Share

Baku Hantam

Samiah tak bisa menahan haru. Air matanya tak bisa dibendung. Melihat baju cucunya kotor terkena tanah. Pipi kirinya bahkan tmpak lebih merah. Dengan mata kepalanya sendiri, Samiah melihat Farhan jatuh bangun. Menggapai lembaran kertas berharga yang terbang tertiup angin.

"Hiks, Farhan, nenek minta maaf," isak si wanita. Ia masih berdiri di posisinya tadi. Tak berani mendekat apalagi mendekap.

"Kamu, gak pa pa, kan, Jang?" tanya Asep yang memandu Samiah hingga menemukan Farhan.

"Iya, Mang. Aku gak apa apa, kok." Farhan menjawab pertanyaan Asep.

"Ya sudah, ayo kita pulang, Cu. Nanti ayahmu bingung kalau di rumah tidak menemukan orang," ucap Samiah sambil mengulurkan tangan. Mengajak Farhan bangkit kemudian pulang ke rumah.

Samiah mengingat peristiwa tadi pagi di pasar. Seorang preman mendatangi kiosnya.

"Bu, apakah kau akan menikahkan anak lelaki mu dengan istri orang?" ucap pria yang membawa botol miras di tangannya.

"Apa maksudmu, bicara begitu?" tanya Samiah tegas. Sepanjang Samiah tahu Kokom—calon menantunya—membesarkan anaknya dari bayi sendiri. Suaminya kabur saat tahu Kokom hamil. Pria tak bertanggung jawab itu tak mau punya anak dari wanita cacat.

"Wanita itu tidak punya dokumen perceraian. Itu ada padaku.” Pria tambun itu tertawa dengan pongahnya.

Samiah mulai geram. 

"Apa maumu, hah?" Beberapa orang mulai mengerumuni kios Samiah.

"Beri aku sepuluh juta! Atau akan kubawa pergi istri dan anakku. Akan aku jual mereka berdua," bisik si pemeras di telinga Samiah. Ia menyerahkan secarik kertas berisi nomer telpon.

BRAK

Pria itu menjatuhkan satu peti jengkol. Samiah memegang dadanya, kaget.

"Sudah cukup jelas, kan, Bu? Tiga hari cukup? Atau sekarang sudah ada?" ancamnya lalu berlalu pergi.Jantung Samiah masih berdebar kencang saat orang yang berkerumun mulai membubarkan diri. 

Samiah melirik Farhan yang berjalan di sisinya. Ia memejamkan mata sejenak lalu tersenyum. Wanita tua itu sadar setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.

•~*~•

Masih di dalam Villa. Tyana dan Han duduk di balkon lantai dua. Cahaya jingga kemerahan tampak di ufuk barat. Menghiasi langit, menyambut malam.

"Selamat, ya, Sayang," kata Tyana sambil memegang cangkir teh. Wanita itu menyeruput tehnya. Netranya memandang kanvas langit, dengan lukisan indahnya.

"Semua, berkat kamu," balas Han sambil tersenyum.

"Tidak, Han. Semua berkat kerja kerasmu. Rapat anggota dewan tak mungkin asal memilih Presiden Direkturnya," ucap Tyana perlahan. Wanita itu bangkit. Ia mengalungkan tangannya pada leher Handoko.

Handoko meraih tangan Tyana. Mengecup lembut punggung tangan si wanita.

"Ayaaah!" seru Bara yang tiba-tiba datang.

Tyana dan Han sama-sama menoleh. Mereka tersenyum. Menyambut satu-satunya penerus AW corp. dengan pelukan.

"Ibu, aku ingin bicara dengan ayah." Bara berkata manja.

"Apa ibu tak boleh dengar?" Tyana menyentuh hidung Bara pelan. 

Bara menggerakkan bola matanya. Diikuti gerakan alis ke kanan dan kiri. Baru akan bicara, Tyana mendahului.

"Ayo masuk! Kalian, bicaralah di dalam," ujar Tyana. Ia membimbing Bara dan Han masuk. Tyana lalu menggeser pintu kaca. Mencipta batas gelap dan terang. Langit malam dengan penerangan lampu dalam ruangan.

Bara dan Han duduk di sofa. Kursi dari kayu jati dengan ukiran naga. Dudukan dan sandarannya diisi busa berkualitas. Bersarung kain lembut warna emas.

"Apakah, ayah tadi melihat temanku? Aku menyukainya," kata Bara.

"Ya, ayah lihat. Kalian terlihat sebaya. Kenapa kau membohongi ibumu?" balas Han. Ia menyandarkan kepala dan tangannya.

"Ako bosan berlatih piano setiap hari. Lagi pula, di sini tidak ada kakek. Aku hanya ingin bermain di depan kakek," kata Bara sambil melihat ujung sepatu merahnya.

"Kau tahu semua orang khawatir. Terutama ibumu! Ngomong-ngomong kapan mau merekam lima simfoni karya Beethoven?" ucap Han menyentuh bahu Bara 

"Aku menyesal," kata anak muda itu sambil menunduk.

Han menaruh tangannya di kepala Bara. Ia menepuk-nepuknya pelan. Bocah itu mendongak lalu tersenyum ceria.

"Aku sudah lama merekamnya," seringai Bara. Secara tidak langsung ia mengakui satu hal. Memutar kaset lalu pura-pura sedang memainkan piano.

Siang tadi, Bara lupa tidak mengecek baterai alat perekamnya. Sehingga berhenti di tengah-tengah lagu. Kehabisan daya.

TOK ... TOK ... TOK ...

Tyana mengetuk ruangan asal suara musik. Ia penasaran kenapa denting piano berhenti tiba-tiba. Tak biasanya sang putra henti mendadak di tengah lagu.

Tyana memanggil nama anaknya berulang kali. Tak ada sahutan. Sang nyonya pun memerintahkan pelayannya untuk membuka pintu. Ia terlihat geram pada Wahono.

"Pak Wahono, kenapa kau membiarkan anakku sendiri, tanpa pengawasan? Percuma aku menggajimu tinggi!" hardik Tyana padanya.

Wahono hanya bisa menunduk dan berucap kata maaf.

"Ayah, tolong rayu ibu, supaya membatalkan hukumanku," rayu Bara. Kini ia berpindah duduk dari atas sofa ke pangkuan Handoko.

"Anak ini! Baiklah nanti ayah bicara pada ibumu! Tapi, kau janji tak boleh mengulangi nya lagi!" ucap Han. Siapa pun mungkin tak menyangka jika kedua ayah dan anak itu tak memiliki hubunan darah.

•~reinma~•

Seorang gadis kecil sedang asyik bermain. Ia menyanyi dan juga menari. Agung tampak menikmati nyanyian si bocah.

"Paman, apakah benar, kau akan menikah dengan ibuku?" tanya si gadis riang. Gigi seri atasnya tanggal dua-duanya. Saat berbicara terlihat bagaikan rumah berjendela. 

"Ya. Ya. Ya. Agung akan menikah. Kau anaknya Kokom, akan menjadi anak Agung. Farhan anak Agung. Akan jadi anak Kokom," jawab Agung sambil menautkan dua telunjuknya. Membuat gerakan naik turun di depan dadanya.

"Waaah ... berarti aku akan punya kakak! Asyiiik ...." seru gadis cilik itu. Ia melompat-lompat.

"Apa aku perlu memanggilmu 'ayah', Paman?" tanya anak itu lagi.

"Agung ayah Farhan. Bukan ayah Anaknya Kokom," kata Agung.

Sang gadis terlihat murung. Agung mendekat. Ia menoelkan telunjuknya ke dahi si anak.

"Kau boleh. Kau boleh memanggilku ayah. Agung punya dua orang anak. Satu laki-laki. Satu perempuan," kata Agung sambil memperagakan bilangan yang disebutnya.

Wajah gadis itu berubah menjadi cerah kembali.

"Ayaaah!" serunya riang.

Agung ikut senang mendengarnya. Farhan tak pernah sekali pun memanggilnya ayah dengan mata berbinar seperti itu.

TENG ... TONG ... TENG ... TONG ....

Suara bel dari pabrik terdengar. Anak Kokom menoleh. Ia mengajak Agung berhenti bermain. Mereka meninggalkan lapangan bola yang terletak di samping pabrik. Kedua orang itu mendekati gerbang pabrik.

Tak lama, Kokom pun keluar. Berhamburan bersama karyawan pabrik sabun yang lainnya. Wanita tiga puluh tahun itu langsung tersenyum lebar. Melihat anak gadisnya dan Agung telah menunggu. Kokom menangkupkan kedua tangannya pada Agung. Mereka berjalan kaki menuju ke rumah petak tempat Kokom dan anaknya tinggal.

BUK

Sebuah tonjokkan mendarat di perut Agung. Seorang pria yang mengaku suami Kokom memukulinya membabi buta.

"Jika kau menginginkan wanita cacat itu. Ambillah! Tapi setelah kau menyerahkan uang padaku," ucapnya mulai ngos-ngosan.

Agung diam tak membalas, ia mengikat pesan Samiah dalam hatinya, "Jangan berkelahi. Ibu tidak suka punya anak yang kasar!"

Kokom mendekap anaknya erat. Si anak terlihat ketakutan.

Pria beringas itu mulai lelah menghajar Agung. Begitu sulit untuk mengenai area wajahnya. Ia pun berputar haluan. Berjalan mendekat ke arah Kokom dan anaknya.

Bocah perempuan usia tujuh tahun itu dibopongnya.

"Akan aku jual bocah ini! Ha ha ha!" ucapnya pongah. Kokom hanya menangis sambil memegangi kaki lelaki itu. Si bocah menggeliat, mencoba meloloskan diri.

"Ayaaah, tolong aku!" seru si anak sambil melihat Agung.

CUIH

Pria kasar itu meludah. Berdecih pelan, "Yang mana ayahmu, hah? Pria bodoh itu? Ha ha ha?" ledeknya.

Agung ingat kata-kata ibunya yang lain. Keluarga adalah yang utama. Harus selalu dilindungi. Ia pun gegas bangkit. Berlari ke arah pria kurang ajar itu. Menyeruduk dengan kepala. Hingga cekakan tangan pada si bocah terlepas.

"Jangan menangis. Jangan menangis," kata Agung memenangkan.

"Pergi! Sana, pergi!" usir Agung. 

Si bocah menurutinya. Ia belari pergi. Beteriak meminta orang-orang untuk menolong ibu dan ayahnya. Namun mereka hanya memandang sebelah mata. Seolah tak percaya.

"Tolong, ayahku dan ibuku," jeritnya sepanjang jalan. Hingga langkah kakinya sampai di rumah Samiah.

"Nenek ... Ayah sedang dipukuli. Ayo, tolong ayah," kata si anak pada Samiah.

"Maksudmu, Agung?" tanya Samiah. Si bocah mengangguk. Samiah mengucap istighfar sambil memegang dada. Memakai sandal asal. Tak peduli satu bertali merah, sementara yang lain bertali kuning.

Farhan yang ikut mencuri dengar, turut khawatir. Gegas ia ikut berlari bersama nenek dan calon adik tirinya.

Sampai di sana, mereka tenganga.

•~reinma~•

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status