Share

Bab 3

Author: Adeline
Di mata Keluarga Wijaya, kepulangan Adelina ke rumah ini seolah berarti dia berutang pada Felicia, karena akibat kemunculannya, Felicia yang tadinya dianggap anak kandung, tiba-tiba berubah status menjadi anak angkat.

Padahal, semua itu bukan keinginannya. Bukan dia yang mencari Keluarga Wijaya, merekalah yang datang mencarinya.

Mereka sendiri yang membawanya pulang, lalu memperlakukannya dengan dingin dan tak adil.

Adelina pun tak bisa mengerti, kalau mereka sudah begitu mencintai Felicia, bahkan bisa membiarkannya menggantikan posisi anak kandung, kenapa masih bersusah payah mencari dan membawanya kembali?

Apakah hanya supaya dia bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana mereka mencurahkan kasih sayang yang melimpah, tapi bukan untuknya?

Tatapan Adelina penuh dengan ironi, begitu jelas dan menusuk, sampai membuat Leonard makin marah.

Wajahnya makin suram. "Kalau bukan karena sikapmu yang egois dan seenaknya, kejadian itu nggak akan terjadi pada Felicia."

"Apa maksudmu?"

Wajah Felicia langsung berubah pucat. "Kakak Kedua, hari ini kan hari kepulangan Kak Adelina, jangan diungkit lagi hal-hal yang sudah lewat. Kakak Nathaniel, bukannya kamu tadi bilang mau lihat Kakek? Ayo kita ke sana, ya."

Nathaniel menatap dalam ke arah Adelina, lalu bertanya dengan nada dingin, "Kamu nggak ikut?"

Mata Adelina langsung bersinar, nyaris menjawab tanpa pikir panjang, "Aku ikut."

Nathaniel mengangguk pelan.

"Kalau begitu, ayo."

Adelina baru hendak mengikuti, namun tiba-tiba lengannya ditarik dengan keras oleh Leonard. Cengkeramannya begitu kuat sampai membuatnya meringis kesakitan.

"Kamu mau ketemu Kakek dengan penampilan kayak gini? Apa kamu mau ngadu lagi di depan Kakek?"

Leonard tertawa sinis.

Tapi Adelina tak merasa penampilannya ada yang salah. Setidaknya bajunya bersih dan rapi.

Namun untuk urusan menemui Kakek, dia tak ingin berdebat terlalu banyak dengan Leonard.

"Aku nggak punya baju ganti," jawabnya tenang.

Selama di penjara, dia hanya mengenakan seragam. Baju yang ia kenakan sekarang adalah baju yang dipakainya tiga tahun lalu saat pertama kali masuk, wajar saja jika sudah pudar dan terlihat usang.

"Ikut aku," ucap Leonard singkat, tatapannya tiba-tiba rumit, lalu langsung berbalik dan berjalan pergi.

Adelina pun mengikuti langkahnya.

Setelah tiga tahun, rumah besar itu sudah mengalami banyak perubahan. Semua terasa asing baginya.

Begitu sampai di lantai dua, raut wajah Leonard tampak sedikit berubah.

"Kamu sudah tiga tahun nggak pulang, dan kamarmu nggak ada yang pakai, jadi kamarnya diubah jadi ruang pakaian untuk Felicia," katanya dengan nada sedikit tertekan.

Adelina terdiam sejenak, lalu mengangguk ringan tanpa banyak reaksi. "Oke."

Sikap dinginnya itu, di mata Leonard, seolah-olah dia sedang memamerkan rasa tak senangnya, seperti sedang memperlihatkan wajah masamnya.

Dia ingin marah. Tapi ketika mengingat hal ini memang sepenuhnya kesalahan pihak mereka terhadap Adelina, dia akhirnya menahan diri.

Wajahnya tetap masam saat mendorong pintu.

Yang tampak di dalam adalah sebuah ruang pakaian besar yang memakan seluruh kamar.

Lemari-lemari transparan berjajar rapi, di dalamnya tergantung aneka jenis pakaian dalam susunan indah, seperti etalase butik di pusat perbelanjaan.

Tampak jelas betapa Keluarga Wijaya benar-benar memanjakan Felicia.

Leonard mengambil satu set pakaian dari sudut ruangan, lalu melemparkannya ke arah Adelina.

"Itu baju yang nggak disukai Felicia. Dia nggak suka orang lain menyentuh pakaiannya. Jadi setelah kamu pakai, nggak usah dikembalikan. Kalau nggak mau simpan, buang aja."

Adelina pun mengganti pakaian. Sweter yang pas badan itu masih terasa agak longgar di tubuhnya. Ia merapikan diri sekadarnya, lalu berjalan keluar.

"Aku sudah ganti."

Leonard menatapnya sebentar, ekspresinya tampak agak aneh.

"Ayo pergi."

Sikap dingin Leonard tidak mengusik Adelina sedikit pun. Di hatinya hanya ada rasa senang dan gugup, karena akan bertemu dengan Kakek.

Langkah Leonard cepat. Bahkan sebelum Adelina sempat benar-benar keluar dari kamar, dia sudah menghilang entah ke mana.

Tapi Adelina tidak terlalu memedulikannya. Dia tahu di mana Kakek tinggal. Dengan hati yang dipenuhi harapan dan kebahagiaan, dia melangkah ke luar rumah utama. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti di ambang pintu.

"Adelina, kamu akhirnya pulang…"

Begitu melihatnya, mata Bu Nadya langsung memerah, suaranya tercekat menahan tangis.

Dia mengulurkan tangan, ingin meraih putrinya. Tapi Adelina mundur selangkah, menghindar.

Raut wajah Bu Nadya seketika membeku, ekspresinya dipenuhi duka.

"Adelina, kamu… kamu marah pada Ibu, ya?"

Adelina benar-benar tidak mengerti, kenapa Bu Nadya bisa menanyakan hal seperti itu?

Apa dia tidak pantas marah?

Mereka yang telah mengirimnya ke penjara, membiarkannya menderita tiga tahun penuh.

Apa dia tidak boleh menyalahkan mereka?

"Nyonya Nadya."

Suara Adelina terdengar agak serak. "Aku mau menemui Kakek."

Bu Nadya tampak seolah terkena pukulan berat, tubuhnya sampai bergoyang, nyaris tak sanggup berdiri tegak.

"Adelina… kamu… kamu panggil aku apa?"

"Kamu memang marah pada Ibu…"

Air mata langsung jatuh dari mata Bu Nadya, satu per satu, seperti untaian mutiara yang pecah.

Meski menangis sampai seperti itu, Bu Nadya tetap tampak anggun dan cantik. Tangis hanya menambah kesan lembut dan rapuh pada dirinya.

Saat baru kembali ke Keluarga Wijaya, Adelina dulu sangat menyukai wanita ini, kecantikannya, keanggunannya, dan sikapnya yang tenang dan terhormat.

Dia pernah berharap, berkali-kali, agar Ibu bisa memperlakukannya seperti memperlakukan Felicia.

Berbicara padanya dengan lembut, memberinya kehangatan seorang ibu.

Namun… satu-satunya waktu di mana Bu Nadya pernah memperlakukannya sama seperti Felicia, adalah saat memintanya menggantikan Felicia masuk penjara.

Betapa ironis dan menyedihkannya itu!

"Ibu, kenapa Ibu menangis?"

Suara nyaring dan lembut tiba-tiba terdengar. Felicia buru-buru berjalan mendekat, lalu berdiri di sisi Bu Nadya dengan penuh perhatian.

"Kak Adelina, kalau kamu marah, marah saja ke aku. Jangan buat Ibu terlalu sedih…"

"Ibu karena kamu, sudah sering tidak nafsu makan dan sulit tidur. Ibu kelihatan jauh lebih kurus sekarang. Kalau kamu nggak kasihan pada Ibu, aku masih kasihan sama Ibu…"

Ketika Felicia bicara makin emosional, matanya pun memerah, terlihat seperti hendak menangis, sama seperti Bu Nadya barusan.

Bagaimana mungkin Bu Nadya tega melihat putri kesayangannya menangis? Seketika, air matanya pun berhenti mengalir.

"Felicia, Ibu nggak apa-apa. Jangan nangis lagi, nanti matamu bengkak."

"Bu… wajar saja kalau kakak benci padaku. Kalau bukan karena aku, Kak Adelina pasti bisa mendapat seluruh cinta dari kalian…"

Felicia menggigit bibir, suaranya lirih dan bergetar, tampak seolah menahan tangis dengan susah payah.

Wajahnya tampak begitu lembut dan menyedihkan, benar-benar membuat orang tak tega melihatnya.

"Itu bukan salahmu, Felicia. Jangan pikir yang macam-macam," ucap Bu Nadya dengan sabar menenangkan putrinya.

Ibu dan anak itu berdiri di sana dengan suasana yang tampak begitu hangat dan akrab, begitu serasi, seakan-akan tak pernah ada tempat untuk orang luar.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 50

    Suara Adelina tetap tenang, tapi tatapannya mengandung ejekan yang begitu jelas.Dia menatap Leonard tanpa gentar, tatapan itu justru membuat Leonard merasa malu tanpa alasan. Seolah Adelina bisa menembus isi hatinya, jernih dan tajam, lalu perlahan berubah menjadi tatapan penuh sindiran.Adelina merasa bersyukur, setidaknya dirinya tidak seperti Keluarga Wijaya yang bisa mengucapkan hal-hal tak masuk akal seolah-olah mereka paling benar.Seperti sekarang."Aku sudah menurut pada kalian, aku sudah putuskan pertunangan dengan Nathaniel. Sekarang kendali soal pernikahan itu ada di tangan Keluarga Laksana. Jadi kalau Nathaniel menolak bertunangan dengan Felicia, bukankah itu masalahnya Felicia?"Satu kalimat itu saja cukup membuat wajah Leonard merah padam karena marah dan malu. "Adelina, kamu berani bilang semua ini nggak ada hubungannya sama kamu?"Adelina menjawab dengan dingin, "Kenapa nggak berani? Kamu kira aku sama penakutnya kayak kalian? Apa yang harus aku lakukan, sudah aku laku

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 49

    Saat itu, tiba-tiba saja Felicia memotong ucapan Nathaniel. "Kakak Nathaniel, aku sebenarnya lumayan suka main catur, hanya saja belum sempat belajar. Kakak Nathaniel bisa ajarin aku nggak?"Nathaniel mengangguk setuju, tapi belum sepenuhnya melupakan apa yang tadi ingin dia katakan. Hanya saja sebelum sempat lanjut bicara, Adelina sudah berdiri, lalu langsung berkata pada Kakek Herman, "Kakek Herman, sepertinya hari ini aku nggak bisa lanjut main. Nanti kalau aku ada waktu lagi, aku datang untuk menemani Kakek main catur."Meskipun Kakek Herman agak kecewa, beliau tetap mengangguk pelan.Mereka masih mengobrol, tapi Adelina malah memilih langsung bicara ke Kakek Herman begitu saja, jelas sekali tidak menganggap mereka yang lain penting.Diperlakukan dingin seperti itu lagi oleh Adelina membuat wajah Nathaniel berubah muram.Di mata Felicia sekilas muncul ekspresi kesal, tapi dia segera mengangkat wajah dengan raut seolah-olah sedang merasa tersinggung. Sementara Leonard yang memang ta

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 48

    Senyuman di wajah Felicia seketika menegang.Bisa masuk Perusahaan YJ tadinya adalah hal yang paling ia banggakan. Bagaimanapun juga, merek desain milik YJ cukup terkenal, baik di dalam maupun luar negeri.Tapi itu sebelum dia melihat Adelina juga berada di sana.Begitu bayangan Adelina melintas di benaknya, tatapan Felicia langsung memancarkan rasa iri dan benci yang ia sembunyikan rapat-rapat."Felicia bilang, direktur desain di kantornya sangat menghargai kinerjanya, bahkan mencalonkan dia untuk mewakili perusahaan di lomba desain yang diadakan di Kota Lautanagara. Kabarnya, acara ini juga didukung langsung oleh pemerintah dan akan disiarkan secara langsung."Bu Nadya yang menyebutkannya, wajahnya penuh dengan kebanggaan, seolah pencapaian itu adalah miliknya juga.Bu Ratna sedikit terkejut, tapi senyumnya justru semakin hangat dan ramah.Setelah basa-basi beberapa saat, Pak Satrio mulai masuk ke inti pertemuan, "Felicia sampai ikut lomba desain sekarang, kabar ini sudah disampaikan

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 47

    [Tidak.]Adelina langsung membalas pesan itu dengan satu kata, lalu meletakkan ponselnya dan pergi mandi.Setelah selesai mandi dan keluar lagi, beberapa notifikasi pesan sudah masuk ke ponselnya. Dia hanya sekilas melihat isi pesannya, lalu membalas singkat:[Aku sementara belum berniat kembali ke dunia desain.]Orang itu pernah bilang, bakat terbesarnya sebenarnya bukan di desain, tapi di bidang komputer.Dengan cekatan, dia keluar dari akun tersebut dan masuk ke akun utamanya. Baru saja masuk, satu pesan dari Reynard langsung masuk.Isinya, menanyakan apakah dia punya waktu luang besok.Adelina langsung teringat bahwa besok dia berencana mengunjungi Kakek Herman. Tapi Reynard mencarinya karena urusan apa? Apa ada sesuatu yang terjadi di perusahaan?[Pak Reynard, ada urusan kantor?][Bukan. Urusan pribadi.]Adelina sedikit terkejut, tapi tetap menjawab apa adanya,[Besok aku tidak ada waktu.][Baik.]Karena bukan urusan pekerjaan, Adelina pun merasa lega. Meski begitu, tetap saja ada

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 46

    Tapi saat memikirkan kondisi Keluarga Laksana yang sekarang sedang berada di puncak kejayaan, sedangkan Keluarga Wijaya justru makin merosot, pertunangan ini memang harus segera disepakati secepatnya.“Felicia nggak perlu khawatir. Nanti begitu ayahmu pulang, Ibu akan minta dia cari waktu untuk bicara ke Keluarga Laksana. Kalau bisa, kamu langsung tunangan dulu dengan Nathaniel. Gimana, senang nggak?”Bu Nadya tentu bisa melihat isi hati Felicia.Wajah Felicia langsung bersemu merah malu, tapi sorot matanya penuh sukacita. Ia manja-manja ke arah ibunya.“Ibu, kamu mengejek aku, ya...”...Langit perlahan makin gelap. Di kejauhan, sebuah mobil hitam mewah melaju masuk ke area vila.Begitu melihat mobil itu, Felicia langsung berseru senang dan bangkit berdiri.“Ibu, Kakak Kedua, Ayah sudah pulang!”Sambil berkata begitu, dia langsung berlari ke luar.Bu Nadya pun tersenyum dan ikut keluar. Leonard menyusul di sebelahnya. Tapi baru saja mereka sampai di halaman, tiba-tiba terdengar suara

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 45

    Setelah baru saja menyelesaikan urusannya, Karina kembali sambil membeli kopi. Begitu masuk, dia langsung melihat Felicia berdiri di sana.Seketika ia merasa aneh."Bu Karina, kamu sudah kembali?"Wajah Felicia sudah kembali tenang, suaranya datar, seolah tak terjadi apa pun. "Mau kopi apa? Tadi aku ada urusan, makanya baru datang buat pesan kopi."Karina juga tidak curiga apa-apa, sementara pelayan yang tahu situasinya cuma melirik tanpa berkata apa-apa.Setelah keduanya memesan kopi dan kembali ke departemen desain, Felicia terlihat terus-menerus gelisah.Pikiran tentang apa yang dikatakan Nathaniel pada Adelina terus mengganggunya. Felicia diliputi kecemasan, intuisi dalam hatinya jelas memberi tahu bahwa Nathaniel tidak sepenuhnya tak tertarik pada Adelina.Semakin dipikirkan, rasa krisis dalam hatinya pun makin menguat....Sore hari saat jam pulang kantor.Leonard melihat Felicia keluar. Senyumnya belum sempat berkembang sempurna, sudah langsung membeku, lalu ia panik dan nadanya

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status