Masuk“Udah puas jogetnya, Nona Ciara So Ra Harven?”
Ciara syok, matanya yang biru membelalak lebar saat suara rendah pria itu menembus bisingnya musik. Pria yang dia tabrak tadi itu tahu namanya. “Lo tahu nama gue?” “Tahu. Siapa yang gak tahu pemilik mobil dengan plat B 1 ARA? Ara imut dan manja kesayangannya Papi Harven, ‘kan? Si kerempeng dada rata yang maksain pake gaun kemben! Cih, dasar Bocil Kematian! Bukannya terlihat oke, lo justru kek lemper tau, gak? Tinggal buka, kunyah, sekali hap, ... habis!” sindir Sagara menohok penuh cemoohan. “Berisik! Ada baiknya lo diem! Gue gak manja, Jir! Dan perlu Lo tahu, gue gak sekerempeng itu!” sentak Ciara tak terima direndahkan, berusaha menutupi kegugupannya dengan kesombongan. “Gue gak akan diem! Ikut gue cepet!” Begitu Sagara mencengkeram pergelangan tangannya, Ciara meronta hebat. Dia menolak disentuh, “Gak! Lo gak usah pegang gue! Lo“Udah puas jogetnya, Nona Ciara So Ra Harven?” Ciara syok, matanya yang biru membelalak lebar saat suara rendah pria itu menembus bisingnya musik. Pria yang dia tabrak tadi itu tahu namanya. “Lo tahu nama gue?” “Tahu. Siapa yang gak tahu pemilik mobil dengan plat B 1 ARA? Ara imut dan manja kesayangannya Papi Harven, ‘kan? Si kerempeng dada rata yang maksain pake gaun kemben! Cih, dasar Bocil Kematian! Bukannya terlihat oke, lo justru kek lemper tau, gak? Tinggal buka, kunyah, sekali hap, ... habis!” sindir Sagara menohok penuh cemoohan. “Berisik! Ada baiknya lo diem! Gue gak manja, Jir! Dan perlu Lo tahu, gue gak sekerempeng itu!” sentak Ciara tak terima direndahkan, berusaha menutupi kegugupannya dengan kesombongan. “Gue gak akan diem! Ikut gue cepet!” Begitu Sagara mencengkeram pergelangan tangannya, Ciara meronta hebat. Dia menolak disentuh, “Gak! Lo gak usah pegang gue! Lo
Jade dan Leon tersentak, saling berpandangan dengan mata membelalak.“Sinting! Lo pikir lo tukang reparasi?” seru Leon tak percaya. “Itu manusia, Gar! Bukan bodi motor yang bisa lo dempul!”Sagara hanya menoleh sedikit, memberikan tatapan yang sangat mirip dengan cara Damar memandang lawan bisnisnya penuh perhitungan dan tak tergoyahkan.“Yes, I’m,” jawab Sagara pendek dengan nada arogan yang kental.Ia kembali menyeringai, membayangkan bagaimana ekspresi gadis bernama Ciara itu saat melihat mobil kesayangannya cacat, dan betapa terkejutnya dia saat tahu bahwa Sagara tidak menginginkan uang ayahnya, melainkan sesuatu yang jauh lebih merepotkan bagi gadis itu.“Gue bakal bikin dia tahu, kalau ada beberapa hal di dunia ini yang nggak bisa selesai cuma karena uang dia yang gak berseri!” gumam Sagara.Sagara tidak lagi membuang waktu di parkiran. Setelah puas memberikan ‘motif’ baru pada mobil merah muda itu, ia melangkah mantap menu
“Eh, Lo mau apa, Gar?” “Mau apa? Lo liat aja nanti!” Sagara tidak menjawab. Senyum miring yang persis seperti milik Damar saat sedang merencanakan sesuatu yang kejam terukir di wajahnya. Dengan gerakan perlahan namun pasti, ia merogoh saku balik jaket kulit hitamnya dan mengeluarkan sebuah pisau lipat berkilau. Klik! Mata pisau itu mencuat, memantulkan cahaya lampu merkuri parkiran tepat di depan wajahnya. Ia menyeringai. “Hei, hei! Urungkan niat lo, Gar!” seru Leon, kedua bola matanya mendelik panik. “Lo gak akan bunbun anak orang, ‘kan? Kesian, dia cewek, Gar!” “Lo mau apa? Mau sembelih Babi Pink ini?” timpal Jade, ia mulai merasa Sagara sudah kehilangan akal sehatnya. Sagara tetap acuh. Ia mendekati kap mobil merah muda yang mulus itu, ujung pisau lipatnya ia tempelkan di atas cat mengilap tersebut. “Gak, gue cuma mau buat lukisan,”, bisik Sagara
Setelah mencatat dalam kepala pelat nomor B 1 ARA itu dengan penuh dendam, Sagara menepi ke bahu jalan yang remang. Dia memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam saat melihat betapa remuknya bodi motor sport Ducati yang baru dibelikan ayahnya sebagai kado ulang tahun ke-17 itu. “Bego! Ini kalau gue pulang, burung gue bakalan disunat Ayah dua kali sampe habis!” maki Sagara pada diri sendiri. Dia menjambak rambut hitam sedikit pirang itu. “Ini motor harganya bahkan bisa beli mobil sialan Si Ara sialan itu! Oh, shit! Shit! Ini gimana cara gue pulang kalau gini caranya?” Sagara menendang ban belakang motornya dengan kesal, melampiaskan amarah yang memuncak. “Ah, sakit juga!” rintihnya sambil berjingkat, menambah kekesalannya sendiri. Sebagai ketua geng motor Skylight, harga diri Sagara benar-benar terluka. Dia merasa tidak dihormati oleh ‘Bocil Kematian’ yang memiliki dada rata
“Bunda, Ayah, aku cabut dulu!”“Sagara! Sagara! Mau ke mana, Saga! Saga!”Bruuuum!“Gak apa, penting pamit!”Suara mesin Ducati Panigale V4 Superleggera keluaran terbaru itu menderu garang, memecah ketenangan malam di depan kediaman keluarga Damar. Dengan jaket kulit hitam dan helm full-face yang mengilap, Sagara memutar selongsong gasnya hingga knalpotnya berteriak nyaring, seolah-olah sedang memberikan salam perpisahan provokatif kepada ayah dan mantan ajudan ayahnya di gazebo tadi.Dengan sekali hentakan, motor sport berwarna merah hitam itu melesat membelah jalanan aspal yang masih basah sisa hujan sore tadi.Angin malam yang dingin menerpa tubuhnya, namun Sagara justru merasa tertantang. Di balik kaca helmnya, sepasang mata tajam milik Sagara menyipit penuh antisipasi. Pikirannya sudah melayang jauh melampaui batas kecepatan motornya.Dalam benaknya, ia sudah bisa membayangkan kemeriahan club malam eksklusif yang menjadi tujuannya. Dentuman musik EDM yang menggetarkan dada, ker
Damar tidak bisa lagi menahan tangannya. Wajahnya yang semula tenang kini mengeras mendengar ocehan putranya yang mulai melantur ke arah pembicaraan dewasa. “Gak usah mancing, Saga! Sana, kembali ke kamarmu!” perintah Damar tegas. “Yah, besok itu libur. Gak ada PR tau!” keluh Sagara sambil mengerucutkan bibirnya. Damar menghela napas, mencoba menurunkan tensinya sedikit. “Hm, ya udah. Tapi, tumben gak liburan. Kenapa? Bosen keluar?” “Gak sih, Yah. Gak bosen,” sahut Sagara enteng. Ia lalu menyeringai nakal ke arah ayahnya. “Keluar di dalam lebih seru!” PLAK! Tamparan kecil namun pedas mendarat telak di bahu Sagara. “Aaaw! Ayah! Dikira gak sakit, apa?” pekik Sagara sambil mengusap bahunya yang panas. “Sekali lagi kamu bilang gitu, Ayah hajar kamu!” ancam Damar dengan mata yang benar-benar mendelik. Jimmy yang duduk di samping mereka hanya bisa menutup mulut, menahan tawa sampai bahunya berguncang hebat. “Hm, kaya Ayah gak pernah aja!” gumam Sagara lirih, namun masih







