Rangga menatap Alex dengan ekspresi serius. Ia tahu, ini bukan sekadar pekerjaan biasa. Dunia yang Alex tawarkan bukan dunia yang ia kenal, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa memiliki pilihan untuk mengubah nasibnya.
"Saya siap," katanya akhirnya. Alex mengangguk dengan puas. "Bagus. Tapi ingat satu hal, begitu kau melangkah masuk, tidak ada jalan keluar." Rangga menelan ludah, tapi ia tidak mundur. Alex menoleh ke salah satu pria berbadan besar yang berdiri di dekatnya. "Rio, dia mulai pelatihan besok. Pastikan dia mendapat latihan yang layak." Pria bernama Rio itu mengangguk. Wajahnya keras, sorot matanya tajam. "Mengerti, Bos." Rangga mengikuti Rio melewati lorong menuju sebuah ruangan luas di bagian belakang gudang. Tempat itu penuh dengan alat latihan seperti matras untuk bela diri, sasaran tembak, dan beberapa meja dengan senjata yang tertata rapi. "Mulai besok, kau akan belajar dari dasar," kata Rio. "Kami tidak butuh orang lemah di sini. Jika kau tidak bisa mengikuti pelatihan, lebih baik pergi sekarang." Rangga menatapnya dengan tajam. "Saya tidak akan mundur." Rio tersenyum tipis, tapi tidak ada kehangatan dalam senyum itu. "Kita lihat saja nanti." Keesokan harinya, pelatihan dimulai. Rio tidak main-main. Latihan pertama yang diberikan kepada Rangga adalah fisik, push-up, sit-up, lari keliling markas, dan latihan kekuatan otot yang melelahkan. Sejak pagi hingga siang, tubuh Rangga dipaksa bekerja lebih keras dari yang pernah ia lakukan sebelumnya. Setelah istirahat singkat, pelatihan bela diri dimulai. "Kau harus bisa bertarung tanpa senjata sebelum belajar menggunakan senjata," kata Rio. "Karena di dunia ini, kau tidak selalu bisa mengandalkan pistol atau pisau." Rio menunjuk seorang pria yang lebih besar dari Rangga. "Lawan dia." Rangga menatap lawannya dengan waspada. Pria itu tersenyum sinis, jelas meremehkannya. "Ayo, anak desa. Tunjukkan apa yang bisa kau lakukan." Rangga memasang kuda-kuda, mengingat latihan silat yang pernah ia pelajari di desanya dulu. Lawannya langsung menyerang dengan pukulan keras ke arah wajahnya. Rangga menghindar, tapi tidak cukup cepat. Tinju pria itu menghantam bahunya, membuatnya terhuyung. "Jangan hanya menghindar! Balas!" teriak Rio. Rangga mengatur napasnya, lalu maju dengan serangan balik. Ia mengarahkan tinju ke perut lawannya, tapi pria itu menangkisnya dengan mudah. Dalam sekejap, sebuah tendangan keras menghantam kaki Rangga, membuatnya jatuh tersungkur. Rio menggeleng. "Bangun! Jika kau jatuh dalam pertarungan nyata, kau akan mati." Rangga mengepalkan tangannya dan bangkit lagi. Latihan terus berlanjut. Ia dipukul, ditendang, dan dijatuhkan berkali-kali, tetapi ia tidak menyerah. Setiap kali jatuh, ia bangkit lagi. Setiap serangan yang ia terima, ia pelajari kelemahannya. Saat matahari mulai terbenam, tubuh Rangga penuh dengan luka dan lebam. Tapi ada sesuatu di matanya bukan rasa takut, melainkan tekad. Rio menepuk bahunya. "Kau punya nyali. Tapi masih banyak yang harus kau pelajari." Rangga mengangguk. "Saya siap." Malam itu, Rangga duduk di tepi tempat tidurnya di kamar kecil yang disediakan untuk para anggota baru. Tangannya bergetar, tubuhnya terasa sakit di setiap inci. Ponselnya bergetar. Pesan dari Beno. Beno: Lo di mana, Ga? Udah lama nggak ada kabar. Rangga menatap layar ponselnya beberapa saat sebelum mengetik balasan. Rangga: Gue lagi sibuk. Nanti gue kabarin. Beno tidak langsung membalas. Rangga tahu, temannya pasti curiga. Tapi ia juga tahu, tidak ada cara mudah untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi. Ia mematikan layar ponselnya dan merebahkan diri di tempat tidur. Hari ini hanyalah awal. Ia belum tahu ke mana jalan ini akan membawanya, tapi satu hal yang pasti tidak ada jalan untuk kembali. Hari-hari berlalu, dan tubuh Rangga mulai terbiasa dengan pelatihan brutal di markas Singa Emas. Ia belajar bertarung tanpa senjata, menggunakan pisau, dan mulai diperkenalkan dengan berbagai jenis senjata api. Rio tidak pernah bersikap lembut. Setiap kesalahan yang Rangga buat selalu dihukum dengan pukulan atau latihan tambahan. Namun, semakin lama, Rangga semakin kuat. Ia belajar membaca gerakan lawan, menyerang dengan cepat, dan bertahan tanpa menunjukkan rasa sakit. Suatu sore, setelah latihan menembak, Alex datang ke tempat latihan dan mengamati Rangga dari jauh. Setelah beberapa saat, ia mendekat. "Bagaimana perkembangannya?" tanyanya pada Rio. Rio menyeringai. "Anak ini keras kepala, tapi dia belajar cepat. Masih banyak yang harus diasah, tapi dia punya potensi." Alex menatap Rangga dengan ekspresi tajam. "Bagus. Karena aku punya ujian pertama untuknya." Rangga menegakkan tubuhnya, menatap Alex dengan waspada. "Malam ini, kau ikut dalam operasi pertama. Kita akan lihat apakah kau cukup layak untuk menjadi bagian dari Singa Emas." Malam itu, Rangga naik ke dalam mobil hitam bersama Rio dan dua pria lainnya. Mereka melaju ke sebuah gudang tua di pinggiran kota tempat transaksi narkoba yang harus mereka amankan. "Dengar, ini hanya pengamanan," kata Rio. "Jangan bertindak gegabah. Dengarkan perintah." Rangga mengangguk. Jantungnya berdegup cepat, tapi ia berusaha tetap tenang. Saat mereka tiba, beberapa pria lain sudah ada di sana. Salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh gemuk dengan kepala botak, menghampiri Rio. "Kalian tepat waktu," katanya dengan suara berat. "Barang sudah siap. Klien akan tiba dalam lima menit." Rio memberi isyarat pada Rangga untuk tetap di belakang. Rangga mengamati sekitar. Gudang ini gelap dan bau oli. Beberapa pria bersenjata berjaga di pintu masuk, memastikan tidak ada yang masuk tanpa izin. Tak lama kemudian, sebuah mobil lain tiba. Empat pria turun, salah satunya membawa koper besar. Mereka berjalan mendekat dengan penuh kewaspadaan. Rio melangkah maju, berbicara dengan salah satu pria dari kelompok itu. Rangga tidak bisa mendengar isi pembicaraan mereka, tapi ia tahu ini adalah momen penting. Namun, sebelum transaksi selesai, terdengar suara tembakan dari kejauhan. DOR! Semua orang langsung siaga. Rangga merasakan jantungnya berdebar kencang. Dari bayangan di luar gudang, beberapa orang muncul dengan senjata terangkat. "Polisi! Angkat tangan!" Rio mengumpat pelan. "Sial, ini jebakan!" Tanpa berpikir panjang, semua orang langsung mencari perlindungan. Baku tembak pun terjadi. Rangga menekan punggungnya ke dinding, mencoba mencerna situasi. Ini adalah pertama kalinya ia terjebak dalam tembak-menembak nyata. "Rangga! Ikuti aku!" teriak Rio. Rangga segera berlari mengikuti Rio ke bagian belakang gudang. Mereka harus keluar sebelum semuanya berantakan. Namun, sebelum mereka sempat mencapai pintu belakang, seorang polisi muncul dari balik tumpukan peti. "Berhenti!" Tanpa pikir panjang, Rio menarik pistolnya dan menembak. DOR! Polisi itu jatuh ke tanah. Rangga membeku sejenak. Itu pertama kalinya ia melihat seseorang tertembak tepat di depan matanya. Tapi Rio tidak memberi waktu untuk berpikir. "Ayo! Jangan bengong!" Dengan tubuh gemetar, Rangga kembali berlari. Mereka berhasil keluar dari gudang dan melompat ke dalam mobil yang sudah menunggu. Saat mobil melaju meninggalkan lokasi, Rangga menatap tangannya yang bergetar. Ia baru saja selamat dari baku tembak pertamanya. Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa bahwa dirinya telah menjadi bagian dari dunia yang gelap ini. Mobil melaju kencang meninggalkan gudang, tetapi di dalamnya, Rangga masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Napasnya masih berat, tangannya masih sedikit bergetar. Ia menoleh ke Rio, yang wajahnya tetap tenang seolah tidak terjadi apa-apa. "Tadi… polisi itu… apakah dia mati?" Rangga bertanya pelan. Rio tidak langsung menjawab. Ia hanya menyeringai tipis sambil menatap ke luar jendela. "Kau masih terlalu polos, anak desa." Mobil berhenti di sebuah bangunan tua di pinggiran kota. Rio keluar lebih dulu, diikuti Rangga dan dua pria lainnya. Saat mereka masuk, Rangga langsung menyadari bahwa tempat ini bukan markas utama Singa Emas. Ini lebih mirip tempat persembunyian sementara. Di dalam, beberapa orang sudah menunggu. Salah satunya adalah Alex. "Kalian berhasil kabur?" Alex bertanya, suaranya terdengar santai. "Ya, meski anak ini masih agak kaku," jawab Rio, menepuk bahu Rangga. Alex mengangguk pelan, lalu menyalakan rokoknya. "Bagus… tapi aku ingin tahu satu hal." Mendadak, beberapa pria bersenjata masuk ke dalam ruangan. Mereka mengarahkan senjata ke arah Rio dan dua pria lainnya. "Apa-apaan ini?" Rio langsung waspada. Rangga terkejut. "Pak Alex, apa yang terjadi?" Alex tersenyum dingin. "Rio… kau telah mengkhianatiku." Wajah Rio langsung tegang. "Aku? Omong kosong apa ini?" "Bukti sudah cukup. Aku tidak butuh pengkhianat dalam timku," Alex berkata dengan nada santai, lalu melirik ke salah satu pria bersenjata. "Bunuh dia." Salah satu pria mengangkat pistolnya, mengarahkannya ke kepala Rio. Rangga merasakan dadanya berdebar kencang. Ia mungkin belum lama mengenal Rio, tetapi selama ini, Rio lah yang melatihnya, membentuknya, dan mengajarinya bertahan di dunia ini. Tanpa sadar, tubuhnya bergerak. "Jangan!" teriak Rangga sambil menerjang pria yang menodongkan pistol ke Rio. Terdengar suara benturan keras saat tubuh mereka jatuh ke lantai. Pistol terlempar dari tangan pria itu. Rio memanfaatkan situasi itu untuk bertindak. Dengan cepat, ia menyerang pria di sebelahnya, merebut pistolnya, dan bersiap menembak. Namun, sebelum ada tembakan, terdengar suara tepuk tangan. "Cukup." Semua orang membeku. Alex berdiri dengan ekspresi santai, lalu tertawa kecil. "Bagus… bagus sekali," katanya sambil menghisap rokoknya. "Kau lulus, Rangga." Rangga mengernyit. "Apa maksudnya?" Rio, yang tadi tampak terdesak, kini hanya tersenyum sambil menurunkan pistolnya. "Selamat, bocah. Kau baru saja melewati ujian pertamamu." Rangga masih bingung. "Ujian?" Alex mengangguk. "Semua ini hanyalah skenario yang sudah kami rancang. 'Polisi' yang menyerang tadi adalah orang-orangku sendiri. Senjata yang digunakan dalam baku tembak itu menggunakan peluru kosong. Bahkan, pistol yang hampir menembak Rio tadi juga tidak berisi peluru." Rangga terdiam, mencoba mencerna semuanya. "Aku ingin melihat reaksimu saat berada dalam situasi hidup dan mati," lanjut Alex. "Aku ingin tahu apakah kau akan lari, tetap diam, atau bertindak. Dan kau memilih bertindak." Rangga menghela napas panjang. Jadi, semua yang ia alami sejak di gudang hanyalah ujian. Alex melangkah mendekat dan menatapnya tajam. "Dunia ini bukan tempat bagi mereka yang ragu-ragu. Jika kau ingin bertahan, kau harus berani mengambil keputusan dengan cepat." Rangga mengangguk pelan. Sekarang ia mengerti. Alex menyeringai. "Selamat datang di Singa Emas.. anggota baru."Rangga menutup teleponnya, wajahnya langsung berubah serius. "Ada apa?" tanya Tasya, melihat perubahan ekspresi Rangga. Rangga berdiri dari kursinya, mengencangkan jaketnya dan menatap Tasya dengan dingin. "Aku harus kembali ke kota. Ini perintah langsung dari ayahmu." Tasya terdiam. "Lalu, bagaimana denganku?" "Kau tetap di sini. Aku sudah mengatur pengawalanmu. Tidak akan ada yang bisa menyentuhmu." Tasya mendengus, menatapnya dengan ekspresi tidak senang. "Jadi, kau pergi begitu saja? Tanpa penjelasan?" Rangga menghela napas. Ia tidak bisa menjelaskan lebih jauh, terutama tentang urusan bisnis kotor yang melibatkan ayah Tasya. "Ini urusan penting, Tasya." "Semuanya selalu penting bagimu, kecuali aku." Kata-kata Tasya membuat Rangga terdiam sesaat. Namun, ia tidak bisa terjebak dalam emosi ini. "Aku akan kembali setelah urusanku selesai," kata Rangga akhirnya. "Percayalah, kau tetap aman." Tanpa menunggu jawaban Tasya, Rangga berbalik dan melangkah pergi. Di dalam hati
Di sebuah rumah mewah di pinggiran kota, Beno duduk di sebuah ruangan ber-AC dengan aroma kopi yang masih mengepul. Di hadapannya, seorang pria berjas putih dengan tato burung gagak di lehernya menatap tajam. Pria itu adalah Bayu, pemimpin Geng Gagak Putih. Bayu melemparkan sebuah amplop tebal ke atas meja. "Kerja bagus, Beno. Klien kita puas." Beno mengambil amplop itu dengan tenang, tapi pikirannya masih waspada. Geng Gagak Putih berbeda dari geng lain. Mereka tidak memiliki banyak anggota, tapi uang mereka mengalir deras. Tidak seperti Singa Emas yang fokus pada perdagangan senjata dan bisnis ilegal lainnya, Gagak Putih adalah otak di balik peredaran narkoba kelas atas. Bayu mengisap cerutunya sebelum berkata, "Ada sesuatu yang ingin kubahas denganmu." Beno menaikkan alisnya. "Apa itu?" Bayu bersandar ke kursinya. "Kau masih sering berhubungan dengan Rangga, bukan?" Beno tersentak, tapi ia segera menyembunyikan ekspresi terkejutnya. "Tentu, dia teman lamaku." Bayu menye
Setelah beberapa menit berjalan menjauh dari desa, Rangga membawa Tasya ke sebuah warung kecil di pinggir jalan. Ia memastikan tidak ada yang mengikuti mereka sebelum akhirnya berhenti dan menatap Tasya serius. "Apa yang sebenarnya terjadi, Rangga?" Tasya bertanya dengan kesal. Rangga menarik napas dalam. "Ada seseorang yang mengawasi kita. Aku tidak bisa membiarkanmu dalam bahaya." Tasya mengernyit. "Mengawasi kita? Tapi ini hanya penelitian biasa!" Rangga tidak menjawab. Naluri pengawalnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Tiba-tiba, suara dering ponsel berbunyi. Nomor tidak dikenal. Rangga segera mengangkatnya. "Rangga," suara berat di seberang terdengar. "Siapa ini?" "Aku Anton. Aku orang kepercayaan Tuan Alex yang ditugaskan mengawasi kalian di Bali." Mata Rangga menyipit. "Kenapa aku tidak diberitahu sebelumnya?" "Karena ini perintah langsung dari Tuan Alex," jawab Anton tenang. "Kau mungkin pengawal pribadi Tasya, tapi aku harus memastikan bahwa kau tidak mel
Pagi itu, Rangga baru saja selesai berolahraga di halaman belakang rumah Alex ketika Tasya tiba-tiba menghampirinya. "Rangga, aku ada sesuatu yang ingin kubicarakan," ujar Tasya sambil menyilangkan tangannya di dada. Rangga menghentikan gerakannya, mengusap keringat di lehernya dengan handuk kecil. "Apa itu, Nona?" Tasya mengerucutkan bibirnya, tampak tidak suka dipanggil begitu. "Jangan panggil aku Nona, itu terdengar kaku. Panggil saja Tasya." Rangga sedikit tersenyum. "Baiklah, Tasya. Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" Tasya menarik napas dalam. "Tugas studiku." "Tugas studi?" "Ya. Untuk mata kuliahku, aku harus melakukan penelitian budaya langsung. Dan kali ini aku mendapat tugas ke Bali untuk mengamati keberagaman budaya di sana." Rangga mengangkat alis. "Bali?" Tasya mengangguk. "Ya. Dan ayah sudah menunjukmu sebagai pendampingku selama di sana." Rangga terdiam sejenak. Ia tidak menyangka Alex akan mempercayakan tugas sebesar ini kepadanya. "Jadi... aku harus ikut d
Di sudut lain kota, Beno duduk santai di sebuah rumah sederhana yang tampak kumuh. Matanya tajam, tak lagi terlihat seperti mahasiswa ceroboh dan periang seperti yang Rangga kenal. Di hadapannya, tiga pria dengan tatapan penuh hormat menunggu instruksi. Salah satu dari mereka menyerahkan sebuah tas hitam kepada Beno. “Semua barangnya sudah siap, Bos.” Beno membuka tas itu, mengecek bungkusan-bungkusan plastik kecil berisi serbuk putih. Ia menyentuhnya sedikit, lalu mengangguk puas. “Bagus.” Ia menutup tas itu dan menyerahkannya kepada pria di sampingnya. “Sebarkan sesuai rencana. Jangan tinggalkan jejak.” Pria itu mengangguk cepat. “Siap, Bos.” Beno menghela napas, lalu bersandar di kursinya. Siapa sangka, mahasiswa yang selama ini dianggap culun itu justru menjadi bagian dari jaringan peredaran narkoba di kota ini? Seorang pria lain, yang tampaknya lebih senior, mendekat dan berbicara dengan suara pelan. “Bagaimana dengan Rangga? Apa dia masih mencurigai sesuatu?” Beno menye
Sebuah mobil mewah meluncur memasuki halaman luas rumah Tuan Alex. Malam itu, suasana terasa lebih hidup dari biasanya. Para penjaga berdiri lebih waspada, sementara Sari tampak sibuk mengatur sesuatu di dalam rumah. Di teras, Alex berdiri dengan kedua tangan di belakang punggungnya, menunggu dengan ekspresi datar seperti biasa. Namun, jika diperhatikan lebih saksama, ada sedikit perubahan dalam sorot matanya. Rangga, yang baru saja kembali dari tugas bersama Rio, berdiri tak jauh dari sana. Ia melihat bagaimana pria itu, yang biasanya dingin dan tanpa ekspresi, kini tampak sedikit lebih… manusiawi. Pintu mobil terbuka, dan seorang wanita muda melangkah keluar dengan anggun. Tasya, putri semata wayang Alex dan Sari, akhirnya pulang setelah sekian lama berkuliah di luar negeri. Rambut panjangnya tergerai, matanya tajam seperti ayahnya, tetapi ada kelembutan di sana, warisan dari ibunya. Ia mengenakan setelan kasual yang tetap terlihat berkelas, dengan tas selempang kecil menggantun
Di sudut sebuah kampung di tengah kota, suasana malam terasa tenang. Lampu-lampu jalanan redup, hanya menyisakan remang-remang di gang sempit yang dipenuhi tembok dengan coretan liar. Seorang pria berjaket hitam, dengan topi menutupi sebagian wajahnya, berdiri di sudut gang. Tangannya bermain-main dengan sebuah bungkus kecil berisi bubuk putih. Dari kejauhan, seorang pemuda berkacamata dengan jaket hoodie mendekat dengan langkah santai. "Kau tepat waktu," suara pria berjaket hitam terdengar dalam nada rendah. Pemuda berkacamata itu menyeringai. "Kau pikir aku mahasiswa yang suka telat?" Pria itu terdiam, lalu menyerahkan bungkusan kecil. "Barangnya murni, tidak ada campuran. Seperti biasa, bayar di muka." Pemuda berkacamata itu mengeluarkan sejumlah uang tunai dari sakunya dan menyerahkannya. Setelah memastikan uangnya sesuai, pria berjaket hitam mengangguk. "Bagus. Kau selalu jadi pelanggan yang rapi." Pemuda berkacamata itu tersenyum kecil, lalu menyimpan bungkusan kecil itu
Empat bulan telah berlalu sejak Rangga pertama kali menginjakkan kaki di dunia kejahatan ini. Kini, ia bukan lagi anak desa yang kebingungan di kota besar—ia telah menjadi ketua kelompok di bawah komando Tuan Alex, berdampingan dengan Rio.Semua tugas yang diberikan kepadanya selalu diselesaikan dengan sempurna. Entah itu pengiriman senjata, transaksi narkoba, atau menyingkirkan musuh, Rangga selalu memastikan bahwa tidak ada kesalahan yang dibuat.Namun, semakin tinggi posisinya, semakin besar pula ancaman yang datang.MISI DI PERBATASAN KOTAMalam itu, Rangga dan Rio memimpin kelompoknya untuk mengamankan pengiriman senjata ke luar kota. Mereka bertemu dengan pemasok di sebuah gudang tua di pinggiran kota.Semua berjalan lancar—koper berisi uang telah diserahkan, dan peti-peti senjata mulai dipindahkan ke truk.Namun, sesuatu terasa janggal.Rio, yang berdiri di sampingnya, berbisik, "Ada yang tidak beres. Aku merasa kita diawasi."Rangga mengamati sekeliling dengan tatapan tajam. S
Pagi itu, Rangga bangun lebih awal dari biasanya. Meski tubuhnya masih terasa nyeri akibat pertarungan semalam, ia memaksakan diri untuk bangkit dan bersiap.Saat ia turun ke ruang makan, suasana rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya ada beberapa pelayan yang berlalu lalang, sementara Alex belum terlihat.Namun, Sari sudah duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tangannya. Saat melihat Rangga, ia tersenyum tipis."Bagaimana lukamu?" tanyanya."Sudah lebih baik, Bu.. maksud saya, Sari," jawab Rangga dengan sedikit canggung.Sari mengangguk dan mendorong satu piring roti panggang ke arahnya. "Makanlah. Kau akan butuh energi untuk hari ini."Rangga tak menolak. Ia duduk dan mulai makan dalam diam, merasa bahwa Sari ingin mengatakan sesuatu.Benar saja, setelah beberapa saat, wanita itu membuka suara. "Aku tidak tahu apakah aku seharusnya mengatakan ini… tapi kau mengingatkanku pada anakku."Rangga terkejut. "Anakmu?"Sari mengangguk, matanya menerawang. "Ya. Dia seumuran den