Saat ini, istana Kaputren sedang berselimut kabut. Bertambah lagi satu alasan kesedihan Kenes Kirana. Bukan saja karena telah kehilangan wajah cantiknya saja. Sekarang, Kenes merasa sedih dengan alasan yang lain, yakni memikirkan ucapan Elang saat terakhir kali mereka berjumpa.Kenes yang tempo hari menemui Elang di gerbang istana itu mulai mencerna ucapan lelaki yang sudah empat malam ini membuat tidurnya kelabakan. Dihantui bayangan wajah dan kata-kata terakhirnya.Kabut tipis di Kaputren, semakin menebal hingga berubah menjadi rintikan hujan. "Jaga dirimu baik-baik, Raden Ayu. Penjahat yang asli masih berkeliaran di dalam Istana."Ucapan itu selalu menjadi mimpi di kala tidur. Sebenarnya ada apa? Apa yang sedang terjadi di Istana ini? "Siapa yang berniat jahat padaku?" gumamnya.Kenes berjalan mondar-mandir penuh rasa penasaran Bagaimanapun, ucapan Elang sangat mengganggunya. Selama bertahun-tahun, Damar Langit selalu damai dan tentram. Tak ada musuh yang berani menyerang. Kenap
Malam makin larut ketika sesosok tubuh yang terbalut mantel hitam berjalan mengendap-endap menuju pondok tempat tinggal Mbok Sumi. Sosok itu mencari celah, sengaja menghindari para prajurit yang berkeliling di setiap penjuru Istana.Celingak-celinguk kanan kiri memastikan tak ada orang yang mengekorinya, barulah dia berdiri di depan pintu pondok dan mengetuk pintunya."Siapa?" Suara wanita paruh baya dari balik pintu membuat sosok tubuh itu sedikit bergetar. Membiarkan pertanyaan itu tanpa jawaban selama beberapa saat lamanya, sampai terdengar suara derit pintu yang terbuka."S-siap---" Belum sempat Mbok Sumi melanjutkan ucapannya, mulut wanita paruh baya itu sudah dibekap. Sosok itu mendorong tubuh Mbok Sumi yang mulai renta dan ikut melesak masuk. Dengan sigap, dia kembali menutup kembali daun pintu."R-raden Ayu, kenapa Andika datang?" Mbok Sumi masih setengah tidak percaya. Ada keperluan apa, putri raja Maheswara Kamandaka mengendap-endap masuk pondoknya?"Sssttt!" Kenes Kirana me
Wono Daksino di pagi hari ataupun siang nyaris tak ada beda. Pohon hutan yang besar dan rimbun menghalangi cahaya matahari menerobos masuk, sehingga selalu tampak redup. Elang mengambil sebuah kerikil dan memasukkannya ke dalam wadah yang terbuat dari gerabah setiap pagi menjelang. Begitulah caranya menghitung jumlah hari yang telah dia lalui di hutan ini. Berharap dia bisa melalui setahun masa hukuman ini dengan selamat.Demikian yang dilakukannya pagi ini, dia memasukkan sebuah kerikil di dalamnya. "Ah, ternyata aku sudah 30 hari tinggal di hutan ini.""Masih ada banyak hari yang harus kulalui di hutan ini, semoga aku bisa." Pemuda tampan ini berkata dengan penuh harap. Ada banyak rencana yang harus dia selesaikan ketika masa hukuman telah usai nanti. "Aku akan membawa Biyung kembali ke desa. Hidup di desa jauh lebih menentramkan daripada hidup sebagai abdi dalem di Istana," gumamnya penuh penyesalan. Meninggalkan biyungnya yang sudah tua sendirian dengan status penjahat seperti
Embun yang bertengger di daun-daun tanaman Wono Daksino menandakan baru saja pagi menjelang. Suara air terjun yang terdengar gemericik menambah nuansa wingit dan mistis. Apalagi ditambah dengan hawa dingin terasa menusuk tulang. Raungan harimau menggeram beberapa kali di pagi buta yang masih ditemani gigil yang sangat dingin. Binatang itu sepertinya memberi tahu pada seluruh isi hutan, dialah sang raja hutan. Buas dan menakutkan. Tidak ada hewan lain yang lebih gagah berani kecuali dirinya. Elang Taraka masih tertidur pulas di gubuk milik lelaki berjubah putih. Tubuhnya yang dipenuhi lebam, sudah dilumuri tumbukan ramuan herbal yang bisa membuat luka itu cepat mengering.Embusan napasnya yang teratur, menandakan Elang sangat menikmati tidur panjangnya. Mungkin kali ini dia merasa ada yang menjaga atau memang dia belum tersadar sepenuhnya, akibat hantaman keras di beberapa tubuh yang dilakukan oleh lelaki berjubah hitam legam tempo hari. Memang bukan luka biasa, hantaman yang diderit
Sepasang kaki Elang terayun menuju aliran sungai yang suaranya sudah terdengar gemericik dari kejauhan. Beberapa hari ini, sang Maha Resi Acarya Adiwilaga memintanya untuk mengambil air dari sungai dengan jarak tempuh sekitar satu jam berjalan kaki dari gubuk tempat tinggal mereka. Gentong-gentong besar yang telah disiapkan di sekitar gubuk untuk menampung air sungai yang diambil dengan gerabah yang dipikulnya.Hawa dingin hutan tak lagi terasa menusuk. Justru tubuh Elang bercucuran keringat, karena kerja kerasnya tersebut. "Ggherrm." Suara Loreng menyapa Elang."Hey, kamu menyusulku?" tanya Elang."Ggrhhem.""Satu perjalanan lagi semua tempayan sudah penuh, aku bisa beristirahat." Wajah semringah Elang begitu kentara. Sang Guru hanya berkata bahwa Elang harus menyiapkan fisiknya supaya kuat sebelum belajar olah kanuragan. Tak disangka, memperkuat fisik ternyata sekeras ini latihannya."Loreng, kenapa aku setiap hari harus bolak-balik mengambil air untuk memenuhi tempayan, setelah
Elang yang beberapa saat lalu terkapar dengan rasa sakit yang teramat sangat, perlahan merasakan perubahan. Begitu rasa sakit itu menghilang, tubuhnya perlahan terasa lebih ringan dan segar. Bahkan semua indranya berubah menjadi lebih jernih dan sensitif. Kegelapan goa bawah tanah yang nyaris tidak bisa ditembus dengan cahaya, sekarang terlihat terang benderang dalam pandangan matanya. Bukan hanya indra penglihatan saja yang makin jernih. Elang bisa merasakan indra lainnya juga mengalami perubahan."Setidaknya, kamu harus mengucapkan terima kasih padaku, Anak Muda!" Suara bariton yang sama kembali terdengar menyapa indra dengar."Kenapa aku harus berterima kasih pada sesuatu yang bahkan tak berani memunculkan diri di depanku?" sahut Elang begitu kesal. Sejak tadi hanya berani bicara dari balik tabir. Setelah sesuka hati membuatnya kesakitan setengah mati, sekarang menyuruh Elang berterima kasih padanya. Huh...."Lancang!" Dinding goa bergetar hebat, seakan dihantam dengan kekuatan
6 bulan kemudian Sinar mentari pagi bersinar redup, membaurkan aura syahdu yang mendebarkan. Kanjeng Senopati memindahkan tempat tinggal Mbok Sumi di area dalem Senopaten, karena wanita paruh baya itu telah diangkat sebagai tabib pribadi Kanjeng Senopati Raden Mas Bratasena.Berbagai pertanyaan timbul tenggelam dalam benak wanita paruh baya itu. Putranya telah diberikan label penjahat di Istana, tapi Kanjeng Senopati malah memberinya posisi istimewa ini. Tentu saja ada kecurigaan di dalam hati Mbok Sumi.Tak ada perubahan berarti di Istana Damar Langit sejak Elang dijatuhi hukuman pengasingan di Wono Daksino beberapa bulan yang lalu. Kecuali makin intensnya para prajurit Senopaten berlatih kanuragan. Bahkan mereka berlatih siang dan malam silih berganti dari beberapa kelompok.Diam-diam, wanita paruh baya itu selalu mengintip aktivitas para prajurit. Seperti hari ini, dia juga melakukan hal yang sama. "Sumi, ternyata kamu begitu lancang memata-matai para prajurit yang sedang berlati
Di Balairung istana, wajah Gusti Prabu Maheswara Kamandaka sedang bermuram durja. Dia tidak senang dengan sikap Senopati Bratasena yang tidak sopan. Bagi Gusti Prabu, sikap Senopati Bratasena bisa mengakibatkan hubungan dua kerajaan itu berubah memburuk. Sementara Sang Senopati tetap duduk dengan tenang di tempatnya, seolah tidak merasa bersalah. Hal itu semakin membuat hati Gusti Prabu diliputi rasa tidak senang."Apa alasan Kangmas Senopati berkata seperti itu di hadapan Raden Mas Hadyan Ganendra?"Gusti Prabu menegur sang Senopati. Gelar Senopati adalah bawahan Raja, akan tetapi dia menunjukkan rasa hormat yang tinggi kepada Perwira utama kerajaan Damar Langit itu karena Raden Mas Bratasena adalah Kakak dari salah satu selirnya."Mohon ampun, Gusti Prabu. Pendapat saya pribadi, Raden Mas Hadyan Ganendra bukanlah orang yang tepat untuk menjadi suami Raden Ayu." Senopati berkata dengan tegas."Apa alasannya, Kangmas Senopati?""Raden Mas Hadyan terlalu ambisius, dia tidak mewarisi ka