Dalam gelisahnya. Romy masih terbayang sosok lelaki tampan bersama Amelia. Lelkai yang sama sekali tak pernah dia tahu.
"Siapa dia Amelia? Kenapa aku tak pernah mengenalnya?'" bisik Romy lirih.
Romy semakin larut dalam gelisah. Sulit baginya saat ini untuk bisa memejamkan mata. Apalagi tidur dengan nyenyak.
'Andai kamu tau perasaan ini tak pernah berubah sedikit pun Amelia. dan saat ini aku begitu merinduimu. Andai kau tau, betapa hancurnya diriku saat ini. Melihat dirimu dengan lelaki itu!'
Terdengar helaan napas panjang dan berat.
'Tak sanggup rasanya hati ini meninggalkan kamu. Katakan padaku Amelia, apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa ...?'
Tanpa memedulikan Salsa yang duduk di atas kasur. Yang mengarahkan pandangan pada dirinya. Romy menyambar ponsel yang tak jauh dari dirinya.
Dengan cepat jari-jari tangannya mengetik tuts ponsel.
{Siapa lelaki itu?}
Pesan itu masih centang satu. Membuat perasaan Romy semakin gelisah. Dia melempar selimutnya. Langsung berdiri dan berjalan menuju jendela kamar. Mengarahkan pandanganya ke taman samping.
"Aaaahhh!"
Romy semakin terlihat kesal dan geram. Saat nomer ponsel Amelia tak bisa dihubungi. Bahkan hampir saja dia membantingnya.
Dari atas kasur, Salsa terus memperhatikannya. Terbersit rasa sedih yang semakin menyesakkan dirinya. Dia menenggelamkan kepalanya di antara dua lutut.
'Siapakah yang membuatmu segelisah ini, Mas Romy. Apakah ada hubungannya dengan Tante Amelia? Seperti yang aku lihat sewaktu di gedung? Ada apa sebenarnya semua ini?'
Tatap matanya terus mengarah pada Romy. Yang masih berdiri di depan jendela kamar.
Ingin hatinya untuk bertanya, tapi dia urungkan. Salsa takut semakin menambah hubungan buruk dirinya.
'Apakah cinta seperti ini? Selalu menyakitkan? Tapi, aku pun baru mengenalnya. Tak mungkin aku bisa langsung mencintai Mas Romy. Cuman, kenapa hati ini sakit?'
Salsa mengusap kasar pipinya yang berlinang air mata. Dia tak ingin Romy mengetahui dirinya menangis.
Tiba-tiba ....
Sosok Romy sudah berdiri di hadapannya. Memandang dengan tajam.
"Aku mau keluar. Kalau Mama atau yang lain tanya. Bilang aja cari rokok."
"Baik, Mas."
"Satu lagi. Kalau bertemu mereka jangan pasang wajah murung kamu itu!"
Salsa semakin tertunduk dalam. Hatinya terasa sangat sakit. Bagai ada duri yang tajam menembus.
Saat dia menegakkan wajahnya. Bayangan Romy telah menghilang. Entah ke mana?
Baru sehari sikap Romy tanpa basa basi sudah diperlihatkan pada Salsa. Malam pertama yang seharusnya penuh kenikmatan dua insan. Tak dirasakan oleh Salsa. Yang ada hanya kesakitan.
"Apa salahku? Kenapa aku sangat terluka oleh sikapnya."
Isak tangisnya kian tak tertahan. Seakan Salsa menyesali pernikahan ini.
"Aku harus tanya sama Mas Romy. Kenapa dia memperlakukan aku seperti ini?"
Malam ini menjadi saksi keharuan dan hancurnya Salsa Munandar.
Sedangkan di sudut kota. Tampak Amelia dan Adrian tengah duduk di meja yang menghadap arah jalan.
"Siapa laki-laki tadi? Pacar kamu?"
Amelia terdiam. Dia tak berniat untuk menjawab pertanyaan lelkai penuh kharisma yang duduk di hadapannya. Rambutnya yang tpis rapi, dengan sedikit jambang yang menghiasi wajhnya. membuat sosok Adrian terlihat semakin garang dan menarik.
"Kamu enggak mau menjawab?"
"Untuk apa?" Amelia terlihat berang.
Tangannya terus bergerak menyuap ke mulutnya es krim.
"Biasanya cewek yang stres pelampiasan mereka pada coklat dan es krim. Apalagi makan es krim malam begini. Jam sebelas."
Amelia melempar pandangannya jauh keluar. Dia enggan menanggapi Adrian. Yang terus mencoba untuk menghiburnya.
"Apa dia pacar kamu, Amelia?" ulang Adrian terlihat penasaran.
"Kamu kepo!"
Terdengar gelak tawa lelaki itu.
"Iyalah aku kepo. Pacar kamu masih brondong. Apa memang kamu menyukai yang muda?"
"Kamu mulai menjengkelkan Adrian!"
"Eiiits! Jangan marah lah, aku cuman bertanya. Tapi, kamu tak mau jawab."
"Sudahlah Adrian! Perasaanku masih tak nyaman. Aku harap kamu mau mengerti."
"Jika aku tak mengerti dirimu. Kamu tak akan aku ajak ke tempat ini."
Sepintas Amelia melirik ke arahnya. Dia merasa telah bersikap kasar dan ketus pada Adrian.
"Maafkan aku, Adrian. Sebenarnya aku enggak bermaksud judes seperti ini."
"Hemmm ...."
"Sekali lagi aku minta maaf!"
"It's oke, Amelia. Nikmati saja es krimnya. Apa masih mau tambah?"
Wanita cantik itu menggeleng. Amelia menggulung tinggi rambutnya ke atas. Memperlihatkan jenjang lehernya yang putih bersih.
"Kenapa kamu melihat aku seperti ini? Emang enggak pernah lihat orang menggulung rambutnya ke atas?"
Senyum mengembang di sudut bibir Adrian.
"Caramu menggelung rambutmu tadi. Mengingatkan aku sama seseorang."
"Seseorang?"
Adrian mengangguk pelan.
"Kamu hanya ingin memberitahu atau cerita Adrian?"
"Terserah kamu aja. Ingin mendengar ceritaku?"
"Boleh. Lagian es krim masih banyak," celetuk Amelia tersenyum.
Kembali Adrian tersenyum lebar. Melihat tingkah polah Amelia dan celotehnya.
"Dia istriku."
Deg!
"Istri kamu?"
"Iya. Ehhhm ...kenapa kamu kaget speerti itu?"
"Ehhh, enggak nyangka kamu sudah menikah. Jadi sebaiknya kita jangan lama-lama di sini."
"Katanya ingin dengar aku cerita?"
"Ta-pi,"
"Dengarlah dulu!"
Adrian mengambil tisu yang ada di meja mereka.
"Permisi, Mel!"
Tanpa pernah disangka oleh Amelia. Lelaki yang baru saja dia kenal. Mengusap perlahan bibirnya dengan tisu yang ada ditangan Adrian. Mengusap lembut, tanpa ada perkataan yang terlontar.
Sejenak mereka berdua saling terdiam. Dan beradu pandang beberapa detik. Membuat Amelia tersadar dan melempar lagi pandangannya keluar jendela.
"Belepotan es krim bibir, Mel."
Dia hanya mengangguk, tanpa melihat.
"Ka-mu marah?" tanya Adrian.
"Haaahh? Marah, siapa bilang?"
"Kali aja kamu enggak suka atas sikapku. Yang terkadang sering spontan. Maafkan aku ya?"
"Enggak perlu ada yang harus dimaafkan."
Setelah menghabiskan sisa es krim. Adrian mengajaknya pulang.
"Tunggu dulu!" sergah Amelia.
"Apa lagi?"
"Aku masih muat makan es krim lagi. Sambil mendnegarkan cerita kamu, Adrian."
Lelaki tampan itu tersenyum semakin lebar. Memperlihatkan barisan giginya putih.
"Baiklah!"
"Sekarang di mana istri kamu?"
"Lima tahun yang lalu. Dia meninggal dalam kecelakan mobil. Saat itu aku yang nyetir, Mel. Bahkan sampai sekarang juga, aku masih belum bisa melupakan peristiwa kejadian itu."
Amelia hanya bisa tercenung, saat mendengar kisah Adrian. Dia tak menyangkan lelaki berwajah dingin ini. Mempunyai kisah pilu. Tak hanya diirinya.
"Apakah kamu punya seorang anak?"
"Belum sempat."
"Belum sempat? Maksud kamu, saat itu istrimu tengah hamil?"
Tampak Adrian mengembuskan napas panjang. Rahangnya terlihat mengeras. Seiring dengan dagunya yang berkerut-kerut. Seolah sedang berusaha menahan kesedihannya.
Dari reaksi yang diberikan Adrian. Amelia bisa mengerti apa yang terjadi saat itu.
"Jika itu masih membuat luka dan kerinduan untukmu. Jangan kamu teruskan cerita ini, Adrian!"
***
Adrian masih terpaku dengan ucapan Amelia. Dia terpaku dengan tatap mata yang tak beralih memandang Amelia."Apa ada kalimatku yang salah?"Adrian menggeleng. Dengan tatap mata yang tak beralih."Lalu kenapa melihat aku seperti itu?""Kamu cantik!"Sontak kalimat itu membuat Amelia tersipu. Dia membuang pandangannya jauh keluar jendela."Kenapa Amel? Apa aku salah?"Amelia hanya menjawab dengan menggeleng. Membuat Adrian tersenyum tipis melihat gelagat wanita yang duduk di hadapannya saat ini."Dan sejak lima tahun itu kamu tetap sendiri?""Iya. Bayangan Renata sulit aku lepaskan.""Selama itu kamu sendiri tanpa ada wanita sama sekali?"Tiba-tiba, Adrian tergelak. Membuat Amelia kebingungan. Dia sampai mengernyitkan dahi. Menatap sekilas pada lelaki kharismatik di hadapannya. Terdengar Amelia menghela napas panjang."Kenapa?" tanya Adrian masih tersenyum lebar."Enggak apa-apa kok.""Pe
Segala penolakan dilakukan Amelia. Hingga membuat Romy berang. Dia menatap tajam padanya. Dengan pandangan penuh intimidasi."Kenapa kamu menolakku, Mel?""Karena kamu sudah menikah! Sekarang pulang dan pergi dari kamarku!"Melihat penolakan Amelia. Romy bukan malah mengikutinya. Dia semakin merengkuh tubuh wanita cantik itu, dalam dekapannya."Aku enggak peduli kamu tolak apa enggak, Mel. Yang penting sekarang aku ingin bersamamu. Mencumbuimu. Biar rindu ini hilang!""Rom--"Tak kuasa Amelia melakukan penolakan. Dirinya yang merindukan sosok Romy kembali hanyut dalam buaian asmara. Hasrat mereka berdua semakin bergelora.Hanya terdengar dengus napas yang membara di antara keduanya. Saat tangan-tangan Romy mulai menjelajah di sekujur tubuh Amelia. Bibirnya pun melumat bibir ranum kekasih hati.Detak jantung semakin memburu. Berdegup kencang. Romy semakin tak kuasa menahan kerinduannya. Dia semakin rakus dengan hasrat yang berge
Romy menatap tajam pada Salsa. Pertanyaan yang begitu berani dan menohok relung hatinya. Atas kebenaran yang tak Romy sangka kalau Salsa akan mengetahuinya."Mas Romy tak berani menjawabnya? Takutkah ini suatu kebenaran?""Diam kamu Salsa!""Kenapa Mas Romy? Aku ini bukan anak kecil yang bodoh. Yang enggak tahu apa-apa Mas. Usiaku sudah dua puluh lima tahun. Dan aku ini seorang guru. Jangan Mas Romy remehkan perasaan dan kepintaran aku!""Stop! Aku enggak mau dengar lagi ocehan kamu."Melihat sikap Romy yang keras kepala. Membuat Salsa semakin meradang. Dia pun tak kuasa lagi menahan isak tangisnya. Hingga dia terduduk di lantai. Dengan tubuh yang bersandar di daun pintu."Kejam kamu Mas Romy! Kenapa kamu memilih aku untuk jadi korban pernikahan ini? Kenapa Mas?!"Tak ada jawaban yang terdengar dari bibir Romy. Dia hanya terdiam sejuta bahasa. Tangannya meraih bantal dan menutupkan di kepala dan wajahnya sendiri. Membuat Salsa semakin
Raut wajah Salsa tegang. Dia tak ingin sampai Amelia mengatakan pada Dita kalau sudah memberi pesan untuk dirinya lewat Salsa."Ini Dita!" ujar Romy."Makasih Om."Gadis kecil itu kembali pergi ke teras samping. Salsa terus memperhatikannya. Dia hanya bisa berdoa dalam hati. Agar Amelia tak mengatakan kalau sudah bertitip pesan pada dirinya.Hanya sekian menit. Dita sudah kembali ke ruang makan."Ini Om. Makasih ya."Saat melewati kursi Salsa, Dita berhenti. Lalu menepuk lengan Salsa cukup kuat."Tante Salsa kok enggak bilang kalau tadi udah dipesenin sama Mama?"Sontak pertanyaan itu membuat Salsa kebingungan menjawabnya.'Apa yang harus aku jawab?'Suasana seketika tegang. Salsa merasa seluruh pandangan mengarah pada dirinya."Jadi tadi Tante Amel telpon kmau lewat Hp aku Salsa?" tanya Romy tampak meredam amarahnya."I-iya, pas Mas Romy mandi tadi.""Gitu Tante harusnya tetep bilang
Tak lepas Adrian memandang Romy yang duduk tepat di depannya. Terlihat Romy sangat tidak tenang dengan kedatangan Adrian. Dari arah ruang tamu. Salsa muncul dan tersenyum lebar pada mereka berdua. Lantas dia duduk di sebelah Romy.Adrian hanya melihat ke arahnya."Tante langsung pulang?""Iya, Salsa.""Sendirian Tante?"Sengaja Amelia tak menjawab. Dia hanya menggeleng. Mungkin dia hanya ingin menjaga perasaan Romy yang terlihat masam."Enggak. Tante kamu pulang bareng sama saya," sahut Adrian.Terdengar hembusan kuat dari Romy. Yang langsung memalingkan wajahnya.Salsa bisa menangkap kegelisahan yang tercermin dari wajah Romy. Dia pun merasa mendapat sebuah kesempatan untuk semakin membuat Romy panas."Om Adrian teman lama? Atau mungkin calonnya tante Amel?""Ohhh, enggak. Kita baru saja kenal kok.""Tapi Om sama Tante kelihatan serasi."Romy semakin terlihat panasa. Dia terus menggoyang
"Sepertinya Romy memang enggak suka melihat aku ya?"Suara Adrian memecah kesunyian di antara mereka."Kenapa kamu berpikiran seperti itu?""Kita bukan anak SD, Mel."Amelia hanya terdiam. Dia tak ingin membahas soal ini lagi. Cukup sudah semua kesedihan yang dirasakannya. Detik ini juga Amelia berjanji untuk melupakan Romy. Untuk melupakan semua hal gila yang pernah terjadi di antara mereka."Maaf bila menyinggung kamu, Mel.""Enggak sama sekali. Kok bisa kamu berpikiran kayak gini?""Habisnya kamu diam."Amelia mengibaskan tangannya di samping Adrian."Coba kamu cerita kok bisa kenal sama Romy?""Malas ahhh!""Hemmm ... aku sudah cerita tentang diriku. Kamu yang belum.""Terlalu panjang. Buat kamu bosan Adrian.""Enggak akan bosan. Perjalanan Semarang ke Surabaya butuh 350 kilometer. Cukup buat aku untuk mendengarkan kisahmu."Amelia tersneyum dan melempar pandangannya keluar jendela.
Di kamar ini Romy berusaha untuk meredam perasaan yang dulu pernah hidup di hatinya. Saat dia masih dua puluh tahun.Desiran lembut itu seakan kembali menggoda. Romy tersenyum sendirian. Saat mengenang masa-masa itu.Masih teringat saat semester lima. Langkah kaki yang terburu-buru. Karena Romy kesiangan. Tanpa melihat kiri kanan dia masuk ke sebuah ruang kelas. Dengan langkah santai. Tanpa permisi Romy langsung masuk dan mengambil kursi paling belakang."Hemmmmm ... busyeeet! Baru kali ini aku dapat dosen cantik banget," gumam Romy saat itu.Tak pelak tanpa berkedip sedetik pun. Romy terus memperhatikan dosen itu terus menerus. Tanpa pernah menyimak apa yang dia ajarkan."Dosen secantik ini bisa ada di Fakultas Teknik. Ajib benar."Namun ada hal yang aneh. Saat dia mulai tersadar Memperhatikan di sekelilingnya saat ini. Membuat Romy terhenyak."Apa enggak salah nih? Enggak biasanya Teknik banyak makhluk cantik. Wahhh, mending tiap ha
Amelia terlihat masih sibuk dengan masakannya. Terdengar suara pintu yang dibuka perlahan. Muncul seorang wanita muda yang berjalan lambat ke arahnya.“Mbak, maaf saya telat.”“Aku kira kamu enggak datang Nik.” Wanita yang disapa Nik itu langsung tersenyum lebar."Ada tamu?""Iya, si Romy. Keponakan Mas Faiz.""Ohhh!""Siapkan makannya di meja. Ini udah matang semua. Aku mau mandi dulu.""Iya Mbak."Sejak suami Amelia meninggal tiga tahun lalu. Dia menjadi orang yang menutup diri dari pergaulan di sekitar kampungnya. Apalagi dengan predikat yang tersandang.Dikamar ini. Romy terlihat gelisah. Matanya semakin tak bisa diajak tidur. Membuat dia bangkit, mengambil handuk. Lantas Romy menyiapkan kemeja hitam, yang dia keluarkan dari tas.Langkahny ayang terbburu-buru. Tak memperhatikan apa yang ada di hadapannya. Sampai sebuah tabrakan cukup keras. Menghantam keduanya.Bruuukkk!"