Share

Bab 13

Author: Adeline
Evan melirik tajam ke arah Gavin. "Emang kamu sendiri nggak pernah nyari bantuan luar, ya?"

Gavin langsung diam, cuma bisa nyengir malu.

Masalah di sistem pelindung jaringan ini memang sudah berlangsung lama, dan mereka juga pernah mencoba cari bantuan dari luar. Sayangnya, tidak satu pun yang bisa menyelesaikannya.

Gunawan akhirnya memutuskan dengan tegas, "Besok waktu Adelina datang, suruh dia langsung cari aku."

Evan pun bertanya, "Terus sekarang kita gimana?"

"Pulang."

Sebenarnya, pelindung jaringan yang sudah diperbaiki itu masih perlu diuji dulu. Tapi karena Gunawan belum sepenuhnya percaya pada Adelina, dia memutuskan menunggu sampai besok untuk menanyainya secara langsung sebelum melanjutkan ke tahap pengujian.

Sementara itu, Adelina sendiri belum tahu kalau bantuannya barusan justru mengalihkan perhatian seluruh tim, sampai membuat sang manajer sendiri turun tangan.

Saat ini dia sedang dalam perjalanan pulang ke vila Keluarga Wijaya.

Begitu mobil berhenti, Adelina langsung turun dan berjalan cepat ke arah rumah tempat kakeknya tinggal.

Tepat saat itu, dia melihat ibunya, Bu Nadya keluar dari dalam.

"Kakek gimana keadaannya?"

"Adelina." Bu Nadya memanggilnya dengan nada cemas, "Kamu hari ini ke mana saja? Kakakmu bilang kamu sudah dapat pekerjaan? Bisa nggak kamu cerita ke Ibu, pekerjaan apa itu?"

Adelina mundur selangkah, menghindari tangan Bu Nadya yang berusaha menyentuhnya.

"Aku mau lihat kakek."

Dia menatap ibunya dengan tenang. Menurutnya, pekerjaannya sekarang tidak ada kaitannya dengan Keluarga Wijaya. Dia pulang ke sini hanya untuk melihat kakeknya, bukan untuk kembali menjadi bagian dari keluarga itu.

Bu Nadya tampak agak terluka dengan sikap dingin putrinya, menggigit bibir sejenak, tapi tetap berkata lembut, "Adelina, kakekmu baru saja tertidur. Besok saja, Ibu akan izinkan kamu melihatnya, ya?"

Adelina tampak sedikit kecewa, tapi dia juga tak ingin mengganggu tidur kakeknya.

"Benar, ya?"

Dia menatap Bu Nadya, mata tajam yang mirip dengan ibunya itu penuh ketulusan dan keseriusan.

Pandangan itu membuat Bu Nadya teringat pada masa awal Adelina baru kembali, saat dia sering memandang ibunya dengan tatapan penuh harap dan ketergantungan.

Hati Bu Nadya terasa melunak, suaranya pun makin lembut, "Benar, Ibu nggak akan bohong padamu."

Adelina pun mengangguk pelan.

"Terima kasih, Bu Nadya."

Bagaimanapun juga, Bu Nadya sudah berjanji akan mengizinkannya menjenguk kakek. Bagi Adelina, itu layak untuk dihargai dengan satu ucapan terima kasih.

Namun, dua kata "Bu Nadya" itu seperti cambuk di hatinya. Matanya seketika memerah.

"Adelina… kamu masih marah pada Ibu, ya?"

Adelina tidak menjawab. Dia juga tak berniat membahas masalah yang tak punya jawaban itu.

Dia tidak lagi ingin mengakui orang-orang di rumah ini sebagai keluarganya. Bisa dibilang, kalau bukan karena kakeknya, dia tidak akan pernah kembali menginjakkan kaki ke rumah ini, bahkan setapak pun tidak.

Karena itu, dia juga tidak akan lagi memanggil Bu Nadya dengan sebutan Ibu.

Bukan karena masih menyimpan dendam atau kemarahan, tapi karena mereka sudah bukan lagi keluarga dalam hatinya.

"Aku mau balik ke kamar dulu."

Dia mengabaikan pertanyaan itu, membalikkan badan dan melangkah pergi.

Baru setengah jalan, sebuah mobil melaju mendekat dan langsung berhenti di depannya, memblokir jalannya.

Saat ini pintu mobil terbuka, dan Felicia keluar dengan langkah ringan. Begitu melihat Bu Nadya, dia langsung berlari mendekat dan memeluknya. Tapi begitu melihat mata Bu Nadya yang merah, wajah Felicia langsung berubah.

"Ibu, matamu kenapa merah?"

Begitu kalimat terakhir keluar dari mulutnya, Felicia langsung menoleh menatap Adelina dengan ekspresi sedih.

"Kak Adelina, kamu… kamu jangan-jangan bikin Ibu sedih lagi, ya?"

Leonard baru saja turun dari mobil, dan langsung mendengar kalimat itu. Wajahnya mengernyit tajam saat matanya jatuh ke arah Adelina.

"Kamu ngomong apa sama Ibu lagi? Adelina, kamu sebenarnya mau apa sih?"

Felicia menggigit bibir, wajahnya dipenuhi kesedihan, "Kak Adelina, kalau ini semua salahku, aku minta maaf… Kalau kamu marah, kamu marahlah ke aku, tapi jangan bikin Ibu sedih lagi, ya. Ibu itu gara-gara kamu, sudah nangis entah berapa kali… Aku nggak mau lihat Ibu terus nangis lagi."

Ucapan Felicia itu membuat Bu Nadya tersentuh sampai matanya berkaca-kaca.

"Felicia, ini bukan salahmu… Ini salah Ibu, Ibu yang sudah mengecewakan Adelina…"

"Ibu, bukan salah Ibu… ini semua karena aku…"

Dua orang itu saling menyalahkan diri sendiri, suasananya seolah sangat mengharukan dan penuh kasih sayang antara ibu dan anak.

Kalau ini terjadi di masa lalu, Adelina mungkin akan merasa sedih dan terluka.

Tapi sekarang?Yang dia rasakan hanyalah... betapa memuakkannya sandiwara ini.

"Selama aku bisa lihat Kakek, aku bisa langsung pergi dari sini."

Nada suara Adelina tenang tapi serius. Justru karena keseriusan itulah, Leonard jadi semakin marah.

"Adelina, kamu pikir kamu bisa pakai itu buat ancam siapa? Mau pergi ya pergi aja! Tapi kalau sudah pergi, jangan pernah balik lagi!"

Adelina mengangguk pelan. "Oke, aku cuma mau lihat Kakek."

Felicia menundukkan matanya, semburat licik sekilas melintas sebelum digantinya dengan suara lemah lembut, "Kak Adelina, aku tahu kamu ingin banget ketemu Kakek… Tapi kamu jangan ngomong kayak gitu… Kata-katamu itu bikin Ibu makin sedih. Kalau Kakek sampai tahu, nanti Kakek malah bakal mikir kita sengaja usir kamu…"

Leonard pun menggertakkan gigi. "Adelina, kamu benar-benar licik."

Barusan dia hampir saja menyetujui permintaannya untuk melihat sang Kakek.

"Kondisi Kakek sekarang sedang tidak baik, tidak cocok menerima tamu," katanya, tatapan dipenuhi kebencian. Dia tahu Adelina sangat ingin bertemu Kakek, justru karena itu, dia tidak akan membiarkannya.

Adelina menatap Felicia dengan dingin, bukankah dia yang paling ingin dirinya segera pergi?

Lalu kenapa sekarang malah bersikap seperti ini?

Adelina tidak sebodoh itu untuk percaya bahwa Felicia tiba-tiba berubah baik. Tapi ketika pikirannya memutar cepat menebak alasan di balik sikap adiknya itu, akhirnya ia menemukan jawabannya, soal perjanjian pernikahan.

Tak heran...

Kalau ingin mengganti calon tunangan, kedua kakek dari dua keluarga harus setuju. Felicia pasti takut Kakek tidak akan menyetujuinya, kan?

Adelina menarik napas panjang, menekan emosi di dadanya.

Dia tahu hari ini dirinya tidak akan bisa menemui Kakek.

Tanpa berkata apa pun, Adelina membalikkan badan dan pergi. Felicia memandangi punggungnya yang menjauh, tatapannya penuh kemenangan, tapi nada suaranya tetap terdengar sedih, "Ibu, apakah Kak Adelina marah padaku?"

Bu Nadya memeluk putrinya dengan lembut, lalu menenangkannya, "Tidak, sayang. Adelina pasti akan sadar betapa baiknya kamu padanya, cepat atau lambat."

Leonard mendengus dingin, "Dia itu nggak punya hak buat marah ke Felicia. Sejak dia pulang, rumah ini pernah tenang sebentar saja nggak?"

Bu Nadya yang mendengar nada penuh keluhan dari putranya, merasa sedikit tidak nyaman.

"Leonard, bagaimanapun juga, Adelina itu adik kandungmu. Kok kamu bisa ngomong begitu ke dia."
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 50

    Suara Adelina tetap tenang, tapi tatapannya mengandung ejekan yang begitu jelas.Dia menatap Leonard tanpa gentar, tatapan itu justru membuat Leonard merasa malu tanpa alasan. Seolah Adelina bisa menembus isi hatinya, jernih dan tajam, lalu perlahan berubah menjadi tatapan penuh sindiran.Adelina merasa bersyukur, setidaknya dirinya tidak seperti Keluarga Wijaya yang bisa mengucapkan hal-hal tak masuk akal seolah-olah mereka paling benar.Seperti sekarang."Aku sudah menurut pada kalian, aku sudah putuskan pertunangan dengan Nathaniel. Sekarang kendali soal pernikahan itu ada di tangan Keluarga Laksana. Jadi kalau Nathaniel menolak bertunangan dengan Felicia, bukankah itu masalahnya Felicia?"Satu kalimat itu saja cukup membuat wajah Leonard merah padam karena marah dan malu. "Adelina, kamu berani bilang semua ini nggak ada hubungannya sama kamu?"Adelina menjawab dengan dingin, "Kenapa nggak berani? Kamu kira aku sama penakutnya kayak kalian? Apa yang harus aku lakukan, sudah aku laku

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 49

    Saat itu, tiba-tiba saja Felicia memotong ucapan Nathaniel. "Kakak Nathaniel, aku sebenarnya lumayan suka main catur, hanya saja belum sempat belajar. Kakak Nathaniel bisa ajarin aku nggak?"Nathaniel mengangguk setuju, tapi belum sepenuhnya melupakan apa yang tadi ingin dia katakan. Hanya saja sebelum sempat lanjut bicara, Adelina sudah berdiri, lalu langsung berkata pada Kakek Herman, "Kakek Herman, sepertinya hari ini aku nggak bisa lanjut main. Nanti kalau aku ada waktu lagi, aku datang untuk menemani Kakek main catur."Meskipun Kakek Herman agak kecewa, beliau tetap mengangguk pelan.Mereka masih mengobrol, tapi Adelina malah memilih langsung bicara ke Kakek Herman begitu saja, jelas sekali tidak menganggap mereka yang lain penting.Diperlakukan dingin seperti itu lagi oleh Adelina membuat wajah Nathaniel berubah muram.Di mata Felicia sekilas muncul ekspresi kesal, tapi dia segera mengangkat wajah dengan raut seolah-olah sedang merasa tersinggung. Sementara Leonard yang memang ta

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 48

    Senyuman di wajah Felicia seketika menegang.Bisa masuk Perusahaan YJ tadinya adalah hal yang paling ia banggakan. Bagaimanapun juga, merek desain milik YJ cukup terkenal, baik di dalam maupun luar negeri.Tapi itu sebelum dia melihat Adelina juga berada di sana.Begitu bayangan Adelina melintas di benaknya, tatapan Felicia langsung memancarkan rasa iri dan benci yang ia sembunyikan rapat-rapat."Felicia bilang, direktur desain di kantornya sangat menghargai kinerjanya, bahkan mencalonkan dia untuk mewakili perusahaan di lomba desain yang diadakan di Kota Lautanagara. Kabarnya, acara ini juga didukung langsung oleh pemerintah dan akan disiarkan secara langsung."Bu Nadya yang menyebutkannya, wajahnya penuh dengan kebanggaan, seolah pencapaian itu adalah miliknya juga.Bu Ratna sedikit terkejut, tapi senyumnya justru semakin hangat dan ramah.Setelah basa-basi beberapa saat, Pak Satrio mulai masuk ke inti pertemuan, "Felicia sampai ikut lomba desain sekarang, kabar ini sudah disampaikan

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 47

    [Tidak.]Adelina langsung membalas pesan itu dengan satu kata, lalu meletakkan ponselnya dan pergi mandi.Setelah selesai mandi dan keluar lagi, beberapa notifikasi pesan sudah masuk ke ponselnya. Dia hanya sekilas melihat isi pesannya, lalu membalas singkat:[Aku sementara belum berniat kembali ke dunia desain.]Orang itu pernah bilang, bakat terbesarnya sebenarnya bukan di desain, tapi di bidang komputer.Dengan cekatan, dia keluar dari akun tersebut dan masuk ke akun utamanya. Baru saja masuk, satu pesan dari Reynard langsung masuk.Isinya, menanyakan apakah dia punya waktu luang besok.Adelina langsung teringat bahwa besok dia berencana mengunjungi Kakek Herman. Tapi Reynard mencarinya karena urusan apa? Apa ada sesuatu yang terjadi di perusahaan?[Pak Reynard, ada urusan kantor?][Bukan. Urusan pribadi.]Adelina sedikit terkejut, tapi tetap menjawab apa adanya,[Besok aku tidak ada waktu.][Baik.]Karena bukan urusan pekerjaan, Adelina pun merasa lega. Meski begitu, tetap saja ada

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 46

    Tapi saat memikirkan kondisi Keluarga Laksana yang sekarang sedang berada di puncak kejayaan, sedangkan Keluarga Wijaya justru makin merosot, pertunangan ini memang harus segera disepakati secepatnya.“Felicia nggak perlu khawatir. Nanti begitu ayahmu pulang, Ibu akan minta dia cari waktu untuk bicara ke Keluarga Laksana. Kalau bisa, kamu langsung tunangan dulu dengan Nathaniel. Gimana, senang nggak?”Bu Nadya tentu bisa melihat isi hati Felicia.Wajah Felicia langsung bersemu merah malu, tapi sorot matanya penuh sukacita. Ia manja-manja ke arah ibunya.“Ibu, kamu mengejek aku, ya...”...Langit perlahan makin gelap. Di kejauhan, sebuah mobil hitam mewah melaju masuk ke area vila.Begitu melihat mobil itu, Felicia langsung berseru senang dan bangkit berdiri.“Ibu, Kakak Kedua, Ayah sudah pulang!”Sambil berkata begitu, dia langsung berlari ke luar.Bu Nadya pun tersenyum dan ikut keluar. Leonard menyusul di sebelahnya. Tapi baru saja mereka sampai di halaman, tiba-tiba terdengar suara

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 45

    Setelah baru saja menyelesaikan urusannya, Karina kembali sambil membeli kopi. Begitu masuk, dia langsung melihat Felicia berdiri di sana.Seketika ia merasa aneh."Bu Karina, kamu sudah kembali?"Wajah Felicia sudah kembali tenang, suaranya datar, seolah tak terjadi apa pun. "Mau kopi apa? Tadi aku ada urusan, makanya baru datang buat pesan kopi."Karina juga tidak curiga apa-apa, sementara pelayan yang tahu situasinya cuma melirik tanpa berkata apa-apa.Setelah keduanya memesan kopi dan kembali ke departemen desain, Felicia terlihat terus-menerus gelisah.Pikiran tentang apa yang dikatakan Nathaniel pada Adelina terus mengganggunya. Felicia diliputi kecemasan, intuisi dalam hatinya jelas memberi tahu bahwa Nathaniel tidak sepenuhnya tak tertarik pada Adelina.Semakin dipikirkan, rasa krisis dalam hatinya pun makin menguat....Sore hari saat jam pulang kantor.Leonard melihat Felicia keluar. Senyumnya belum sempat berkembang sempurna, sudah langsung membeku, lalu ia panik dan nadanya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status