Share

Chapter 3 - Bom

Ana mengigit bibirnya, bagaimana bisa pria itu menemukannya? Ana keluar dari mobil dan menuju mobil pria itu. Ana menatap Werren dengan kening berkerut dan pria itu balas menatapnya dengan ekspresi senang dan mengejek.

“Bagaimana bisa?” tanya Ana tidak mengerti.

Werren tersenyum senang, “Mudah saja, kamu selalu melewati jalur yang pasti memiliki pejalan kaki yang cukup banyak. Sejak pertemuan terakhir kemarin aku terus memperhatikanmu dan sekarang aku berhasil. Ayo, tidak bagus jika aku menciummu di tengah banyak orang seperti ini. Aku akan memperlihatkanmu sebuah tempat yang menarik.”

“Oke, aku akan mengikutimu dari belakang.” Ucap Ana lalu berjalan ke mobilnya.

Ana memukul kemudi mobilnya jengkel, ternyata jalurnya memang mudah di tebak. Satu hal yang menjadi pekerjaan yang harus ia perbaiki agar tidak mudah diikuti oleh siapapun lagi, termasuk Werren.

Ana mengemudikan mobil dengan tenang di belakang Werren, pria itu berada tepat di depan mobilnya. Mereka meninggalkan keramaian kota menuju pinggir kota yang sedikit sepi. Ana tidak pernah ke tempat ini sebelumnya, kanan kirinya merupakan sebuah lapangan luas dan mereka semakin naik menanjak ke atas.

Ana melihat Werren berbelok, mereka memasuki pelosok hutan. Ana semakin mengerutkan keningnya dan sedikit bingung karena ia di bawa oleh seorang pria masuk ke tempat yang seperti ini.

Tidak lama kemudian, Werren memelankan kecepatan mobil dan keluar dari benda besi itu. Ana mengikutinya dan memarkir tepat di samping mobil milik Werren setelah itu ia keluar dan melangkah mengikuti pria itu.

Lima menit berjalan, Ana menemukan anak tangga yang terbuat dari batu. Ia masih ragu tetapi terus mengikuti Werren, ia menyalakan lampu flash di ponselnya dan melangkah dengna hati-hati.s

Tidak lama kemudian mereka sampai di puncak tempat itu. Ana buru-buru mematikan lampu flash di ponselnya dan terkejut melihat pemandangan di depannya. Ia menoleh kepada Werren, “Kenapa bisa ada tempat seperti ini di kota Washington? Bagaimana kamu bisa menemukannya?”

Werren tersenyum, “Aku juga di perlihatkan oleh seseorang, iseng pergi ke sini saat malam hari dan ternyata pemandangannya sangat cantik.”

Ana mengangguk, “Iya.”

Mereka sama-sama terlarut ketika menatap pemandangan kota Washington dari atas temat ini, di penuhi berbagai lampu yang membuat kota itu semakin berwarna dan juga ketika Ana mendongakkan kepala ke atas maka ia akan melihat langit penuh bintang.

Ana tersenyum miring, “Ini tempat hebat, kenapa kau memberitahukannya kepaku? You know, we are strangers.”

“Tidak, sejak kita mengetahui nama masing-masing, kita bukan lagi orang asing. Setidaknya aku tahu namamu dan begitu juga kau. Itupun kalau kau mau mengakuinya,” ucap Werren.

Ana mengangguk pelan, “Okelah.”

Mereka saling melempar senyum, setengah jam kemudian, mereka hanya berdiri di sana sembari memandangi kota. Ponsel Ana tiba-tiba berbunyi, ia mengambil sedikit jarak sebelum mengangkat panggilan suara itu.

Ana menghela napas panjang ketika panggilan itu berakhir, ia memiliki tugas baru dan akan di lakukan beberapa jam lagi. Ana harus pergi sekarang jika ingin sampai di markas sebelum timnya pergi.

“Werren, aku harus pergi.” Ucap Ana lalu mendekati pria itu. “Terimakasih telah membawaku ke tempat ini.”

Ana menarik kemeja yang di pakai Werren lalu mencium bibir pria itu singkat sebagai hadiah karena membawanya ke tempat bagus sekaligus hadiah karena menang taruhan. Ana sudah siap untuk berbalik ketika tubuhnya di tarik lalu di di balikkan dengan satu sentakan.

“Hanya itu?” tanya Werren dengan ekspresi yang tidak puas.

Ana mengangguk, “Memangnya hadiah yang kau mau bagaimana?”

Tanpa menjawab, Werren langsung mengulum bibir Ana. Pria itu menciumnya sedikit kasar dan terburu-buru membuat Ana refleks bersuara pelan karena sentuhan Werren yang tiba-tiba.

“Buka bibirmu,” desis Werren.

Ana tidak membiarkan Werren memiliki akses lebih di bibirnya, ia mengunci bibirnya rapat-rapat. Perbuatan Ana membuat Werren semakin menjadi-jadi, tangan pria itu menelusup ke dalam baju kaos Ana dan menyapukan tangannya di punggung gadis itu.

Werren terkejut ketika Ana memiliki pertahanan tubuh yang sangat tinggi, ia ingin merasakan lebih bibir Ana dan akhirnya Werren mengigit pelan bibir bawah Ana dan membuat gadis itu mengaduh dengan membuka sedikit celah bibirnya.

Itu di manfaatkan Werren untuk memperdalam ciumannya. Werren memegang tengkuk Ana dan pingggang gadis itu. Sementara, Ana mendorong dada Werren karena ini sudah terlalu jauh dari apa yang ia berikan.

“Werren…” ucap Ana serak ketika pria itu melepaskan ciumannya.

Mata Werren berkilat, “Apa, hm? Kau menginginkan apa?”

“Berhenti,” ucap Ana dengan kesadaran yang tersisa separuh, “Aku harus pergi,”

Werren tersenyum miring lalu mencium tengkuk lalu leher Ana, membuat gadis itu mendesah tertahan sembari mengucapkan nama Werren. Bibirnya masih terasa panas karena ciuman pria itu. Werren mengangkat naik kaos ana lalu membuangnya sembarang.

Semilir Angin langsung menerpa tubuh Ana membuat gadis itu kedinginan. “Shit! Tubuhmu cantik sekali.”

Werren kembali mencium Ana, kali ini tidak ada penolakan dari gadis itu. Sementara tangannya sudah meraih gundukan kenyal milik Ana yang terasa sangat pas dengan ukuran tangannya.

“Shit, aku menginginkanmu.” Ucap Werren serak.

Ana menggeleng, “Tidak bisa. Ah,”

Werren tidak membiarkan Ana berbicara ia langsung menurunkan kepalanya menuju belahan dada Ana dan membuat kissmark di sana. Satu tangannya sudah menelusup di balik bra sport Ana dan memegang putting gadis itu dan menariknya hingga punggung gadis itu melengkung.

Sementara itu, dengan satu tangan, Werren memaksa bra sport ana melorot hingga ke perut dan tampaklah belahan dada Ana dengan putting tegang tepat di depannya. Ia menatap kedua gundukan itu dengan tatapan liar dan lapar.

Ia meraup keduanya dengan kedua tangannya dan meremasnya keras. Itu membuat Ana tidak lagi dapat menahan desahannya di depan Werren, ia sudah terlihat seperti Wanita murahan tetapi ia memang sangat sensitive dengan seluruh sentuhan pria, itulah mengapa ia selalu menolak pria yang ingin menyentuhnya karena jika sudah seperti ini, ia tidak akan bisa menolak.

“Werren, please. Aku harus pergi,” ucap Ana kembali dengan suara desahan yang tidak hilang dari ucapannya.

Werren menggeleng, ia tidak mengijinkan Ana pergi. Pria itu menundukkan kepalanya dan memasukkan putting Ana di dalam mulutnya lalu menghisapnya dan mengigitnya hingga membuat tubuh Ana menggelinjang hebat.

Tidak lagi dapat menahannya, Ana memeremas rambut Werren dan menekan kepala pria itu untuk melakukan lebih. Werren tersenyum di tengah ciumannya, ia memberikan banyak kismark di dada Ana lalu kembali mencium gadis itu sangat panas.

Werren tidak tahan lagi, gadis ini sudah menerima semua sentuhannya. Pening di kepalanya akibat pekerjaan kantor langsung hilang di gantikan pening untuk memuaskan hasratnya.

Ia langsung membuka kancing celana gadis itu dan menelusupkan tangannya mencari belahan gadis itu. Ana bernapas putus-putus ketika Werren membelai kewanitaannya, tangan pria itu sangat besar dan panas. Ana menatap Werren dengan tatapan sayu. Ia tidak menyangka anak melakukan hal ini dengan pria asing yang baru ia kenal kemarin.

Ana bodoh! Seharusnya tadi kau tidak mengikuti pria itu ke sini! Maki akal sehat Ana.

“Kau sangat basah dan siap untuk ku masuki. Tetapi, sekarang biarkan aku memuaskanmu.” Ucap Werren penuh gairah.

Ana terkisap ketika Werren memasukkan dua jarinya ke dalam kewanitaannya. Ia mengigit bibirnya kuat-kuat agar tidak mendesah tetapi gagal karena pria itu mengulum payudaranya.

“Ah, Werren!”

Werren sangat puas dengan tubuh Ana yang sangat sensitive, ia bahkan tidak perlu susah payah menggoda gadis itu tetapi akibatnya ia juga semakin bergairah, kejantananya sudah sangat bengkak dan ingin di bebaskan dari celana sempit miliknya. Gerakan tangan Werren semakin cepat ketika merasa Ana akan orgasme, dan benar saja. Beberapa detik kemudian tangannya di banjiri cairan kental.

Werren menarik tangannya lalu menjilatnya tepat di depan Ana dan seketika membuat gadis itu terkejut, “Rasamu sangat lezat.”

Ana memajukan wajahnya untuk mencium Werren, ia sudah tidak memikirkan dirinya yang sudah benar-benar terbuai dengan apa yang pria itu lakukan padanya. Ketika mereka saling berciuman dengan sangat panas dan sudah saling menginginkan satu sama lain, ponsel Ana kembali bedering.

Ana melepaskan ciumannya, ia segera mengangkat panggilan itu dengan Werren yang memeluknya dari belakang sembari mencium tengkuknya dan meremas kedua payudaranya kuat-kuat.

“Werren, biarkan aku mengangkatnya.” Ucap Ana kepayahan karena semua gerakan sesual yang diberikan pria itu.

Werren mengangguk lalu menghentikan aksinya, “Silahkan.”

Ana mengangkat panggilan itu setelah mengatur napasnya, tetapi ketika lawan bicaranya mulai berbicara. Werren kembali memelintir putingnya dan mengulum teliganya.

“Oh, god!” ucap Ana refleks mendesah.

Ia mengetatkan rahang lalu mencoba fokus dengan apa yang dikatakan sesorang di ujung sambungan ponsel. “Aku tidak tau apa yang kau lakukan sekarang, tapi ku sarankan kau sampai setengah jam lagi. Karena ada barang khusus yang hanya kau yang diijinkan untuk membawanya, itu alat pemicu bom yang sudah di rencanakan, jika kau tidak datang. Ku rasa Burke akan menggantungmu atau bahkan menembak kepalamu. Jadi, cepatlah datang, pria itu sudah lelah menunggu!”

“Baiklah.” Ucap Ana lalu buru-buru mematikan ponselnya ketika merasakan Werren sudah semakin menggila.

Ana mendorong kepala Werren sekuat tenaga dan langsung membuat dadanya dingin karena lepas dari kuluman bibir Werren. Ia kembali bra sportnya dengan sangat cepat lalu mengambil baju kaosnya yang sudah dibuang Werren.

“Hei, kau mau kemana terburu-buru seperti itu?” tanya Werren bingung.

Ana menatap Werren, “Aku harus pergi, terimakasih telah menunjukkan tempat ini. Aku anggap kita tidak pernah melakukan hal ini, jadi kau bisa pulang atau mencari perempuan lain untuk memuaskan hasratmu itu. Aku harus pergi dan ku harap kita tidak pernah bertemu lagi.”

“Tapi, kenapa?”

Ucapan Werren terpotong karena Ana mencium bibirnya, mereka terlarut dalam ciuman panas itu dalam bebapa detika sebelum gadis itu kembali menarik bibirnya dan tersenyum tipis.

“Bye, aku pergi.”

Ana berbalik lalu menuruni tangga secepat yang ia bisa. Ana langsung menyalakan mobilnya dan langsung melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu. Ana hanya menurunkan kecepatan sampai ia berhasil mencapai jalan raya. Setelah itu, ia menaikkan kecepatannya agar sampai di markas.

Ana singgah untuk membeli baju dan memakai mantel panjang untuk menutupi lehernya. Ia juga menggerai rambutnya agar kissmark yang diberikan Werren tidak terlihat oleh rekan-rekannya. Ana bertekad bahwa setelah ini ia tidak akan bertemu dengan Werren, atau setidaknya sampai ia suatu saat pergi dari organisasi karena keberadaannya sendiri sangat berbahaya.

Ana sampai di markas tepat waktu, ia hanya di lihat sinis oleh beberapa orang yang tidak menyukainya tetapi di sambut baik oleh Burke. Ana mengambil alat pemicu bom,

misinya akan di jalankan beberapa jam lagi. Bom sudah di tata di beberapa tempat oleh anggota yang lain. Sekarang, ia hanya di beri tugas untuk meledakkannya sesuai rencana.

Ana kembali pergi besama rekan-rekannya setelah masing-masing memegang alat pemicu. Mereka memgang satu, jumlah totalnya ada enam pemicu dan ada enam tempat yang harus mereka ledakkan pagi nanti.

Ana tahu kenapa Burke ingin melakukan peledakan hari ini, karena isu teroris sedang mencuat di Amerika, ia ingin mengambil keuntungan dari itu dengan meledakkan bom. Jika berhasil, maka Burke akan meraup keuntungan jika nilai dollar melemah.

Ana tidak terlalu mengerti bisnis tetapi dari yang itu lah yang ia bisa simpulkan dari perkataan Burke saat rapat. Ana mengganti mobilnya sebelum pergi, kali ini ia menggunakan mobil mewah berwarna silver dengan seorang rekan yang duduk di sampingnya.

“Sherly, bisakah kau memegang ini!” ucap Ana dengan memberikan alat pemicu itu kepada rekannya yang bernama Sherly.

Sherly mengerutkan kening, “Kita punya masing-masing satu, aku tidak mau.”

Ana menggeleng, “Aku harus menyetir, aku takut tombolnya tertekan.”

Sherly memutar bola matanya lalu berdecak pelan, “Baiklah.”

Mereka melintasi pusat kota dengan kecepatan sedang, ketika melintas satu bom sudah meledak dan memekakan telinga mereka, orang-orang sudah berlarian, bom pertama meledak itu berarti kode kepada mereka untuk meledakkan tempat lain juga tepat di jam yang sudah di tentukan.

Ana menggigit bibirnya, ia melajukan mobil dengan lebih pelan karena banyaknya orang yang berhamburan. Ia melirik alat pemicu bom yang sedang di pegang rekannya, Ana tidak tahu harus melakukan apa dengan benda kecil itu.

Ia menghela napas panjang lalu terkejut saat mobil yang ia kendarai di tabrak oleh sebuah mobil lain, tabrakannya cukup keras hingga membuat keduanya terbentur di badan mobil. Ana tidak tahu apa yang terjadi tetapi, bom meledak beruntun secara bersamaan dan itu menyebabkan kepanikan yang sangat luar biasa.

Dari dalam mobil yang penyok, Ana bisa melihat orang-orang berlari dengan berhamburan, sebagian ada yang berdarah tetapi ia tidak bisa melihatnya lagi karena ia sudah mengemudikan mobil untuk pergi secepatnya dari tempat itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status