Damien mengeluarkan kunci yang disimpannya. Memutar kunci hingga pintu itu terbuka. Tapi aku kembali menutupnya. Kusandarkan tubuhku di pintu. Mengurangi keterkejutanku pada kalimatnya. Tubuhku ingin ambruk, tapi aku memaksa kakiku untuk menyangga.
“Katakan kau berbohong,” suaraku bergetar. Kularikan tanganku ke bibir, menutup mulutku dengan sebelah tanganku.
Damien menatapku dengan ekspresinya yang tanpa topeng. Wajahnya terlihat kecut, dia menarik sudut bibirnya, tersenyum miris.
Aku tidak ingin mempercayainya.
Tapi aku mengetahui dirinya hampir seluruh hidupku. Ekspresinya yang menyakitkan, yang membahagiakan, aku mengetahui semuanya.
Udara terasa menyesakkan.
Aku tidak tahu kapan aku menangis. Aku baru menyadari saat wajahku sudah basah karena air mata. “Damien katakan kau berbohong!” bentakku.
Aku bisa melihat tubuhnya mundur selangkah. Langkah defensif yang dia ambil, menolak untuk menjawab secara halus. Ada jejak jijik pada ekspresinya yang kembali berangsur datar. Jijik pada dirinya sendiri.
Tawa Damien terdengar miris. Ada segelintir nada benci pada tawanya. “Aku ingin kau menjauhiku, untuk alasan yang salah.” suaranya terdengar seperti hembusan angin musim dingin. Pelan tapi menusuk. “Aku membakar konteiner tempatnya tinggal. Membakar habis seluruh alasanku bermimpi buruk setiap malam.”
Oh sayangku!
Damien menyandarkan tubuhnya ke dinding. Tak lama tubuh itu merosot turun hingga ke lantai. Aku bisa melihat usahanya untuk tetap terlihat tegar selama ini. Selama setahun. Tapi pertanyaanku yang menusuknya membuat seluruh pertahanan dirinya runtuh. Tak menyisakan apapun untuk dipegangnya.
“Aku selalu mengenalmu, kau tahu.” Damien mendongak, menatapku dengan wajahnya yang lelah. “Tapi setahun yang lalu, dan saat ini, aku tidak mengenalmu. Dame kau berjanji padaku untuk selalu hidup dengan akal sehatmu. Tapi kau melanggar janjimu.”
“Maafkan aku,”
Aku mendengus muak. “Kau membohongiku dua kali. Untuk alasan menyeramkan seperti itu, kau melepaskanku. Aku selalu memintamu untuk membawaku kemanapun kau pergi. Tapi kau tidak menginginkannya,”
“Aku melakukannya karena mencintaimu.”
Aku tertawa, “Kau tidak mencintaiku, Damien. Kau tidak mencintaiku karena kau sanggup melakukannya. Seharusnya kau mendengarkanku, seharusnya kau membawaku. Mimpi-mimpi mengerikanmu, apa kau tahu bahwa aku selalu menangis setelah kau selesai menceritakannya padaku? Aku merasakannya, Damien. Aku merasakannya.”
“Abby,”
Aku mengangguk, memahami semuanya dengan perasaanku yang campur aduk saat ini. Aku bisa melihat penyesalan Damien karena mengecewakanku. Aku bisa melihat kerinduannya padaku, tapi aku menolak semuanya.
Pembunuhan itu, aku tidak akan menghakiminya tentang itu. Batinnya selalu berkecamuk, menginginkan kematian ayahnya, tapi akal sehatnya selalu menginginkan dia melangkah maju. “Jika saat itu kau mengatakan padaku bahwa kau membuat keputusan untuk melenyapkannya, aku akan mengijinkanmu melakukannya.” Ungkapku jujur.
Kali ini giliran Damien yang tertawa. “Karena itu, Abby. Aku membuatmu menjauhiku karena itu. Aku tidak ingin melumuri tanganmu dengan kesalahan yang kubuat.”
Perlahan, Damien berdiri. Kakinya belum siap, tapi dia memaksa hingga tubuhnya berdiri dengan baik. Damien melangkah mendekatiku, kemudian kedua lengannya memelukku erat.
Selama setahun rasa benci yang kumiliki untuknya berubah menjadi sebuah penyesalan. Menyesal karena aku terlalu mencintainya.
Satu tahun yang laluSudah satu minggu aku tidak bisa menghubungi Damien. Aku sudah mengirimkan puluhan pesan suara padanya. Dan mungkin dia juga belum mendengarnya.Seminggu yang lalu Damien menceritakan kisah lucunya padaku. Kisah tentang dirinya yang ingin menguliti ayahnya. Menjadikannya bagian-bagian kecil untuk dijadikan umpan ikan saat dia pergi berlayar di pertengahan tahun nanti.Fantasi-fantasi liar Damien yang membuatku takut. Keinginan mengerikan Damien yang jarang muncul, tapi masih membuatku merinding setiap kali mendengarnya. Kembali kuraih ponsel yang sejak sepuluh menit yang lalu kutatap nyalang. Kutekan speed dial dengan penuh cemas. Damien harus mengangkat ponselnya atau aku akan mendobrak apartemennya.“Abby?” Suara Damien terdengar berdengung. Dia pasti sedang mabuk. Aku bersyukur dia akhirnya menghidupkan ponselnya, tapi tidak dengan keadaan mabuk seperti ini. “Ab
Selama satu minggu ini, cuaca Forks cukup baik. Matahari muncul menjelang pukul sepuluh dan kabut yang tidak terlalu tebal. Semua orang melakukan aktivitas diluar rumah dengan bahagia. Tapi tidak denganku. Aku bergelung pada selimut, memasang pemanas ruangan meskipun cuaca tidak terlalu sejuk. Selama satu minggu ini, aku kembali mengasingkan diriku didalam rumah. Mengabaikan seluruh panggilan dan juga pesan dari teman-temanku. Mengabaikan pertanyaan kesal mom yang semakin hari berubah menjadi pertanyaan kebingungan. Aku tidak mengatakan apapun. Aku tidak ingin melihat siapapun. Mom mengetuk pintuku untuk yang kelima kalinya pagi ini. Memaksaku untuk keluar kamar dan mengatakan sesuatu. Tapi aku hanya mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Mungkin mom mengira aku belum siap melihat Ben dan Sidney di sekolah. Dan aku sedang tidak ingin meluruskan pemikiran mom yang salah. Kubiarkan seluruh asumsi orang-orang yang melihatku kembali mengurun
Hari ini mom berangkat ke New York. Beberapa kliennya ingin dirinya langsung yang menjadi pengacara. Mom tidak tahu kapan dia akan pulang. Mungkin dua minggu lagi, atau mungkin sebulan lagi. Setelah membantunya melipat beberapa pakaian untuk dimasukkan kedalam koper, mom menutup koper, mendorong koper itu hingga bergerak menjauh dan membentur kursi goyang. Mom melirik sekilas arlojinya, kemudian menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Wajahnya menatapku, dengan seringaian lucu. "Beberapa hari ini berjalan dengan baik?" Aku masih kesal dengan ibuku. Tapi bagaimanapun juga, dia adalah ibuku. Rasa sayangku padanya jauh lebih besar dari kekesalanku. Mungkin karena kami hidup berdua. Mungkin karena aku hanya memilikinya. Aku mendengus. Bergabung dengan ibuku. "Orang-orang berpikir aku terpuruk karena Sid dan Ben. Tapi semuanya baik-baik saja." Jelasku. Mom bergerak miring, menarik kepalaku. Membawanya kedalam dekapannya. Hal yang sejak kecil selal
Aku menyelesaikan seluruh tugas yang diberikan guru-guru kepadaku dalam waktu empat hari. Mengurus beberapa hal untuk akhir semester, sebelum aku menyerahkannya ke bagian administrasi. Aku tidak perlu ikut ujian semester, hal yang memang kuinginkan. Dan aku akan menghabiskan beberapa minggu menjelang libur semester dengan kehidupanku yang tenang—kuharap. Hari jumat sepulang sekolah, aku mencuci mobil dan menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah. Kuselesaikan daftar pekerjaan yang ingin kukerjakan dengan sebaik mungkin. Mom akan menghabiskan akhir minggu dirumah—janjinya semalam saat aku menelponnya—jadi aku akan membuat rumah ini menjadi layak untuk ditinggali. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, aku mengecek surel. Melihat pesan masuk dari beberapa universitas tempatku mendaftar kuliah. Dua sudah membalas, selebihnya belum. Jadi aku memutuskan untuk menutup laptop dan menyiapkan makan siangku. Omelet bukanlah hal yang sulit untuk dimasak. Aku selesai membua
Damien pulang bersamaan dengan kedatangan mom. Mereka berbicara beberapa saat, kemudian Damien melambaikan tangan dengan mom—dan aku. Aku membantu mom mengeluarkan koper di bagasi. Ada beberapa tas belanja yang khusus dibeli untukku. "Dame berkunjung?" Aku mengangguk. Kutaruh koper mom kedalam kamar, dan barang-barang lainnya diruang TV. "Ransel?" tanyaku saat aku mengeluarkan isi tas belanja—tidak menggubris pertanyaan mom. "Hm," suara mom terdengar di dapur. Kemudian dia ikut bergabung denganku dan membuka barang belanja mom. "Sudah berbaikan dengannya?" Mendengar pertanyaannya membuatku memutar mata. Mom mendelik tak suka, tapi aku membalasnya dengan dengusan. "Kupikir berbaikan bukan kata yang tepat." Mom tertawa, "Jadi?" "Berusaha memaafkan." Jawabku cepat. "Aku hanya berpikir, jika hidupku akan lebih tenang jika memaafkannya." Jawabku. Kulirik mom, dia mengangguk. Dia tersenyum, tapi kemudian cepat-cepat disembunyikannya. "Dan?"
Pagi hari, aku terbangun dengan mimpi Damien yang berusaha menelanjangi Hannah. Mimpi sialan itu membuat perasaanku campur aduk. Kularikan pandanganku ke sudut bawah ranjang. Melirik jaket denim yang harus kuberikan pada Damien. Ini menyebalkan! Aku baru berusaha untuk memaafkan perbuatan yang dilakukannya setahun yang lalu padaku. Tapi mimpi yang barusan kualami terasa begitu jelas, seperti kejadian yang kulihat semalam. Begitu segar, begitu memuakkan. Ponselku bergetar. Menemukan pesan dari nomer tak tersimpan. Damien, sudah pasti. Kau sudah bangun? Anehnya, pesan itu terlihat tidak seperti Damien. Pesan yang biasanya dia kirimkan hanya pesan-pesan penting, tidak seperti sekarang yang terdengar basa-basi. Setelah menatap layar ponselku selama satu menit, kuputuskan untuk mengabaikan pesannya. Kularikan tubuhku ke kamar mandi. Menyetel air hangat di shower dan me
Aku tidak tahu harus kemana. Ini masih pagi—dan hujan. Berkeliling di Forks hanya membuat bensinku habis tanpa mendapatkan apapun. Aku membutuhkan pakaian kering. Jadi, saat aku melintasi FunkyForks milik orang tua West, kulihat toko pakaian milik mereka sudah terbuka. Kutepikan mobilku disebelah jalan masuk rumah West. Dengan cepat aku keluar dan berlari menuju tempat pakaian itu. Mendapati Joan sedang menyusun kaos-kaos di bagian atasan. Dia menoleh ketika bunyi lonceng diatas pintu berdenting pelan. Wajahnya berkerut bingung karena pakaianku yang basah kuyup. "Kau berjalan kaki kemari, Abby?" suaranya terdengan kuatir. Dengan cepat dia meraih mantel baru disebelahnya, kemudian menyelimutiku yang menggigil kedinginan. Aku mengerang senang ketika mantel itu menyelimutiku. Sedetik kemudian aku teringat dengan jaket yang sempat kubawa dan kulemparkan kebelakang jok pengemudi. "Trims, Mrs. Harvey." Balasku dengan suara penuh syukur. "Dimana Wes
Aku menghabiskan sisa hari ini dengan mengelilingi Port Angeles. Melihat matahari terbenam diantara gedung-gedung didepanku, merasakan angin yang menyapu tubuhku, membuang seluruh kenangan menjengkelkan hari ini. Aku tidak menjawab telepon dari mom. Hal yang memang ingin aku lakukan sejak pagi tadi. Ada puluhan pesan yang terpampang di ponselku, dan pastinya itu semua berasal dari mom. Ada sedikit sensasi kemenangan dalam diriku ketika pada akhirnya ponselku terus bergetar tanpa jeda. Teror darinya benar-benar membuatku merasa puas. Kubalas puluhan panggilan dan pesan yang sengaja tak kujawab dengan pesan singkat. Aku tidak ingin diganggu. Matahari terbenam didepanku kembali menarik perhatianku. Juga membuatku memutuskan untuk kembali ke Forks, sebelum hari berubah gelap. Kuhidupkan mesin mobilku, kemudian keluar dari tempat parkir gedung perkantoran yang terlihat sederhana. Mata