Ica menangis tersedu setelah mendengar penuturan ibunya. Mau tidak mau, Vina harus menceritakan tentang penyakitnya kepada anak semata wayangnya. Ia pun menceritakan tentang rencananya untuk menikahkan Ica dengan sahabatnya.
"Ica nggak mau nikah, Ica maunya Ibu sembuh," isak gadis pengidap Cataplexy itu menangis di pangkuan ibunya.
"Ica doain, ya. Besok, Ibu udah harus operasi. Malam ini Ibu sudah panggil Pak RT." Vina mengusap lembut kepala anaknya. Mendengar kata Pak RT disebut, Ica bangun dari pangkuan Vina, menatap heran kepada Ibunya.
"Ibu mau nitipin Ica ke Pak RT?" tanya Ica, panik.
Dulu, waktu Ica masih sekolah dan ibunya harus dirawat di rumah sakit karena penyakit yang sama. Vina menitipkan gadis kecilnya di rumah Pak RT yang sudah menganggap Ica seperti anaknya sendiri.
"Nggak, Sayang."
"Alhamdulillah, kirain mau dititipin lagi. Ica, nggak mau kalo Ibu nitipin Ica ke sana."
"Kenapa?"
"Pak RT udah tua, Bu. Yang ada Ica yang jagain mereka, bukan mereka yang jagain Ica."
"Hus! Nggak boleh gitu, Ca. Mereka orang baik, kalau ada kesempatan apa salahnya membalas jasa mereka. Dulu kamu senang kalau bermain di rumah Pak RT, kan?"
Dari kecil hingga remaja, Ica memang suka bermain ke rumah Pak RT, dulu, saat Reno putra Pak RT masih ada. Semenjak Reno mengikuti pendidikan militer, Ica sudah jarang bermain ke rumah sesepuh warga itu.
"Terus, Ibu manggil Pak RT buat apa?"
"Buat jadi saksi."
"Saksi?" Ica tak mengerti akan ucapan Ibunya. Wajah pucat Vina hanya tersenyum menjawab keheranan Ica.
_______
Malam harinya ...
Wati, asisten Vina di toko tengah sibuk di dapur membantu Ica menyiapkan makanan dan minuman untuk para tamu yang sudah duduk melingkar di karpet ruang tamu.
Sofa dan meja sudah disingkirkan ke teras oleh Wati tadi sore, agar ruang tamu tersebut mampu menampung tetangga satu gang.
Ica yang sudah dari sore kebingungan atas kedatangan para tamu belum sempat bertanya kepada ibunya, apa maksud dari pesta kecil ini. Yah, bisa dikatakan pesta, karena mereka yang datang berpakaian formal, bahkan Om Duda tetangga sebelah pun ikut hadir dengan tampilan terbaiknya, memakai jas.
"Mba Wati, ini sebenarnya ada apa, sih? Kok, Ibu mengundang tetangga ke rumah," tanya Ica yang sibuk menyusun kue-kue basah ke dalam piring cantik koleksi ibunya.
"Memangnya Ibu belum bilang ke Mba Ica?" Wati malah balik bertanya.
Ica menggeleng. "Lusa, Ibu mau operasi, kan, bukan pergi umroh?"
"Iya. Mana mungkin ibu pergi umroh, orang lagi sakit."
"Tapi, kok, ngudang orang. Ibu aneh, ya, Mba Wati?" ujar Ica, murung dan hanya ditanggapi senyum oleh Wati.
Bu Herman, istri Pak RT datang menghampiri Ica di dapur.
"Ca, ke depan dulu, gih, orang-orang sudah nungguin." Bu Herman menarik lengan Ica, hingga membuat dirinya mau tak mau ikut ke depan menyapa para tamu.
"Nah, ini mempelai wanitanya, Pak Penghulu," ucap Vina, mengenalkan Ica kembali kepada para tamu.
Ica melongo tak mengerti atas perkataan ibunya, lalu tersenyum kecut setelah sudut hipokampus di otaknya berhasil mengingat kejadian lima menit yang lalu. Dirinya sempat duduk bersanding bersama Om Fariz, di depan penghulu. Kemudian usai para saksi mengucapkan kata "Sah" Ica sukses pingsan.
'Aneh, kenapa aku bisa lupa akan hal itu ya? padahal tadi sore Ibu sudah menjelaskan bahwa hari ini Om Fariz akan menikahiku,' gumam Ica dalam hati.
"Yea. Kakak Ica sekarang jadi Mama Caca." Caca memeluk Ica dan menghujaninya dengan ciuman.
Tak ada pelaminan, dan gaun mewah di hari pernikahannya. Juga tak ada darah yang menetes dari hidung Ica. Perasaan yang sedang di alami oleh Ica tampaknya tidak terdeteksi oleh sistem limbik di otaknya. Sehingga tak dapat terbaca oleh korteks limbik rasa bahagia yang dimiliki Ica. Bisa dikatakan, saat ini perasaan yang dimiliki olehnya di dominasi oleh rasa sedih. Ica sadar, pernikahan ini mungkin pintu awal bagi dirinya berpisah dengan ibunya.
Tepat jam sepuluh, para tamu sudah bubar dari pesta kecil di rumahnya. Ica sudah mengganti baju kebaya dengan piyama hello kitty. Di dalam kamarnya, Caca sudah tertidur pulas.
"Ca, kamu tidur aja, gih. Biar saya yang ngerapihin ini semua," ujar Fariz, mengambil sapu yang ada di tangan Ica.
"Om aja sana yang pulang buat istirahat." Ica menolak.
"Beneran? Kamu nggak apa ngerapihin ini sendirian?" Pria jangkung itu menatap gadis bau kencur yang sekarang sudah sah menjadi istrinya.
"Iya."
Fariz sedikit terkejut dengan jawaban Ica yang datar. Terdengar seperti tak ada ada gairah dalam suara Ica. Padahal ini hari pernikahannya. Kemana perginya sikap centil Ica? Seperti minggu lalu, saat mereka makan malam, batin Fariz, bertanya.
Kursi dan meja sudah tersusun kembali di ruang tamu. Wati juga sudah pulang membawa sisa kue yang tak disentuh tamu. Sementara Vina, sudah masuk ke dalam kamarnya sejak satu jam yang lalu.
"Om, nggak pulang?" tanya Ica, yang sepertinya lupa kalau pria tetangga sebelahnya ini sudah resmi jadi suaminya.
"Ca, saya sudah jadi suamimu, lo," jawab Fariz keheranan akan sikap Ica yang seperti orang linglung.
"Oh iya, lupa." Lagi, suara Ica terdengar datar.
"Kamu baik-baik saja, kan, Ca?" Fariz mendekat, memegang pundak Ica.
Ica menggeleng.
"Kenapa?"
"Ica, takut."
"Tenang, saya nggak akan memintamu melakukannya malam ini." Ica bengong.
"Ngelakuin apaan, Om?" Gantian Fariz yang bengong.
"Ica takut, Om. Besok Ibu mau operasi. Ini sudah yang kedua kalinya Ibu operasi kangker. Ica takut Ibu nggak bisa sembuh."
'Ah, ternyata itu yang ditakutkan olehnya,' gumam Fariz dalam hati. Ia mencoba menahan senyum menyadari pikirannya yang mesum.
"Harusnya, kita nggak usah nikah, Om. Kalau nikah, itu tandanya Ibu nggak akan sembuh. Ibu pasti nggak mau berjuang atas penyakitnya karena tau Ica sudah ada yang jagain." Tangis Ica pecah.
"Jangan mendahului takdir, Ca. Doakan saja yang terbaik buat Ibu," hibur Fariz mencoba menenangkan Ica. Namun gadis itu malah semakin menangis tersedu dengan suara yang mulai kencang.
Perlahan Fariz mendekat, meraih bahu Ica untuk dipeluknya agar tenang. Belum sempat Ica jatuh ke pelukan Fariz, Ica sudah mendongak menatap Fariz.
"Om tidur di kamar Ica, ya, sama Caca. Biar Ica tidur sama Ibu," ucap Ica sambil mengusap air matanya, lalu pergi meninggalkan Fariz yang mematung.
"Dasar cewek, absurd," gumam Fariz, tersenyum menyadari kekonyolan sikapnya yang masih berdiri dengan lengan yang hendak memeluk seseorang. Ia pun akhirnya memeluk, tubuhnya sendiri.
TBC.
_Kanker kolorektal stadium 4 any T any N M1a_ hasil dari tes CT scan, USG perut, rontgen dada, USG endorektal dan USG intraoperatif yang dijalani Vina."Ini artinya apa, Om?" tanya Ica yang tak paham akan hasil lab yang diberikan oleh dokter Rita untuknya.Fariz tak menjawab, bibirnya terasa kelu untuk menjelaskan bahwa sahabat sekaligus mertuanya itu sangat tipis berkemungkinan untuk sembuh."Dok, ini artinya apa?" Lagi, Ica bertanya mencoba minta penjelasan kepada dokter Rita, orang yang selama ini menangani penyakit ibunya.Dokter yang asli timur itu hanya bisa melirik ke arah Fariz. Pria itu sudah meminta ijin agar dirinya yang akan menjelaskan penyakit Vina kepada anaknya."Biar dokter Fariz yang akan menjelaskannya," jawab dokter Rita mengusap pundak Ica yang duduk mematung di kursinya lalu meninggalkan dua orang itu untuk berbicara.&
Fariz langsung membawa Ica masuk ke dalam kamarnya. Wajahnya masih cemberut karena melihat pemuda asing yang tak dikenalnya itu mengikuti langkahnya. Tepat di depan pintu kamar Fariz menghentikan langkah dan memutar badan menghadap ke Reno."Sebaiknya Anda pulang saja, Ica baik-baik saja," ucap Fariz ketus.Reno terkejut, menyadari bahwa dirinya telah bertindak di luar kesadaran, karena panik melihat Ica yang berdarah dan pingsan ia malah ikut masuk ke rumah orang yang tak dikenalnya tanpa di undang. Ia pun bergegas pulang.Di dalam kamar, Fariz masih terlihat khawatir dengan kondisi Ica yang belum sadar juga. Sampai akhirnya pria paruh baya itu menyadari ada yang aneh pada reaksi dirinya ke Ica. Ini terlalu berlebihan, kenapa pula aku mengecek suhu tubuh dan detak nadinya? Bukankah dua atau tiga menit lagi gadis ini akan sadar? Pikir Fariz. 
"Hai Sayang, perlu bantuan?" Ramah Fariz menyapa istrinya hingga membuat sang istri meneteskan darah dari hidungnya."Yah, Mama Ica mati lagi, deh," celetuk Caca yang panik melihat hidung Ica mulai mimisan.Brug!Suara rolling door terdengar keras ketika Ica menyandarkan tubuhnya, berusaha mengatur ritme jantungnya yang melonjak cepat ketika mendengar kata 'Sayang' dari Fariz."Kamu kenapa, Ca?" Reno kaget melihat Ica yang menyandar pada pintu toko dengan wajah yang pucat."Biar saya saja," cegah Fariz, saat Reno ingin memapah tubuh Ica.Ica menunduk, ia tak ingin menatap wajah Fariz, karena tak ingin pingsan lagi. Sekuat tenaga ia mengatur napas dengan membuang dan menghirup udara dari mulut dan hidungnya."Tetap lakukan itu, dan jangan membuka mata," bisik Fariz yang menyadari kalau Ica sedang mengatu
Mata Fariz masih mendelik tajam, meminta kejelasan, bagaimana bisa Caca mengetahui istilah pancil dicicil?"Jelasin dulu kenapa Caca bisa tau istilah itu?" ancam Fariz yang enggan menjawab pertanyaan anaknya tentang kata 'istri'."Ada sales panci yang datang ke toko menawari sistem pembayaran cicil, mungkin dari situ Caca tahu."Caca mengangguk. "Betul. Kalau istri apa, Pa?""Istri itu ...." Suara bel pintu menghentikan mulut Ica untuk memberi penjelasan pada anak tirinya."Papa kamu aja yang jelasin, Mama Ica, mau bukain pintu dulu," ucap Ica sambil melirik kepada Fariz.Pria senja itu mengangguk pelan tanda setuju, tetapi kembali mendelik setelah membaca gerakan bibir Ica, yang mengucapkan kata S U A M I kepadanya dengan kerlingan mata dan sun jauh.Namun, ekspresi ketidak sukaan itu hanya ditunjukan sebent
Fariz kebingungan mendengar pertanyaan Caca yang begitu ingin tau siapa wanita yang barusan bertamu. Jika ia mengatakan wanita itu adalah Mama kandungnya, Caca pasti akan bingung dan menganggapnya pembohong. Karena selama ini Fariz selalu berkata bahwa Caca tak pernah memiliki mama sejak lahir. Bila tak menjelaskan sekarang, pasti Caca akan lebih kecewa bila mengetahuinya dari mulut Bella, langsung. Tanpa sadar Fariz menggaruk kepalanya yang tak gatal, sambil senyum ia menatap Caca dan Ica secara bergantian. Lalu sebuah ide jahil muncul begitu saja di kepalanya ketika untuk ketiga kalinya ia menatap wajah Ica yang sedang mengejeknya karena pertanyaan Caca."Tanya Mama Ica aja, ya. Dia tau siapa itu Bella Ayunda," jawab Fariz sambil mengerling dan tersenyum jahil pada Ica.Antara sebal dan bahagia, gadis penderita Cataplexy itu melotot mendengar penyataan Fariz dengan senyum dan kerlingannya yang menggoda. Otak Ica tak dapat merespon rasa bahagia yang mene
Ruangan berdinding putih itu hanya boleh dimasuki oleh Ica, Fariz dan Dokter Rita. Pengunjung yang lain hanya boleh menunggu di luar pintu yang bertuliskan Ruangan ICU. Dari balik pintu, Bella dapat mengintip ada tubuh ringkih yang tengah terbujur lemah tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Tubuh tersebut dililit oleh selang infus dan kabel elektroda yang terhubung ke monitor hemodinamik serta saturasi. Parameter di layar monitor menunjukan aktivitas denyut jantung di bawah 60. Angka yang tertera hanya 23.Dokter Rita hanya menggeleng kepada Fariz yang tengah memeluk Ica."Sejak kapan kondisinya melemah seperti ini?" tanya Fariz."Baru tadi pagi. Kankernya sudah menyebar ke jantung. Ica, ikhlasin Ibu, ya. Kami sudah nggak bisa berbuat apa-apa untuk kesembuhan Ibu."Mendengar kata-kata dari Dokter Rita, tangis Ica semakin menjadi
Sudah ada lima menit, Caca duduk menyender di pintu kamar Ica. Anak itu menuggu sang Mama keluar dari kamarnya. Sesekali dari mulut kecilnya terdengar gumaman,"Mama Ica keluar, dong.""Caca mau main sama Mama Ica."Meski tak terdengar suara isakan dari gumaman Caca, tetap saja bagi Fariz, suaranya terdengar seperti rengekan. Pikiran Fariz pun mulai disesapi rasa panik, ketika Caca kemabali bertanya kepadanya."Pa, Mama Ica nggak mati kan?" Mata mungil itu mulai berkaca-kaca."Biar Papa yang bujuk, siapa tau Mama Ica mau keluar."Pelan, Fariz mengetuk pintu kamar Ica sambil memanggil namanya. Tak ada respon dari dalam. Ketukan pun sedikit dikeraskan."Ca, buka, dong. Sudah sore ini, kamu baik-baik aja, kan?" Masih tak ada respon."Pa, dorong kencang aja pintunya." Caca memberi saran."Ah, iya juga. Ca
Sudah dua jam Ica pergi bersama Reno. Padahal lokasi pemakaman tidak begitu jauh dari kompleks rumah Ica, tapi kenapa mereka begitu lama untuk jiarah.Caca sedari tadi sudah menanyakan di mana Mama Ica kepada Papanya. Membuat Fariz semakin pusing dibuatnya. Baru saja Fariz ingin menghubungi ponsel Ica untuk menyuruhnya segera pulang. Tiba-tiba terdengar suara motor dari luar. Gegas, Fariz berlari menuju teras."Ica!" serunya sambil berlari menuju teras.Sesampainya di teras, ternyata tukang galon yang datang."Maman, Pak. Bukan Ica," jawab si tukang galon yang keheranan melihat wajah panik Fariz. Sambil menggedikan bahu, Maman si tukang galon pun lekas angkat kaki karena mendapati mata Fariz yang mendelik, kesal.Ah, sial! Fariz merutuk dalam hati kemudian tersenyum menyadari tingkahnya yang terlihat konyol dan berlebihan. Ia jadi terlihat sepe