MasukLangit sore menggantung kelabu di atas rumah besar keluarga von Richter.
Angin berembus membawa butiran hujan yang menepuk-nepuk kaca jendela tinggi, seolah bisikan dari masa lalu yang belum padam sepenuhnya. Seorang pelayan mengetuk pintu ruang kerja Leonhardt, tempat pria muda itu duduk tenang membaca laporan operasi. Di tangannya, sepucuk surat dalam amplop tipis berwarna krem. Pelayan itu membungkuk ringan. “Ada kiriman untuk Anda, Herr Leonhardt,” katanya pelan — Herr adalah sebutan sopan dalam bahasa Jerman yang berarti “Tuan.” “Dikirim langsung oleh kurir pribadi. Dari Fräulein Vogel,” lanjutnya. Fräulein sendiri berarti “Nona,” sapaan untuk wanita muda yang belum menikah. Leonhardt tak menjawab, hanya mengangkat alis sedikit. Nama itu asing. Ia mengambil suratnya dan membuka perlahan. Isinya singkat—tapi rapi, dan terasa personal: Herr Leonhardt, Jika Anda bersedia meluangkan waktu, saya ingin bertemu secara pribadi. Bukan karena permintaan ayah saya, atau karena apa pun yang terjadi sebelumnya. Melainkan karena… ada hal-hal yang tak bisa dibicarakan lewat perantara. Tertanda, Margarethe Vogel. Leonhardt membacanya dua kali. Diam. Lalu berdiri. Ia berjalan menyusuri koridor menuju ruang kerja ayahnya. Ia membuka pintu kayu berat yang menghubungkan dunia operasi dan politik dengan dunia lelaki tua yang menyimpan terlalu banyak rahasia. Leonhardt berdiri di ambang pintu. “Surat dari Margarethe Vogel.” Friedrich von Richter duduk di balik meja kayu gelapnya, tubuhnya tegak tapi membisu. Ia tidak langsung menoleh. Hanya sebuah gerakan kecil di garis rahangnya yang menandakan sesuatu—ketegangan atau... keterkejutan yang disembunyikan. “Margarethe Vogel…” gumamnya. Seolah nama itu bukan hanya nama seseorang, tapi sebentuk masa lalu yang belum mati. Leonhardt melangkah masuk, meletakkan surat itu di atas meja ayahnya tanpa suara. Friedrich mengambilnya perlahan. Jari-jarinya, yang pernah menandatangani perintah pembantaian dan perjanjian rahasia, kini gemetar nyaris tak terlihat. Ia membaca cepat. Lalu diam lama, menatap ke luar jendela besar yang menghadap taman yang kini diguyur hujan lembut. Tetes-tetes air mengalir di kaca, memburamkan pemandangan, seakan dunia pun ikut menunduk di bawah beban yang sama. “Lakukan apa yang dia mau,” katanya akhirnya, suara pelan, tapi final. Leonhardt menatapnya beberapa detik. Tidak bertanya. Tidak mengangguk. Hanya diam, lalu berbalik meninggalkan ruangan seperti seorang prajurit yang menerima misi tanpa briefing. Di lorong batu yang dingin dan lengang, langkah sepatu Leonhardt terdengar seperti gema dari keputusan yang belum ia mengerti. Nama itu kembali berputar di kepalanya: Margarethe Vogel. Ia belum pernah mendengarnya. Perlahan sesuatu tumbuh di dadanya: firasat, atau mungkin... rasa ingin tahu. Dan kenapa suara ayahnya terdengar begitu... letih. ***** Malam itu, hujan sudah reda ketika Margarethe dan Adelheid kembali ke rumah tua Ernst Vogel di Prenzlauerberg. Mantel mereka basah, menetes di lantai kayu. Adelheid menutup payungnya dan menaruhnya sembarangan di depan pintu, namun saat Margarethe meraih gagang pintu, seseorang sudah lebih dulu membukanya. “Ayah…” Ernst berdiri di ambang, wajahnya tenang tapi matanya menyimpan sesuatu. Ia tidak bertanya ke mana kedua putrinya pergi. “Masuklah. Aku sudah siapkan makan malam.” Margarethe mengangguk pelan dan melangkah masuk, diikuti Adelheid. “Adel,” suara Ernst menyusul lembut namun tegas. Gadis itu menoleh setengah malas. “Ya?” “Kau sudah besar, Adel. Taruh barangmu di tempatnya. Akan repot kalau aku terus-terusan membantu mencari barang yang hilang.” Adelheid cemberut, lalu kembali keluar menaruh payungnya di tempat seharusnya. ***** Di ruang makan sederhana itu hanya terdengar denting sendok dan suara kunyahan pelan. Tidak ada yang berani bicara sejak pertengkaran itu. Margarethe sesekali melirik ayahnya, namun Ernst hanya fokus pada piring di depannya. Tiba-tiba, suara bel terdengar dari arah pintu. Margarethe hampir berdiri, tapi Adelheid bergegas lebih dulu. “Biar aku saja.” Ia membuka pintu. Seorang pengantar surat berdiri di ambang, menyodorkan amplop putih. “Pos kilat, Fräulein. Tanda tangan di sini.” Adelheid menandatangani cepat, lalu menoleh sekilas ke ruang makan sebelum menutup pintu. “Terima kasih.” Ernst melirik. “Surat dari siapa?” “Undangan dari temanku,” jawab Adelheid santai. “Pesta ulang tahun.” Margarethe mengerutkan kening. “Ulang tahun?” Ernst hanya menatap lama, tapi tidak berkata apa-apa lagi. ***** Setelah makan malam usai, mereka naik ke kamar di lantai atas. Begitu pintu tertutup, Margarethe langsung menatap adiknya tajam. “Baiklah. Sekarang katakan—surat dari siapa barusan?” Adelheid terkekeh, lalu menjatuhkan diri ke kasur dengan gaya santainya. Ia mengeluarkan amplop tipis dari balik blusnya. “Coba tebak, dari siapa?” Margarethe meraih amplop itu, memeriksanya. “Tak ada nama pengirim... apa temanmu sedang bercanda?” “Ini surat balasan dari von Richter,” jawab Adelheid dengan mata berbinar. Margarethe tertegun. “Sungguh? Secepat ini? Dan kenapa suratnya begitu misterius?” Ia membuka amplop itu. Tulisan di dalamnya ringkas—tanpa salam pembuka, tanpa basa-basi: Temui aku besok. —Leonhardt von Richter. Adelheid mendengus. “Apa-apaan ini? Tidak sopan sekali. Setidaknya tulislah ‘Wahai calon istriku yang terhormat’.” Margarethe menatapnya—antara geli dan khawatir. “Adel…” “Ya, ya,” potong gadis itu cepat. “Jadi besok pagi kita ke sana?” Margarethe menarik napas pelan. “Ya. Tapi alasan kita pada Ayah?” Adelheid tersenyum nakal. “Aku sudah bilang padanya itu undangan pesta ulang tahun. Jadi... pakai alasan itu saja.” Margarethe menggeleng, menahan senyum. “Bisa juga.” Adelheid merebut kembali surat itu, menatapnya seolah ingin membaca ulang setiap huruf. “Tapi kau sungguh bersedia menjadi istrinya? Aku tidak yakin dia pria yang baik—cara menulis suratnya saja seperti rentenir menagih utang.” Margarethe berbaring, menatap langit-langit. “Tentu saja tidak. Siapa yang mau hidup dengan pria sepertinya.” Adelheid menatap heran, berbaring telungkup di sampingnya. “Lalu... untuk apa kita ke sana?” Margarethe tersenyum samar, lalu membisikkan sesuatu ke telinga adiknya. Adelheid membelalak. “Hei, itu ide gila! Kau pikir dia akan percaya begitu saja?” Margarethe menoleh separuh, matanya berkilat pelan. “Kalau dia cukup bodoh, berarti aku menang. Kalau tidak—setidaknya aku akan tahu seberapa berbahaya calon suamiku.” Adelheid menatap kakaknya lama, lalu tersenyum kecil. “Kalau begitu... kita lihat besok.” Lampu kamar temaram. Di luar, hujan turun perlahan—menabuh genting dalam irama rahasia. Dua saudari itu saling berpandangan—tanpa tahu bahwa langkah kecil mereka esok pagi akan menjadi awal dari permainan yang jauh lebih besar dari sekadar perjodohan.Semua mata tertuju pada Leonhardt. ia menatap lurus ke depan, lalu perlahan menoleh ke arah Margarethe. Di wajah wanita itu, tak ada isyarat. Tak ada permohonan. Hanya persetujuan diam, seperti dua agen yang menandatangani perjanjian tak tertulis. Lalu ia memalingkan wajahnya. Di sisi kanan altar, bayangan Adelheid berdiri diam. Matanya seperti dua kilat di tengah badai yang tertahan. ia menggigit bibir, menahan kata-kata yang tak bisa ia ucapkan. Masih terlalu muda untuk mengerti, namun terlalu cerdas untuk tidak curiga. Leonhardt kembali menghadap pastor. Dan untuk sesaat, dunia terasa berhenti. Tak ada yang terdengar, kecuali detak jam tua di dinding gereja—setiap dentangnya seperti memaku sesuatu yang tak bisa ditarik kembali. Ia menarik napas pelan. “Aku bersedia,” ucapnya pelan, nyaris seperti doa yang dikirim diam-diam ke langit kelabu. Seolah bukan hanya menjawab untuk hari ini. Tapi untuk semua luka yang belum sembuh, dan masa depan yang belum tentu ia percayai. Se
Charlottenburg kediaman Von Richter Leonhardt von Richter berdiri di depan jendela kamarnya. Sunyi. Lapang. Nyaris tanpa kehangatan—seperti dirinya. Tirai dibiarkan setengah terbuka, membiarkan cahaya pagi jatuh di lantai marmer dan memantulkan siluet tubuhnya yang tegap dalam balutan kemeja putih. Tangannya sibuk merapikan dasi hitam yang sedikit miring, tapi gerakannya berhenti sejenak. Ada jeda aneh di sana—antara tarikan napas dan bayangan sosok yang menyelinap tanpa izin. Margarethe. Nama itu saja cukup membuat pikirannya berhenti bekerja seefisien biasanya. Ia melihat bayangan dirinya di cermin. Wajah yang sama dengan yang dipakai untuk bernegosiasi, menyusup, menipu. Tapi pagi ini, sesuatu dalam pantulan itu terlihat berbeda. Mungkin karena kata-kata terakhir wanita itu belum juga menemukan titik akhirnya. Kata-kata yang menggantung seperti peluru yang belum ditembakkan. Suara pelan dalam dirinya berbisik—dingin, tapi tajam: Apa kau yakin? Ia menarik napas dalam. H
Tak ada suara selain desir angin yang menyusup dari celah jendela tua. Di kamar atas rumah keluarga Vogel—tempat dua anak perempuan pernah tumbuh dalam bayang-bayang perang—waktu seolah tertahan. Menunduk dalam sunyi pada sebuah pagi yang enggan dimulai. Margarethe duduk diam di tepi ranjang, wajahnya membeku di depan cermin rias tua. Kayu di sudut-sudut meja mulai lapuk, dan pantulan dirinya di kaca terlihat samar—seolah bukan dirinya, melainkan bayangan seseorang yang ia warisi. Gaun putih sederhana membalut tubuhnya. Terlalu lembut untuk dunia yang keras, terlalu murni untuk kenyataan yang menanti. Gaun itu milik ibu angkatnya, perempuan yang mencintai dalam diam, tanpa pernah menuntut. Di atas meja rias, foto-foto lama berserakan: tawa dua anak kecil yang belum mengenal luka, tangan seorang wanita yang memeluk mereka kala demam, potongan hidup yang kini hanya tersisa dalam hitam dan putih. Margarethe meraih satu bingkai kecil. Jemarinya menelusuri tepian kayu, se
Di ruangan bergaya klasik itu, waktu terasa berjalan lambat. Dinding-dinding kayu tua memantulkan bayangan cahaya lampu gantung tembaga yang temaram. Rak buku membentang dari lantai hingga langit-langit, dipenuhi jilid-jilid tua berbahasa Latin dan Prusia. Aroma tembakau halus dan kulit tua memenuhi udara-bekas kejayaan yang tak pernah benar-benar pergi. Dua pria duduk berhadapan dalam keheningan yang lebih berat dari perang. Di antara mereka, sebuah papan catur antik terbuat dari marmer putih dan hitam. Setiap bidaknya tampak seperti peninggalan museum, namun di tangan mereka, semuanya hidup—dan berbahaya. Friedrich von Richter duduk tegak dengan mantel militer tua yang tetap rapi walau warnanya mulai pudar. Tongkat kayu gelap bersandar pada kursinya, tak tersentuh, seperti lambang disiplin yang tak pernah longgar. Wajahnya bersih, mata tajam kebiruan yang seolah bisa menembus dinding pikiran. Ketika ia memindahkan ratu ke tengah papan, gerakannya halus, namun mengandung mak
Malam turun perlahan di atas rumah keluarga Vogel. Angin musim dingin berdesir pelan di sela-sela jendela tua, menggoyangkan tirai renda yang warnanya telah memudar dimakan waktu. Di kamar di lantai atas—kamar yang dulu mereka tempati bersama saat masih gadis kecil—dua sosok duduk dalam diam. Margarethe duduk di tepi ranjang, mantelnya sudah ia tanggalkan. Rambutnya tergerai sebagian, bayangan wajahnya tercermin samar di cermin kecil tua yang tergantung di dinding, tapi ia tidak menatapnya. Pandangannya kosong, terarah ke lantai kayu yang mulai terkelupas di beberapa bagian. Helaan napasnya dalam—bukan berat, hanya terlalu lelah untuk berat. Di sisi lain, Adelheid duduk di kursi rotan dekat jendela. Tangannya menggenggam secangkir teh yang tak lagi mengepul. Ia memeluk lutut, menyandarkan dagunya di sana. Sorot matanya redup—penuh pertanyaan yang belum berani ia ajukan, dan jawaban yang ia takutkan untuk didengar. Beberapa menit berlalu dalam kesenyapan yang rapuh.
Setelah Margarethe pergi dari rumah besar keluarga von Richter, bersama Adelheid yang menggenggam erat tangannya, keheningan kembali menyelimuti ruang tamu bergaya kekaisaran itu. Suara sepatu hak Margarethe memudar di lorong marmer, lalu lenyap di balik pintu utama yang tertutup dengan dentuman tenang-namun gema akhirnya mengguncang dalam kepala Friedrich von Richter. Ia tetap berdiri tegap di balik jendela besar yang menghadap ke taman yang penuh langkah bocah perempuan. Matanya menatap tajam, bukan pada jejak, tapi ke masa lalu yang belum juga padam dalam benaknya. Asap rokok melayang pelan, membingkai wajahnya yang tegas dan beku. Di belakangnya, pelayan tua menunggu dalam diam. Tapi Friedrich hanya mengangkat satu tangan—isyarat kecil yang berarti: jangan ganggu. Tatapannya masih terpatri pada dua sosok muda yang kini melangkah menjauh. la mengenali kekuatan dalam langkah Margarethe, dan sorot tajam dalam mata si adik. Dua keberanian yang seolah tak lahir dari pembesaran...







