Share

Bab 14

Author: Adeline
Mendengar kata anak kandung, telinga Felicia terasa amat perih.

"Ibu, maaf, semua ini salahku. Kakak Kedua, Ibu benar, Kak Adelina itu saudara kandungmu, jadi jangan berkata seperti itu padanya lagi."

Melihat wajahnya yang sedih dan terluka, Leonard langsung merasa tak tega.

"Kandung lalu kenapa? Adik yang paling aku sayangi tetap kamu."

Meski Bu Nadya juga sangat menyayangi Felicia, tapi mendengar ucapan Leonard barusan, hatinya tetap terasa agak tidak nyaman.

"Ibu, jangan dengarkan omongan Kakak Kedua. Aku tidak pernah berniat menggantikan posisi Kak Adelina. Aku cuma terlalu menyayangi kalian, aku tidak ingin meninggalkan kalian."

Tatapan mata Felicia penuh ketergantungan, seolah seluruh dunia hanya tinggal mereka.

Bu Nadya langsung merasa bersalah. Dalam hati ia membatin bahwa mungkin selama ini dirinya terlalu banyak berpikir.

Felicia memang dibesarkan oleh mereka, dan perasaannya terhadap keluarga ini memang selalu dalam.

Seperti yang dia katakan sendiri, dia hanya tidak ingin meninggalkan keluarga ini.

Masalahnya ada pada Adelina, yang terlalu keras kepala, tidak pernah benar-benar mau menerima Felicia dengan tulus.

Memikirkan itu, Bu Nadya menghela napas dan memeluk Felicia, menenangkannya dengan lembut.

"Ibu juga tidak sanggup berpisah denganmu. Soal kakakmu itu, ibu akan coba bicara baik-baik dengannya."

Dua anak perempuan, keduanya sama berharganya.

Bu Nadya pun menghela napas pelan, lalu memutuskan untuk bicara baik-baik dengan Adelina.

Tok tok tok...

Adelina membuka pintu, dan saat melihat Bu Nadya berdiri di luar, ekspresinya sangat datar.

"Ada apa?"

"Adelina, bolehkah Ibu masuk? Ibu ingin bicara denganmu."

Di mata Adelina tersirat ejekan. Tanpa harus bicara pun, dia sudah bisa menebak apa yang ingin dikatakan oleh Bu Nadya.

Tak lain adalah supaya dia bisa berbaikan dengan Felicia, supaya dia mau mengalah dan memahami Felicia.

Tiga tahun lalu dia sudah mendengarnya sekali. Dia tidak berniat mendengarnya untuk kedua kalinya.

"Tak perlu. Aku dan Bu Nadya tak ada yang perlu dibicarakan."

Adelina hendak menutup pintu, tapi Bu Nadya buru-buru menyodorkan tangannya ke sela pintu.

"Ah…"

Adelina langsung membuka pintu, tapi sudah terlambat. Tangan putih mulusnya terjepit dan meninggalkan bekas merah.

"Kita ke rumah sakit."

Adelina hendak menarik tangan Bu Nadya, tapi tiba-tiba sosok seseorang berlari menghampiri dari samping.

"Kamu mau apa, jangan sakiti Ibu!"

Adelina mengernyit dan segera menghindar ke samping. Sosok itu menyerbu ke udara dan hampir terjatuh, demi menstabilkan tubuhnya dia malah mencengkeram lengan Bu Nadya.

Bu Nadya langsung menjerit kesakitan.

Leonard yang baru saja turun dari lantai atas mendengar jeritan itu dan segera berjalan cepat ke arah mereka.

"Kakak, bagaimana bisa kamu menyakiti Ibu?"

Penghindaran Adelina nyaris membuat rencana Felicia gagal, tapi dia cepat-cepat menyesuaikan diri. Begitu berdiri dengan stabil, dia langsung memegangi Bu Nadya dan memarahi Adelina.

Adelina menatap Bu Nadya. "Aku tidak menyakitinya, itu tadi kecelakaan."

Tapi Felicia tampak sama sekali tidak percaya. "Kak Adelina, aku melihatnya sendiri, kamu yang menjepit tangan Ibu. Ibu sampai kesakitan seperti itu. Kak Adelina, aku tahu kamu benci aku, tapi jangan lampiaskan kemarahanmu ke Ibu. Kalau perlu… kalau perlu, kamu sakiti aku saja."

"Tidak boleh!"

"Mana bisa begitu!"

Dua suara bersamaan terdengar.

Leonard berjalan cepat ke arah mereka dengan wajah penuh amarah. Begitu melihat bekas merah di tangan ibunya, dia langsung mengangkat tangan hendak menampar Adelina.

Namun tangannya belum sempat jatuh, sudah ditangkap oleh Adelina.

Leonard pun terkejut. Belum sempat bereaksi, tangannya sudah disingkirkan oleh Adelina.

"Aku bilang, itu tadi kecelakaan."

"Tadi Bu Nadya tiba-tiba ingin bicara denganku. Aku bilang tak ada yang perlu dibicarakan, lalu menutup pintu. Dia sendiri yang menyodorkan tangan ke sela pintu."

"Orang yang punya akal sehat tahu, dalam situasi begitu, jangan pernah menyodorkan tangan. Aku tidak tahu apa maksud Bu Nadya. Gimana kalau Bu Nadya jelaskan sendiri? Kalau tidak, Tuan Leonard ini mungkin akan main tangan lagi."

Wajah Bu Nadya seketika merah padam karena malu dan kesal. "Leonard, ini bukan salah Adelina, memang Ibu yang menyodorkan tangan ke sela pintu."

Tapi Leonard sama sekali tidak percaya. Dia merasa ibunya hanya berkata begitu karena merasa bersalah terhadap Adelina.

Dia pun menatap Adelina dengan dingin dan mengejek, "Meskipun begitu, kamu tetap harus minta maaf pada Ibu."

Adelina menatap Bu Nadya sejenak, lalu dengan suara datar berkata dua kata, "Maafkan aku."

"Sudah cukup belum?"

Pertanyaan itu ditujukan pada Leonard. Wajahnya tampak buruk dan sedikit terkejut.

Adelina ternyata begitu mudah mengalah. Meskipun dia sudah mendengar permintaan maaf itu, entah kenapa hatinya justru makin terasa sesak dan tak nyaman.

Adelina tidak peduli dengan reaksi atau perasaan mereka. Setelah mengucap maaf, dia langsung masuk ke kamar dan menutup pintu.

Begitu pintu tertutup, Bu Nadya menghela napas panjang. Seluruh tubuhnya seperti kehilangan semangat, seolah-olah baru saja kehilangan sesuatu yang sangat berharga.

Bahkan ketika Felicia berusaha bersikap manja dan menyenangkan, Bu Nadya tetap tidak tersenyum.

"Felicia, Ibu tidak apa-apa. Kamu sudah bekerja seharian, istirahatlah sebentar. Nanti saat makan, Ibu panggil kamu."

Felicia pun menurut dan pergi. Bu Nadya lalu menatap Leonard, suaranya tiba-tiba bergetar, "Leonard, apakah kita terlalu kejam pada Adelina?"

Secara refleks, Leonard hendak menyangkal, tapi entah kenapa, bayangan mata Adelina yang datar tanpa emosi saat mereka menjemputnya dari penjara muncul di pikirannya.

Juga saat dia mengatakan, dia hampir mati.

Sebuah perasaan seperti tangan tak kasat mata menggenggam jantungnya erat-erat, membuat wajah Leonard mendadak pucat.

Untuk pertama kalinya, dia mulai ragu, apa benar mereka telah terlalu kejam pada Adelina?

Tiba-tiba, kata-kata Adelina kembali terngiang di benaknya.

"Ibu, tiga tahun lalu, apa ada orang dari kantor penerimaan Universitas Cendekia Utama yang menelepon kalian?"

Bu Nadya tidak tahu kenapa dia tiba-tiba menanyakan hal itu. Namun setelah berpikir sejenak, dia tetap mengangguk.

"Ada. Tapi waktu itu Felicia tidak ingin masuk Universitas Cendekia Utama, jadi aku menolak."

Napas Leonard langsung memburu, "Bu, kamu yakin waktu itu Universitas Cendekia Utama menyebutkan nama Felicia? Kamu nggak tanya dulu siapa nama yang mereka sebut?"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 50

    Suara Adelina tetap tenang, tapi tatapannya mengandung ejekan yang begitu jelas.Dia menatap Leonard tanpa gentar, tatapan itu justru membuat Leonard merasa malu tanpa alasan. Seolah Adelina bisa menembus isi hatinya, jernih dan tajam, lalu perlahan berubah menjadi tatapan penuh sindiran.Adelina merasa bersyukur, setidaknya dirinya tidak seperti Keluarga Wijaya yang bisa mengucapkan hal-hal tak masuk akal seolah-olah mereka paling benar.Seperti sekarang."Aku sudah menurut pada kalian, aku sudah putuskan pertunangan dengan Nathaniel. Sekarang kendali soal pernikahan itu ada di tangan Keluarga Laksana. Jadi kalau Nathaniel menolak bertunangan dengan Felicia, bukankah itu masalahnya Felicia?"Satu kalimat itu saja cukup membuat wajah Leonard merah padam karena marah dan malu. "Adelina, kamu berani bilang semua ini nggak ada hubungannya sama kamu?"Adelina menjawab dengan dingin, "Kenapa nggak berani? Kamu kira aku sama penakutnya kayak kalian? Apa yang harus aku lakukan, sudah aku laku

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 49

    Saat itu, tiba-tiba saja Felicia memotong ucapan Nathaniel. "Kakak Nathaniel, aku sebenarnya lumayan suka main catur, hanya saja belum sempat belajar. Kakak Nathaniel bisa ajarin aku nggak?"Nathaniel mengangguk setuju, tapi belum sepenuhnya melupakan apa yang tadi ingin dia katakan. Hanya saja sebelum sempat lanjut bicara, Adelina sudah berdiri, lalu langsung berkata pada Kakek Herman, "Kakek Herman, sepertinya hari ini aku nggak bisa lanjut main. Nanti kalau aku ada waktu lagi, aku datang untuk menemani Kakek main catur."Meskipun Kakek Herman agak kecewa, beliau tetap mengangguk pelan.Mereka masih mengobrol, tapi Adelina malah memilih langsung bicara ke Kakek Herman begitu saja, jelas sekali tidak menganggap mereka yang lain penting.Diperlakukan dingin seperti itu lagi oleh Adelina membuat wajah Nathaniel berubah muram.Di mata Felicia sekilas muncul ekspresi kesal, tapi dia segera mengangkat wajah dengan raut seolah-olah sedang merasa tersinggung. Sementara Leonard yang memang ta

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 48

    Senyuman di wajah Felicia seketika menegang.Bisa masuk Perusahaan YJ tadinya adalah hal yang paling ia banggakan. Bagaimanapun juga, merek desain milik YJ cukup terkenal, baik di dalam maupun luar negeri.Tapi itu sebelum dia melihat Adelina juga berada di sana.Begitu bayangan Adelina melintas di benaknya, tatapan Felicia langsung memancarkan rasa iri dan benci yang ia sembunyikan rapat-rapat."Felicia bilang, direktur desain di kantornya sangat menghargai kinerjanya, bahkan mencalonkan dia untuk mewakili perusahaan di lomba desain yang diadakan di Kota Lautanagara. Kabarnya, acara ini juga didukung langsung oleh pemerintah dan akan disiarkan secara langsung."Bu Nadya yang menyebutkannya, wajahnya penuh dengan kebanggaan, seolah pencapaian itu adalah miliknya juga.Bu Ratna sedikit terkejut, tapi senyumnya justru semakin hangat dan ramah.Setelah basa-basi beberapa saat, Pak Satrio mulai masuk ke inti pertemuan, "Felicia sampai ikut lomba desain sekarang, kabar ini sudah disampaikan

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 47

    [Tidak.]Adelina langsung membalas pesan itu dengan satu kata, lalu meletakkan ponselnya dan pergi mandi.Setelah selesai mandi dan keluar lagi, beberapa notifikasi pesan sudah masuk ke ponselnya. Dia hanya sekilas melihat isi pesannya, lalu membalas singkat:[Aku sementara belum berniat kembali ke dunia desain.]Orang itu pernah bilang, bakat terbesarnya sebenarnya bukan di desain, tapi di bidang komputer.Dengan cekatan, dia keluar dari akun tersebut dan masuk ke akun utamanya. Baru saja masuk, satu pesan dari Reynard langsung masuk.Isinya, menanyakan apakah dia punya waktu luang besok.Adelina langsung teringat bahwa besok dia berencana mengunjungi Kakek Herman. Tapi Reynard mencarinya karena urusan apa? Apa ada sesuatu yang terjadi di perusahaan?[Pak Reynard, ada urusan kantor?][Bukan. Urusan pribadi.]Adelina sedikit terkejut, tapi tetap menjawab apa adanya,[Besok aku tidak ada waktu.][Baik.]Karena bukan urusan pekerjaan, Adelina pun merasa lega. Meski begitu, tetap saja ada

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 46

    Tapi saat memikirkan kondisi Keluarga Laksana yang sekarang sedang berada di puncak kejayaan, sedangkan Keluarga Wijaya justru makin merosot, pertunangan ini memang harus segera disepakati secepatnya.“Felicia nggak perlu khawatir. Nanti begitu ayahmu pulang, Ibu akan minta dia cari waktu untuk bicara ke Keluarga Laksana. Kalau bisa, kamu langsung tunangan dulu dengan Nathaniel. Gimana, senang nggak?”Bu Nadya tentu bisa melihat isi hati Felicia.Wajah Felicia langsung bersemu merah malu, tapi sorot matanya penuh sukacita. Ia manja-manja ke arah ibunya.“Ibu, kamu mengejek aku, ya...”...Langit perlahan makin gelap. Di kejauhan, sebuah mobil hitam mewah melaju masuk ke area vila.Begitu melihat mobil itu, Felicia langsung berseru senang dan bangkit berdiri.“Ibu, Kakak Kedua, Ayah sudah pulang!”Sambil berkata begitu, dia langsung berlari ke luar.Bu Nadya pun tersenyum dan ikut keluar. Leonard menyusul di sebelahnya. Tapi baru saja mereka sampai di halaman, tiba-tiba terdengar suara

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 45

    Setelah baru saja menyelesaikan urusannya, Karina kembali sambil membeli kopi. Begitu masuk, dia langsung melihat Felicia berdiri di sana.Seketika ia merasa aneh."Bu Karina, kamu sudah kembali?"Wajah Felicia sudah kembali tenang, suaranya datar, seolah tak terjadi apa pun. "Mau kopi apa? Tadi aku ada urusan, makanya baru datang buat pesan kopi."Karina juga tidak curiga apa-apa, sementara pelayan yang tahu situasinya cuma melirik tanpa berkata apa-apa.Setelah keduanya memesan kopi dan kembali ke departemen desain, Felicia terlihat terus-menerus gelisah.Pikiran tentang apa yang dikatakan Nathaniel pada Adelina terus mengganggunya. Felicia diliputi kecemasan, intuisi dalam hatinya jelas memberi tahu bahwa Nathaniel tidak sepenuhnya tak tertarik pada Adelina.Semakin dipikirkan, rasa krisis dalam hatinya pun makin menguat....Sore hari saat jam pulang kantor.Leonard melihat Felicia keluar. Senyumnya belum sempat berkembang sempurna, sudah langsung membeku, lalu ia panik dan nadanya

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status