Adrian masih terpaku dengan ucapan Amelia. Dia terpaku dengan tatap mata yang tak beralih memandang Amelia.
"Apa ada kalimatku yang salah?"
Adrian menggeleng. Dengan tatap mata yang tak beralih.
"Lalu kenapa melihat aku seperti itu?"
"Kamu cantik!"
Sontak kalimat itu membuat Amelia tersipu. Dia membuang pandangannya jauh keluar jendela.
"Kenapa Amel? Apa aku salah?"
Amelia hanya menjawab dengan menggeleng. Membuat Adrian tersenyum tipis melihat gelagat wanita yang duduk di hadapannya saat ini.
"Dan sejak lima tahun itu kamu tetap sendiri?"
"Iya. Bayangan Renata sulit aku lepaskan."
"Selama itu kamu sendiri tanpa ada wanita sama sekali?"
Tiba-tiba, Adrian tergelak. Membuat Amelia kebingungan. Dia sampai mengernyitkan dahi. Menatap sekilas pada lelaki kharismatik di hadapannya. Terdengar Amelia menghela napas panjang.
"Kenapa?" tanya Adrian masih tersenyum lebar.
"Enggak apa-apa kok."
"Pertanyaan kamu tadi penuh selidik. Aku merasa seperti diinterogasi wanita cantik."
"Ohhh, ma-maaf Adrian. Aku enggak bermaksud begitu. Biasanya kan cowok itu paling enggak betah sendiri."
"Memang. Aku banyak punya teman dekat wanita. Yah teman mesra, tapi bukan mengarah pada hal yang serius."
"Hemmm, pastilah. Cowok seperti kamu mana sepi dari cewek."
"Sama 'kan kamu juga?"
"Bedalah Adrian. Aku ini janda dengan anak satu. Mana ada cowok yang mau."
Kembali Adrian tergelak kencang.
"Lahhh, tadi siapa kalau bukan seseorang yang spesial buat kamu? Brondong itu kelihatannya sangat mencintai kamu."
"Jangan panggil brondong ahhh!"
"Kenapa?"
"Tampak tua lah diriku," jawab Amelia tertawa.
Mereka berdua tergelak bersama.
"Suami kamu ke mana? Ayo gantian kamu yang cerita Mel!"
"Sudah meninggal empat tahu lalu. Karena sakit jantung."
"Dan, sekarang?"
"Aku masih sendiri."
Adrian menyandarkan tubuhnya di bantalan kursi. Tangan kanannya mengetuk-ngetuk meja.
"Lalu cowok tadi siapa?"
"Aku masih malas untuk cerita."
"Oke, sorry."
Amelia melirik arah arlojinya.
"Sudah hampir jam satu Adrian. Kita pulang yuk!"
"Ayo. Besok kamu pulang jam berapa?"
"Pagi aku harus ke rumah Mbak dulu. Baru langsung pulang."
"Bareng aku aja!"
Wajahnya mendongak ke arah Adrian.
"Maksud kamu gimana?"
"Ya, aku bareng kamu. Lumayan 'kan aku bisa jadi sopir kamu."
"Ta-tapi rumah kamu kan di Surabaya."
"Gampanglah, Surabaya - Malang dekat."
Tampak Amelia berpikir sesaat. Dia tak langsung memberi jawaban.
'Sebenarnya kalau ada Adrian, enak di aku sih. Enggak capek di jalan. Ada teman lagi.'
"Lama kali mikirnya, Non?"
Seketika Amelia langsung tergagap. Dia pun belum bisa memberi jawaban. Kemudian, mereka berdua meninggalkan tempat itu. Berjalan menyusuri jalanan kota yang sudah lengang.
Semilir angin malam berembus. Menerpa tubuh keduanya. Sesekali Amelia menengadahkan kepalan ke atas. Menghirup udara segar. Seakan ingin melupakan semua yang telah terjadi.
"Kamu mikirin apa? Cowok itu?"
"Ohh, enggak mikirin apa-apa."
Tampak Adrian manggut-manggut.
"Dia dulu mahasiswaku tanpa sengaja."
"Kamu seorang dosen?"
Amelia menanggapi dengan tersenyum.
"Dulu sekali Adrian, sebelum aku menikah."
"Wowww, selama itu dia mencintai kamu?"
"Iya. Penuh dengan penolakanku."
"Pasti itu. Apalagi perbedaan usia kalian juga kan?"
"Iya. Waktu itu dia masih bisa menerima. Dan aku pun tak hanyut oleh perasaannya."
"Berarti sekarang?" tanya Adrian dengan melirik ke arah Amelia.
Tak ada jawaban yang terdengar. Amelia hanya terdiam dengan pandangan lurus ke depan. Langkah mereka memasuki loby hotel, dengan berjalan beriringan.
Tiba-tiba ....
"Amelia!"
Sebuah suara yang terdengar akrab di telinganya. Sontak mereka berdua menoleh ke belakang. Tampak Romy sudah berdiri dengan memandang tajam pada Amelia.
"Romy!!!"
Raut wajah Amelia tampak terkejut. Dia tak menyangka jika Romy kembali ke hotel ini.
"Ngapain kamu ke sini?"
"Aku ingin bicara!"
"Apa lagi?"
Tanpa memedulikan Adrian. Romy menarik lengan Amelia. Lebih mendekat padanya.
"Aku ingin bicara sekarang! Ayo ke kamar sekarang!"
"Ta-tapi, Rom?"
Lelaki itu tak peduli lagi penolakan Amelia. Dia terus menarik lengannya. Adrian hanya bisa memandang ke arah mereka.
Romy terus mengajak Amelia naik ke lantai lima. Di dalam lift hanya ada mereka bertiga.
"Apa bicara harus memaksa seperti itu?" cetus Adrian.
Membuat Romy geram.
"Sebaiknya kamu enggak usah ikut campur urusan orang lain!" tegas Romy dengan manik mata yang berkilat tajam.
Adrian yang tennag hanya tersenyum dingin. Tak berapa lama pintu lift terbuka lebar. Tepat di lantai lima.
"Adrian sampai besok. Kita pulang bareng!" ujar Amelia, tanpa peduli dengan Romy yang masih menarik lengannya.
Jempol tangannya mengarah pada Amelia. Adrian pun berllau menuju kamar yang yang berada di ujung lorong.
"Buat apa kau janjian dengan lelaki itu?"
Amelia tak menjawab. Sampai mereka berdiri di depan pintu kamar.
"Aku enggak suka cara kamu Rom!"
Langkah kakinya bergegas masuk kamar. Dia menghempaskan pantatnya di atas kasur.
"Kesal aku sama kamu Rom."
"Kenapa? Hanya gara-gara cowok itu?"
"Ayolah Rom! Kamu sudah menikah. Buat apa kamu datang ke sini? Kalau ada yang tau, bagaimana?"
Romy berjalan menghampiri Amelia. Dia pun duduk di sebelahnya. Dengan hembusan napas kesal.
"Aku enggak bisa tidur. Kepikiran kamu."
Amelia memalingkan wajahnya.
"Kamu siang tadi baru saja menikah Rom. Seharusnya malam ini kamu sudah tidur sama Salsa. Bukan malah ke tempatku."
"Aku enggak peduli Mel.
"Pasti Salsa saat ini kecewa dan sedih, Rom. Seorang suami malah pergi meninggalkannya, di saat malam pertama. Pulanglah Rom. Please!"
"Kamu tak pernah bisa mengerti perasaan aku, Mel. Aku bisa gila kalau seperti ini terus. Hanya memikirkan kamu dan kamu Amelia. Aku sangat takut kehilangan dirimu kamu! Paham enggak sih kamu Mel?"
Amelia hanya bisa terdiam. Dengan perasaan yang turut gelisah.
"Pergilah Rom! Pulang lah ke istri kamu. Kasihan dia!"
"Kamu bisa dengan mudah bilang seperti ini. Tapi, kau tak pernah tau bagaimana perasaan aku."
Kini mereka hanya bisa terdiam. Seketika suasana kamar itu hening dan sunyi. Mereka larut dalam perasaan masing-masing.
"Amel ...!"
Wanita cantik itu hanya tertunduk. Tanpa mengindahkan panggilan Romy.
"Apa kamu akan mendiamkan aku seperti ini?"
"Pulanglah Rom! Bukannya semua sudah kita sepakati?"
"Bukannya yang sepakat kamu sama Mama. Tanpa kamu bicarakan dulu sama aku. Iya 'kan?"
"Mungkin memang bukan takdir kita bersama Rom."
Mendengar kalimat itu. Romy menarik bahu Amelia. Agar mendekat kepadanya.
"Jangan berontak Mel. Aku hanya ingin memelukmu."
"Sudahlah Rom! Jangan lakukan ini!"
Namun, Romy tak peduli. Dia terus mendekap erat Amelia.
"Aku hanya ingin dekat sama kamu," bisik Romy di telinga Amelia.
"Sudahlah Rom. Lepaskan pelukan kamu."
"Aku tetap akan memelukmu. Sampai pagi."
"Kamu jangan gila!"
"Aku gila karena kamu!"
Keduanya saling beradu pandangan. Dengan tatap mata yang tajam. Hembusan napas mereka saling beradu. Hingga hangatnya terasa.
Malam ini mereka pun tak bisa lagi membendung kerinduan yang memuncak. Seolah menenggelamkan perasaan cemburu yang membakar keduanya.
Romy pun mengecup lembut bibir Amelia. Walapun dia sempat menolak, tapi Amelia tak kuasa. menahan gejolak perasaan hatinya yang gemuruh oleh gejolak rasa.
"Jangan lakukan ini Rom! Aku mohon!"
"Aku hanya ingin bersamamu malam ini Mel."
"Jangan ... please pulanglah!"
Romy tak mengindahkan kalimat penolakan Amelia. Karena dia pun tahu wanita yang dicintai mengharapkan kebersaman bersamanya seperti dulu lagi.
Walau pun begitu. Amelia masih mampu menahan keinginan Romy. Hasrat kelelakiannya mampu dia bendung.
"Please Rom. Pulanglah!"
"Aku hanya ingin tidur di sini, Mel."
"Semua akan menjadi sulit, kalau kau tetap di sini Romy!"
***
Segala penolakan dilakukan Amelia. Hingga membuat Romy berang. Dia menatap tajam padanya. Dengan pandangan penuh intimidasi."Kenapa kamu menolakku, Mel?""Karena kamu sudah menikah! Sekarang pulang dan pergi dari kamarku!"Melihat penolakan Amelia. Romy bukan malah mengikutinya. Dia semakin merengkuh tubuh wanita cantik itu, dalam dekapannya."Aku enggak peduli kamu tolak apa enggak, Mel. Yang penting sekarang aku ingin bersamamu. Mencumbuimu. Biar rindu ini hilang!""Rom--"Tak kuasa Amelia melakukan penolakan. Dirinya yang merindukan sosok Romy kembali hanyut dalam buaian asmara. Hasrat mereka berdua semakin bergelora.Hanya terdengar dengus napas yang membara di antara keduanya. Saat tangan-tangan Romy mulai menjelajah di sekujur tubuh Amelia. Bibirnya pun melumat bibir ranum kekasih hati.Detak jantung semakin memburu. Berdegup kencang. Romy semakin tak kuasa menahan kerinduannya. Dia semakin rakus dengan hasrat yang berge
Romy menatap tajam pada Salsa. Pertanyaan yang begitu berani dan menohok relung hatinya. Atas kebenaran yang tak Romy sangka kalau Salsa akan mengetahuinya."Mas Romy tak berani menjawabnya? Takutkah ini suatu kebenaran?""Diam kamu Salsa!""Kenapa Mas Romy? Aku ini bukan anak kecil yang bodoh. Yang enggak tahu apa-apa Mas. Usiaku sudah dua puluh lima tahun. Dan aku ini seorang guru. Jangan Mas Romy remehkan perasaan dan kepintaran aku!""Stop! Aku enggak mau dengar lagi ocehan kamu."Melihat sikap Romy yang keras kepala. Membuat Salsa semakin meradang. Dia pun tak kuasa lagi menahan isak tangisnya. Hingga dia terduduk di lantai. Dengan tubuh yang bersandar di daun pintu."Kejam kamu Mas Romy! Kenapa kamu memilih aku untuk jadi korban pernikahan ini? Kenapa Mas?!"Tak ada jawaban yang terdengar dari bibir Romy. Dia hanya terdiam sejuta bahasa. Tangannya meraih bantal dan menutupkan di kepala dan wajahnya sendiri. Membuat Salsa semakin
Raut wajah Salsa tegang. Dia tak ingin sampai Amelia mengatakan pada Dita kalau sudah memberi pesan untuk dirinya lewat Salsa."Ini Dita!" ujar Romy."Makasih Om."Gadis kecil itu kembali pergi ke teras samping. Salsa terus memperhatikannya. Dia hanya bisa berdoa dalam hati. Agar Amelia tak mengatakan kalau sudah bertitip pesan pada dirinya.Hanya sekian menit. Dita sudah kembali ke ruang makan."Ini Om. Makasih ya."Saat melewati kursi Salsa, Dita berhenti. Lalu menepuk lengan Salsa cukup kuat."Tante Salsa kok enggak bilang kalau tadi udah dipesenin sama Mama?"Sontak pertanyaan itu membuat Salsa kebingungan menjawabnya.'Apa yang harus aku jawab?'Suasana seketika tegang. Salsa merasa seluruh pandangan mengarah pada dirinya."Jadi tadi Tante Amel telpon kmau lewat Hp aku Salsa?" tanya Romy tampak meredam amarahnya."I-iya, pas Mas Romy mandi tadi.""Gitu Tante harusnya tetep bilang
Tak lepas Adrian memandang Romy yang duduk tepat di depannya. Terlihat Romy sangat tidak tenang dengan kedatangan Adrian. Dari arah ruang tamu. Salsa muncul dan tersenyum lebar pada mereka berdua. Lantas dia duduk di sebelah Romy.Adrian hanya melihat ke arahnya."Tante langsung pulang?""Iya, Salsa.""Sendirian Tante?"Sengaja Amelia tak menjawab. Dia hanya menggeleng. Mungkin dia hanya ingin menjaga perasaan Romy yang terlihat masam."Enggak. Tante kamu pulang bareng sama saya," sahut Adrian.Terdengar hembusan kuat dari Romy. Yang langsung memalingkan wajahnya.Salsa bisa menangkap kegelisahan yang tercermin dari wajah Romy. Dia pun merasa mendapat sebuah kesempatan untuk semakin membuat Romy panas."Om Adrian teman lama? Atau mungkin calonnya tante Amel?""Ohhh, enggak. Kita baru saja kenal kok.""Tapi Om sama Tante kelihatan serasi."Romy semakin terlihat panasa. Dia terus menggoyang
"Sepertinya Romy memang enggak suka melihat aku ya?"Suara Adrian memecah kesunyian di antara mereka."Kenapa kamu berpikiran seperti itu?""Kita bukan anak SD, Mel."Amelia hanya terdiam. Dia tak ingin membahas soal ini lagi. Cukup sudah semua kesedihan yang dirasakannya. Detik ini juga Amelia berjanji untuk melupakan Romy. Untuk melupakan semua hal gila yang pernah terjadi di antara mereka."Maaf bila menyinggung kamu, Mel.""Enggak sama sekali. Kok bisa kamu berpikiran kayak gini?""Habisnya kamu diam."Amelia mengibaskan tangannya di samping Adrian."Coba kamu cerita kok bisa kenal sama Romy?""Malas ahhh!""Hemmm ... aku sudah cerita tentang diriku. Kamu yang belum.""Terlalu panjang. Buat kamu bosan Adrian.""Enggak akan bosan. Perjalanan Semarang ke Surabaya butuh 350 kilometer. Cukup buat aku untuk mendengarkan kisahmu."Amelia tersneyum dan melempar pandangannya keluar jendela.
Di kamar ini Romy berusaha untuk meredam perasaan yang dulu pernah hidup di hatinya. Saat dia masih dua puluh tahun.Desiran lembut itu seakan kembali menggoda. Romy tersenyum sendirian. Saat mengenang masa-masa itu.Masih teringat saat semester lima. Langkah kaki yang terburu-buru. Karena Romy kesiangan. Tanpa melihat kiri kanan dia masuk ke sebuah ruang kelas. Dengan langkah santai. Tanpa permisi Romy langsung masuk dan mengambil kursi paling belakang."Hemmmmm ... busyeeet! Baru kali ini aku dapat dosen cantik banget," gumam Romy saat itu.Tak pelak tanpa berkedip sedetik pun. Romy terus memperhatikan dosen itu terus menerus. Tanpa pernah menyimak apa yang dia ajarkan."Dosen secantik ini bisa ada di Fakultas Teknik. Ajib benar."Namun ada hal yang aneh. Saat dia mulai tersadar Memperhatikan di sekelilingnya saat ini. Membuat Romy terhenyak."Apa enggak salah nih? Enggak biasanya Teknik banyak makhluk cantik. Wahhh, mending tiap ha
Amelia terlihat masih sibuk dengan masakannya. Terdengar suara pintu yang dibuka perlahan. Muncul seorang wanita muda yang berjalan lambat ke arahnya.“Mbak, maaf saya telat.”“Aku kira kamu enggak datang Nik.” Wanita yang disapa Nik itu langsung tersenyum lebar."Ada tamu?""Iya, si Romy. Keponakan Mas Faiz.""Ohhh!""Siapkan makannya di meja. Ini udah matang semua. Aku mau mandi dulu.""Iya Mbak."Sejak suami Amelia meninggal tiga tahun lalu. Dia menjadi orang yang menutup diri dari pergaulan di sekitar kampungnya. Apalagi dengan predikat yang tersandang.Dikamar ini. Romy terlihat gelisah. Matanya semakin tak bisa diajak tidur. Membuat dia bangkit, mengambil handuk. Lantas Romy menyiapkan kemeja hitam, yang dia keluarkan dari tas.Langkahny ayang terbburu-buru. Tak memperhatikan apa yang ada di hadapannya. Sampai sebuah tabrakan cukup keras. Menghantam keduanya.Bruuukkk!"
Amelia menyandarkan tubuhnya. Selama perjalanan tak banyak pembicaraan di antara mereka. Amelia beberapa kali melirik ke arah Romy. Yang fokus pada jalan."Kenapa Mbak?"Dia hanya menggeleng."Enggak apa-apa kok Rom."Amelia membuang jauh pandangannya ke luar jendela. Tampak dia hanyut dalam lamunan. Terbayang saat mengenal pertama kali Romy Pradipta. Pikirannya terbang jauh sembilan tahun yang lalu.Di saat Amelia Pratiwi masih menjadi staf pengajar di sebuah Universitas Swasta di Semarang. Dia pernah merasakan usia rawan bagi seorang wanita. Tiga puluh tahun. Sedangkan kedua orang tua seolah tidak mau tahu. Terus menuntut untuk segera menikah."Emang menikah semudah yang mereka bilang?" bisik Amelia. Mencoba berdamai dengan hatinya.“Jangan karier yang terus kamu kejar Mel, laki-laki gak bakal berani dekati kamu biarpun kamu cantik!” Kalimat itu selalu terngiang di telinga.Hingga aroma par