Share

Bab 4

Author: Adeline
Adelina tidak ingin lagi menyaksikan pemandangan hangat antara ibu dan anak itu. Tapi begitu dia berjalan melewati mereka, langkahnya terhenti saat melihat Leonard datang dari arah depan.

Melihat ibunya seperti habis menangis, Leonard langsung mempercepat langkah dengan wajah kesal, suaranya penuh nada marah.

"Adelina, kamu tadi ngomong apa ke Ibu?!"

Adelina menatapnya tanpa ekspresi, lalu dengan tenang balik bertanya, "Tuan Muda Kedua, seharusnya yang ditanya adalah Ibumu tadi bicara apa padaku. Aku cuma ucapkan satu kalimat."

Wajah Leonard jelas-jelas tak percaya. Dia masih ingin mengatakan sesuatu, tapi Bu Nadya sudah lebih dulu bicara.

"Leonard, bersikap baiklah pada adikmu. Ibu nggak apa-apa, Ibu cuma terlalu senang bisa lihat Adelina pulang," ujarnya menenangkan.

Kena tegur begitu, Leonard tampak kesal, melirik Adelina dengan tatapan tak suka, tapi akhirnya memilih diam.

"Adelina, Ibu sudah siapkan baju dan sepatu baru buat kamu. Kenapa kamu pakai baju yang nggak pas di badan seperti itu?"

Bu Nadya menatap pakaiannya sambil mengerutkan kening.

Adelina menoleh, nada bicaranya tetap terdengar tak sabar.

"Nggak usah. Baju ini sudah cukup. Aku mau ke tempat Kakek."

Begitu ucapannya selesai, dia langsung melangkah hendak pergi, tapi tangan Leonard cepat menghadang.

"Kakek sudah istirahat."

"Mustahil. Bukankah Nathaniel masih bersama Kakek?"

Nada suara Adelina terdengar cemas, tiga tahun tak bertemu, kini dia benar-benar ingin sekali melihat Kakeknya.

"Nathaniel sudah pergi," jawab Leonard dengan wajah penuh ketidaksabaran. Kalau bukan karena Adelina, Nathaniel pasti sudah mau tinggal untuk makan malam.

"Adelina, jangan buru-buru. Kalau mau ketemu Kakek, besok juga bisa kok."

Bu Nadya mencoba menenangkannya dengan suara lembut.

Adelina pun menundukkan kepala, matanya menunjukkan kejengkelan.

Kalau bukan karena mereka, dia pasti sudah sempat bertemu Kakek.

Tapi dia tak berkata apa-apa, hanya diam dan berbalik melangkah masuk.

"Adelina, Ibu sudah siapkan kamar buat kamu. Kali ini setelah kamu pulang, Ibu mau sungguh-sungguh menebus semua yang pernah terjadi," ucap Bu Nadya dengan lembut dan penuh harap.

Tapi Adelina tetap tak tergerak. Dia memang tidak berencana tinggal di sini.

Hanya saja, dia belum sempat bertemu Kakek.

"Baik."

Jawaban itu membuat Bu Nadya sangat gembira. Tatapannya lalu melirik tas yang Adelina tenteng, sorot matanya penuh rasa iba.

"Leonard, kamar adikmu sudah diatur kan? Biar Adelina istirahat dulu."

Wajah Leonard terlihat agak kaku saat menjawab, "Belum sempat dibereskan. Suruh dia tinggal di kamar pembantu dulu."

"Apa?! Leonard, kamu ngomong apa barusan?"

Nada suara Bu Nadya langsung berubah, seolah tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya.

Leonard memilih bungkam, tak menjawab sepatah kata pun.

Adelina akhirnya buka suara.

"Di mana kamar pembantunya?"

Dia tidak ingin terus berurusan dengan mereka.

Begitu tahu jawabannya, Adelina langsung membawa ranselnya masuk ke kamar di lantai satu.

Bu Nadya sempat ingin berkata sesuatu, tapi saat mengingat yang mengatur semua ini adalah Leonard, ia akhirnya hanya terdiam.

Adelina pun menutup pintu kamar. Kamar pembantu itu sederhana, tapi fasilitasnya lengkap.

Keluarga Wijaya memang kaya raya, bahkan kamar untuk pembantu pun cukup luas dan layak.

Adelina tidak pernah rewel soal tempat tinggal. Dia sudah pernah tidur di sel gelap dan sempit di penjara, jadi kamar seperti ini pun sudah jauh lebih baik.

Setelah membereskan sedikit barang, dia mengisi daya ponselnya dan membalas beberapa pesan.

Tak lama, suara ketukan terdengar dari luar.

"Kak Adelina, Ibu suruh aku panggil kamu buat makan malam."

Felicia berdiri di depan pintu, wajahnya penuh senyum ceria.

Tapi Adelina dengan jelas melihat kilatan permusuhan yang tersembunyi di balik tatapan mata itu.

"Ya, aku tahu. Ayo."

Di meja makan.

Bu Nadya terlihat begitu perhatian, terus-menerus mengambilkan lauk untuk Adelina.

Saat satu potong brokoli disodorkan ke mangkuknya, Adelina tanpa sadar menangkis dan menarik mangkuknya menjauh.

Potongan brokoli itu pun jatuh ke meja.

Nada suara Leonard langsung terdengar menahan marah.

"Adelina, Ibu cuma mau ambilkan kamu lauk, kamu kenapa menghindar?"

"Maaf, sudah jadi kebiasaan."

Adelina benar-benar sudah terbiasa.

Di penjara, setiap kali ada sumpit yang mengarah ke mangkuknya, itu entah untuk merebut makanannya, atau malah melemparkan kotoran ke dalamnya.

Kalau tidak menghindar, dia bahkan tak akan bisa melanjutkan makan.

Leonard pun tertawa dingin karena marah.

"Adelina, kalau mau bohong pun, ada batasnya. Kamu pikir kami akan percaya omong kosong begitu?"

Adelina meletakkan sumpitnya, menatap langsung ke arah Leonard, suaranya datar. "Mau percaya atau tidak, itu urusan kalian."

Bu Nadya buru-buru menyela, berusaha meredakan suasana, "Leonard, Adelina pasti bukan sengaja. Ayo makan, nanti makanannya keburu dingin."

Leonard hanya bisa menahan amarahnya, tidak bicara lagi, tapi tatapannya ke arah Adelina tajam seperti pisau.

Hanya saja Adelina bersikap seolah tidak melihat.

Tatapan penuh kebencian yang lebih kelam dan jahat dari ini pun sudah pernah dia temui.

Dibandingkan mereka, Leonard bahkan tidak seberapa.

"Adelina, kenapa nggak makan lauknya? Apa makanannya nggak sesuai selera kamu?"

Bu Nadya bertanya dengan raut wajah khawatir.

Adelina tidak mengerti kenapa hari ini wanita itu begitu memperhatikannya.

Kalau ini terjadi tiga tahun lalu, dia pasti akan sangat senang. Dia pasti akan merasa akhirnya dirinya diperhatikan.

Akhirnya bisa merasakan kelembutan dan kasih sayang seorang ibu.

Sayangnya, itu adalah keinginan Adelina tiga tahun lalu.

Adelina yang sekarang, tidak lagi membutuhkannya.

"Bukan begitu. Masakannya agak berat, aku nggak sanggup makan terlalu banyak," jawabnya pelan.

Masakan di meja memang tidak berminyak, tapi semuanya bercita rasa manis-pedas, jelas selera Felicia.

Leonard akhirnya tak tahan, nadanya tajam menyindir, "Dulu juga makan kayak begini baik-baik aja, sekarang malah bilang nggak sanggup?"

Adelina mengangkat kepala menatapnya, suara tenangnya justru membuat suasana makin tegang.

"Dulu aku belum sampai sakit karena kelaparan. Selama tiga tahun di penjara, lapar itu sudah jadi kebiasaan, makan dengan cepat pun jadi kebiasaan. Jadi, sakit maag pun ikut jadi kebiasaan."

Wajah Leonard langsung kaku.

Sementara itu, mata Bu Nadya mulai memerah, nadanya penuh rasa bersalah, "Adelina, kenapa kamu nggak bilang? Ibu selalu pikir kamu baik-baik saja di dalam sana."

Adelina hanya merasa semua ini sangat ironis.

Bagaimana mungkin kehidupan di penjara bisa disebut baik?

Mereka hanya mengirimnya masuk ke sana, tanpa mengurus apa pun setelah itu.

Penjara adalah tempat di mana yang kuat akan dijunjung, sementara yang lemah akan diinjak-injak.

Dia tak punya uang, tak punya koneksi, jadi ditindas pun sudah jadi hal biasa.

Mengenai menelepon?

"Aku sudah menelepon."

"Mana mungkin?"

Leonard langsung membantah refleks, "Di rumah nggak pernah terima telepon dari kamu."

Baru saja selesai bicara, dia tiba-tiba terdiam.

Adelina menatapnya dengan sorot mata penuh sindiran, "Dua bulan setelah aku masuk penjara, aku sempat menelepon ke rumah. Yang angkat telepon adalah seorang pembantu. Dia bilang kalian menyuruhku menjalani hukuman dengan baik, dan jangan telepon rumah lagi."

Suasana di meja makan langsung membeku.
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 50

    Suara Adelina tetap tenang, tapi tatapannya mengandung ejekan yang begitu jelas.Dia menatap Leonard tanpa gentar, tatapan itu justru membuat Leonard merasa malu tanpa alasan. Seolah Adelina bisa menembus isi hatinya, jernih dan tajam, lalu perlahan berubah menjadi tatapan penuh sindiran.Adelina merasa bersyukur, setidaknya dirinya tidak seperti Keluarga Wijaya yang bisa mengucapkan hal-hal tak masuk akal seolah-olah mereka paling benar.Seperti sekarang."Aku sudah menurut pada kalian, aku sudah putuskan pertunangan dengan Nathaniel. Sekarang kendali soal pernikahan itu ada di tangan Keluarga Laksana. Jadi kalau Nathaniel menolak bertunangan dengan Felicia, bukankah itu masalahnya Felicia?"Satu kalimat itu saja cukup membuat wajah Leonard merah padam karena marah dan malu. "Adelina, kamu berani bilang semua ini nggak ada hubungannya sama kamu?"Adelina menjawab dengan dingin, "Kenapa nggak berani? Kamu kira aku sama penakutnya kayak kalian? Apa yang harus aku lakukan, sudah aku laku

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 49

    Saat itu, tiba-tiba saja Felicia memotong ucapan Nathaniel. "Kakak Nathaniel, aku sebenarnya lumayan suka main catur, hanya saja belum sempat belajar. Kakak Nathaniel bisa ajarin aku nggak?"Nathaniel mengangguk setuju, tapi belum sepenuhnya melupakan apa yang tadi ingin dia katakan. Hanya saja sebelum sempat lanjut bicara, Adelina sudah berdiri, lalu langsung berkata pada Kakek Herman, "Kakek Herman, sepertinya hari ini aku nggak bisa lanjut main. Nanti kalau aku ada waktu lagi, aku datang untuk menemani Kakek main catur."Meskipun Kakek Herman agak kecewa, beliau tetap mengangguk pelan.Mereka masih mengobrol, tapi Adelina malah memilih langsung bicara ke Kakek Herman begitu saja, jelas sekali tidak menganggap mereka yang lain penting.Diperlakukan dingin seperti itu lagi oleh Adelina membuat wajah Nathaniel berubah muram.Di mata Felicia sekilas muncul ekspresi kesal, tapi dia segera mengangkat wajah dengan raut seolah-olah sedang merasa tersinggung. Sementara Leonard yang memang ta

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 48

    Senyuman di wajah Felicia seketika menegang.Bisa masuk Perusahaan YJ tadinya adalah hal yang paling ia banggakan. Bagaimanapun juga, merek desain milik YJ cukup terkenal, baik di dalam maupun luar negeri.Tapi itu sebelum dia melihat Adelina juga berada di sana.Begitu bayangan Adelina melintas di benaknya, tatapan Felicia langsung memancarkan rasa iri dan benci yang ia sembunyikan rapat-rapat."Felicia bilang, direktur desain di kantornya sangat menghargai kinerjanya, bahkan mencalonkan dia untuk mewakili perusahaan di lomba desain yang diadakan di Kota Lautanagara. Kabarnya, acara ini juga didukung langsung oleh pemerintah dan akan disiarkan secara langsung."Bu Nadya yang menyebutkannya, wajahnya penuh dengan kebanggaan, seolah pencapaian itu adalah miliknya juga.Bu Ratna sedikit terkejut, tapi senyumnya justru semakin hangat dan ramah.Setelah basa-basi beberapa saat, Pak Satrio mulai masuk ke inti pertemuan, "Felicia sampai ikut lomba desain sekarang, kabar ini sudah disampaikan

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 47

    [Tidak.]Adelina langsung membalas pesan itu dengan satu kata, lalu meletakkan ponselnya dan pergi mandi.Setelah selesai mandi dan keluar lagi, beberapa notifikasi pesan sudah masuk ke ponselnya. Dia hanya sekilas melihat isi pesannya, lalu membalas singkat:[Aku sementara belum berniat kembali ke dunia desain.]Orang itu pernah bilang, bakat terbesarnya sebenarnya bukan di desain, tapi di bidang komputer.Dengan cekatan, dia keluar dari akun tersebut dan masuk ke akun utamanya. Baru saja masuk, satu pesan dari Reynard langsung masuk.Isinya, menanyakan apakah dia punya waktu luang besok.Adelina langsung teringat bahwa besok dia berencana mengunjungi Kakek Herman. Tapi Reynard mencarinya karena urusan apa? Apa ada sesuatu yang terjadi di perusahaan?[Pak Reynard, ada urusan kantor?][Bukan. Urusan pribadi.]Adelina sedikit terkejut, tapi tetap menjawab apa adanya,[Besok aku tidak ada waktu.][Baik.]Karena bukan urusan pekerjaan, Adelina pun merasa lega. Meski begitu, tetap saja ada

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 46

    Tapi saat memikirkan kondisi Keluarga Laksana yang sekarang sedang berada di puncak kejayaan, sedangkan Keluarga Wijaya justru makin merosot, pertunangan ini memang harus segera disepakati secepatnya.“Felicia nggak perlu khawatir. Nanti begitu ayahmu pulang, Ibu akan minta dia cari waktu untuk bicara ke Keluarga Laksana. Kalau bisa, kamu langsung tunangan dulu dengan Nathaniel. Gimana, senang nggak?”Bu Nadya tentu bisa melihat isi hati Felicia.Wajah Felicia langsung bersemu merah malu, tapi sorot matanya penuh sukacita. Ia manja-manja ke arah ibunya.“Ibu, kamu mengejek aku, ya...”...Langit perlahan makin gelap. Di kejauhan, sebuah mobil hitam mewah melaju masuk ke area vila.Begitu melihat mobil itu, Felicia langsung berseru senang dan bangkit berdiri.“Ibu, Kakak Kedua, Ayah sudah pulang!”Sambil berkata begitu, dia langsung berlari ke luar.Bu Nadya pun tersenyum dan ikut keluar. Leonard menyusul di sebelahnya. Tapi baru saja mereka sampai di halaman, tiba-tiba terdengar suara

  • Dulu Mereka Buang Aku, Kini Mereka Bersujud   Bab 45

    Setelah baru saja menyelesaikan urusannya, Karina kembali sambil membeli kopi. Begitu masuk, dia langsung melihat Felicia berdiri di sana.Seketika ia merasa aneh."Bu Karina, kamu sudah kembali?"Wajah Felicia sudah kembali tenang, suaranya datar, seolah tak terjadi apa pun. "Mau kopi apa? Tadi aku ada urusan, makanya baru datang buat pesan kopi."Karina juga tidak curiga apa-apa, sementara pelayan yang tahu situasinya cuma melirik tanpa berkata apa-apa.Setelah keduanya memesan kopi dan kembali ke departemen desain, Felicia terlihat terus-menerus gelisah.Pikiran tentang apa yang dikatakan Nathaniel pada Adelina terus mengganggunya. Felicia diliputi kecemasan, intuisi dalam hatinya jelas memberi tahu bahwa Nathaniel tidak sepenuhnya tak tertarik pada Adelina.Semakin dipikirkan, rasa krisis dalam hatinya pun makin menguat....Sore hari saat jam pulang kantor.Leonard melihat Felicia keluar. Senyumnya belum sempat berkembang sempurna, sudah langsung membeku, lalu ia panik dan nadanya

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status