Home / Rumah Tangga / Duka Pernikahan / 5. Risiko Komitmen

Share

5. Risiko Komitmen

Author: Queenazalea
last update Last Updated: 2024-07-08 15:11:26

“Renjana, Hanif datang tuh jemput kamu.”

Ia baru saja selesai berdandan karena sudah berjanji dengan Hanif akan pergi ke suatu tempat. Yang katanya ingin mencetak undangan pernikahan. Sangat cepat dan statusnya sebentar lagi akan berubah menjadi istri seorang Hanif. Pria asing yang tiba-tiba saja melamarnya dan akan menjadi suaminya nanti.

Keputusan untuk memilih Hanif bukan karena dia terpaksa sekarang. Tapi karena Yoga sudah memutuskan hubungan yang mereka berdua jalin selama sembilan tahun lamanya.

Tidak mudah untuk menaruh kepercayaan dan juga menjaga hati selama itu juga. Yang akhirnya berakhir dengan tragis. Diputuskan sepihak tidak pernah menyenangkan. Ibarat pisau yang mengiris sebuah daging yang di mana daging tidak bisa melakukan perlawanan pada pisau yang mengirisnya, seperti itu yang dirasakan oleh Renjana waktu Yoga melepaskan cintanya. Memang agak keterlaluan putus dengan cara yang seperti itu.

Dengan dandanan yang seadanya, dia keluar dari kamar. Menuju ruang tamu kemudian Renjana melihat ada calon suaminya yang ada di ruang tamu bersama dengan papanya.

Mereka ngobrol sebelum berangkat.

Beberapa saat kemudian Hanif dengan sopannya meminta izin kepada orangtuanya Renjana untuk berangkat agar tidak pulang kemalaman.

Saat mereka di perjalanan menuju ke percetakan undangan pernikahan.

Fokusnya pada jalan saat dia melihat ke luar jendela melihat orang sedang naik sepeda motor lalu si pria memasukkan tangan kekasihnya ke dalam saku sweaternya. Renjana ingat ketika Yoga dulu sering romantis seperti itu padanya.

“Aku ketemu kamu di Coffee Shop hari ini. Aku lihat kamu sama pacar kamu.”

Baru saja ia bernostalgia dengan masa lalu yang teramat runyam itu.

Sekarang pertanyaan Hanif langsung menyerangnya. “Kamu ke mana?” “Aku memang di sana sebelum kamu datang. Aku ada di belakang

kalian. Aku dengar semua pembicaraan kamu yang ingin membatalkan pernikahan kita kalau pacar kamu melamar kamu tadi siang.”

Bodoh. Sialan.

Renjana ingin mengumpat sekeras-kerasnya sekarang mendengar jawaban dari Hanif. “Kalau memang kamu ingin batalin, aku bisa ngomong ke orangtua kita biar kamu nggak terbebani. Aku bisa ngomong ke mereka semua dan jelasin apa yang sebenarnya. Maaf kalau aku tiba-tiba

hadir di kehidupan kamu yang akhirnya buat kamu jadi berantakan seperti ini.”

Andai dia membatalkan pernikahan yang ada di depan mata. Belum tentu ada orang yang akan mengajaknya menikah seperti Hanif. Apalagi pria ini cukup sopan dari awal mereka kenalan. Dan juga tutur katanya yang disukai oleh orangtuanya Renjana.

“Nggak, aku nggak bisa batalin.”

“Aku ngerti rasanya ninggalin orang yang paling disayang, Renjana. Aku kasih pilihan ke kamu, kita batalin? Atau kita teruskan dengan syarat nggak akan ada masa lalu di antara kita. Maksud aku, aku nggak maksa kamu lupain Yoga. Tapi aku nggak mau saat nikah nanti dan ditengah hubungan itu, kamu malah lari sama dia. Aku ingin menikah satu kali dalam seumur hidup.”

Komitmen Hanif sangat beda dengan Yoga. Pacarnya yang memang selalu memiliki pemikiran yang berbeda dengan Hanif—ralat bukan pacar lagi, melainkan mantan pacar.

“Kita lanjutin.”

“Satu hal yang aku nggak mau tunda, yaitu aku pengin punya anak.

Kalau kita punya anak, nggak ada alasan lagi kamu pergi dari aku.”

Renjana merasa bersalah dengan ucapannya tadi siang pada Hanif sekarang. Dia mengatakan pada Yoga bahwa dia mau membatalkan pernikahan asal Yoga mau melamarnya. Sayang sekali harapan itu adalah sebuah kapas kering yang dibawa terbang oleh angin, sampai dia merasa bahwa itu tidak akan ada gunanya lagi berharap pada Yoga.

Masa depan ada di depan mata, hanya dengan Hanif. Pria yang akan dikenalnya dari nol lagi.

“Aku memang nggak mau tunda anak. Tapi aku nunggu kamu siap, semisal kamu belum siap kita sekamar, oke kita bisa pacaran dulu. Kita bisa saling mengenal satu sama lain. Kita bisa tidur di kamar berbeda. Tapi seperti yang kamu tahu, aku bukan tipe pria yang permainkan pernikahan. Bisa lihat dari saudara aku yang lain. Mereka banyak anak, mereka juga sama seperti aku dulu, sibuk kerja dan jodohnya juga dicarikan, Mama. Dan aku percaya siapa yang dipilih Mama adalah yang terbaik buat aku.”

Harusnya Renjana juga memikirkan hal yang sama. Kalau itu yang terbaik baginya dan juga Hanif, harusnya dia percaya juga kalau dirinya memang sudah ditakdirkan bersama dengan Hanif. Harusnya dia juga percaya bahwa pilihan orangtuanya adalah yang terbaik. Sama seperti yang dipikirkan oleh Hanif.

Mengenai perjalanan percintaan mereka, itu bisa dipikirkan nanti Renjana masih punya waktu memikirkannya.

Keduanya sama-sama terdiam di dalam mobil ketika diperjalanan menuju tempat percetakan.

Mereka berdua sudah ada di halaman parkir. “Sekali lagi aku tanya, sebelum undangan itu jadi dan disebar. Kamu yakin dengan pernikahan kita?”

Renjana menarik napasnya dalam-dalam lalu menatap Hanif kemudian menganggukkan kepalanya, jika ini batal. Tentu saja yang malu itu adalah orangtuanya juga. Bukan hanya orangtuanya Hanif saja. Dan sekarang Renjana akan menaruh harapan itu pada Hanif.

“Aku yakin kalau kamu memang yang terakhir.”

“Setelah kita keluar dari mobil ini, nggak ada lagi yang namanya pembatalan, Renjana. Apa pun yang terjadi ke depannya, kita yang bakalan lewati bersama. Meski itu adalah masalah kamu sendiri, aku yang bakalan mikirinnya juga.”

Renjana berusaha meyakinkan dirinya.

Kemudian Hanif mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. “Tangan kamu mana?”

Renjana dengan polosnya mengulurkan tangannya kemudian Hanif memasang sebuah jam tangan yang berwarna hitam dan sangat cantik. Sebuah jam tangan dari Alexandre Christie yang sama dengan milik Hanif. “Aku sengaja beli ini tadi. Biar nanti ketika kita pergi ke mana-mana. Kamu nggak telat lagi kayak gini, aku sudah lama sekali nunggu kamu di ruang tamu. Sampai papa kamu rasanya mau interogasi aku soal rencana punya anak. Nikahin anaknya aja belum, masa mau ditanya soal anak.”

Renjana sedikit tersenyum ketika keluar dari mobil. Hanif membuka pintu untuknya dan meminta tangannya untuk digenggam. “Jangan nggak gandengan, nanti kita kayak orang yang lagi marahan.”

“Ya, Hanif. Terserah kamu mau gimana.”

Di dalam ruangan khusus, Renjana dibuat kagum oleh tempat ini. “Sekalian kamu cobain gaun di sini. Di sini bukan cuman tempat cetak

undangan.

“Kamu tahu ini dari mana?”

“Mama aku jangan kamu remehin lho, ya. Mama tuh kalau soal beginian paling cepet.” Hanif berkata dengan jujur karena ini adalah permintaan dari mamanya sendiri.

Dia diberikan kuasa oleh Hanif memilih desain tentang undangan pernikahan mereka ketika diberikan contoh yang sangat banyak. Renjana melihat warna yang sedikit lebih indah. Yaitu dengan warna hitam dengan tinta mengkilap seperti emas. “Kamu pilih yang ini?”

Renjana mengangguk, dia sangat setuju dengan warna yang tadi dipilihnya karena terlihat lebih mewah. “Kamu sudah mikirin siapa aja yang kamu undang?”

“Sudah kok.”

“Kami pesan lima ratus cetak.”

Renjana membelalak dengan nominal yang disebutkan oleh Hanif tadi. Siapa yang akan Renjana undang sebanyak itu? Lagipula teman-temannya kurang dari dua puluh orang. “Apa nggak dikurangi aja?”

“Nggak masalah. Nanti kita bagi, Renjana.”

Bukan soal tidak cukupnya. Hanya saja bagi Renjana, dia tidak akan mengundang banyak orang. Temannya hanya sedikit. “Mama kamu mau ngundang teman-temannya, dan juga kamu harus undang teman kamu.”

Seulas senyum simpul dari Renjana untuk calon suaminya.

Dia diajak untuk melihat gaun pengantin yang ada disebelah kemudian matanya terpaku pada gaun berwarna putih dengan desain yang sederhana tapi terlihat cukup mewah. “Kamu pilih!”

Renjana antara ingin menangis karena terharu akan menikah dan baru kali ini bisa melihat gaun pengantin yang akan dikenakan olehnya nanti.

“Jangan ribet-ribet. Ini gaun untuk pernikahan kita lusa, untuk pestanya beda.” Jujur saja kalau ini sangat cepat.

Renjana bahagia atau sedih sekarang. Dia tidak tahu lagi perasaannya sehancur apa sekarang. Tapi ini adalah orang yang melamarnya, orang yang akan hidup dengannya. Dua hari lagi, itu akan menjadi saksi seumur hidupnya mengabdikan hidupnya untuk Hanif.

Keduanya pulang sebelum malam terlalu larut. “Hanif.” “Iya, ada apa?”

“Aku cuman pengin tahu alasan kamu lamar aku.” “Untuk jadi istri aku.”

“Maksudku, kamu tahu aku punya pacar.”

“Mama aku sama Mama kamu kan sering ketemu di pesta pernikahan teman-temannya. Terus biasanya mama kamu diundang juga, di sana kan mama kamu sering di tanya. Ya udah karena sama-sama punya anak, jadi dijodohkan.”

“Nggak masuk akal.” Dengan juteknya Renjana menjawab karena belum percaya dengan jawaban itu.

Renjana melipat kedua tangannya di depan dada saat mereka masih di perjalanan. “Aku udah lama pengin lamar kamu, paham? Tapi mama waktu itu bilang kalau kamu udah punya pacar.”

“Sebentar, maksud kamu apaan?”

“Nungguin kamu putus itu lama banget tahu nggak. Jadi aku kan nyosor duluan suruh orangtua lamarin.”

“Kok kamu bohong banget.” Padahal mereka baru saja jalan bareng hari ini. Tapi Renjana merasa sudah dekat dengan Hanif. Bawaan pria ini cukup hangat dan tidak membosankan.

Sementara pria itu tertawa sambil menyetir. “Mama yang pilih, katanya aku nggak bakalan nikah kalau aku kerja terus. Jadi waktu Mama mutusin buat lamar, itu panjang banget prosesnya. Karena mama kamu kan harus nanya kamu dulu, waktu kamu jawab iya. Akhirnya mama siapin semuanya.”

“Tapi aku belum jawab iya.”

“Mama kamu yang sudah jawab duluan. Makanya Mama pesan cincin, sama perlengkapan untuk nikah itu. Mulai besok pasti sudah hias rumah kamu. Akad nikah kita di rumah kamu, kan. Jangan telat bangun. Harus bangun subuh, terus acaranya jam sembilan. Aku pengin waktu di sana udah siap semuanya.”

“Hanif, apa kamu sudah yakin sama pernikahan ini?”

“Sebelum aku datang melamar, aku sudah mantapkan niat. Kalau aku ragu nggak mungkin aku melangkah. Dan sekarang alasan aku mau cepat- cepat karena aku nggak mau kamu kabur. Aku tahu di hati kamu masih ada mantan kamu, kan?”

Renjana tidak suka disinggung soal Yoga. “Sok tau.” Sebal sekali wajahnya menjawab pertanyaan calon suaminya.

“Nanti kita sama-sama saling mengenal satu sama lain setelah menikah. Percayalah bahwa jodoh itu adalah cerminan kita. Kamu mau lihat aku, maka lihat dirimu. Disitu ada aku. Hanya itu kuncinya.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Duka Pernikahan    14. Tidak Menunda Keturunan

    Renjana berada di kediaman orangtuanya setelah dia meminta izin pada Hanif untuk di sana sampai sore hari. Sampai Hanif pulang bekerja. Dan Renjana juga diantar oleh suaminya tadi pagi. Merasa senang karena dia dan Hanif akhirnya berbaikan dan sudah merencanakan mengenai keturunan. Hanif bilang, bahwa dia tidak ingin menunda. Juga begitu dengan Renjana. Dia menginginkan kehadiran buah hati mereka di rumah itu. Rumah besar, dengan banyak sekali kamar pastinya. Renjana juga kesepian kalau hanya ada dia di rumah itu dan Mbok Yun.Di rumah ini dia bisa menggendong Tama, berlatih menggendong anak kecil yang nantinya dia akan menjadi orangtua. Sementara menunggu sang suami tercinta menjemput, Renjana menjaga Tama di ruang tamu. Papanya sudah pulang bekerja terlebih dahulu, ya papanya hanyalah pegawai swasta yang masih bekerja sampai sekarang. Meski pegawai swasta, tapi gaji papanya lumayan untuk biaya hidup sehari-hari. Sudah beberapa kali kakaknya Renjana meminta untuk berhenti saja

  • Duka Pernikahan    13. Berubah

    Semenjak kejadian beberapa hari lalu, sikap Renjana berubah. Mereka memang tidur sekamar. Tapi dia sering mendengar Renjana menangis tengah malam.Kadang Hanif berpikir bahwa dia akan bercerai dengan Renjana.Dibandingkan dia membuat istrinya menangis terus seperti itu. “Jana, kita bisa ngomong?”“Aku siapin sarapan apa sekarang?”Hanif terdiam ketika sikap Renjana seperti itu. Dia tahu kalau istrinya sedang menghindar. Pasalnya sudah beberapa hari ini dia tidak punya kesempatan untuk bicara dengan Renjana.Perasaan Hanif sangat nyeri karena istrinya yang masih marah. Ya ini karena keegoisannya sendiri. Mungkin nanti bisa diselesaikan baik-baik. Jika tidak, mau tidak mau Hanif menyudahi dan harus rela melepaskan Renjana meskipun dia sudah ada perasaan terhadap istrinya.Dia berangkat dengan perasaan yang cukup kacau. Dan pulang juga dengan keadaan hati yang kacau juga.Hanif memilih ke suatu tempat menenangkan hatinya, diban

  • Duka Pernikahan    12. Perasaan Kacau

    Hanif rela tidak pergi ke rumah orangtuanya karena Renjana sudah berjanji akan memberikan haknya sebagai seorang suami. Namun, kenyataan itu tidak seperti apa yang harusnya terjadi.Renjana tidur.Renjana malah meninggalkan dia tidur ketika dia sedang menyelesaikan pekerjaannya sedikit karena harus dikirim malam itu juga. Dan semakin yang membuatnya kesal lagi, dia berusaha membangunkan Renjana. Tapi istrinya semakin terlelap.Hanif marah, jelas dia marah karena dia membatalkan pergi ke rumah orangtuanya karena alasan itu. Renjana Bisa-bisanya Tidur sebelum jam sembilan malam kemarin.Alasan yang sangat tidak masuk akal kalau Renjana tidur jam delapan. Dan sudah pasti istrinya pasti sedang membohonginya karena gugup sedari awal.“Hanif, mau sarapan apa?”Dia malah pergi begitu saja setelah mengambil tasnya dan masih marah pada Renjana. Nafsunya sudah di ubun-ubun ingin menyentuh. Tapi Renjana tidur, dan paling menyakitkan lagi dia harus mena

  • Duka Pernikahan    11. Mengelak

    “Jana, kamu ikut nggak ke rumah, Mama?”Renjana baru selesai memasukkan pakaiannya ke dalam lemari yang baru saja selesai di setrika oleh asisten di sana. “Ke rumah mama kamu atau mama aku?”Di kamar yang cukup luas, mereka bisa menyaksikan seorang anak main kejar-kejaran dengan orangtua ketika sedang bercanda. Bayangan itu mulai bermunculan di dalam kepala Renjana. Namun, untuk melakukan hal selanjutnya justru rasanya agak sedikit takut. Bayangan sakit, malu dan juga tidak siap dengan malam pertama yang pernah dia dengar dari beberapa temannya tentang rasa nyeri yang sampai pagi bisa dia rasakan. Bahkan berhari-hari bisa ia rasakan juga.Baru saja dia menutup pintu lemari, Hanif malah memeluknya dari belakang. “Aku ajak kamu ke rumah mama aku. Kita belum pernah ke sana sejak menikah. Mama terus yang nyusulin ke sini.”Renjana tidak bekerja, takut jika dia mendapatkan ledekan dari orang- orang yang ada di rumahnya Hanif. Semenj

  • Duka Pernikahan    10. Resepsi

    Perasaan Hanif begitu berbunga ketika menyambut istrinya yang sangat cantik dengan gaun yang dipilih oleh Renjana sendiri. Dia ingin tersenyum dan semua orang menyaksikan pesta hari ini.Resepsinya terbilang sangat mewah, meski undangan tidak keseluruhan, tapi ini adalah hari bahagia mereka berdua.Hanif mengulurkan tangannya menyambut Renjana.Menjadi raja dan ratu dalam sehari sudah pasti membahagiakan. Apalagi Hanif yang memang ingin menikah satu kali dalam hidupnya. Memiliki istri yang cantik, dan juga meski pilihan orangtua. Tapi dia sudah berjanji akan mencintai Renjana.Ketika wanita ini masuk ke dalam hidupnya, ia sudah berjanji bukan hanya pada orangtua saja. Tapi juga berjanji pada Tuhan. Artinya dia akan hidup selamanya untuk RenjanaMenyentuh Renjana, mungkin masih belum untuk Hanif. Dia tidak ingin mengagetkan pernikahannya ini dengan keinginannya untuk haknya itu. Tetap saja dia juga canggung pada Renjana. Mereka masih menjalanitahap paca

  • Duka Pernikahan    9. Penerimaan Manis

    “Renjana, kamu beneran nikah?”Temannya histeris begitu Renjana membawa kartu undangan resepsi untuk teman-temannya.Mereka berkumpul di salah satu tempat tongkrongan anak muda. teman-temannya yang masing-masing sudah punya anak. Kadang dia sudah malas ikut reuni kalau temannya membawa suami. Sekarang Renjana tidak akan malu lagi ke reunian, dia akan membawa suami tampannya— Hanif.“Sumpah nggak nyangka kamu akhirnya nikah, Jana.”“Sebentar, kenapa ada nama Hanif? Siapa dia? Kenapa nggak sama, Yoga?”Renjana tertawa ketika salah satu temannya membuka kartu undangan yang ternyata di sana ada namanya dan juga ada nama Hanif yang jelas mereka adalah suami istri. “Aku tinggalin, Yoga. Aku pilih dijodohkan sama orangtua aku dibandingkan harapin, Yoga. Di sini Hanif itu udah sah jadi suami aku. Kami sudah menikah, dia yang serius, dia harus aku perjuangkan, bukan?”Novi—teman sekelas Renjana dulu ketika masih sekolah. Dan wanita ini juga tahu perjalanan cinta Renjana dengan Yoga. “Tapi, Jan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status