Share

Saat Ia Mengawasi dari Bayangan

last update Last Updated: 2025-12-10 14:04:34

Lorong panjang rumah Von Richter sunyi seperti lorong museum setelah jam tutup. Cahaya pagi menembus kaca patri, membentuk pola merah-biru yang terpantul di dinding—indah, namun terlalu dingin untuk disebut rumah.

Leonhardt menaiki anak tangga pelan, kedua tangannya berada di saku mantel. Dari luar ia tampak tenang.

Dari dalam—pikirannya belum berhenti bergerak sejak percakapan dengan ayahnya.

Dua Vogel datang bersamaan… peringatan.

Kata-kata Friedrich masih menggantung seperti asap mesiu yang menolak hilang.

Setibanya di lantai atas, ia berhenti.

Ada suara.

Suara dua perempuan.

Pelan. Tidak jelas. Tapi berbeda dari percakapan kosong yang biasanya memenuhi rumah tua itu.

Ia mendekat beberapa langkah, berhenti tepat sebelum sudut koridor.

Kamar tamu terbuka sedikit.

Cahaya lembut jatuh ke lantai, menciptakan irama senyap yang terasa terlalu hangat untuk rumah Von Richter.

Dari celah itu ia melihat—tidak sepenuhnya, hanya bayangan dan siluet:

Margarethe duduk d
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Verifikasi Target: Tidak Ada Vogel Perempuan

    Gedung Standesamt Berlin-Mitte menjulang seperti sosok bisu di antara bayang-bayang beton. Malam menempel di permukaannya, menyembunyikan retakan dan rahasia yang selama bertahun-tahun dibiarkan membusuk di balik cat kelabu. Setiap jendela tampak seperti mata mati yang mengawasi kota tanpa benar-benar peduli. Di atapnya, kamera pengawas berputar lambat, menyapu halaman yang remang. Penjaga keamanan berjalan bergantian, langkah mereka ritmis—terlalu rutin, terlalu percaya diri. Pola yang mudah diprediksi oleh seseorang yang pernah hidup lebih lama di antara bayang-bayang daripada di bawah cahaya. Seseorang seperti Leonhardt. Bayangan bergerak cepat di lorong samping bangunan. Pria itu muncul tanpa suara—pakaian hitam, masker menutupi wajah, tubuhnya menyatu dengan gelap. Hanya matanya yang terlihat dari sela kain, biru dingin yang mempelajari medan seolah seluruh dunia adalah target operasi. Ransel tipis di punggungnya memuat alat-alat yang hanya digunakan oleh orang-orang yang

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Inisiasi Target: Margarethe Vogel

    Uap hangat memenuhi kamar mandi marmer itu. Cahaya lampu tembaga membiaskan warna keemasan pada buih yang terapung di permukaan air—indah, tetapi ada ketegangan yang tidak ikut larut. Seolah dinding ruangan tahu lebih banyak daripada dua orang yang duduk di dalamnya. Adelheid duduk di tepi bak, menggosok punggung kakaknya dengan gerakan pendek dan cepat—bukan manja, tapi gelisah. “Kau lihat tadi?” katanya sambil mendengus. “Friedrich menatapku seperti aku baru saja membongkar rute serangan militer. Padahal aku cuma menyentuh rak buku. Rak buku, Grethe.” Margarethe tidak langsung menjawab. Ia hanya tenggelam sedikit lebih dalam ke air, seakan ingin menghapus sisa tatapan tajam Friedrich dari kulitnya. “Dia menilai semua orang seperti itu,” ucapnya akhirnya. “Bahkan putranya sendiri.” Adelheid memeras spons hingga keluar suara berdecit. “Dan pria itu… entah dia memihakmu atau hanya menjalankan drama keluarga. Kadang kupikir dia bisa menusuk seseorang sambil tetap tampak sopa

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Malam Ketika Kesetiaan Diuji

    Leonhardt angkat bicara—halus, namun cukup tegas memotong arah serangan. “Dia tamu di rumah ini. Jika ada kekeliruan, itu tanggung jawabku.” Nada suaranya datar seperti baja dingin. Friedrich mengalihkan tatapan. “Kau terlambat makan malam. Kau membiarkan istrimu berjalan sendiri di rumah asing. Dan kau tidak memberi instruksi apa pun kepada adik iparmu.” Leonhardt tidak bergeming. “Kukira rumah ini cukup aman, Ayah.” Kata Ayah diucapkan seperti gelar militer—bukan panggilan keluarga. Margarethe menahan napas. Adelheid memandang mereka bolak-balik seperti penonton pertandingan anggar kelas bangsawan. Friedrich menyandarkan diri, wajah tetap tanpa emosi. “Rumah ini aman bagi mereka yang tahu cara berjalan di dalamnya.” Tatapannya kembali menembus Margarethe. “Dan bagi seorang istri keluarga von Richter… kedudukan itu menuntut kecermatan.” Itu bukan nasihat. Itu ujian yang dilemparkan seperti tantangan resmi. Margarethe menegakkan bahu. Sorot matanya na

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Dipanggil ke Meja Sang Jenderal

    Ruang makan keluarga Von Richter sunyi seperti aula pengadilan yang menunggu vonis. Pelayan berjalan tanpa suara, menata peralatan makan seolah sedang menyusun bukti persidangan. Hanya denting logam halus yang menjawab keheningan. Friedrich sudah duduk tegap di ujung meja panjang itu, tubuhnya seperti monumen zaman perang yang menolak roboh. Tatapannya tidak mengarah pada makanan—melainkan pada pintu. Menunggu. Margarethe dan Adelheid masuk, menarik kursi dengan sopan seperlunya. Tidak ada yang menyebutkan satu fakta mencolok: seorang von Richter belum hadir. Atau mungkin… sengaja tidak disebutkan. Tanpa etiket bangsawan, Adelheid langsung mengambil garpu, gerakannya seperti seseorang yang sudah bertemu lapar dari dua generasi sebelumnya. Margarethe baru hendak mengangkat garpu ketika suara rendah Friedrich memotong udara: “Di mana Leonhardt?” Garpunya berhenti di tengah langkah. Adelheid membeku, mata membesar sedikit seperti kucing yang kepergok mencuri ikan. Ked

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Lorong yang Mengintai

    Lorong rumah Von Richter terasa lebih panjang sore itu. Cahaya matahari condong masuk lewat jendela-jendela tinggi, menciptakan bayangan-bayangan tipis yang merayap pelan di sepanjang dinding seperti tangan-tangan halus yang mengikuti setiap langkah. Adelheid berdiri di tengah lorong, memelototi kiri–kanan seperti anak kecil yang dilepas di museum mahal tanpa tur pemandu. “Baik,” gumamnya pelan sambil menepuk pipi sendiri, “mari kita lihat… seberapa aneh keluarga baru kakakku ini.” Ia mulai berjalan. Di sudut lorong, sebuah patung wanita tanpa wajah berdiri anggun, gaunnya mengalir seperti dikerjakan pemahat dengan obsesi berlebihan. Adelheid mendekat sambil menyipitkan mata. “Patung tanpa muka… sangat menenangkan,” komentarnya datar. Ia mengetuk bahu patung itu pelan. Klik. Suaranya kecil, tapi cukup membuatnya membeku. “…hah?” “Fräulein.” Adel hampir melompat. Seorang pelayan muncul tepat di belakangnya—diam, rapi, dan terlalu dekat untuk dianggap normal. S

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Saat Ia Mengawasi dari Bayangan

    Lorong panjang rumah Von Richter sunyi seperti lorong museum setelah jam tutup. Cahaya pagi menembus kaca patri, membentuk pola merah-biru yang terpantul di dinding—indah, namun terlalu dingin untuk disebut rumah. Leonhardt menaiki anak tangga pelan, kedua tangannya berada di saku mantel. Dari luar ia tampak tenang. Dari dalam—pikirannya belum berhenti bergerak sejak percakapan dengan ayahnya. Dua Vogel datang bersamaan… peringatan. Kata-kata Friedrich masih menggantung seperti asap mesiu yang menolak hilang. Setibanya di lantai atas, ia berhenti. Ada suara. Suara dua perempuan. Pelan. Tidak jelas. Tapi berbeda dari percakapan kosong yang biasanya memenuhi rumah tua itu. Ia mendekat beberapa langkah, berhenti tepat sebelum sudut koridor. Kamar tamu terbuka sedikit. Cahaya lembut jatuh ke lantai, menciptakan irama senyap yang terasa terlalu hangat untuk rumah Von Richter. Dari celah itu ia melihat—tidak sepenuhnya, hanya bayangan dan siluet: Margarethe duduk d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status