Share

si Putri Tidur

Terdengar dengkuran halus yang keluar dari rongga hidung Ica ketika Vina dan temannya Fariz menghampiri Ica.

"Kok, dia ngorok Riz?" tanya Vina yang keheranan setelah menghampiri anaknya.

"Berarti dia bukan pingsan, hanya tidur." Fariz segera menggendong Ica dan membawanya ke kamar sesuai arahan Vina.

"Riz, gimana menurut kamu tentang Ica? Dia nggak seperti biasanya seperti ini." Vina bertanya dengan suara yang pelan seolah tak ingin menggangu Ica yang sedang tertidur.

"Sebaiknya kamu periksain Ica, deh."

"Sudah. Dokter bilang androphobia."

"Aku curiganya bukan itu. Kalau adrophobia itu kan rasa takut atau trauma, kalau Ica rasanya bukan."

Betul, Ica nggak pernah cerita kalau dirinya takut melihat cowok ganteng, yang ada malah senang, batin Vina.

"Iya juga, sih. Terus ini aneh, baru pertama kali terjadi dia mimisan dua kali setelah melihat orang yang sama."

"Jadi maksudmu, dia nggak pernah mimisan lagi setelah melihat cowok untuk kedua kalinya?" Vina mengangguk.

"Baru lihat kamu, doang, dia kembali mimisan terus jatuh pingsan, eh tidur."

"Sebaiknya kamu jadwalin Ica buat CT Scan. Aku takut ada gangguan di ota ...."

"Hoaaa!" Ica menguap, terbangun dari tidurnya. Hal itu membuat Fariz menghentikan bicaranya dan bergegas untuk keluar dari kamar Ica. Namun terlambat, langkahnya terhenti di depan pintu kamar setelah mendengar suara Ica.

 "Kok, Ica ada di kamar Bu?"

"Iya, tadi kamu pingsan, eh, tidur! Eh, intinya kamu jatuh di ruang tengah saat ada tetangga sebelah."

"Cowok ganteng itu ya, Bu? Dia lihat Ica pingsan, dong?" Ica memegang pipinya, merasa malu telah terlihat lemah di depan cowok yang disukainya.

"Iya."

"Terus yang bawa Ica ke kamar, orang ganteng itu?" Tangan Ica menunjuk ke arah Fariz yang sedang berdiri di depan pintu, membelakanginya. Ada darah yang kembali menetes dari hidung Ica.

"Duh, Ca. Hidung kamu berdarah lagi, tuh."

Mendengar ucapan Vina, Fariz segera keluar dari kamar Ica.

"Loh, kok pergi?" Wajah Ica berubah murung.

"Itu Pak RT, Ca. Tunggu ya, ibu mau ngucapin makasih dulu," Vina terpaksa berbohong demi keselamtan Fariz dan juga Ica. Bergegas, Vina ke luar menyusul Fariz yang merupakan dokter bedah saraf.

***

Darah tak berhenti mengalir dari hidung Ica ketika ibu menyuruhnya untuk ke rumah sebelah guna menemani Caca, anak tetangga sebelah. Semalam, setelah kepulangan 'Pak RT' ibu bercerita kepada Ica, kalau tetangga sebelah itu adalah seorang duda beranak satu. Mereka pindah kemari karena sang duda pindah kerja di daerah sini. Dokter Fariz merupakan kawan lama Vina. Bercerai dengan istrinya lantaran sang istri tak menginginkan seorang anak. Jadi setelah melahirkan anaknya si istri tak mau mengurus anaknya, Bella istrinya merupakan penganut paham _childfree_ meski Fariz sudah memberikan pengasuh untuk membantu istrinya, tetap saja sang istri merasa pernikahan mereka tak lagi harmonis sejak kehadiran seorang anak. Akhirnya, mereka pun memutuskan untuk berpisah daripada bertengkar tiap hari. Padahal saat itu usia Caca baru genap satu tahun.

"Jadi, Om Fariz seumuran sama Ibu?" tanya Ica.

"Iya."

"45 tahun? Kok, nggak kelihatan,ya?"

"Maksudnya, Om Fariz muda, Ibu tua, gitu?" Vina mendelik ke Ica. Bukannya takut, gadis itu malah tertawa dan menghujani Ibunya dengan ciuman.

"Ibu cantik, kok. Meski terlihat tua."

"Icaaa!" Ibu dan anak itu pun tertawa.

Vina memiliki Ica saat usianya 23 tahun, itu sebabnya di usianya yang sekarang, ia memiliki anak gadis berusia 22 tahun. Sangatlah wajar bila penampilan Vina jauh terlihat lebih tua mengingat semenjak usia Ica lima tahun, Vina harus membesarkan anak seorang diri karena suami tercinta telah berpulang ke Rahmatullah.

"Bu, Ibu nggak naksir sama Om Fariz, kan?" Ica memasukan daun sirih ke hidungnya untuk menghentikan pendarahan.

"Nggak."

"Kenapa? Om Fariz, kan. ganteng."

"Karena Ibu dan Om Fariz sudah seperti saudara kandung, rumah orang tua kami bersebelahan dulu. Saat kuliah dan kedua orang tua Ibu meninggal saat menunaikan ibadah Haji, Ibu sempat tinggal dengan keluarga mereka lantaran mereka juga pindah ke kota yang sama di mana Ibu kuliah."

"Beneran Ibu nggak naksir sama Om Fariz?" selidik Ica.

"Nggak, Ibu naksirnya sama almarhum abangnya," jawab Vina, tersipu malu.

"Dih, Ibu. Jadi Ica boleh, dong, naksir Om Fariz?"

 "Ih, Ica seleranya bandot tua."

"Ah, Ibu!" rajuk Ica, tak terima Ibu merendahkan seleranya.

"Hahaha. Udah sana kamu kesebelah, ajak Caca buat main di sini. Om Fariz bilang pengasuhnya lagi cuti."

"Terus, ke Pak RT-nya?" Vina mengerutkan keningnya tak paham maksud Ica, seditik kemudian baru tersadar akan percakapan semalam.

"Oh, yang itu. Om Fariz bilang dia nggak mau ngerepotin kamu jadinya entar malam berangkat sendiri." Ica cemberut mendengar penjelasan ibu.

***

Kepindahin Fariz ke kompleks perumahan tempat Ica tinggal, sebenernya adalah hal yang disengaja. Atas permintaan Vina, ia memutuskan pindah ke rumah sebelah guna memantau keberadaan Ica. Selama ini Vina memang selalu berkonsultasi pada sahabatnya itu, karena ia merasa curiga atas diagnosa dari dokter lain. Ia ingin anaknya sembuh dari mimisan aneh itu.

Sejak lulus kuliah, Ica tak pernah merasakan yang namanya kerja di perusahaan atau tempat lainnya. Ia hanya membantu ibunya menjaga toko yang masih terletak di kompleks perumahannya.

Vina, sang ibu pun merasa aman karena bisa memantau putrinya.

"Jadi kamu belum pernah bekerja?" tanya dokter yang ada di hadapan Ica.

"Belum," jawab Ica yang merasa heran, kenapa dokter dihadapannya menggunakan kaca mata hitam dan masker, juga suara yang terengar seperti dibuat-buat sember.

Atas saran Fariz, Vina akhirnya membawa Ica ke tempat praktek Fariz, tanpa memberitahu Ica kalau sedang diperiksa oleh cowok idamannya. Sejak kejadian Ica terjatuh karena melihat dokter tampan itu kondisi mimisan Ica semakin parah. Bahkan melihat foto Fariz saat menjeput Caca saja, hidung Ica berdarah. Untuk itu, Vina tak ingin menunda lagi mengecek kesehatan anaknya.

"Kenapa tidak bekerja?" Sang dokter kembali bertanya.

"Saya selalu gagal dalam tes, Dok." Sebenarnya Fariz sudah mengetahui kisah ini dari Vina, tapi tetap saja dia ingin mendengarnya langsung dari mulut pasiennya.

"Kenapa? Kamu tak mampu menjawab soal?"

"Enak aja, gini-gini saya cumelaude, Dok. Karena hidung mimisan ini saja saya jadi tak pernah lulus."

"Apa hubungannya?"

"Ada lah, tiap kali wawancara dan orang yang mewawancarai saya berwajah tampan dengan sendirinya hidung saya menjadi mimisan. Saya dianggap penyakitan."

"Memangnya apa yang kamu rasakan ketika melihat pria tampan?"

"Bahagia. Seperti saya bahagia saat pertama kali melihat Om Fariz, calon imam saya."

"Kamu!" pekik Fariz yang terkejut mendengar jawaban dari Ica.

Gadis manis yang dari tadi sudah menaruh curiga pada papan nama yang ada di meja itu yakin bahwa pria yang ada di hadapannya adalah Om duda tetangga sebelah. Perlahan Ica merasakan ada yang menetes dari hidungnya tetapi tak dihiraukannya. Ica tetap tersenyum menatap dokter yang wajahnya tak terlihat itu.

"Tuh, kaya gini contohnya, walau nggak lihat wajah Om Fariz tapi Ica bahagia bisa mendengar suara seksi Om Fariz," terang Ica polos.

Fariz tak kembali bersuara, ia hanya menyodorkan tisu pada Ica untuk mengelap hidungnya. Beruntung wajahnya mengenakan masker sehingga Ica tak perlu melihat wajahnya yang bersemu merah karena mendapatkan gombalan.

"Ica pasien, loh, Om. Masa disuruh bersihin darah sendiri," goda Ica sambil mendongakkan kepalanya.

"Jangan dongak! Nunduk saja," pinta Fariz, tetapi Ica tak menurut. Ia masih mendongak, berharap sang pujaan hati membersihkan hidungnya.

Melihat tisu yang sudah penuh darah di tangan Ica, Fariz pun bangun dari kursinya menghampiri Ica dan meraih kepala gadis itu untuk menunduk. Ica bergeming, jantungnya semakin berdegup ketika Fariz berjongkok dan mengelap hidungnya.

"Kamu CT Scan, ya, habis dari sini," ucap Fariz setelah membersihkan hidung Ica.

"Iya, Om," jawab Ica dengan suara lemah dan …Plek! Ica terkulai lelap di kursinya dengan wajah pucat.

"Cantik, seperti putri tidur," gumam Fariz yang terkejut oleh ucapannya sendiri. Ia pun segera keluar memanggil Vina.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status