Share

Surat di Balik Gerimis

Penulis: Pilar Waisakha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-09 00:36:32

Adelheid menunduk, menggigit bibir bawahnya. Lalu ia mencoba tersenyum—senyum kecil yang terlihat rapuh di antara cahaya senja.

“Hei, kita bisa kabur saja dari rumah. Kita buat tenda di luar, seperti dulu waktu kecil. Kau masak air hujan, aku masak rumput—dan kita pura-pura tak punya dunia selain itu.”

Margarethe menatap surat di depannya lama.

Kemudian, tanpa kata, ia meletakkan bolpen, melipat kertas itu dengan hati-hati, dan mengikatnya dengan pita biru kecil dari laci—satu-satunya pita yang masih ia simpan dari masa kanak-kanak mereka.

“Kau tahu kenapa dulu aku membiarkanmu menang dalam setiap permainan masak-masakan itu?” katanya perlahan, suaranya tenang tapi lelah.

“Karena aku tahu... aku tak bisa menang melawan kenyataan. Sekarang pun sama.”

Ia berdiri, meraih mantel di gantungan. Gerakannya teratur, nyaris seremonial.

Adelheid ikut berdiri, matanya mengikuti setiap gerakan kakaknya.

“Kau tahu di mana rumahnya, kan?” tanya Margarethe, nadanya tenang, tapi matanya tak menyembunyikan tekad yang sudah terbentuk.

Adelheid menelan ludah.

“Aku tahu... Kau sungguh ingin ke sana?”

Margarethe tidak langsung menjawab. Ia menatap jendela yang dipenuhi titik-titik air, dan suaranya keluar sangat pelan,

“Jika kebenaran hanya bisa kutemui di tempat itu, maka biarlah aku menemuinya sendiri—meski dengan nama palsu sekalipun.”

Adelheid menggenggam mantel dan syalnya, matanya berkilat.

“Kalau begitu, aku ikut. Akan kutunjukkan jalannya.”

Margarethe menatapnya, hendak menolak, tapi sorot mata adiknya memaksa kata-kata itu tenggelam di tenggorokan.

Maka sore itu, diam-diam dua saudari itu melangkah keluar dari rumah.

Udara dingin menusuk pipi, gerimis menetes lembut di atas jalan batu tua. Suara langkah mereka bergaung pelan, seperti gema dari tekad yang tak lagi bisa ditarik kembali.

Mereka tidak tahu apa yang menunggu di rumah von Richter.

Tapi di antara gemerisik hujan, ada sesuatu yang sudah berubah di mata Margarethe—sebuah keputusan yang, sekali dibuat, tak akan bisa dihapus bahkan oleh sejarah.

*****

Trem tua berderak di atas rel, melintasi jalan-jalan Charlottenburg yang diselimuti kabut sore. Bau besi, hujan, dan arang memenuhi udara.

Margarethe duduk diam di bangku kayu, mantel panjangnya terlipat rapi di pangkuan. Di sampingnya, Adelheid memeluk payung merah yang belum dibuka—warna mencolok di tengah suasana kelabu.

“Aku penasaran,” gumam Adelheid sambil mencondongkan badan, “apa yang kau tulis di surat itu?”

Margarethe melirik sekilas, matanya dingin tapi bibirnya nyaris tersenyum.

“Yang pasti bukan surat cinta.”

Adelheid menaikkan alis. “Atau surat ancaman eksekusi untuk keluarga von Richter?”

Margarethe terkekeh pendek, nada suaranya setengah ironis.

“Kalau iya pun, setidaknya aku menulisnya dengan tata bahasa yang sopan.”

Trem berhenti di halte berikutnya. Suara pintu besi berderit lembut. Adelheid turun lebih dulu, sibuk membuka payungnya yang merah menyala. Margarethe menyusul di belakang, langkahnya mantap menapaki trotoar yang basah oleh gerimis.

“Dari sini kita harus berjalan sedikit,” katanya singkat. “Ayo.”

Mereka berjalan menyusuri jalan batu yang sepi. Bayangan gedung-gedung tua menjulang di kanan kiri, sementara lonceng gereja berdentang jauh di kejauhan. Hujan turun makin deras, menimpa payung kecil di atas kepala mereka.

Akhirnya, di ujung jalan, tampak sebuah bangunan besar bergaya aristokrat lama—pilar batu abu-abu, jendela tinggi, dan di gerbang besinya terukir lambang keluarga: Von Richter.

Margarethe berhenti di depan gerbang itu. Pandangannya naik ke arah jendela-jendela yang gelap, seolah bangunan itu tengah menatap balik dengan mata-mata tua yang tahu terlalu banyak.

“Ini rumahnya?” tanyanya perlahan.

Adelheid menatap ke arah bangunan megah itu, lalu menoleh dengan senyum miring.

“Ya. Terlihat mewah, tapi jangan tertipu. Di dalamnya, orang-orang yang bisa membuatmu menahan napas.”

Margarethe menatapnya sekilas.

“Kau mulai menakutiku, Adel.”

Langkah sepatu terdengar mendekat. Dari balik gerimis, muncul seorang pria tua berjas rapi dengan topi hitam—postur tegap, tatapan penuh selidik.

“Kalian siapa?” tanyanya, suaranya dalam dan berwibawa.

Margarethe menoleh sekilas pada adiknya, tapi sebelum ia sempat menjawab, Adelheid sudah menyalak lebih cepat dari pikirannya.

“Kami keluarga Vogel. Ingin bertemu dengan Tuan Von Richter—Leonhardt von Richter,” katanya, disertai deham kecil yang berusaha terdengar berwibawa.

Pria itu menatap mereka dari balik pagar besi, alisnya berkerut.

“Vogel…? Tapi kalian tidak bisa masuk tanpa membuat janji terlebih dahulu.”

Margarethe dan Adelheid saling berpandangan. Dalam keheningan pendek itu, Margarethe mengeluarkan amplop krem dari saku mantelnya dan mengulurkannya melalui celah pagar.

“Kalau begitu,” katanya tenang, “tolong sampaikan pesan ini padanya.”

Pria itu mengambil amplop itu dengan sedikit kebingungan.

“Baik. Akan saya sampaikan.”

Ia berbalik, langkahnya perlahan menghilang di balik gerimis.

Margarethe dan Adelheid masih berdiri di sana, di depan gerbang tertutup yang membatasi dua dunia.

Adelheid menarik napas kesal. Pipi mudanya memerah karena dingin, air menetes dari ujung payung, jatuh di pelipisnya.

“Kau lihat? Bahkan cara mereka memperlakukan tamu seperti kita saja sudah tidak sopan.”

Margarethe menepuk bahunya perlahan, nada suaranya lembut namun tegas.

“Mungkin karena mereka belum tahu siapa kita.”

Adelheid tersenyum kecil, getir tapi menyala.

“Ya. Dan mereka akan tahu… sebentar lagi.”

Keduanya berjalan menjauh di tengah hujan yang semakin rapat. Langkah mereka meninggalkan jejak samar di jalan batu, sementara di balik jendela rumah tua itu, seseorang—entah siapa—mungkin sudah membaca surat dengan nama Margarethe Vogel tertera di sudutnya.

Pertanyaannya hanya satu:

apakah Leonhardt von Richter akan membuka tangannya…

atau menutup pintu sejarah selamanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Janji yang Tak Bisa Ditarik Kembali

    Semua mata tertuju pada Leonhardt. ia menatap lurus ke depan, lalu perlahan menoleh ke arah Margarethe. Di wajah wanita itu, tak ada isyarat. Tak ada permohonan. Hanya persetujuan diam, seperti dua agen yang menandatangani perjanjian tak tertulis. Lalu ia memalingkan wajahnya. Di sisi kanan altar, bayangan Adelheid berdiri diam. Matanya seperti dua kilat di tengah badai yang tertahan. ia menggigit bibir, menahan kata-kata yang tak bisa ia ucapkan. Masih terlalu muda untuk mengerti, namun terlalu cerdas untuk tidak curiga. Leonhardt kembali menghadap pastor. Dan untuk sesaat, dunia terasa berhenti. Tak ada yang terdengar, kecuali detak jam tua di dinding gereja—setiap dentangnya seperti memaku sesuatu yang tak bisa ditarik kembali. Ia menarik napas pelan. “Aku bersedia,” ucapnya pelan, nyaris seperti doa yang dikirim diam-diam ke langit kelabu. Seolah bukan hanya menjawab untuk hari ini. Tapi untuk semua luka yang belum sembuh, dan masa depan yang belum tentu ia percayai. Se

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Altar Tanpa Doa

    Charlottenburg kediaman Von Richter Leonhardt von Richter berdiri di depan jendela kamarnya. Sunyi. Lapang. Nyaris tanpa kehangatan—seperti dirinya. Tirai dibiarkan setengah terbuka, membiarkan cahaya pagi jatuh di lantai marmer dan memantulkan siluet tubuhnya yang tegap dalam balutan kemeja putih. Tangannya sibuk merapikan dasi hitam yang sedikit miring, tapi gerakannya berhenti sejenak. Ada jeda aneh di sana—antara tarikan napas dan bayangan sosok yang menyelinap tanpa izin. Margarethe. Nama itu saja cukup membuat pikirannya berhenti bekerja seefisien biasanya. Ia melihat bayangan dirinya di cermin. Wajah yang sama dengan yang dipakai untuk bernegosiasi, menyusup, menipu. Tapi pagi ini, sesuatu dalam pantulan itu terlihat berbeda. Mungkin karena kata-kata terakhir wanita itu belum juga menemukan titik akhirnya. Kata-kata yang menggantung seperti peluru yang belum ditembakkan. Suara pelan dalam dirinya berbisik—dingin, tapi tajam: Apa kau yakin? Ia menarik napas dalam. H

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Gaun Putih dan Perpisahan

    Tak ada suara selain desir angin yang menyusup dari celah jendela tua. Di kamar atas rumah keluarga Vogel—tempat dua anak perempuan pernah tumbuh dalam bayang-bayang perang—waktu seolah tertahan. Menunduk dalam sunyi pada sebuah pagi yang enggan dimulai. Margarethe duduk diam di tepi ranjang, wajahnya membeku di depan cermin rias tua. Kayu di sudut-sudut meja mulai lapuk, dan pantulan dirinya di kaca terlihat samar—seolah bukan dirinya, melainkan bayangan seseorang yang ia warisi. Gaun putih sederhana membalut tubuhnya. Terlalu lembut untuk dunia yang keras, terlalu murni untuk kenyataan yang menanti. Gaun itu milik ibu angkatnya, perempuan yang mencintai dalam diam, tanpa pernah menuntut. Di atas meja rias, foto-foto lama berserakan: tawa dua anak kecil yang belum mengenal luka, tangan seorang wanita yang memeluk mereka kala demam, potongan hidup yang kini hanya tersisa dalam hitam dan putih. Margarethe meraih satu bingkai kecil. Jemarinya menelusuri tepian kayu, se

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Permainan yang Tak Bisa Dikendalikan

    Di ruangan bergaya klasik itu, waktu terasa berjalan lambat. Dinding-dinding kayu tua memantulkan bayangan cahaya lampu gantung tembaga yang temaram. Rak buku membentang dari lantai hingga langit-langit, dipenuhi jilid-jilid tua berbahasa Latin dan Prusia. Aroma tembakau halus dan kulit tua memenuhi udara-bekas kejayaan yang tak pernah benar-benar pergi. Dua pria duduk berhadapan dalam keheningan yang lebih berat dari perang. Di antara mereka, sebuah papan catur antik terbuat dari marmer putih dan hitam. Setiap bidaknya tampak seperti peninggalan museum, namun di tangan mereka, semuanya hidup—dan berbahaya. Friedrich von Richter duduk tegak dengan mantel militer tua yang tetap rapi walau warnanya mulai pudar. Tongkat kayu gelap bersandar pada kursinya, tak tersentuh, seperti lambang disiplin yang tak pernah longgar. Wajahnya bersih, mata tajam kebiruan yang seolah bisa menembus dinding pikiran. Ketika ia memindahkan ratu ke tengah papan, gerakannya halus, namun mengandung mak

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Janji yang Tidak Diucapkan

    Malam turun perlahan di atas rumah keluarga Vogel. Angin musim dingin berdesir pelan di sela-sela jendela tua, menggoyangkan tirai renda yang warnanya telah memudar dimakan waktu. Di kamar di lantai atas—kamar yang dulu mereka tempati bersama saat masih gadis kecil—dua sosok duduk dalam diam. Margarethe duduk di tepi ranjang, mantelnya sudah ia tanggalkan. Rambutnya tergerai sebagian, bayangan wajahnya tercermin samar di cermin kecil tua yang tergantung di dinding, tapi ia tidak menatapnya. Pandangannya kosong, terarah ke lantai kayu yang mulai terkelupas di beberapa bagian. Helaan napasnya dalam—bukan berat, hanya terlalu lelah untuk berat. Di sisi lain, Adelheid duduk di kursi rotan dekat jendela. Tangannya menggenggam secangkir teh yang tak lagi mengepul. Ia memeluk lutut, menyandarkan dagunya di sana. Sorot matanya redup—penuh pertanyaan yang belum berani ia ajukan, dan jawaban yang ia takutkan untuk didengar. Beberapa menit berlalu dalam kesenyapan yang rapuh.

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Harga dari Sebuah Keputusan

    Setelah Margarethe pergi dari rumah besar keluarga von Richter, bersama Adelheid yang menggenggam erat tangannya, keheningan kembali menyelimuti ruang tamu bergaya kekaisaran itu. Suara sepatu hak Margarethe memudar di lorong marmer, lalu lenyap di balik pintu utama yang tertutup dengan dentuman tenang-namun gema akhirnya mengguncang dalam kepala Friedrich von Richter. Ia tetap berdiri tegap di balik jendela besar yang menghadap ke taman yang penuh langkah bocah perempuan. Matanya menatap tajam, bukan pada jejak, tapi ke masa lalu yang belum juga padam dalam benaknya. Asap rokok melayang pelan, membingkai wajahnya yang tegas dan beku. Di belakangnya, pelayan tua menunggu dalam diam. Tapi Friedrich hanya mengangkat satu tangan—isyarat kecil yang berarti: jangan ganggu. Tatapannya masih terpatri pada dua sosok muda yang kini melangkah menjauh. la mengenali kekuatan dalam langkah Margarethe, dan sorot tajam dalam mata si adik. Dua keberanian yang seolah tak lahir dari pembesaran...

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status