Wati, pegawai toko ibunya.

"Udah biarin. Cuma ngasih kunci, doang kan, Bu?"

"Iya. Inget ya, Ca, kuncinya langsung kasih ke orangnya. Terus, kamu nggak usah lewat lapangan basket."

"Loh, kan lebih cepat lewat situ, Bu."

"Iya sih, tapi ibu khawatir konsentrasimu pecah pas lihat cowok-cowok lagi main basket, terus lupa, deh, buat nganter kunci." Ibu langsung menyodorkan kunci rumah sebelah kepada Ica.

"Ish, Ibu." Ica cuma bisa nyengir mendengar Ibu meroasting dirinya.

Ica memang memiliki kebiasaan buruk ketika bertemu makhluk tampan. Ia akan membeku dan memandang cowok tampan itu sambil senyum-senyum sendirian dan mimisan. Gara-gara kebiasaan anehnya ini, Ica pernah salah masuk sekolah karena mengikuti guru SMA berwajah tampan sampai ke sekolah tempat si guru mengajar.

"Ica, awas ya jangan sampai lupa anterin kuncinya. Mata enggak usah jelalatan, kalau ada cowok cakep di jalan jangan kamu kintilin," pesan Vina kepada anak gadis semata wayang yang tengah bersiap menyalakan motor.

"Ica nggak janji ya, Bu. Doain aja selamat sampai tujuan," jawab Ica sambil tersenyum. Gadis itu pun pergi menunaikan tugas dari sang Ibu untuk mengantarkan kunci kepada calon tetangga sebelah rumahnya.

***

Sudah satu jam gadis berambut ikal itu berdiri di sebrang jalan sambil menatap rumah yang ada di depannya dengan penuh senyum. Ada cairan berwarna merah menetes dari hidungnya. Dari kejauhan terlihat Vina yang kesal mendapati anaknya tengah berdiri seperti orang lupa ingatan, senyum-senyum sendirian.

"Ica, masuk!" hardik Vina, menarik lengan anak gadisnya pulang, masuk ke rumah yang sudah ada di depan mata mereka.

Ica menurut. Darah masih menetes dari hidung dengan wajah penuh senyum yang mengembang.

 "Kamu habis lihat cowok ganteng, ya?" Vina memberikan tisu pada Ica untuk segera membersihkan hidungnya.

Ica mengangguk

"Pantesan enggak balik lagi ke toko." Vina sudah hafal dengan kebiasaan jelek anaknya yang suka mematung dan mimisan bila melihat cowok ganteng untuk pertama kalinya. Itu sebabnya, Vina memutuskan untuk menyusul Ica karena sudah terlalu lama meninggalkan toko hampir satu jam, padahal hanya butuh waktu lima belas menit untuk Ica memberikan kunci kepada pengontrak baru.

Beruntung kelainannya itu hanya berlangsung pada pandangan pertama, dalam artian terjadi saat Ica baru pertama kali melihat, bila sudah yang kedua kali, maka sikap Ica akan normal meski sedikit kikuk dan salah tingkah. Dokter bilang Ica mengidap Androphobia ringan. Namun, Vina merasa dokter salah diagnosa, sebab anaknya tidak takut atau gelisah melihat pria tampan, melainkan bahagia. Entahlah, apa nama kelainan Ica yang sesungguhnya? Yang jelas dia akan mematung sambil senyum dan mimisan bila melihat pria tampan untuk pertama kali.

"Bu, kayanya Ica jatuh cinta, deh." Vina melirik mendengar penuturan anaknya.

"Sama cowok yang barusan kamu lihat?"

"Iya." Vina mencebik, mendengar jawaban anaknya.

"Kunci rumah sebelah sudah kamu kasih ke yang ngontrak?" selidik ibu yang khawatir anaknya gagal melaksanakan misinya gara-gara cowok ganteng yang dilihatnya.

"Sudah, Bu," jawab Ica, masih dengan senyum menatap langit-langit.

"Tumben! Eh, terus kamu lihat cowok gantengnya di mana?"

"Di sebelah."

Vina melongo mendengar jawaban dari Ica. itu berarti yang dilihat Ica adalah ...

Ting Nong!

Suara bel pintu mengalihkan rasa penasaran Vina atas cerita Ica.

"Nanti lanjutin lagi, ya, ceritanya. Ibu buka pintu dulu." Wanita yang dulu menikah di usia 20 tahun itu bergegas membuka pintu. Rupanya tetangga sebelah yang datang.

Dari ruang tengah masih terdengar suara Ica yang tengah bersenandung karena larut dalam pikirannya akan pria tampan yang mengontrak di sebelah rumahnya.

"Masuk, Riz!" pinta Vina dengan suara yang kencang, memberi kode pada anak gadisnya agar menghentikan senandungnya.

Ica yang mendengar suara lantang Ibunya pun menghentikan senandungnya, tetapi wajahnya masih penuh dengan senyum.

"Maaf ya, Vin, ganggu malam-malam gini," ucap si tamu yang suara baritonnya membuat Ica kembali mimisan.

"Itu suara cogan yang tadi," gumam Ica pelan, matanya kembali berbinar, begitu juga dengan darah yang kembali menetes di hidungnya. Susah payah Ica mencoba menghentikan mimisannya.

"Sendiri aja, Caca mana?" Sepertinya Vina sudah mengenal akrab tetangga barunya.

Ica berjalan mendekat ke arah bufet yang menjadi pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah, untuk mengintip. Memastikan apakah pendengarannya sama dengan pikirannya, bahwa yang datang itu adalah tetangga barunya.

"Sudah tidur, sepertinya kecapean," jawab si pria yang garis wajahnya begitu tegas dengan alis tebal dan hidung mancung dihiasi kacamata minus. Pria yang merupakan sahabat lama Vina itu mendaratkan bokongnya di sofa setelah dipersilahkan duduk.

"Kamu sudah ke Pak RT, melapor jadi warga baru?"

"Belum, mungkin besok saja. Kamu, bisa antar aku ke Pak RT, kan?"

"Pliss, Ica aja yang anterin, Bu," guman Ica dalam hati dengan wajah mulai terlihat pucat karena darah yang keluar dari hidungnya semakin banyak.

"Nanti kamu diantar sama anakku aja, ya. Soalnya, besok pagi aku ada keperluan. Ic ...."

Bruk!

Suara benda jatuh terdengar di ruang tamu tepat di saat Vina ingin memanggil Ica. Membuat kedua orang dewasa itu menoleh ke sumber suara.

"Astaghfirullah, Ica!" pekik Vina, kaget melihat tubuh Ica yang terjatuh dengan wajah penuh darah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status