Share

Janji Ica

Fariz langsung membawa Ica masuk ke dalam kamarnya. Wajahnya masih cemberut karena melihat pemuda asing yang tak dikenalnya itu mengikuti langkahnya. Tepat di depan pintu kamar Fariz menghentikan langkah dan memutar badan menghadap ke Reno. 

 

"Sebaiknya Anda pulang saja, Ica baik-baik saja," ucap Fariz ketus. 

Reno terkejut, menyadari bahwa dirinya telah bertindak di luar kesadaran, karena panik melihat Ica yang berdarah dan pingsan ia malah ikut masuk ke rumah orang yang tak dikenalnya tanpa di undang. Ia pun bergegas pulang. 

 

Di dalam kamar, Fariz masih terlihat khawatir dengan kondisi Ica yang belum sadar juga. Sampai akhirnya pria paruh baya itu menyadari ada yang aneh pada reaksi dirinya ke Ica. Ini terlalu berlebihan, kenapa pula aku mengecek suhu tubuh dan detak nadinya? Bukankah dua atau tiga menit lagi gadis ini akan sadar? Pikir Fariz. 

 

 

Ia pun menggelengkan kepalanya dan tersenyum menyadari kekonyolan dirinya. Caca yang masih telaten mengelap hidung Ica, melirik ke Papanya dan bertanya, 

 

"Papa kenapa senyum-senyum?"

 

"Oh, nggak. Eh, Ca, Kakak Ica kok bisa mimisan lagi, ya, hidungnya?" Fariz mencoba mengalihkan pertanyaan putrinya.

 

"Oh, itu gara-gara Mama Ica ditegur sama Om ganteng tadi." Caca tersenyum ketika mengucapkan kata 'Om ganteng' membuat Fariz membulatkan mata melihat ekspresi anaknya.

 

"Jadi Om itu yang negur Kakak Ica duluan?"

 

"Mama, Pa," ralat Caca, tak terima kalau Papanya masih memanggil Ica dengan kata 'Kakak'

 

"Oh iya, papa lupa. Kamu senang, ya, Kakak Ica jadi Mama kamu?" Gadis kecil itu mengangguk menjawab pertanyaan sang Papa, sehingga rambut mie nya ikut bergoyang.

 

"Seneng lah, walau Mama Ica sering mati."

 

"Pingsan Ca, bukan mati." Fariz merebahkan tubuhnya di atas kasur dan mencium lembut kening anaknya. 

 

"Papa tidur sebentar ya, kalau Mama Ica bangun, bilang aja nggak jadi joging. Papa ngantuk." Caca mengangguk lagi dan ikut rebahan di antara Ica dan dirinya. 

 

"Loh. Kok, Caca ikutan tidur?" 

 

"Caca juga masih ngantuk," jawab gadis kecil itu yang tersenyum bahagia akhirnya bisa tidur bersama dengan orangtua lengkap.

 

Selang lima menit ketika Fariz dan Caca tertidur, Ica terbangun dari tidurnya. Melihat bapak dan anak tertidur satu kasur dengannya, Ica tersenyum bahagia memandangi pria pujaannya.

 

"Ini baru nikah beneran. Suami istri tidur satu ranjang bareng anak," gumam Ica sambil cekikikan.

 

Sebuah ide jahil melintas di otaknya, pelan-pelan Ica menggeser kepala Caca yang menyender di lengannya, menaruh kepala mungil itu di lengan papanya. Lalu, ia pun pindah posisi ke samping Fariz dan kembali melanjutkan tidurnya bersama mereka.

 

______

 

Di rumah sakit, Fariz tidak bisa berkonsentrasi memeriksa pasiennya. Pikirannya selalu teralihkan di minggu siang kemarin, saat dirinya terbangun dan mendapati ada seorang wanita muda di dalam pelukannya. 

 

Siang itu, jika Caca tak menegur dirinya yang masih memejamkan mata sedang mengecup pipi Ica, mungkin adegan selanjutnya akan lebih horor. Karena gadis tengik itu sudah siap dengan bibir yang dimonyongkan ke arahnya.

 

"Papa sama Mama sudah bangun?" sapa Caca yang sukses membuat Fariz terlonjak dengan mata membulat menatap gadis yang sedang tersenyum di dalam pelukannya. 

 

 

"Ica, kamu kenapa bisa tidur di dekat saya?" pekik Fariz panik, berharap gadis itu tidak sadar akan tindakannya tadi, tapi rasanya mustahil. 

 

Melihat gelagat Ica yang tersenyum dengan mata penuh binar, serta rahang yang jatuh, hidung gadis itu pun pelan-pelan mengeluarkan tetesan darah, pertanda bahwa korteks limbiknya sedang menerima sinyal rasa bahagia.

 

"Aduh, Ica! Maafkan saya. Tadi tidak sengaja, saya kira kamu Caca, makanya ...." Gugup Fariz memberikan penjelasan pada istri belia-nya. 

 

"Nggak apa, kok, Om. Sengaja juga nggak papa, kan udah halal," jawab Ica, lalu pingsan.

 

Fariz mengusap wajahnya, berharap adegan kemarin siang hilang dari pikirannya. 

 

"Saya terkena stroke, ya, Dok?" tanya seorang pasien dengan bibir yang mengsong, membuyarkan lamunan Fariz. 

 

"Oh, tidak. Jika dilihat dari kelopak mata Ibu yang tak bisa menurun dan bibir yang miring. Ini cuma bell's palsy," jelas Fariz berusaha fokus pada pasiennya. Senyum dan wajah Ica kemarin siang masih terbayang-bayang di kepalanya, hingga sekali lagi Fariz mengusap wajahnya. 

 

 

"Tapi telinga saya sakit, Dok. Kalau wajah saya nggak bisa balik seperti semula gimana ini? Suami saya bisa selingkuh." Tangis si pasien pecah. Membuat Fariz merasa lega, karena ia akan bisa melupakan kejadian kemarin siang untuk beberapa menit kemudian. Semoga pasien selanjutnya juga bisa membuat pikirannya sibuk.

 

_____

 

Hampir sama dengan Fariz, Ica menjalani harinya dengan memikirkan sebuah cara bagaimana dirinya untuk tidak selalu pingsan saat bersama Fariz. Bagaimana Ica bisa menunaikan tugas sebagai istri kalau baru dikecup saja hidungnya sudah mimisan. Andai saja ibu ada di dekatnya, mungkin saat ini sudah memberikan masukan atau tips untuknya. 

 

 

Bahkan Ica sudah diperingatkan oleh dokter sekaligus suaminya itu agar tidak boleh pingsan lagi hari ini. Karena kemarin adalah rekor bagi Ica sepanjang sejarah mimisannya yang menyebabkan ia pingsang sebanyak sepuluh kali. 

 

 

"Diawali mimisan saat melihat Bang Reno, lalu mendengar Om Fariz mengucapkan kata 'Aku', terus dapat kecupan dari Om Fariz, sama ngelihat cowok-cowok ganteng saat Ica, Om Fariz, dan Caca makan di luar malam harinya, Ica kebanyakan pingsan kemarin," cerita Ica kepada Reno yang sedang mampir ke toko.

 

"Jadi, kamu akan mimisan dan pingsan kalau lihat cowok ganteng?" tanya Reno, memastikan penyakit aneh yang dimiliki Ica.

 

 

Ica mengangguk.

 

 

"Kok, kamu nggak nungguin aku, sih, Ca. Aku, kan, juga bisa menerima penyakitmu."

 

"Tapi Bang Reno nggak bisa nyembuhin."

 

 

"Memangnya dokter duda itu, bisa?

 

Lagi, Ica menggeleng.

 

 

"Penyakit Ica nggak bisa sembuh."

 

"Tau nggak bisa sembuh, kenapa mutusin nikah dengan pria yang cocok jadi bapakmu?" Ada rasa cemburu pada pertanyaan Reno.

 

"Kok, Bang Reno ngomongnya gitu, sih."

 

"Soalnya kamu ingkar janji, Ca."

 

"Janji apa? Ica nggak pernah janji sesuatu ke Bang Reno, deh, perasaan."

 

Pedih, itulah yang dirasakan oleh hati Reno saat ini. Gadis pujaannya tak mengingat janji yang dulu pernah diucapkannya dulu. 

 

 

Sebenernya, Ica bukan tak mengingatnya, gadis itu hanya mencoba menerima kenyataan kalau orang tua pujaan hatinya dulu, tak pernah benar-benar menyukainya sebagai calon kekasih anaknya. Kala itu, saat Ica masih sekolah dan selalu pulang dalam keadaan mimisan akibat melewati lapangan basket, di situlah Bu Herman, ibunya Reno untuk pertama kalinya mengetahui penyebab Ica selalu mimisan. 

 

 

Bu Herman menganggap Ica sebagai gadis yang genit dan ganjen. Karena selalu tersenyum bila melihat cowok ganteng. Lalu, tanpa sengaja dari mulutnya terlontar kata, tak akan menjodohkan anaknya dengan Ica yang memiliki penyakit aneh. Ica mendengar semua itu saat disuruh ibunya mengantarkan kue pesanan Bu Herman ke rumahnya.

 

 

"Udahlah Bang, nggak usah diingat-ingat lagi. Itu kan ucapan anak SMA yang masih labil," jawab Ica, mulai tak nyaman dengan percakapan ini. 

 

"Kamu mungkin masih labil saat itu, tapi aku nggak. Aku mau masuk Akabri pun karena kamu janji nggak akan punya kekasih selain diriku. Kamu mau nungguin aku sampai lulus." 

 

Ah, kenapa Bang Reno jadi cengeng begini, pikir Ica yang mulai risih dengan obrolan canggung ini.

 

"Caca, pulang, yuk! Udah sore," seru Ica, yang mulai tak enak mendapat tatapan aneh dari Reno.

 

"Ca, biar aku aja," cegah Reno saat Ica mencoba menutup rolling door toko.

 

"Papa!" seru Caca kegirangan mengetahui papanya pulang sore. 

 

Dari balik lengan Reno yang menggantung di udara karena menarik rolling door, Ica tersenyum menatap papanya Caca yang tak seperti biasanya, datang menjemput ke toko.

 

 

Namun senyuman Ica berubah menjadi sebuah ringisan, ketika menyadari posisinya yang sedang terjepit di antara rolling door dan Reno membuat Fariz menatapnya dengan sinis. 

 

 

"Hai Sayang, perlu bantuan?" Ramah Fariz menyapa istrinya hingga membuat sang istri meneteskan darah dari hidungnya. 

 

 

TBC.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status