Share

DUKA SALSA

Aaaarghhh!" teriak Romy.

Berulang kali dia memukul setir mobil yang tak bersalah.

"Bagaimana bisa dia secepat itu mendapat pacar? Aku enggak percaya. Apa secepat itu Amelia dapat pengganti aku?"

Berulangkali tangannya memukul setir mobil. Tampak dari raut wajah Romy. Dia sangat kecewa, cemburu dan marah. Semua perasaan yang campur aduk. Membuat dadanya terasa sesak.

"Kenapa dada ini sesak dan perih seperti ini?"

"Aaaaahhh!"

Enggan rasa hati untuk pulang ke rumah. Tapi, pasti orang tuanya kebingungan.

"Kenapa aku dulu mengiyakan mama saat memutuskan melamar Salsa? Dan bodohnya aku, terlalu mengikuti kemauan mama dan papa."

Mobil pun akhirnya sampai di depan pagar rumah yang masih terbuka lebar. Sesaat Romy masih tercenung cukup lama di dalam mobil. Pandangan matanya mengarah pada rumahnya. Yang terlihat masih terang benderang dan terdengar ramai.

"Ternyata mereka belum pada tidur," bisik Romy.

Bergegas dia turun dari mobil. Langkahnya terlihat gontai masuk rumah. Di ruang tamu,  para keponakan masih asyik bersenda gurau. Di ruang tengah terlihat keluarga besar berkumpul. Termasuk Salsa.

"Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam. Romy kamu ini dari mana aja toh? Istrinya udah nunggu dari tadi loh," celetuk Bulek Tituk.

Romy hanya menanggapi dengan senyum dingin.

"Maaf Bulek. Ada urusan sedikit."

Setelah menyalami kerabatnya. Romy pun melangkah masuk ke kamar. Pandangan Salsa hanya bisa mengarah pada sang suami. Yang terlihat dingin dan angkuh di matanya.

"Salsa ikuti suami kamu ke kamar!" ujar Maya menepuk bahu Salsa.

"Iya, Ma."

Mereka yang ada di ruangan itu tersenyum lebar dan tertawa. Menyaksikan Salsa yang masih malu-malu dan ragu saat mengikuti langkah Romy.

Sekilas Romy melirik ke arahnya. Saat mereka berdua berada di depan pintu kamar.

"Kamu juga mau ikut masuk?" tanya Romy tiba-tiba mengejutkan Salsa.

Dia hanya bisa menjawab dengan anggukan.

"Disuruh Mama sama Bulek Tituk?"

Salsa terdiam. Baginya saat ini sosok sang suami seorang lelaki yang sedingin salju membeku. Angkuh dan sulit baginya untuk bisa menggapai rasa cintanya.

Terdengar suara pintu yang terbuka perlahan. Tampak Romy mendahuluinya.

"Kamu mau tetap berdiri di situ atau masuk?"

Suara Romy terdengar seperti seorang guru pada muridnya yang sedang melakukan suatu kesalahan. Tak ada sepatah kata yang sanggup terucap dari bibir tipis Salsa. Dia hanya bisa menunduk dan menenggelamkan dirinya dalam kekakuan Romy.

"Tutuplah pintunya! Kamu apa hanya akan seperti patung di situ?"

"Ma-maaf Mas."

Bergegas Salsa menutup pintu. Terlihat wanita manis itu menahan rasa canggung, jengah, dan rikuh.

Kamar dengan ukuran yang cukup luas itu. Terasa sunyi. Tak ada perbincangan di antara keduanya. Nuansa putih kamar itu, semakin menambah suasana yang dingin.

"Apa kamu mau berdiri di situ terus?" tegur Romy kesal.

Kekesalan yang tertumpah pada Salsa.

"Aku hanya ingin tawari Mas Romy mau makan sama apa?"

"Enggak usah. Aku bisa ambil sendiri."

"Ta-tapi, Mas?"

"Aku bilang enggak usah ... ya jangan memaksa!"

"Ma-maaf, Mas. Tapi, enggak enak dilihat sama Mama dan yang lain. Kita baru nikah kok Mas Romy makannya sendiri."

"Bawel juga kamu."

Tanpa sungkan dan ragu. Tiba-tiba, Romy melepas pakaiannya di depan Salsa. Wanita berparas manis dengan rambut panjang tergerai itu, langsung memalingkan muka.

"Kenapa kamu enggak keluar aja? Ada orang ganti baju malah ikut masuk."

"Ehhh ... ehhh."

Tak ada kata yang sanggup terucap lagi. Seketika itu wajah Salsa memerah jengah. Dia merasa bagai disiram debu panas seluruh kulit wajahnya. Malu, sakit hati, dan merasa tersia-sia.

'Beginikah rasanya menikah dengan orang yang baru kita kenal? Kata bunda, Mas Romy sosok lelaki yang ideal. Baik, santun, serta penuh tanggung jawab. Tapi, kenyataan yang ada--'

Hati Salsa terus berbisik. Dirinya terus mencoba untuk menahan getirnya hati. Sampai bibirnya bergetar, dengan manik mata yang mulai berkaca-kaca.

'Apakah semua pasti seperti ini? Saat awal pernikahan.'

Salsa pun mencoba melawan rasa canggung di hatinya. Dia berjalan mendekati sang suami. Dengan tetap memberi jarak. Dia tak ingin mendapat perkataan yang bisa membuat hatinya perih.

"A-apa Mas Romy ingin kopi atau teh? Atau mungkin air putih?" Salsa mencoba untuk menembus kesunyian yang tercipta saat ini.

Romy menggeleng. Tanpa melihat atau sekedar melirik ke arah sang istri. Salsa seperti kehabisan kata-kata yang ingin dia ucapkan. Wajahnya ditekuk dalam. Hingga dagu hampir mengenai dada.

"Dengarkan aku Salsa. Jangan menyusahkan dirimu kamu sendiri. Aku enggak perlu diladeni apa pun. Paham ya?"

"Ta-tapi, Mas? Saya kan istri Mas Romy. Sewajarnya saya melakukan itu."

"Sudahlah Salsa! Pikiran aku saat ini capek. Pusing. Jadi tolong dengan sangat, jangan ganggu aku!"

Salsa hanya bisa terperangah saat mendengar kalimat yang terucap dari seorang Romy Pradipta. Dadanya seketika berdetak lebih cepat. Ada kernyit menghunjam relung hati. Yang kian terasa perih dan nyeri teramat sangat.

Penolakan sang suami di malam pertama. Baginya sangat menyakitkan. Ingin rasa hati luruh dan tenggelam dalam linangan air mata. Namun, dia tahan.

'Aku harus kuat menghadapinya! Aku tak ingin gagal hanya karena sikap Mas Romy yang dingin sama aku saat ini. Aku pastikan bisa merebut hatinya. Walau pun sulit saat ini.'

Romy pun langsung beranjak dari ranjang. Dia mengambil selimut tebal dan bantal. Melemparnya ke lantai. Tatapan mata Salsa mengarah pada bantal dan selimut yang Romy lempar.

"M-Mas Romy mau tidur di lantai?"

Tak ada jawaban yang dia dapatkan. Sorot mata Romy terlihat bagai elang yang hendak menyambar mangsanya.

"Jangan pernah sekali-kali berencana untuk memberitahukan semua kejadian yang kita alami. Cukup antara kamu dan aku. Paham?"

Salsa terperanjat, lalu mengangguk.

"Sangat paham Mas Romy." Suaranya terdengar lirih dan parau. Seolah tercekat.

"Baguslah!"

Kemudian, Romy merebahkan tubuhnya. Tak peduli Salsa yang masih berdiri mematung memandang ke arahnya.

"Sebaiknya saya yang tidur bawah Mas," ucap Salsa berbisik.

"Enggak usah!"

Tanpa memedulikan Salsa yang kebingungan menghadapi dirinya. Romy menarik selimut hingga menutupi kepala.

Salsa semakin merasakan dadanya berat dan sesak. Bagai sebuah batu besar tengah dihantamkan pada dirinya saat ini.Dia kembali tertunduk perih. Tangannya mengepal, seolah menahan kesakitannya. Walaupun tak berdarah. Namun lebih terasa sakit dan nyeri.

Air mata itu mulai mengambang di sudut mata. Dia tak kuasa menahan luruhnya kesedihan yang kian menjerat palung hati terdalam.

Perih dan sakit!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status