Diana kembali teringat ucapan Damar yang begitu kasar. Laksana belati tajam berkarat yang semakin dalam menggores luka di hatinya.
Setiap saat Diana mengutuk pria itu. Namun tak menyangkal jika dia memiliki rasa pada mantan dosennya itu. Lelaki yang telah menumbuhkan satu nyawa di rahimnya itu tak pernah terhapus sedikit pun dari dalam ingatan. Lelaki yang sejatinya dia kasihi. Lelaki yang bisa memberinya saran dan masukan. Lelaki yang membuat dunianya jungkir balik. Dia dibawa ke angkasa, terbang tinggi lalu dihempas dengan kejam sampai dia jatuh, tersungkur di jurang penyesalan. “Kamu rindu, kan, Nak? Tentu saja, ibu juga merindukan ayahmu. Tetapi kita tidak boleh menaruh rasa itu. Ibu tak mungkin menghancurkan kebahagiaan orang lain, bukan? Kita bisa hidup berdua saja, Nak.” “Jangan pernah mengharapkan ayahmu kembali. Karena sampai kapan pun itu tidak akan pernah terjadi. Dia sudah menolak kehadiranmu. Maafkan dan jangan pernah menyalahkanKarena sangat khawatir dengan kondisi korbannya, maka Damar berteriak seperti orang kesurupan memanggil petugas yang dirasa sangat lelet dalam bekerja.Tidak lama kemudian, dua perawat datang tergopoh padanya. Damar diminta untuk meletakkan itu di atas ranjang pemeriksaan. Segera setelah itu, dia diminta untuk keluar ruangan.“Bagaimana kondisinya?” tanya satu pihak kepolisian yang turut mengantarkannya sambil membawa sosok bocah kecil yang diperkirakan Damar berusia kurang dari 5 tahun.“Masih dalam penanganan medis. Ini SIM dan kartu identitas saya jika memang diperlukan untuk proses tilang!” Damar menyodorkan dua kartu identitas beserta STNK supaya meyakinkan pihak kepolisian.Salah satu petugas kepolisian yang memakai topi kali ini mencatat surat tilang dan menyita STNK mobil milik Damar. Segera setelah itu, dua pihak kepolisian tersebut pamit undur diri dan Damar diminta untuk kooperatif membayar denda tilang.****“Ibu! Ibu!” seru bocah itu yang sesaat
“Ah, sial!”Gara-gara tidak bagus mengemudi karena ponselnya terjatuh di bawah kaki, seorang pemuda berusia 30 tahunan tersebut menabrak pejalan kaki yang sedang melintas dan hendak menyeberang jalan.Damar— pria itu memang berada di kota ini untuk acara pertemuan dengan calon istri keduanya, yang dipilihkan oleh sang mama.Buru-buru pria itu kemudian turun dari atas kendaraan dan menyaksikan jika sudah ada anak kecil yang sedang menangis melihat ibunya tergeletak tidak berdaya.“Ibu, bangun, Bu! Ibu! Bangun!” seru bocah kecil itu dengan tangisan yang memilukan.Sepasang langkah kaki yang terbalut sepatu hitam mengkilat tersebut mendekat. Keadaan sekitar masih sangat sepi, sehingga Damar bersyukur tidak ada yang datang untuk menghakimi nya kali ini karena melakukan aksi tabrak.Dia segera melihat keadaan wanita itulah yang sudah tidak karuan bentuknya. Wajahnya tertelungkup dan sesekali dia beristighfar.“Tolong jangan menangis. Aku akan menolong ibumu,”
Adzan isya berkumandang. Lepas makan malam, Diana memang mengajak Shanum untuk melakukan kewajiban. Segera selepas salam, bocah kecil itu segera bergegas ke sebuah kasur lantai usang dan memeluk boneka beruang kecil kesayangannya. “Udah, ayo bobok. Udah malem, besok—” “Bu, kapan aku sekolah?” tanya Shanum.menyela ucapan ibunya. Garis manis itu melirik ke atas. Diana hanya membalas senyuman. “Nanti kalau ibu sudah punya uang, ya? Shanum tahu, kan, biaya sekolah itu mahal. Untuk uang seragam saja, ibu belum bisa membayarnya.” Diana tak menutupi perihal ini. Tidak masalah putrinya tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Yang terpenting, Shanum sudah bisa membaca, menulis dan juga menghitung pecahan angka. Setiap hari di kala senggang, Diana memang mengajarkan gadis itu untuk belajar selayaknya anak sekolahan. “Tapi, aku pengen sekolah. Pengen maim sama teman, Bu.” Lagi, Shanum berkata seperti itu dan membuat D
Tengah hari, Damar merasakan jika tubuhnya sudah kembali seperti semula. Dia kemudian masuk ke dalam ruang kerjanya dan mengunci pintu dari dalam. Setetes air mata jatuh membasahi pipi saat dia duduk di sebuah sofa tunggal sambil memandang foto Diana di laman media sosial. Dia tahu jika foto tersebut diambil di apartemen miliknya sesaat setelah mereka adalah saja pergi berbelanja di mall, beberapa bulan yang lalu. “Ya Allah, dimana pun ibu dari mana aku dan anakku tinggal di bumi- Mu, maka lindungilah dia dan melancarkan proses persalinannya,” ucapnya setelah mengusap layar ponsel tersebut. Tangis Damar semakin tak terbendung. Dia sungguh yakin jika yang dikandung Diana adalah putrinya. Namun, lagi dan lagi, kenapa ego lebih penting dari sekedar mendengar penjelasan Diana? Bukan kah seharusnya dia berada di samping Diana saat wanita itu melahirkan? Menemani tumbuh kembang putra mereka. Namun pada akhirnya, Damar menyesal atas sikapnya sendiri
Hari berganti hari, bulan pun berlalu. Pilihan ditentukan oleh Diana. Dan pada akhirnya, Diana menuruti saran Abangnya untuk tinggal di sebuah rumah khusus yang terletak di pinggiran kota. Fasilitas yang cukup mewah dia dapatkan. Mulai dari ponsel dan jatah bulanan selalu dikirimkan oleh Satria sebagai bentuk tanggung jawab kakak kepada adiknya sendiri. Pria itu memang tidak tanggung-tanggung untuk memberi kehidupan yang layak bagi Diana.Entah berapa lama tinggal di sini, Diana tidak menghitung nya. Sampai pada akhirnya, waktu kelahiran putrinya hampir saja tiba.Diana menghela nafas panjang, lalu berdiri dari tempat duduknya. “Hubungin Bang Satria nggak, ya?” Dia mendesis.merasakan sakit.Sudah sejak semalam, Diana mengalami kontraksi yang cukup hebat. Sehingga pagi ini sebelum adzan subuh berkumandang, dia rasanya sudah tidak tahan lagi dan segera menghubungi orang terdekat untuk membawanya ke klinik bersalin.***Bersamaan itu pula, Damar bolak balik ke
Diana menggeleng. Bibirnya terbuka dan berkata, “Bukan!”“Benar. Kamu adalah Diana. Apa aku ... Tidak salah lihat?” Satria menelisik Diana atas dan bawah. Dia sudah lama tak berjumpa dengan adik angkatnya itu. Tetapi, kenapa Diana terlihat sedikit gemuk dan ....“Kamu salah. Aku bukan Diana!” Diana segera berlalu. Namun sebelum dia pergi, Satria mencekal pergelangan tangannya.Tap!“Lalu tato ini apa, Di? Kamu mau menyangkalnya? Aku hafal, ini adalah tato khusus yang pernah ada di lengan kiri adikku. Kamu mau mengelak?” Satria menatap nanar. Wajah Diana yang semula cantik, kini terlihat sangat kusam dan bahkan tak terawat. Lengan gamis lusuh Diana digulung sampai siku.Bukan pandangannya yang salah, namun Dina lah yang mengelak. Satria kemudian mengalihkan perhatiannya pada perut Diana.Membuncit? Apakah Diana hamil? Jelas saja!“Lepaskan aku! Lepas!” Diana meronta. Dia berusaha melepaskan diri.“Tidak! Jawab dulu pertanyaanku. Kamu ... Kamu hami