Di kamar ini Romy berusaha untuk meredam perasaan yang dulu pernah hidup di hatinya. Saat dia masih dua puluh tahun.
Desiran lembut itu seakan kembali menggoda. Romy tersenyum sendirian. Saat mengenang masa-masa itu.
Masih teringat saat semester lima. Langkah kaki yang terburu-buru. Karena Romy kesiangan. Tanpa melihat kiri kanan dia masuk ke sebuah ruang kelas. Dengan langkah santai. Tanpa permisi Romy langsung masuk dan mengambil kursi paling belakang.
"Hemmmmm ... busyeeet! Baru kali ini aku dapat dosen cantik banget," gumam Romy saat itu.
Tak pelak tanpa berkedip sedetik pun. Romy terus memperhatikan dosen itu terus menerus. Tanpa pernah menyimak apa yang dia ajarkan.
"Dosen secantik ini bisa ada di Fakultas Teknik. Ajib benar."
Namun ada hal yang aneh. Saat dia mulai tersadar Memperhatikan di sekelilingnya saat ini. Membuat Romy terhenyak.
"Apa enggak salah nih? Enggak biasanya Teknik banyak makhluk cantik. Wahhh, mending tiap ha
Amelia terlihat masih sibuk dengan masakannya. Terdengar suara pintu yang dibuka perlahan. Muncul seorang wanita muda yang berjalan lambat ke arahnya.“Mbak, maaf saya telat.”“Aku kira kamu enggak datang Nik.” Wanita yang disapa Nik itu langsung tersenyum lebar."Ada tamu?""Iya, si Romy. Keponakan Mas Faiz.""Ohhh!""Siapkan makannya di meja. Ini udah matang semua. Aku mau mandi dulu.""Iya Mbak."Sejak suami Amelia meninggal tiga tahun lalu. Dia menjadi orang yang menutup diri dari pergaulan di sekitar kampungnya. Apalagi dengan predikat yang tersandang.Dikamar ini. Romy terlihat gelisah. Matanya semakin tak bisa diajak tidur. Membuat dia bangkit, mengambil handuk. Lantas Romy menyiapkan kemeja hitam, yang dia keluarkan dari tas.Langkahny ayang terbburu-buru. Tak memperhatikan apa yang ada di hadapannya. Sampai sebuah tabrakan cukup keras. Menghantam keduanya.Bruuukkk!"
Amelia menyandarkan tubuhnya. Selama perjalanan tak banyak pembicaraan di antara mereka. Amelia beberapa kali melirik ke arah Romy. Yang fokus pada jalan."Kenapa Mbak?"Dia hanya menggeleng."Enggak apa-apa kok Rom."Amelia membuang jauh pandangannya ke luar jendela. Tampak dia hanyut dalam lamunan. Terbayang saat mengenal pertama kali Romy Pradipta. Pikirannya terbang jauh sembilan tahun yang lalu.Di saat Amelia Pratiwi masih menjadi staf pengajar di sebuah Universitas Swasta di Semarang. Dia pernah merasakan usia rawan bagi seorang wanita. Tiga puluh tahun. Sedangkan kedua orang tua seolah tidak mau tahu. Terus menuntut untuk segera menikah."Emang menikah semudah yang mereka bilang?" bisik Amelia. Mencoba berdamai dengan hatinya.“Jangan karier yang terus kamu kejar Mel, laki-laki gak bakal berani dekati kamu biarpun kamu cantik!” Kalimat itu selalu terngiang di telinga.Hingga aroma par
"Kamu ingin merebut hati Dita?"Kali ini Amelia bertanya serius."Apa ada yang salah Mbak?""Enggak sih. Kamu kan kakaknya.""Tapi dia terbiasa panggil Om. Iya kan?"Amelia hanya mengangguk. Dia terus mengikuti langkah Romy yang menuju sebuah rak. Tempat boneka hello Kity dengan ukuran sebesar manusia dewasa."Kamu mau belikan Dita ini?""Iya. Apa dia enggak suka?""Bu-bukan itu, tapi buat apa?""Sesekali lah Mbak. Aku belum bawain dia oleh-oleh."Tanpa menghiraukan Amelia. Romy terus berjalan menuju kasir. Setelah membayar, spontan Romy menggandeng tangan Amelia. Langkah mereka berdua berjalan sejajar. Tampak tinggi Amelia sebahu Romy.Ketika keluar dari toko, hujan deras langsung menyambut mereka.“Mbak tunggu di sini! Aku ambil payung.”Namun Amel mencegahnya.“Kita lari aja ke mobil.”Romy mengikuti langkah cepat Amelia dengan memayungkan boneka ke ata
"Kamu ngomoing apaan sih Adrian?"Terdengar tawa yang meledak. Saat melihat wajah Amelia seperti udang rebus."Maaf! kebetulan aku salah satu pria yang paling tidak suka memaksa wanita.""Baguslah!"Kembali Adrian tersenyum dengan melirik pada Amelia yang terlihat cemberut."Hubungan kalian itu terlalu rumit Amelia. Sebaiknya tinggalkan dan kamu bisa bahagia dengan cara kamu.""Terima kasih atas nasehatnya!"Perjalanan mereka mulai memasuki gerbang kota Surabaya."Serius kamu mau antar aku sampai rumah?""Iyalah Adrian. Masa aku bohong?""Pulang besok aja ke Malang. Istirahat dulu di rumahku." Seraya mengerling pada Amelia yang masih gusar."Haaa? Rumah kamu?!""Udahlah, lihat rumahku dulu!"Amelia hanya terdiam. Dia tak langsung memberikan jawaban. Sampai akhirnya mobil mereka memasuki sebuah perumahan elit kawasan Surabaya timur."Wowww! Ini lingkungan rumah kamu Adrian?"Lelak
Cukup lama mereka berenang dan saling berbincang. Amelia mengabaikan suara dering ponsel yang terus berdering. Dia begitu menikmati berbincang hangat dengan Adrian. Sungguh dia pintar memperlakukan Amelia sebagai seorang wanita. Berulang kali kalimat yang terlontar. Membuat rona merah di kedua pipi Amelia."Wajah kamu memerah. Seperti tomat. Apa lagi gantiin badut Ancol?"Seketika Amelia tersipu malu. Dia berusaha menyembunyikan wajahnya dengan menyelam ke lantai dasar. Dan berenang hingga ke ujung. Membuat Adrian tersenyum lebar melihat tingkah polahnya."Kamu malu, Mel?" teriak Adrian."Enggak. Buat apa?" Tetap saja kata-kata yang terlontar tak bisa menyembunyikan rasa jengah di lubuk hatinya."Yakin?"Adrian pun berenang ke arahnya. Hingga mereka saling berhadapan. Jarak di antara keduanya hanya beberapa kilan. Amelia mendongak ke arahnya."Kenapa melihat aku seperti itu?""Enggak boleh?" Adrian terus menat
"Apa hatimu masih penuh dengan cinta Romy?"Sebuah pertanyaan yang tak mudah bagi Amelia untuk menjawabnya. Dia hanya terdiam dengan meneruskan mengganti semua pakaian yang basah.'Waduh! Harusnya aku ke mobilku dulu. Daleman aku basah. Iiiihhh ... kenapa aku jadi tulalit gini sih?' Amelia merutuki dirinya sendiri dalam hati.Hingga dia mendnegar sebuah ketukan pelan.Tuk tuk tuk!"Mel, buka sebentar!""Haaahhh? Kenapa?""Bukalah dulu!"Adrian berdiri di sisi pintu luar. Tampak Amelia membuka sedikit pintunya perlahan. Dari dalam ruang ganti yang tak luas itu. Dia melihat tangan Adrian menyodorkan sesuatu yang masih terbungkus plastik.Sesaat Amelia terpaku. Pandangannya tertuju pada barang yang ada dalam genggeman Adrian."Untukku?""Cobalah dulu. Ini semua masih baru, tapi aku mana tau ukuran kamu. Tiga empat, tiga enam atau malah tiga delapan? Dengan cup A atau B? Kalau yang bawah, kura
Brakkk!Terdengar suara pintu yang dibanting keras."Apa-apaan kamu Mas?" tegur Salsa yang terkejut."Jangan bicara apa pun juga! Sebaiknya kamu diam!" sentak Romy tegas.Membuat Salsa terhenyak. Dia hanya bisa berdiri mematung. Menyaksikan suaminya yang semakin terlihat gelisah.'Pasti ada hubungannya dengan Tante Amel.'Terlihat Salsa semakin gusar. Tingkah Romy sudah tak menyenangkan baginya."Aku muak lihat tingkah kamu ini Mas!""Kalau kau muak kenapa masih di sini?"Seketika raut wajahnya memerah. Dia kesal dengan ucapan Romy. Lalu keluar kamar dengan membanting pintu.Braaakkk!"Memangnya hanya dia yang bisa banting pintu?" ujar Salsa kesal.Tiba-tiba ...."Kalian bertengkar?"Seketika suara itu membuat Salsa terkesiap. Dia langsung menoleh ke belakang."Mamaaa ...?" Wajah Salsa berubah. Dia berusaha untuk tetap terlihat tenang."Kalian bertengkar?"
Setelah selesai makan malam. Mereka berbincang hingga larut. Membuat keduanya terlihat sangat dekat dan akrab."Kau masih berjanji satu cerita sama aku, Adrian.""Tentang kucing?"Amelia mengangguk."Sebenarnya tak ada yang spesial. Cuman menurutku itu malah terlihat sangat spesial di mataku.""Dia memberi makan kucing jalanan?""Iya. Walau masih dari kejauhan. Kucing-kucing itu langsung berdatangan. Seperti sudah tau siapa yang datang. Belum sampai Ren turun. Entah dari mana asalnya. Kucing-kucing pada berdatangan. Menunggu dengan sabar lho Mel.""Oh, ya?""Iya. Awalnya aku juga heran. Tapi itu nyata loh Mel."Tampak Amelia begitu mendengarkan setiap cerita yang meluncur dari bibir Adrian."Pasti cerita aku membosankan ya?""Kenapa kamu bilangnya gitu? Aku malah menikmati setiap detil cerita kamu Adrian.""Serius atau cuman buat nyenengin aku?""Serius dong."Adrian beranjak dari tempa