Share

Bagian 5

Satu tahun yang lalu

“Baik, aku menyerah!” aku tidak suka belajar. Tapi mom memberikan syarat mengerikan itu jika aku ingin ponsel baru. Hanya untuk ponsel!

Damien tersenyum singkat sebelum kembali menatap buku. Seakan-akan buku itu bisa berlubang jika terus dia tatap, Damien tak mengalihkan pandangannya bahkan saat aku bergulingan seperti kaleng bir kosong.

Aku melemparkan kacamataku pada Damien. Dia menoleh sejenak, kemudian kembali membaca bukunya. “Demon,” rengekku seperti anak kecil.

Jika mom melihat kelakuanku sekarang maka hal pertama yang akan dilakukannya adalah melempariku dengan bantal. Tapi beruntungnya aku hari ini karena mom sedang lembur di kantor dan akan pulang larut.

“Damien!” kutarik-tarik lengan kemeja Damien, membuatnya terpaksa untuk kembali mengalihkan fokusnya padaku. Wajahnya mencair sejenak—aku bisa melihat ekspresinya yang terlihat terganggu—kemudian kembali seperti semula. “Aku lapar,” keluhku.

“Kau akan mendapatkan makananmu jika menyelesaikan soal-soal itu.” suaranya terdengar menyenangkan ditelingaku, meskipun hanya berupa gumaman.

Aku menarik diriku untuk duduk. Kemudian kusandarkan kepalaku pada meja, sementara tanganku menyentuh bulu-bulu karpet yang menjadi alas duduk kami.

Jika saat seperti ini Damien tidak akan luluh dengan kata-kata yang kuucapkan, maka langkah selanjutnya yang harus kulakukan adalah merajuk. Kutatap dia dengan pandangan kesal dengan bibir mencebik khas diriku.

Dan Damien hanya bertahan selama dua menit. Dia akhirnya menutup buku yang sedang dibacanya, kemudian menarikku hingga berdiri bersamanya.

Dengan cepat kulingkarkan kedua tanganku pada lehernya, kemudian kedua kakiku pada pinggangnya. Kusurukkan wajahku ke ceruk lehernya. Mengcium bau tubuhnya yang selalu kurindukan. Damien membawa tubuhnya ke sofa panjang di ruang TV. Menyandarkan tubuhnya pada lengan sofa, dengan kedua tangannya yang memelukku erat.

“Aku ada kelas besok,” ujarnya.

“Aku akan membolos besok,” balasku cepat.

Ugh! Aku hanya ingin menghabiskan esok hari dengan dirinya. Hanya dengan dirinya. Bergelung di selimut, membahas banyak hal dan bermalas-malasan. Aku tidak ingin keluar rumah. Aku hanya ingin di rumah dengan dirinya, seharian.  

Angel—”

“Aku ingin kau bolos denganku,” kataku keras kepala. Kulepaskan wajahku dari ceruk lehernya, menatap Damien yang membalas tatapanku dengan datar. “Aku merindukan dirimu.” Lanjutku.

Damien menarik wajahku padanya. Memberikan bibirnya pada bibirku, melepaskan kerinduan yang selama ini kumiliki untuknya. Dia yang pertama melepaskan ciuman kami. Wajahnya menatapku.

Ekspresinya penuh luka.

“Ada apa?”

Kuarahkan jariku pada wajahnya. Menyentuh pelipisnya, turun ke pipi, kemudian pada rahangnya. Aku mengusap bekas luka pada rahangnya, bekas yang ayahnya tinggalkan untuk dirinya. Selamanya.

Damien memejamkan mata. Wajahnya yang terlihat baik-baik saja saat didepan semua orang berbeda saat bersamaku. Saat ini, aku melihat wajahnya yang rapuh. Ekspresi penuh lukanya, keinginannya untuk mati, keinginannya untuk membunuh ayahnya, kebenciannya pada dunia, kebenciannya pada dirinya sendiri. Aku melihat semuanya.

Saat ini.

Damien menyunggingkan senyum.

Senyum yang rasanya cukup mengerikan. Seperti seorang psikopat yang tersenyum setelah selesai menggantung korbannya. Senyum dirinya pada keinginan kelamnya. Senyum yang sudah beberapa tahun terakhir jarang kulihat.

“Aku memimpikan dia.”

Oh!

Kalimat singkatnya membuatku bertindak secara impulsif. Kuraih bibirnya, mengambil seluruh ucapan mengerikan yang belum dia keluarkan. Membuatnya lupa untuk sesaat. Damien membalas ciumanku. Tangannya yang memelukku erat mulai melonggar, merambat lambat menciptakan hasrat yang selalu kami tahan. Sebelah tangannya menelusup kedalam kaosku. Tangannya menyentuh kulitku.

Tapi kemudian dia melepaskan ciuman kami. Tangannya kembali ketempat asalnya. Wajahnya menatapku yang merasa kecewa. “Aku mencintaimu.” Ujarnya.

“Aku lebih mencintaimu.” Balasku sebelum kembali menciumnya.

Damien menggenggam penuh rambutku, menekan dengan keras, hingga aku bisa merasakan keinginannya yang dia tahan. “Apapun itu, jangan.” Ujarku. “Kau harus terus berjalan, demon. Aku selalu bersamamu,” janjiku.

Untuk saat ini, aku tidak ingin memikirkan apapun. Aku hanya ingin ketenangan jiwanya. PTSD yang dia idap, harus ada jalan keluarnya. Psikiatri yang sering kami kunjungi memberikan banyak progres positif.

Damien mampu terlihat baik-baik saja. Psikiaternya sangat menyukai perubahan sikap Damien dari waktu ke waktu. Tapi dibelakang psikiaternya, pikiran menyeramkan Damien tetap ada. Kemarahan yang dia simpan dengan rapi; kebencian yang dia pupuk; ketakutan yang menjeratnya; delusi yang menggerogotinya—semuanya mampu dia simpan dengan baik dan di tumpahkan padaku.

Damien… terlalu lihai dalam menyimpan semuanya. 

“Mungkin kau bisa, tapi aku tidak.” Balasnya cepat. “Aku bukan orang yang pantas untukmu. Mimpiku kembali lagi, angel. Setiap malam, setiap aku memejamkan mata, aku memimpikan dirinya. Memimpikan dia menghantam ibuku dengan kursi. Menancapkan pisau pada punggungnya. Tawa mengerikannya. Aku memimpikan semuanya selama beberapa bulan terakhir.

“Kemudian saat aku bangun, aku membayangkan untuk membunuhnya dengan banyak cara kejam yang aku tahu. Kadang-kadang jika aku beruntung didalam mimpiku aku mampu membunuhnya. Kemudian ibuku kembali hidup. Kami mengubur mayatnya, atau menghanyutkannya. Kadang-kadang aku hanya meninggalkan mayatnya. Kami bahagia.

“Tapi aku hanya bermimpi, angel. Saat aku terbangun semuanya terasa menyakitkan. Aku meminum antidepresan, tapi tidak ada yang berpengaruh.”

“Kau punya aku, Damien.” Bisikku pelan.

Damien mengangguk setuju. “Hanya dirimu. Hanya kau yang selalu membuatku tenang. Setiap aku tidur dan memelukmu, aku tidak akan memimpikan apapun. Aku bergantung padamu, tapi aku tidak bisa menyeretmu pada kegilaanku. Aku tidak normal, Abby. Keinginanku untuk membunuhnya semakin kuat setiap harinya. Aku ingin berhenti. Tapi keinginan berhenti hanya saat bersamamu.”

“Bawa aku, Damien. Aku selalu bersamamu.” Jawabku cepat—menatap wajahnya yang begitu tersiksa.

Oh sayangku!

“Kumohon, jangan lakukan apapun, sayang. Aku mengetahui dirimu, aku—”

“Tapi aku tidak, angel. Aku tidak mengenal diriku.” Jawabnya. “Suatu saat kau akan takut padaku. Suatu saat kau akan membenciku. Aku tidak ingin mengalami itu,”

“Kau tidak akan mengalaminya.” Kurengkuh wajahnya. “Damien lihat aku! Apapun yang terjadi aku selalu bersamamu, aku menjamin itu. Jadi jangan melepaskan aku, okay?”

Aku bisa menatap ketidakyakinan pada matanya. Tapi Damien mencari jawaban dari ketidakyakinannya padaku. “Berjanjilah padaku, Dame. Tidak membunuh dan selalu bersamaku. Jangan tinggalkan aku, jangan tinggalkan dirimu yang selama ini kau paksa untuk bertahan.”

Damien tersenyum sedih, memberikan sisa-sisa kepercayaannya padaku. Dia pertaruhkan sedikit rasa keinginannya untuk bertahan padaku, kemudian mengangguk setuju.

Pada seorang gadis yang baru berumur tujuh belas tahun.

Yang belum memahami dunia yang menyeramkan.

Kubalas senyum sedihnya dengan senyum tulusku. Kutepuk pelan punggungnya. “Sekarang aku benar-benar ingin makan.” Kataku mengingatkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status