Share

Duka Cita
Duka Cita
Author: Kanietha

1. Selamat Menempuh Hidup Baru

“Tanda tangani ini.” 

Cita baru saja keluar dari kamar mandi, saat melihat pria yang baru dinikahinya melempar sebuah map di atas tempat tidur. Ia baru saja membersihkan tubuh, dari semua penat setelah menjadi ratu sehari di pelaminan. 

“Apa itu?” Dengan mengeratkan tali bathrobe, Cita menghampiri tempat tidur. Menghempas bokongnya di tepi, lalu membuka map berwarna biru tersebut. “Surat … pernyataan …”

Cita membacanya dengan seksama dan perlahan, agar tidak ada yang terlewat sama sekali.

“Kamu tahu sendiri, kita menikah karena dijodohkan keluarga.” Pandu ikut duduk di sudut tempat tidur. Hanya memberi jarak sekitar 50 senti dari tempat Cita berada. “Dan, sebenarnya aku juga sudah punya rencana nikah dengan pacarku.”

Dahi Cita mengerut, saat membaca surat izin untuk berpoligami dari Pandu, suaminya. Belum ada 24 jam mereka menikah, tetapi pria itu sudah berani meminta izin untuk menikahi wanita lain. 

“Mas, kalau kamu sudah punya pacar, kenapa mau dijodohin sama aku?” tanya Cita sambil menutup map tersebut, lalu meletakkannya kembali di tempat tidur.

“Orang tua kita itu sama, Cit.” Pandu memberi alasan konkrit. “Mereka cuma peduli dengan harta dan nama besar. Mereka juga nggak pernah tanya tentang perasaan anaknya. Dan setelah aku pikir-pikir, nggak ada ruginya juga nikah sama kamu. Karena keluargamu butuh penerus, untuk mengawasi perusahaan, kan?”

“Tapi kamu itu laki-laki, Mas,” Cita bersedekap, masih bingung dengan keputusan yang akan diambilnya. “Harusnya bisa lebih tegas. Sementara aku? Aku nggak bisa cerita apapun, kenapa aku sampai setuju nikah sama kamu.”

“Sudahlah,” kata Pandu tidak ingin berpanjang-panjang. “Tanda tangani surat itu, karena aku mau nikah dengan pacarku, Laura, besok pagi.”

“Terus aku?” Pria itu pasti sudah Gila, pikir Cita. Hari ini Pandu menikah dengan Cita, dan besok, pria itu akan menikah dengan wanita bernama Laura. “Kenapa kita nggak cerai aja?”

“Dan bikin malu seluruh keluarga besar?” Pandu mulai menaikkan intonasi bicaranya. “Kita baru nikah, tapi sudah cerai? Harusnya kamu mikir pake otak.”

“Mas, omongan kamu itu kasar.” Cita mulai mengamati sikap Pandu. Selama ini mereka hanya beberapa kali bertemu, dan itu pun, hanya saat makan malam keluarga. Pria itu selalu memberi alasan, ketika Cita mengajaknya untuk bertemu berdua dan membicarakan pernikahan mereka.

“Dan inilah aku, Cit,” terang Pandu. “Aku nggak sebaik, seperti yang kamu lihat di pemberitaan. Jadi, buruan tanda tangan.” 

Pandu mengeluarkan pulpen, dari tuxedo pengantin yang belum ia buka. Kemudian, benda tersebut ia letakkan di atas map yang masih tergeletak di tempat tidur. 

“Aku nggak mau.” Cita menggeleng, kemudian bangkit. Namun, baru satu detik tubuhnya berdiri, Pandu menarik keras tangannya. Akibatnya, Cita kembali terduduk dengan kasar di tempatnya semula. “Mas!”

“Tanda tangan aku bilang,” titah Pandu. “Setelah itu, tutup mulut dan kita tetap jalani pernikahan ini seperti yang diinginkan keluarga. Aku bisa aja nikah tanpa persetujuan kamu, tapi, aku nggak mau ada masalah di belakang nantinya.”

“Terus, kenapa aku harus nurutin kamu?”

“Karena …” Pandu memajukan wajah, untuk mengintimidasi Cita. Ia menjepit dagu Cita, agar wajah cantik itu tetap mengarah padanya. “Kamu nggak kompeten dan nggak akan pernah bisa mengurus perusahaan keluarga Lukito, jadi, mereka butuh aku. Paham itu?”

Pandu benar!

Pernikahan ini terjadi, karena perusahaan keluarga Lukito membutuhkan penerus untuk mengelola dan mengawasi perusahaan. Sementara Cita, memang tidak pernah terlibat sedikit pun dalam perusahaan keluarga.

Sebenarnya, Cita memiliki satu lagi saudara tiri dari ibu yang berbeda. Saudara tirinya bernama Kasih, putri dari mantan istri pertama sang papa. Namun, wanita itu tidak pernah mau ikut campur dengan urusan keluarga Lukito, berikut dengan perusahaannya. Terlebih-lebih, ketika Kasih sudah mengetahui papanya pernah berselingkuh dengan ibu Cita dahulu kala. 

“Atau, kamu mau kita keluar, dan bicara dengan keluarga tentang masalah ini?” Pandu melepas tangan dari wajah Cita, kemudian bangkit.

“Jangan.” Tatapan Cita beralih ragu pada map tersebut. Serba salah.

Bila menolak, sang papa pasti akan kembali memaki maminya. Semua sumpah serapah, akan diterima sang mami, dan kesalahan juga akan kembali tertuju pada maminya, Sandra. Hal tersebutlah yang tidak ingin lagi dilihat oleh Cita. Seburuk apapun Sandra di masa lalu, wanita itu tetaplah seorang ibu yang terbaik bagi Cita.  “Biar aku tanda tangani surat itu, asal Mas Pandu bisa kasih jaminan, pernikahan besok akan tetap jadi rahasia. Jangan sampai ada yang tahu.”

Pandu menunduk. Memberi senyum lebar nan tulus pada Cita. Ia tidak menduga, membujuk Cita ternyata semudah seperti membalik telapak tangan. 

“Serius, Cit?” Pandu kembali duduk, dan menjatuhkan tangan kanannya di bahu Cita. “Imbalan apa yang kamu mau?”

“Aku serius,” angguk Cita. “Dan itu tadi, aku minta tetap rahasiakan pernikahan Mas Pandu dari semua orang. Terus, waktu di depan keluarga, kita harus tetap baik-baik aja.”

“Cuma itu?” buru Pandu benar-benar merasa bahagia, karena semua berjalan sesuai dengan rencana. “Apa ada lagi?”

“Ada.” Cita melepas tangan Pandu yang masih berada di pundaknya. “Aku minta Mas Pandu janji, nggak akan pernah “menyentuhku” sampai kapanpun. Itu aja, dan aku ikhlas Mas Pandu nikah dengan perempuan itu. Silakan.”

Pandu mengangguk. “Aku jan– sebentar, ada telpon.”

Satu sudut bibir Cita tertarik tipis. Ia bangkit dari tempat tidur, lalu berjalan menuju lemari karena Pandu sedang menerima telepon. Dari sapaan sayang pria itu, sepertinya calon istri Pandulah yang tengah menghubungi. Mungkin, wanita itu ingin memastikan calon suaminya tidak melakukan ritual malam pertama dengan Cita. 

“Cita!” panggil Pandu ketika langkah gadis itu tertuju ke kamar mandi. “Laura mau bicara sama kamu.”

“Laura …” Cita mendadak penasaran, dengan wanita yang menjadi kekasih suaminya. 

“Ya, pacarku,” ujar Pandu mengingatkan. Ia menghampiri Cita, lalu menyodorkan ponselnya pada gadis itu. 

Tanpa ekspresi, Cita meraih ponsel pria itu lalu menempelkan ke telinga. “Halo,” sapanya datar sambil kembali ke tempat tidur, dan duduk di sana. Meletakkan piyama tidur yang baru diambilnya, di pangkuan.

“Halo, Cit … ini aku Laura, pacar mas Pandu,” kata Laura tanpa keraguan. “Maaf kalau jalannya harus begini, tapi kami sudah pacaran lama dan saling mencintai. Sebagai sesama perempuan, kamu pasti bisa ngerti bagaimana posisiku sekarang.”

“Maaf, tapi aku tetap nggak ngerti,” sahut Cita tetap datar. Memangnya, apa yang harus Cita mengerti? 

“Maksudku, kami saling mencintai dan sudah merencanakan pernikahan dari jauh hari. Jad–”

“Terus kenapa kalian nggak nikah aja?” potong Cita seraya menahan senyum miringnya. “Harusnya, kalau cinta itu diperjuangkan, bukan jadiin orang lain sebagai korban. Atau, jangan-jangan kamu hamil duluan?” tanya Cita tanpa basa basi.”

“Cita!” Pandu segera menghardik dan merampas ponselnya dari genggaman gadis itu. “Maksudmu apa ngomong begitu? Laura nggak hamil!”

“Nggak ada maksud apa-apa,” sahut Cita dengan senyum tipisnya. “Wajar kalau aku tanya seperti itu, kan? Kalau kalian berdua saling cinta, kenapa nggak diperjuangin? Kawin lari, kek? Atau, kalian bisa nikah siri dulu dan … pokoknya, kalian itu sebenarnya bisa ngelakuin apa aja, sebelum pernikahan kita ini terjadi. Omonganku masuk akal, kan?”

Pandu memutus panggilan di ponselnya, tanpa berbicara lagi dengan Laura. “Nggak semudah itu, Cit.”

“Apa sudah diusahain?” tanya Cita kembali berdiri dan membawa piyamanya. 

“Aku sudah kenalkan Laura dari jauh hari,” terang Pandu. “Bahkan sebelum ide pernikahan konyol ini diusulkan. Tapi, orang tuaku nggak setuju.”

Konyol katanya? Perjanjian yang sudah mereka buat di depan Tuhan, hanya dicap sebagai sebuah kekonyolan bagi Pandu.  Cita yakin, pasti ada banyak hal yang yang masih disembunyikan Pandu darinya. “Alasannya?”

“Karena Laura bukan dari kalangan kita,” jelas Pandu. “Ngerti maksudku, kan?”

Cita menggeleng dan meninggalkan Pandu menuju kamar mandi. Sepertinya Cita akan mandi sekali lagi. Berendam di bathtub, untuk menenangkan diri. “Yang aku ngerti cuma satu, kamu itu pengecut. Dah, itu doang!”

“Terserah!” seru Pandu. “Tapi tanda tangani dulu surat tadi, Cit!”

Cita berhenti melangkah. Menghela kecil, lalu berbalik dan kembali menghampiri tempat tidur. Cita berlutut, lalu mengambil pulpen yang ada di sana dan segera menandatangani surat izin menikah lagi, sebagai persetujuan poligami.

“Aku sudah tanda tangan,” kata Cita sambil berdiri. “Sekarang pergilah, dan selamat menempuh hidup baru.”

~~~

Yuhuu … masih ingat dong sama Sandra ~~ pelakor sukses yang berhasil merebut Harry dari bu Elok -_-

Apa kita akan ketemu lagi dengan mas Triplek di sini? Ehehee …

 

Comments (8)
goodnovel comment avatar
mega silvia
aku ketinggalan bacanya....gk tau authornya punya karya baru ......
goodnovel comment avatar
Kenzien Yodha
di real skenario kak, klik aja nama pena authornya nanti muncul semua karyanya
goodnovel comment avatar
Kenzien Yodha
wow...saudara tiri kasih malah sudah rilis duluan.kasih kapan mbak beb..pokoknya hutang mbak beb makin banyak...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status