LOGINKini, Damar mendekat, membelai wajah Diana penuh kasih. Lalu, ia bertanya, "Ya, Yang? Ada apa?"
Diana berbisik di telinga suaminya, dan seketika itu juga, Damar syok."Apa?" bisik Damar, suaranya tercekat, kaget karena mengira ada berita buruk. Tapi ternyata, ini berita lebih buruk lagiDiana mengulangi, matanya sedikit memelas karena mual. Ia masih memencet hidung dan menggeleng lemah, "Mas, tidur di kamar sebelah aja. Mas bau! Sumpah, Mas. Aku mual loh deketan sama Mas.”“Ya ampun, Yang!” Damar terdiam. Syoknya berubah menjadi rasa tidak percaya yang mendalam. "Kamu suruh Mas tidur di luar? Setelah semua yang Mas lakuin hari ini?""Ya iya lah, 'kan bau! Aku gak tahan banget! Bau yang menusuk, Mas! Aku gak bisa tidur sambil menahan mual begini, Mas. Mas mau aku kesiksa semalaman, ya?!"Meski kesal, tapi Damar tetap memelankan suaranya. Ia tahu, Diana sedang emosional dan juga labil. "Yang, kok gitu sih! Ini kamar kita!" protesPenyesalan Damar cepat berlalu, digantikan oleh gairah yang dipicu oleh aroma lemon fresh yang menenangkan itu. Lalu, ia mendekat, pandangannya penuh kerinduan."Aku merindukanmu, Yang," bisik Damar penuh rasa candu pada istrinya.Damar segera menyerang Diana dengan kelembutan yang memabukkan. Ia menarik istrinya ke tengah ranjang dan mulai menciumi Diana dengan dalam dari bibir, turun perlahan ke leher, hingga mencapai garis dada.Lalu, Damar menciumi leher dan dada Diana, meninggalkan bekas merah samar di kulit yang terhisap kuat, jejak hasrat yang tak tertahankan.Diana sendiri tidak tahan. Ia pun mulai meraba punggung Damar. Tangan Diana turun dan mengusap kejantanan Damar yang mengeras di balik bathrobe itu, memicu rintihan pelan dari Damar."Eungh!" Diana mendesah pelan. Meskipun Diana sempat mual, sentuhan Damar yang penuh hasrat dan kehangatan itu memicu gairah yang tertahan lama. Kini, Damar tetap memberinya sentuhan yang terasa memabukkan, ber
Kini, Damar mendekat, membelai wajah Diana penuh kasih. Lalu, ia bertanya, "Ya, Yang? Ada apa?"Diana berbisik di telinga suaminya, dan seketika itu juga, Damar syok. "Apa?" bisik Damar, suaranya tercekat, kaget karena mengira ada berita buruk. Tapi ternyata, ini berita lebih buruk lagi Diana mengulangi, matanya sedikit memelas karena mual. Ia masih memencet hidung dan menggeleng lemah, "Mas, tidur di kamar sebelah aja. Mas bau! Sumpah, Mas. Aku mual loh deketan sama Mas.”“Ya ampun, Yang!” Damar terdiam. Syoknya berubah menjadi rasa tidak percaya yang mendalam. "Kamu suruh Mas tidur di luar? Setelah semua yang Mas lakuin hari ini?""Ya iya lah, 'kan bau! Aku gak tahan banget! Bau yang menusuk, Mas! Aku gak bisa tidur sambil menahan mual begini, Mas. Mas mau aku kesiksa semalaman, ya?!"Meski kesal, tapi Damar tetap memelankan suaranya. Ia tahu, Diana sedang emosional dan juga labil. "Yang, kok gitu sih! Ini kamar kita!" protes
"Hm, baru pulang, Mas?" Diana malam ini menyambut Damar di depan pintu. Namun, alih-alih memberikan ciuman selamat datang dan pelukan hangat seperti pagi tadi, ia justru menutup hidung dengan telapak tangannya.Entah kenapa, Diana mual sekali mencium bau badan Damar yang terasa begitu menusuk hidung sensitifnya malam ini."Ya, Yang. Kerjaan banyak sekali akhir-akhir ini. Kamu tahu sendiri, proyek yang di lokasi X baru mulai." Damar mengangguk. Ia melangkah mendekat, lalu ia memegangi pundak istrinya. Ia curiga saat Diana menutup hidung. "Kamu kenapa, Yang? Bau apa? Papa ada bangkai di rumah?"Diana menggeleng disertai dengan ekspresi yang sangat menderita. "Mual, Mas. Badan Mas bau ih, jangan dekat-dekat."Mendengar ucapan istrinya, Damar sedikit tersinggung. Lalu, ia segera menurunkan telapak tangan dari bahu Diana. Ia segera mencium ketiaknya sendiri secara refleks. Namun, ia tak mencium bau apa pun selain aroma sab
“Ugh! Sial!”Mereka berdua panik bukan main. Aldo segera mencoba menarik diri dan membenahi celananya hingga nyaris saja ‘lolipop’ nya terjepit.“Argh!” pekiknya tertahan, sementara Raline tersentak menjauh. Raline berkata dengan suara tercekat, "Bagaimana ini? Kamu akan berkata apa kalau Papaku datang?"Kini, Raline buru-buru menuju ranjang dan merebahkan badan lelahnya di sana. Lalu, ia menarik selimut sebatas dada dan mendelik pada Aldo yang mengumpat-ngumpat kesal "Shit!" desis Aldo. Wajahnya yang tadi penuh hasrat, kini pucat pasi dipenuhi amarah dan ketkejutan. Pintu itu sebentar lagi akan terbuka. Dan apa alasan yang akan ia gunakan saat Papa Raline bertanya siapa ia?Tak lama setelah suara putaran handle pintu, pintu kamar Raline terbuka.Seorang pria berambut putih muncul sambil mendorong pintu, dengan tenang membetulkan kacamata yang melorot di hidungnya.Ia adalah Profesor Bima.B
"Kenapa diam? Tidak mau?" Aldo menatap Raline dengan ekspresi kecewa yang dibuat-buat. Padahal, Aldo ingin membuat Raline tunduk total dan menerima dominasinya. Tapi agaknya, wanita itu memang sangat, sangat, dan sangat sulit dikendalikan.Aldo sempat ingin menyerah menaklukkannya, tapi … ia tidak akan menunjukkan ya saat ini sebelum Raline bisa ia kendalikan.Lalu, Raline membalas tatapan Aldo tanpa berkata sepatah kata pun. Matanya menunjukkan campuran jijik, kebencian, dan perhitungan cepat. Saat Aldo mulai mencengkeram dagunya kuat-kuat dan menancapkan kuku jemarinya di pipi, Raline baru membuka suara."Kau yakin ingin aku memuaskanmu dengan mulutku?" tanya Raline parau disertai penuh ironi tersembunyi. Jujur saja, Raline merasa dirinya tak serendah itu. Bahkan, ia tahu maksud Aldo menginginkan ini semata-mata karena ingin membuatnya tunduk.Kini, berbagai macam rencana berkelebat di benak Raline. “Aldo hanya ingin memanfaatkanku dengan kepuasan pribadi alih-alih menjadi sekutu
"Diamlah dan pergilah! Aku tidak butuh siraman rohani darimu! Menyingkirkan, Sialan! Aku tidak ingin melihatmu! Jangan temui aku lagi!" Raline memalingkan wajah, dia mual melihat Aldo yang pasti datang untuk menghakimi kebodohannya.“Yakin tidak ingin bertemu aku lagi?” kekeh Aldo.Aldo tak bergeming. Ia melangkah mendekat, matanya tertuju tajam pada pergelangan tangan Raline yang diperban, bekas sayatan yang menunjukkan kegagalan percobaan bunuh diri."Sungguh konyol," sindir Aldo dengan suara penuh cibiran. Matanya memandang tubuh Raline dari atas, sampai bawah.Lalu, Aldo kembali mendekatkan dirinya pada Raline. Ia mendesak wanita itu sambil bersedekap, sedangkan Raline mundur sejengkal demi sejengkal."Hanya karena Damar, kamu tega mengiris nadimu sendiri. Untung saja kamu hidup! Coba kalau kamu mati! Dasar bodoh! Kenapa tidak mati saja?"Raline tersinggung hebat. Ia mengangkat wajahnya, menatap penuh kebencian pada Aldo. "Kamu menyumpahiku, hah??""Hm,” angguk Aldo mengiyakan. “S







