_Kanker kolorektal stadium 4 any T any N M1a_ hasil dari tes CT scan, USG perut, rontgen dada, USG endorektal dan USG intraoperatif yang dijalani Vina.
"Ini artinya apa, Om?" tanya Ica yang tak paham akan hasil lab yang diberikan oleh dokter Rita untuknya.
Fariz tak menjawab, bibirnya terasa kelu untuk menjelaskan bahwa sahabat sekaligus mertuanya itu sangat tipis berkemungkinan untuk sembuh.
"Dok, ini artinya apa?" Lagi, Ica bertanya mencoba minta penjelasan kepada dokter Rita, orang yang selama ini menangani penyakit ibunya.
Dokter yang asli timur itu hanya bisa melirik ke arah Fariz. Pria itu sudah meminta ijin agar dirinya yang akan menjelaskan penyakit Vina kepada anaknya.
"Biar dokter Fariz yang akan menjelaskannya," jawab dokter Rita mengusap pundak Ica yang duduk mematung di kursinya lalu meninggalkan dua orang itu untuk berbicara.
Fariz mendekat, membungkuk dan meletakan lututnya di lantai. Kini tubuhnya sejajar dengan Ica yang sedang duduk di kursi. Dilihatnya lekat manik indah putri sahabatnya itu.
"Kita doain Ibu, ya, Ca. Semoga Ibu kuat melawan penyakitnya." Pelan Fariz berkata mencoba menahan air mata yang juga sudah menyembul di sudut matanya.
"Pasti Om, tapi hasil lab tadi apa artinya? Ica berhak tau kan Om?"
"Kanker Ibu sudah masuk stadium akhir, tidak tumbuh di dinding kolon atau rectum, tidak menyebar ke kelenjar getah bening tapi menyebar ke organ tubuh lainnya yaitu hati."
"Terus, percuma, dong, di operasi?"
"Dokter akan tetap melakukan tindakan karena Ibu tetap perlu menjalani pengobatan kanker kolorektal. Tujuannya, untuk meringankan gejala, memperlambat penyebaran sel kanker, dan tentunya membuat kualitas hidup Ibu jadi lebih baik."
Air mata Ica tumpah, bahunya berguncang karena menahan Isak. Ada darah yang menetes dari hidung Ica.
"Sabar, kita doakan yang tebaik buat Ibu," bisik Fariz lembut, sambil mengelap hidung dan memeluk istri belianya itu, berjaga-jaga bila Ica mendapat serangan cataplexy akibat emosi sedih yang berlebihan.
______
Sebulan setelah menjalani operasi Vina terlihat cukup sehat untuk dikunjungi, meski selang infus masih membelit lenganya. Ia pun bisa menerima kunjungan dari Ica untuk berbagi cerita selama berpisah dari dirinya. Dokter mengijinkannya sebagai bagian dari terapi diri. Siapa tau dengan mendengar celoteh putrinya yang selalu lupa kalau dirinya sudah menjadi seorang istri, bisa menaikan sistem imun bagi tubuh Vina.
"Ica tidur di mana?" tanya Vina dengan suara yang lemah.
"Di rumah Bu, sama Caca."
"Om Fariz?"
"Di rumahnya juga."
"Loh, kok nggak tinggal satu rumah? Kalian kan sudah menikah." Vina melirik ke Ica dan Fariz.
"Lupa, Bu," jawab Ica, polos. Membuat Vina menyunggingkan senyum dan melirik ke arah Fariz.
"Nggak apa Vin. Aku yang salah karena belum membuat kunci duplikat rumah sehingga Ica ketiduran dengan pintu rumah terkunci sebelum aku pulang," terang Fariz mencoba menjelaskan alasan Ica yang selalu membuat dirinya tidur terpisah dari rumah.
"Untungnya rumah Om Fariz dekat ya, Bu. Cuma di sebelah, jadinya tiap Caca mengingau cari Papanya, Ica tinggal anterin ke rumah sebelah meski tengah malam." Kali ini Vina mengerutkan keningnya mendengar penuturan Ica.
"Oo, jadi kamu yang tidur di rumah Om Fariz?"
"Nggak, Ica pulang, lah.
"Loh, kenapa? Kok, pulang?" Suara Vina terdengar mulai terengah-engah.
"Vin, ceritanya lanjut nanti, ya. Sudah waktunya kamu istirahat," potong Fariz, tak ingin sahabatnya mendapat serangan jantung akibat cerita anaknya yang akan mengadu kalau dirinya masih belum bisa menerima putri sahabatnya sebagai wanita dewasa.
Di mata Fariz, Ica masih tetap seperti keponakannya.
"Ibu istirahat ya, besok Ica datang lagi." Ica mencium kening ibunya.
"Ca, manggilnya jangan 'Om' terus ke suami, coba panggil 'Mas," saran Vina, sebelum anak dan menantunya mengakhiri jam kunjungannya.
Sepertinya Vina menyadari bahwa putrinya masih belum dianggap istri oleh sahabat yang kini menjadi menantunya.
"Titip Ica, ya, menantuku sahabatku," ucap Vina kepada Fariz, membuat Ica terpingkal mendengar celoteh ibunya.
"Kok, jadi berasa judul sinetron ikan terbang, ya, Bu," timpal Ica, sukses membuat Vina tertawa, tetapi membuat wajah Fariz memerah karena menahan malu dan kesal menjadi bahan olok-olokan Vina dan anaknya.
________
Sinar mentari masuk melalui jendela kaca yang tertutup, membuat pria yang baru tertidur selama empat jam itu, menarik selimutnya kembali guna menutupi pantulan sinar matahari yang menerpa wajahnya.
"Papa bangun!" teriak Caca, mencoba membangunkan Papanya.
"Ca, Papa masih ngantuk, semalam pulang jam dua.
"Bangun nggak Om, kalau nggak Ica perkosa, nih!" Sontak Fariz terbangun dan duduk setelah mendengar suara ancaman dari istri belianya.
"Ka-kamu ngapain masuk ke kamar saya?"
"Papa, kita mau joging. Mama Ica, ngajak kita joging buat beli bubur ayam di dekat lapangan basket," jelas Caca, sambil menyandarkan badannya di tubuh Papanya serta melingkarkan tangan di lehernya, bersiap minta digendong.
"Kamu keluar dulu, gih, ajak Kak Ica sekalian. Papa mau ganti baju dulu."
"Mama, Pa bukan Kakak," protes Caca.
"Ya udah, Mama. Ica, tolong tunggu di luar dulu, ya."
"Sama istri aja masih malu-malu, Om, eh, Mas," goda Ica membuat Fariz menjambak rambutnya sendiri karena kesal.
"Iya, iya, terserah kamu mau panggil saya Om atau Mas, tapi sekarang bisa keluar dulu nggak? Mau joging sama saya, kan?" Fariz sedikit menekan suaranya guna menahan kejengkelan yang sudah merasuk di ubun-ubun kepalanya.
Ica dan Caca, sontak lari keluar sambil cekikikan. "Papa, jadi orang tua jangan emosian nanti cepet mati," seru Caca sebelum menghilang dari balik pintu.
"Vina, pliss jangan mati dulu. Aku bisa gila ngurusuin dua anak perempuan kalau begini caranya," gerutu Fariz di atas kasurnya.
Dirinya masih enggan untuk pergi joging tetapi sebuah ide muncul di kepalanya begitu saja, sehingga membuat ia bersemangat menuju kamar mandi.
Fariz lekas menggosok gigi dan mencuci mukanya, dipakainya celana training dan kaos ketat yang menonjolkan otot bisep di lengannya itu, meski usianya hampir mendekati kepala lima, tubuh Fariz masih terlihat gagah seperti pria berusia tiga puluhan. Kegemarannya berolahraga, lah, yang membentuk tubuh indahnya itu sering membuat kaum hawa terkecoh oleh usianya, ditambah wajah yang baby face seperti tak pernah menua.
Fariz tersenyum melihat pantulan dirinya di cermin, rambut bagian depannya dibiarkan tergerai olehnya. Seingat Fariz, tampilan seperti inilah yang dulu sukses membuat Ica pingsan saat melihat dirinya. Yah, Fariz memang berniat membuat Ica pingsan agar tak perlu joging, karena ia masih butuh tidur yang banyak untuk saat ini.
"Papa, Kakak Ica mau mati!" teriak Caca dari luar.
"Hah! Perasaan aku belum keluar? Apa Ica mengintip ya? Yes, usahaku berhasil," gumam Fariz dengan senyum mengembang dan lekas keluar untuk mengecek keadaan.
Sampai depan teras, Fariz tergopoh menghampiri Caca yang terlihat khawatir dengan keadaan Ica yang terus mimisan, di depannya seorang pria muda yang ditaksir Fariz berusia akhir dua pulauhan itu, tengah memegang tengkuk Ica untuk tetap menunduk. Namun Ica enggan untuk menuduk, tepatnya leher Ica kaku, senyum menghias di wajahnya dengan mata yang berbinar menatap pria yang bisa dibilang tampan itu.
"Cih!" decak Fariz yang enggan mengakui bahwa lelaki berkaos abu itu cukup ganteng sehingga membuat korteks limbik di otak Ica bereaksi.
"Biar saya saja," pinta Fariz agar pria muda itu menyingkir dari Ica.
"Oh iya, maaf," gugup, pria bernama Reno itu mempersilakan Fariz mengambil alih untuk melihat kondisi Ica.
"Kamu kuat bangun, Ca?" tanya Fariz yang mulai kesal melihat ekspresi Ica senyum-senyum keganjenan. Ica menyadari tatapan tajam suami tuanya itu, membuat pacuan detak jantungnya semakin berlomba.
"Itu Bang Reno, anaknya Pak RT," jelas Ica agar suaminya tidak salah paham.
"Aku tau," jawab Fariz ketus, lalu sigap menggendong Ica yang seketika sukses pingsan karena mendengar Fariz memakai kata 'aku' untuk menyebut dirinya ke Ica.
"Loh, Ica pingsan," panik Reno.
"Ntar juga hidup lagi, kok Om," jelas Caca.
TBC.
Fariz langsung membawa Ica masuk ke dalam kamarnya. Wajahnya masih cemberut karena melihat pemuda asing yang tak dikenalnya itu mengikuti langkahnya. Tepat di depan pintu kamar Fariz menghentikan langkah dan memutar badan menghadap ke Reno."Sebaiknya Anda pulang saja, Ica baik-baik saja," ucap Fariz ketus.Reno terkejut, menyadari bahwa dirinya telah bertindak di luar kesadaran, karena panik melihat Ica yang berdarah dan pingsan ia malah ikut masuk ke rumah orang yang tak dikenalnya tanpa di undang. Ia pun bergegas pulang.Di dalam kamar, Fariz masih terlihat khawatir dengan kondisi Ica yang belum sadar juga. Sampai akhirnya pria paruh baya itu menyadari ada yang aneh pada reaksi dirinya ke Ica. Ini terlalu berlebihan, kenapa pula aku mengecek suhu tubuh dan detak nadinya? Bukankah dua atau tiga menit lagi gadis ini akan sadar? Pikir Fariz. 
"Hai Sayang, perlu bantuan?" Ramah Fariz menyapa istrinya hingga membuat sang istri meneteskan darah dari hidungnya."Yah, Mama Ica mati lagi, deh," celetuk Caca yang panik melihat hidung Ica mulai mimisan.Brug!Suara rolling door terdengar keras ketika Ica menyandarkan tubuhnya, berusaha mengatur ritme jantungnya yang melonjak cepat ketika mendengar kata 'Sayang' dari Fariz."Kamu kenapa, Ca?" Reno kaget melihat Ica yang menyandar pada pintu toko dengan wajah yang pucat."Biar saya saja," cegah Fariz, saat Reno ingin memapah tubuh Ica.Ica menunduk, ia tak ingin menatap wajah Fariz, karena tak ingin pingsan lagi. Sekuat tenaga ia mengatur napas dengan membuang dan menghirup udara dari mulut dan hidungnya."Tetap lakukan itu, dan jangan membuka mata," bisik Fariz yang menyadari kalau Ica sedang mengatu
Mata Fariz masih mendelik tajam, meminta kejelasan, bagaimana bisa Caca mengetahui istilah pancil dicicil?"Jelasin dulu kenapa Caca bisa tau istilah itu?" ancam Fariz yang enggan menjawab pertanyaan anaknya tentang kata 'istri'."Ada sales panci yang datang ke toko menawari sistem pembayaran cicil, mungkin dari situ Caca tahu."Caca mengangguk. "Betul. Kalau istri apa, Pa?""Istri itu ...." Suara bel pintu menghentikan mulut Ica untuk memberi penjelasan pada anak tirinya."Papa kamu aja yang jelasin, Mama Ica, mau bukain pintu dulu," ucap Ica sambil melirik kepada Fariz.Pria senja itu mengangguk pelan tanda setuju, tetapi kembali mendelik setelah membaca gerakan bibir Ica, yang mengucapkan kata S U A M I kepadanya dengan kerlingan mata dan sun jauh.Namun, ekspresi ketidak sukaan itu hanya ditunjukan sebent
Fariz kebingungan mendengar pertanyaan Caca yang begitu ingin tau siapa wanita yang barusan bertamu. Jika ia mengatakan wanita itu adalah Mama kandungnya, Caca pasti akan bingung dan menganggapnya pembohong. Karena selama ini Fariz selalu berkata bahwa Caca tak pernah memiliki mama sejak lahir. Bila tak menjelaskan sekarang, pasti Caca akan lebih kecewa bila mengetahuinya dari mulut Bella, langsung. Tanpa sadar Fariz menggaruk kepalanya yang tak gatal, sambil senyum ia menatap Caca dan Ica secara bergantian. Lalu sebuah ide jahil muncul begitu saja di kepalanya ketika untuk ketiga kalinya ia menatap wajah Ica yang sedang mengejeknya karena pertanyaan Caca."Tanya Mama Ica aja, ya. Dia tau siapa itu Bella Ayunda," jawab Fariz sambil mengerling dan tersenyum jahil pada Ica.Antara sebal dan bahagia, gadis penderita Cataplexy itu melotot mendengar penyataan Fariz dengan senyum dan kerlingannya yang menggoda. Otak Ica tak dapat merespon rasa bahagia yang mene
Ruangan berdinding putih itu hanya boleh dimasuki oleh Ica, Fariz dan Dokter Rita. Pengunjung yang lain hanya boleh menunggu di luar pintu yang bertuliskan Ruangan ICU. Dari balik pintu, Bella dapat mengintip ada tubuh ringkih yang tengah terbujur lemah tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Tubuh tersebut dililit oleh selang infus dan kabel elektroda yang terhubung ke monitor hemodinamik serta saturasi. Parameter di layar monitor menunjukan aktivitas denyut jantung di bawah 60. Angka yang tertera hanya 23.Dokter Rita hanya menggeleng kepada Fariz yang tengah memeluk Ica."Sejak kapan kondisinya melemah seperti ini?" tanya Fariz."Baru tadi pagi. Kankernya sudah menyebar ke jantung. Ica, ikhlasin Ibu, ya. Kami sudah nggak bisa berbuat apa-apa untuk kesembuhan Ibu."Mendengar kata-kata dari Dokter Rita, tangis Ica semakin menjadi
Sudah ada lima menit, Caca duduk menyender di pintu kamar Ica. Anak itu menuggu sang Mama keluar dari kamarnya. Sesekali dari mulut kecilnya terdengar gumaman,"Mama Ica keluar, dong.""Caca mau main sama Mama Ica."Meski tak terdengar suara isakan dari gumaman Caca, tetap saja bagi Fariz, suaranya terdengar seperti rengekan. Pikiran Fariz pun mulai disesapi rasa panik, ketika Caca kemabali bertanya kepadanya."Pa, Mama Ica nggak mati kan?" Mata mungil itu mulai berkaca-kaca."Biar Papa yang bujuk, siapa tau Mama Ica mau keluar."Pelan, Fariz mengetuk pintu kamar Ica sambil memanggil namanya. Tak ada respon dari dalam. Ketukan pun sedikit dikeraskan."Ca, buka, dong. Sudah sore ini, kamu baik-baik aja, kan?" Masih tak ada respon."Pa, dorong kencang aja pintunya." Caca memberi saran."Ah, iya juga. Ca
Sudah dua jam Ica pergi bersama Reno. Padahal lokasi pemakaman tidak begitu jauh dari kompleks rumah Ica, tapi kenapa mereka begitu lama untuk jiarah.Caca sedari tadi sudah menanyakan di mana Mama Ica kepada Papanya. Membuat Fariz semakin pusing dibuatnya. Baru saja Fariz ingin menghubungi ponsel Ica untuk menyuruhnya segera pulang. Tiba-tiba terdengar suara motor dari luar. Gegas, Fariz berlari menuju teras."Ica!" serunya sambil berlari menuju teras.Sesampainya di teras, ternyata tukang galon yang datang."Maman, Pak. Bukan Ica," jawab si tukang galon yang keheranan melihat wajah panik Fariz. Sambil menggedikan bahu, Maman si tukang galon pun lekas angkat kaki karena mendapati mata Fariz yang mendelik, kesal.Ah, sial! Fariz merutuk dalam hati kemudian tersenyum menyadari tingkahnya yang terlihat konyol dan berlebihan. Ia jadi terlihat sepe
"Papa sama Mama Ica lagi ngapain?" Suara Caca dari belakang menghentikan gerakan tangan Fariz yang mulai tak terkontrol memegang tengkuk Ica.Fariz terkejut, menarik bibirnya dari pagutan Ica. Wajah mereka berdua memerah. Sementara Ica tersenyum, ada darah yang menetes dari hidungnya.Kilasan-kilasan memori terlintas di otak Ica saat mereka berciuman. Memberi informasi kilasan adegan saat Ica pertama kali bertemu dengan Fariz. Saat usianya lima tahun, lalu berlanjut ke potongan memori saat usia Ica delapan tahun. Ada pesta ulang tahun yang dibuat oleh ibunya, dan dihadiri oleh beberapa tamu undangan, salah satunya Fariz. Sahabat ibunya itu memberikan kalung kepada Ica sebagai kado ulang tahun.Vina memakaikan kalung bermata Rubi itu ke leher putrinya sambil berseloroh,"Sepertinya, kamu akan benar-benar terikat pada putriku nanti.""Ya, dia akan terikat menjadi