Jangan suka cemberutJangan suka khawatirItu suara kentutBukan suara petir
Jalan-jalan ke sama pelaut
Bawa agar-agar dibalur susu
Wahai Sagara kenapa cemberut
Kalau sedih hati lihatlah aku
Saga mengekeh geli mendengar pantun asal Omen, tak ada angin tak ada hujan, anak itu tiba-tiba muncul di samping Sagara yang tengah termenung seorang diri di belakang rumahnya.
“Kenapa sih Ga, cemberut mulu, senyum ngapa senyum,” tukas Omen bermaksud menghibur.
Tanpa perlu dijelaskan sebenarnya Omen sudah tahu apa alasan Sagara murung begini. Pagi tadi Saga kembali dipermalukan oleh teman-teman sekelasnya, perkara dia yang tidak bisa mengikuti kelas olahraga dengan maksimal. Saat tes renang gaya kupu-kupu, orang lain meluncur dengan indah sementara dia hanya stuck di tempat dan bergerak rusuh seperti ikan kehabisan air. Menjadi bahan t
“Mang Basir sudah lama menetap di Kentamani?” tanya Gara yang duduk tepat di samping pak kusir yang tengah berkuda. Sementara Kumbara dan Larasati duduk di kursi belakang bersama barang bawaan mereka.“Oh saya mah dari lahir di sini, Den. Warga asli.”“Berati Mang Basir tahu dong seluk beluk Kentamani ini.”“Ya jelas, Den, makanya mamang nawarin buat nganterin kalian ke perbatasan Kentamani-Purwodadu juga. Mang Basir tahu jalan tercepat menuju sana supaya aden dan teman-teman tidak kemalaman. Kentamani saat malam hari sangat tidak ramah untuk dijelajahi,” tutur mang Basir diselingi kekehan renyah namun mengingatkan ketiga orang itu pada tragedi awal mereka menginjakkan kaki di kerajaan Kentamani.“Ah, mamang bikin saya inget kenangan kelam. Lembah sawer horor banget Mang, sumpah. Itu isinya demit semua, ya?” timpal Kumbara.“Bisa dibilang begitu, Den. Sebenarnya dulu Lembah Sawer tidak semenyeramkan itu, namun setelah banyak oknum yang bersekutu dengan iblis untuk mendapat keuntungan
Seorang prajurit berjalan tergesa melewati koridor kerajaan. Seorang penjaga mengabarkan kedatangannya pada sang ketua yang kini tengah menghuni sebuah ruangan yang dulu dihuni raja Majapati.“Panglima Arash memohon izin menghadap Yang Mulia,” pekik penjaga pintu itu, menyebut ketua mereka dengan sebutan “Yang Mulia” seakan orang itu benar-benar sudah resmi menyandang gelar tersebut.Setelah diperintahkan masuk, kemudian panglima Arash masuk ruangan tersebut. Membungkuk penuh hormat, kemudian dipersilakan duduk oleh sang ketua.“Bagaimana perkembangannya?” tanya sang ketua to the point, seperti sudah tahu hal apa yang akan diinformasikan oleh panglima Arash.“Saya sudah mengerahkan seluruh prajurit melakukan pencarian di hutan Ciwasari selama empat belas hari. Kami susuri semua pelosok hutan bahkan sampai ke gua-gua yang jarang dijamah manusia, namun tidak ditemukan tanda-tanda keberadaan raja Majapati, Tuan.”“Kesimpulannya kau dan pasukanmu gagal lagi?”Panglima Arash kembali tertun
Selepas menemui tuannya, panglima Arash meninggalkan area istana dan berkunjung ke markasnya. Ia meluapkan emosi dengan memanah, puluhan anak panah melesat kencang menembus sasaran yang jauh di depan sana. Tidak ada yang melenceng, semuanya menancap tepat di area merah. Kemampuannya dalam hal ini memang tidak perlu diragukan. Dia sangat mumpuni dalam bertarung, memanah, berkuda, dan merakit senjata tajam. Wajar jika kini dia menyandang gelar sebagai panglima perang yang paling disegani di fraksi barat. Fraksi yang menjadi dalang dari carut marutnya pemerintahan di kerajaan Ambarwangi dan yang telah mencelakai raja Majapati.Saat panglima Arash fokus meluapkan emosi, kedatangan seorang prajurit menghentikan kegiatan itu. Panglima Arash seperti sudah tahu maksud dan tujuan prajurit itu. Ya, memang sebelumnya dirinya yang meminta bawahannya itu untuk menyelidiki sesuatu. Panglima Arash menyimpan peralatan memanahnya, turun dari podium panah dan mengajak bawahannya itu untuk mengobrol di
Halo, semuanya selamat datang di kisah terbaruku. Kali ini aku membawa genre yang sedikit berbeda. Semoga kalian suka ya, jangan lupa kasih bintang 5 dan masukkan ke library kalian, oke? Yuk, langsung aja, enjoyyy ...***Hujan turun sangat deras mengaburkan pandangan Saga yang harus berlari secepat mungkin—menjauhi para pengejarnya. Ada sekitar lima pemuda yang memburu Saga, masing-masing dari mereka membawa senjata tajam, ada pula yang memegang kayu berpaku di tangan. Jika kayu itu dipukulkan pada kepala seseorang, sudah pasti ujung paku itu akan menancap dalam bahkan bisa membuat kepala seseorang bocor.“Woi, berhenti!”Suara orang-orang itu semakin dekat di telinga Saga, ia tidak boleh tertangkap. Bagaimana pun Saga harus selamat, tidak boleh mati sia-sia di tangan para bajingan berdarah dingin itu. Saga mempercepat larinya—tidak peduli jika saat ini jantungnya nyaris meledak karena kelelahan. Pemuda berusia 17 tahun itu memega
Kepulangan Sagara disambut bahagia oleh kedua orang tuanya, mereka sujud syukur—berterima kasih pada Yang Maha Melindungi karena telah menjaga dan menyelamatkan putra mereka dari segala mala bahaya yang mengancamnya di luar sana. Wira berniat memberikan hadiah berupa uang tunai pada Mang Asep—tetangganya namun mang Asep menolak karena katanya ia ikhlas membantu Sagara. Justru mang Asep ikut senang sudah berhasil menemukan Sagara yang digosipkan sudah tak bernyawa. Berita simpang siur yang beredar selama ini tentang anak itu akhirnya berhasil dipatahkan.Berbanding terbalik dengan euforia keluarga Wira, Sagara yang merasa tak mengenali kedua orang tuanya sama sekali malah semakin bingung dengan keadaan yang menimpanya. Dunia yang dihuninya sekarang benar-benar baru, walau pemuda ini belum tahu dari mana ia berasal tetapi hati kecilnya yakin bahwa tempat itu memang bukan tempatnya. Orang tua yang sekarang sedang mengapingnya duduk di kursi bukan orang tuanya. Sagara
Membimbing Sagara beradaptasi dengan tatanan kehidupan di bumi menjadi PR tersendiri bagi Omen dan Tyana. Selama satu minggu penuh mereka rutin mengunjungi kawannya itu sepulang sekolah, untuk mengajarkan berbagai hal yang tidak Sagara ketahui atau tepatnya hal yang lelaki itu lupakan. Tugas ini tidak semudah bayangan mereka karena memori yang terhapus dari kepala Sagara benar-benar parah. Sungguh mengkhawatirkan. Ia sampai kehilangan kemampuan membaca dan menulis, hal itu yang tidak bisa Omen dan Tyana terima dengan nalar sehat mereka.Kedua sahabat itu bahkan sampai googling pertanyaan apakah benar pengidap amnesia bisa kehilangan kemampuan akademis dasar mereka seperti halnya menulis, membaca, dan berhitung. Usai mencari informasi ternyata mereka mendapatkan jawaban dari seorang dokter bernama Talitha Najmillah Sabtiari di situs Alodokter, yang menjelaskan bahwa ingatan pada manusia itu dibedakan menjadi dua di antaranya ada ingatan eksplisit dan ingatan implisit.
Sekeras apa pun Tyana dan Omen berpikir, mereka sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran Sagara. Ada apa dengan anak itu, mengapa semua perubahan yang terjadi padanya benar-benar di luar nalar? Sebelum hilang ingatan, Sagara mana berani melawan bahkan menantang Badar. Ditatap dari jauh saja Sagara sudah ciut dan menunduk dalam, lantas kenapa tiba-tiba di jadi seperti ini? “Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus melapor pada ayahku supaya si Badar enggak macam-macam sama kamu nanti, Ga.” “Tidak usah Tya, aku akan baik-baik saja.” “Jangan gila kamu, Saga! Kamu teh lupa ya kalau si Badar orangnya sangat gendeng? Dia bisa membahayakan nyawa kamu kalau kamu menyanggupi untuk bertarung sama dia sepulang sekolah nanti.” “Orang sepertinya memang harus dilawan, jika terus dibiarkan maka dia akan semakin bertindak semena-mena. Menganggap dirinya paling hebat dan merajakan dirinya sendiri, bukankah kamu sendiri sering menjadi korbannya Men?”
Sagara membuka matanya, mendapati dirinya mengambang di tengah udara. Dia terbelalak, sangat terkejut dengan situasi aneh yang dialaminya saat ini.“D-di mana ini?” tanya Sagara dengan bingung.“Mimpi?” batinnya lagi.Sagara menjatuhkan pandangannya ke bawah, lautan luas terbentang di sana. Terlihat sebuah kapal mewah dengan sejumlah orang berdiri di sana, pemandangan yang begitu familier untuk Sagara.“Serang mereka!”Kerumunan orang dari dua sisi kapal bertemu di tengah, saling beradu pedang dan ada pula yang meluncurkan busur panah. Satu persatu orang-orang itu berjatuhan, terbunuh mengenaskan di tangan lawan. Arah pandang Sagara mengikuti pelarian sosok yang paling mencolok di matanya. Pria itu memegangi dada atas bagian kanan yang mengeluarkan banyak darah, dia berdiri di ujung kapal sambil menatap tajam lawannya. Tidak ada celah untuk menghindar apalagi melarikan diri.“Kau harus mati!” u