Share

Tidak Terjadi

Devan menepati janjinya untuk membawa Aisha ke perusahaan. Dia tidak mau kalau sampai wanita itu melakukan kesalahan apa pun nantinya. Jadi, segala upaya telah dilakukan oleh Devan memenuhi kebutuhan Aisha.

Di perusahaan Aisha ada di bagian data entry.

Tidak mungkin juga dia biarkan Aisha bekerja pada perusahaan lain kalau masih bisa dibantu.

Berkas di atas meja kerjanya telah selesai. Tapi Devan sedang menunggu orangtuanya yang katanya siang ini akan datang. Sedangkan Aisha pasti akan masuk ke dalam ruangan untuk membawakan makan siang itu. Berangkat bareng, makan siang bareng, pulang bareng dilakukan oleh Devan dan juga Aisha.

Terdengar suara pintu diketuk kemudian Devan mengalihkan pandangannya dan melihat kalau orangtuanya datang juga. Beranjak dari kursi kerjanya menyambut kedua orang itu lalu meminta untuk duduk.

Begitu orangtuanya duduk. Devan meminta untuk dibuatkan minuman pada anak buahnya. “Mama ke rumah kamu tadinya. Tapi kok sepi, ya?”

“Aisha kan kerja, Ma.”

“Dia berhenti di sana?”

“Nggak, dia di sini. Dia minta izin kerja. Waktu dia bilang mau cari pengalaman, aku masukin di sini. Dia nggak ada pengalaman apa-apa di luar sana. Jadi, aku masukin aja dia di sini. Sekalian bisa aku awasi.”

Devan mengatakan dengan jujur. Aisha begitu disayangi oleh orangtuanya Devan juga karena mereka kecil dan tumbuh bersama. Hanya saja ada terpaut usia.

“Kamu sudah kunjungi, Nita?”

“Sudah baikan, Ma. Aisha juga udah carikan tempat baru. Makanya sekarang dia kerja keras banget karena kredit rumah.”

Orangtuanya tersenyum karena sudah pasti akan membela Aisha. Dari dulu sikap orangtuanya Devan juga sangat baik sekali. “Baik sekali dia, ya.”

“Mama sendiri tau Aisha bagaimana.”

“Terus, Devan. Soal pernikahan, kami rencana jodohin kamu.”

Devan memutar bola matanya mendengar perkataan tentang perjodohan itu. Sebenarnya Devan tidak butuh apa-apa lagi. Kalau sekadar pemuas nafsu, dia punya Aisha.

Pria itu menatap ke arah sang papa. “Papa nggak akan jodohkan kamu kalau kamu punya pengganti, Devan. Tapi ini demi kamu sembuh aja dari luka kamu.”

“Mungkin bentar lagi, Pa. Tunggu saja, ya.”

Meski tidak berjanji akan buka hati lagi. Tapi Devan memang tidak ada rencana ke depannya untuk menikah. Teman tidurnya sudah ada Aisha, toh juga menikah untuk memuaskan diri. “Memangnya sampai kapan burung kamu nggak dipakai?”

Dia terkekeh mendengar ucapan papanya. “Jangan khawatir. Papa urus saja perusahaan Papa. Tunggu aku beberapa bulan lagi pasti kenalin calon. Nggak usah dijodohin, tapi harus janji nggak dari kalangan pengusaha.”

“Nggak akan, Devan. Yang penting bisa sembuhkan kamu.”

“Aisha gimana, Devan?” tanya mamanya langsung nyeletuk. “Dia cantik, masih gadis juga pastinya, kan? Dia nggak pernah pacaran. Kamu nggak tertarik sama dia?”

Lirikan matanya Devan kepada mamanya cukup dingin ketika sang mama menawarkan Aisha untuk Devan. “Jangan, Ma! Devan anggap Aisha itu udah kayak adiknya sendiri.”

Devan mengiyakan ucapan orangtuanya. “Yang dibilang Papa benar kok. Nggak usah sama dia, Ma.”

“Tapi dia cantik.”

“Tapi nggak Aisha juga, Ma.”

“Dia pembantu, tapi berpendidikan kok.”

Sementara Devan melirik ke arah papanya ketika mamanya terus berusaha meyakinkan kalau Devan bersama dengan Aisha. “Aku cari sendiri nanti, Ma. Jangan Aisha.”

“Kenapa sih? Kan dia cantik, pintar, dia juga baik. Dari kecil udah sama kita.”

“Bukan soal itu, Ma. Tapi Aisha punya tanggung jawab ke Hendra sama Bu Nita.”

Tapi kalau Devan ingat kembali jika dia takut Aisha hamil soal hubungan mereka. Membuat pikirannya menjadi kalut untuk sekarang.

Aisha itu tidak boleh hamil, karena Devan memikirkan masa depannya juga. Tidak mungkin ada anak yang menghalangi masa depannya.

Aisha masuk membawakan minuman untuk mereka, padahal yang diminta bukan Aisha. “Aisha.” Panggil mamanya Devan.

“Ibu kapan pulang?”

“Udah beberapa hari, tadi sempat ke rumah. Tapi sepi banget.”

“Hehehe iya, sekarang Aisha di sini. Kerja sama Mas Devan.”

“Berapa lama di sini?”

“Ada sebulan deh kayaknya. Tapi nanti mau pulang dulu, soalnya Ibu pulang dari rumah sakit.”

Mamanya Devan mengangguk. “Ya udah, jangan keluar dari rumah itu, ya. Nggak ada yang bisa Ibu percaya selain kamu. Nanti kita ke rumah sakit bareng. Biar bisa jemput Ibu kamu sekalian.”

Aisha menganggukkan kepalanya. Kemudian melirik pada Devan. “Nanti balik lagi ke rumah?”

“Balik, Mas. Mau antar Ibu sama Hendra ke rumah baru. Pindahan juga nanti diurus sama Hendra.”

Devan mengiyakan, padahal dia tidak mau sendirian di rumah. Takut kesepian karena sudah terbiasa tinggal berdua dengan Aisha.

Malam harinya terdengar suara pintu dibuka. Devan menolehkan kepala ketika melihat Aisha pulang membawa kantong plastik belanjaan. Tadi sempat mengantarkan ibunya Aisha pulang juga. Tapi karena dia butuh waktu dengan keluarganya. Jadi harus tetap ada di sana, Devan beserta keluarga memilih pulang lebih awal.

“Sudah makan?”

“Sudah, Mas.” Aisha menghampiri dan meletakkan kantong belanjanya di atas meja. “Mas sudah makan?”

“Sudah, tadi beli.” Devan melihat kantong plastik itu yang terdapat minuman. “Kamu beli apa?”

“Pelancar datang bulan, Mas. Aku datang bulan.”

Devan melirik dan menghela napasnya baru tadi siang dia bahas tentang itu pada diri sendiri tentang kehamilannya Aisha tidak terjadi.

“Kamu datang bulan?”

“Ya, udah dua hari. Tapi ini yang sakit.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status