Share

3. Kita bukan pacar

"Kalian pulangnya hati-hati, kabarin aku kalo udah sampai rumah." Ucap Shafa sebelum keluar dari mobil.

"Bersih-bersih terus istirahat, ya?" Shafa tersenyum mengangguk kemudian mencium sekilas pipi Reno setelah itu keluar dari mobil.

Reno termenung mendapatkan ciuman mendadak dari Shafa. Aneh, kenapa Reno sama sekali tidak merasakan perasaan deg-deg an atau senang.

"Bekas lipstiknya nempel tuh." Ucapan Acha berhasil membuat Reno tersadar dan menoleh kearah Acha yang menatapnya datar.

Reno segera melihat kearah kaca tapi ternyata Acha hanya membohonginya. Tanpa berbicara lagi Reno langsung menjalankan mobilnya untuk segera pulang karna sekarang sudah cukup larut dan Acha pun sudah terlihat sangat lelah.

Jalanan kota yang cukup sepi membuat Reno dengan cepat mengemudikan mobilnya untuk sampai dirumah, lebih tepatnya rumah Acha.

Setelah memarkirkan mobilnya Reno segera turun, sedangkan Acha? Cewek itu sudah kebiasaan ketiduran dimobil membuat Reno mau tidak mau harus menggendongnya.

Kadang Reno sangat aneh pada Acha, walaupun hobi nya makan tapi badannya tidak pernah mau gemuk. Sudah tidak terhitung dirinya menggendong Acha tapi rasanya tidak pernah berubah proporsi badannya, hanya di area tertentu saja mungkin yang berubah.

Reno mendorong pintu menggunakan kaki nya untuk masuk kedalam kamar Acha. Dibaringkannya dengan perlahan badan kecil itu lalu diselimutinya.

Reno menatap sejenak wajah damai itu lalu tersenyum tanpa dirinya sadari. "Lo emang lucu kalo tidur gini." Gumam nya mengelus halus pelipis Acha.

Dikecupnya dengan singkat kening Acha lalu keluar dari kamar itu, hari ini cukup melelahkan bagi Reno dimana dirinya harus membagi waktu antara pekerjaan, Acha dan juga Shafa.

Reno keluar dari rumah Acha lalu berjalan menyeberangi jalanan untuk kerumah nya, mobilnya dibiarkan terparkir didepan rumah Acha karna rumah Reno memang hanya berseberangan saja.

Dirumahnya Reno langsung ke kamar mandi untuk bersih-bersih lalu pergi ketempat tidurnya mengistirahatkan badannya. Reno tidak langsung tidur, dirinya termenung memikirkan sesuatu yang selalu mengganjal di otaknya.

"Shafa emang cantik, baik dan juga pengertian. Tapi kenapa gue gak pernah ngerasain perasaan apapun kalo sama dia?"

Reno berbaring dengan kedua tangan yang dilipat kebelakang lehernya. Pandangannya menoleh kearah nakas dimana terdapat satu bingkai poto dirinya dan juga Acha dua tahun yang lalu.

Dua tahun yang lalu dimana dirinya yang baru mulai magang di salah satu rumah sakit dan Acha yang baru kelas 2 SMA. Reno tersenyum mengingat kala masa itu, masa-masa dimana Acha yang selalu merengek kepadanya untuk ikut dirinya magang.

"Sekarang lo mana mau gue ajak kerumah sakit." Gumam Reno terkekeh pelan mengingat Acha yang paling anti rumah sakit sekarang.

Tanpa Reno sadari yang dipikirkannya sekarang bukan lah pacarnya melainkan Acha sahabat malas nya.

*****

Seperti biasa jika pagi-pagi Reno tidak pernah absen untuk berkunjung kerumah Acha sebelum pergi ke rumah sakit. Reno yang sudah terbiasa bangun pagi, selalu datang membawa sarapan untuk Acha yang pasti nya masih pulas tidur.

Hari ini Reno membawakan sarapan nasi goreng buatannya, dibawanya sepiring nasi goreng itu ke kamar Acha karna Reno tau jika cewek itu tidak akan sudi keluar kamar selain ada bencana alam dan kehabisan mochi-mochi nya.

Terkadang Reno sampai tidak habis pikir dengan Acha saking malasnya dia bahkan pernah minta untuk dibawakan kursi roda rumah sakit, saat Reno tanya untuk apa jawaban nya. "Biar gak cape jalan." Benar-benar diluar akal sehat Reno.

Untung saja sampai saat ini Reno masih memiliki kewarasan untuk mengurus dan meladeni Acha.

Entah akan sampai kapan Acha seperti ini, tidak memikirkan masa depan bahkan kepikiran pun tidak sepertinya.

Reno menghela nafasnya berat, tidak terasa sebentar lagi jam tujuh lebih baik Reno segera pergi karna dirinya juga harus mengantarkan Shafa bekerja terlebih dahulu.

Beberapa jam berlalu setelah kepergian Reno dari kamar itu, Acha mulai melenguh dari tidurnya perutnya berbunyi minta diisi membuat tidurnya pun tidak tenang.

Manik layu itu mengerjab tanpa gairah menatap lelangitan kamarnya, perlahan tapi pasti badannya bangun dan bersandar pada kepala ranjang.

Melihat sepiring nasi goreng dikamarnya Acha sudah tau siapa pelukannya, dengan rasa malas dan ngantuk Acha memakan nasi goreng yang sudah dingin itu dengan mata yang setengah tertutup.

Setelah menghabiskan nasi goreng dan minum badan Acha kembali merosot ke kasur, sayup-sayup matanya kembali tertutup jika saja suara deringan telpon tidak mengganggunya.

"Ya Tuhan."

Acha mendumel karna terganggu.

Diambilnya handphone yang berdering itu lalu menjawabnya sembarangan.

"Cari siapa?."

"Lo."

Acha menaikan satu alisnya kala mendengar suara yang tidak asing di pendengarannya. Melihat jam dinding yang baru menunjukkan pukul sepuluh siang Acha semakin bingung, tumben sekali Reno menelpon nya di jam operasional nya.

"Lo gak kerja?"

"Ada perlu, siap-siap bentar lagi gue jemput."

Tidak memberikan Acha kesempatan berbicara Reno langsung memutuskan telponnya secara sepihak membuat Acha mendecak  sebal.

Bukannya bersiap-siap Acha malah memejamkan matanya kembali. Masa bodo jika Reno datang dan mengoceh, siapa suruh tidak berbicara dengan jelas.

Baru beberapa menit memejamkan matanya Acha merasa badannya seperti melayang di udara.

"Reno." Lirih Acha saat melihat wajah tegas Reno yang sedang menggendongnya keluar dari kamar.

"Lo emang susah dikasih tau."

*****

"Ngapain kita disini?" Tanya Acha.

"Shafa hari ini ulang tahun, tadi dia marah ke gue karna gue gak inget sama ulang tahun dia." Ujar Reno melihat-lihat perhiasan yang terpajang rapih di hadapannya.

"Hubungannya sama gue?"

"Gue gak tau ukuran jari Shafa berapa, jadi pake jari lo aja."

"Tau gitu mending gue tidur."

"Udah gak usah banyak omong, nurut aja nanti gue beliin mochi sesuka lo." Mendengar tawaran itu Acha langsung tergiur.

"Pake jari gue sepuas lo." Ucap Acha dengan suka rela memberikan tangannya kedepan Reno.

"Ada yang bisa saya bantu? Mau cincin, kalung atau gelang?" Tanya salah satu pegawai disana menghampiri mereka.

"Cincin."

"Cincin nya mau di size berapa?"

Reno menarik badan Acha agar mendekat kepadanya. "Size jari lo berapa?" Bisik Reno.

"Gak tau gue kan gak pernah pakai cincin." Balas Acha

Pegawai itu tersenyum melihat tingkah Reno dan Acha. "Size untuk jari pacarnya?" Tanya pegawai itu.

Pacar?

"Saya bukan pacarnya."  Tukas Acha seraya menyikut pinggang Reno agar ikut mengklarifikasi supaya pegawai itu tidak salah paham.

"Kami cuman temen."

"Begitu, saya pikir pacar nya soalnya kalian keliatan serasi."

"Bukan."

Pegawai itu tersenyum tidak enak, kemudian menujukan beberapa cincin kepada Acha. "Silahkan dilihat, mau coba yang mana?"

"Yang ini aja." Acha asal tunjuk saja, dirinya ingin segera pulang dan mendapatkan mochi nya.

"Cocok sekali dijari manis mbak nya, mau ambil yang ini saja?" Reno melihat cincin yang melingkar dijari manis Acha lalu mengangguk setuju memang sangat indah.

Setelah merasa cocok dengan cincin pilihan Acha, Reno langsung membayarnya.

Acha hanya memperhatikan saja, setelah kenal bertahun-tahun dengan Reno baru kali ini Acha melihat Reno mau memberikan sesuatu kepada pacarnya.

Shafa sepertinya sudah berhasil menaklukan hati baja Reno.

Syukurlah kalo begitu berarti Acha tidak perlu curiga lagi kalo Reno gay.

To be continude

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status