Share

Elegi Cinta Raisa
Elegi Cinta Raisa
Penulis: Haris Fayadh

Bermula dari Utang Bapak

“Kamu mau kuliah di mana, Raisa?”

Raisa yang sedang membaca artikel pada layar ponsel, mendongak. Gadis itu tidak segera menjawab pertanyaan Sulaiman—bapaknya. Bukan tidak setuju dengan keinginan sang bapak. Bukan. Hanya saja, banyak hal yang harus dipertimbangkan secara matang, terutama masalah finansial. 

Mereka hanya keluarga biasa dengan level ekonomi menengah ke bawah. Belum lagi, kabarnya sekolah di universitas memerlukan biaya yang tidak sedikit. Bapaknya tidak akan mempu membiayai jika hanya dengan pekerjaannya yang serabutan.

“Raisa mau kerja saja, Pak.” Gadis itu berkata ragu. Meskipun keinginannya untuk melanjutkan belajar begitu kuat. Akan tetapi, Raisa tidak akan tega jika harus membiarkan bapaknya bekerja lebih keras lagi untuk membiayainya kuliah. Lagipula, Sulaiman sudah tidak muda lagi, seharusnya dirinya membantu meringankan beban orangtua satu-satunya itu.

Kebanyakan teman-teman Raisa di desanya tidak melanjutkan belajar ke universitas, mereka lebih memilih mencari kerja ke kota. Menjaga toko baju, toko kelontong, bahkan menjadi asisten rumah tangga. Hanya segelintir saja yang memilih kuliah, mereka yang ekonominya berada di atas rata-rata. Atau mereka yang nekad berkorban menjual tanah untuk biaya kuliah anaknya.

Sulaiman tidak memiliki tanah yang luas untuk dijual. Satu-satunya tanah yang dia miliki adalah yang kini berada dibawah bangunan rumahnya, setelah sawahnya diserahkan pada Pak Mahmud karena tidak bisa melunasi hutang. Ah, jika ingat kejadian tiga tahun lalu, sakit hati Sulaiman.

“Jangan begitu. Bapak tidak mau nasib kamu malah kayak bapak, bisanya cuma kerja pakai otot.”

“Setinggi apapun pendidikan wanita, karir terbaiknya ada di dalam rumah, Pak.” Raisa menjawab sebagaimana paradigma kebanyakan warga di desanya, bahwa seorang perempuan akan tetap kembali ke dapur meskipun pendidikannya setinggi langit.

Sulaiman mengembuskan napas pasrah. Meraih gelas kopi di depannya dan menenggak isinya hingga tandas. Sedangkan Raisa tidak habis pikir apa yang membuat bapaknya begitu keukeuh untuk melihatnya kuliah.

Detik berikutnya terdengar pintu depan diketuk yang disusul dengan salam. Raisa melihat jam tua di atas dinding, masih jam tujuh kurang lima menit. Belum azan Isya, belum waktunya kedua adiknya pulang mengaji.

Raisa bangkit untuk membuka pintu.

“Biar bapak saja,” cegah Sulaiman yang kemudian beranjak menyongsong seseorang yang kembali mengucapkan salam dengan lebih nyaring.

Raisa kembali melanjutkan membaca artikel yang belum rampung dibacanya. Terdengar sayup-sayup Sulaiman membalas salam. Percakapan selanjutnya tidak begitu jelas terdengar. Dia tidak ingin tahu. Pikirannya kini sibuk mengulang percakapan dengan bapaknya dua menit lalu. 

Mendapatkan dukungan dari Sulaiman agar melanjutkan belajar, gadis itu seolah mendapatkan suntikan semangat. Kenapa tidak kuliah sambil bekerja? Raisa membenak. Banyak, kok, yang kuliah sambil bekerja. Bukankah siapa yang bersungguh-sungguh akan dibukakan jalan?

Raisa menjetik-jentikkan ujung jari telunjuk pada dagunya. Menimbang-nimbang. Hingga sejurus kemudian tersentak oleh suara adu mulut dari teras rumah.

Sontak Raisa bangkit untuk mencari tahu ada keributan apa di luar. Dia berjalan setengah berlari menuju ruang tengah. Mengintip dari balik tirai apa yang sedang terjadi antara bapaknya dengan Pak Mahmud.

“Tapi kita sudah sepakat sebelumnya, Pak. Kita sudah deal kalau sawah itu cukup untuk melunasi hutang saya.”

Terhenyak, Raisa membekap mulut dengan telapak tangan saat mengetahui bapaknya memiliki hutang pada Pak Mahmud. Jelas hutang itu tidak sedikit jumlahnya jika sampai harus menukarnya dengan sawah, salah satu sumber penghasilan keluarganya sejak dulu.

“Tidak cukup, Pak Sulaiman. Harga sawah itu ditaksir tidak sampai 80 juta.”

“Tapi, Pak ....”

Suara Sulaiman terpotong setelah Pak Mahmud melemparkan map merah kumal berisi surat tanah ke atas meja.

“Surat tanah ini saya kembalikan. Dan saya minta segera lunasi hutang itu karena saya butuh dana untuk pernikahan anak saya!” Jari telunjuk Pak Mahmud teracung di depan wajah Sulaiman.

Sulaiman mengusap wajah gusar. Tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. 

“Begini saja, Pak. Ini Bapak ambil dulu, sisanya saya usahakan segera.” Sulaiman mencoba menawar.

“Tidak usah. Saya berubah pikiran, saya butuh uang 100 juta itu cash. Karena saya butuh cepat. Lama kalau saya harus menjual tanah.”

Tubuh Raisa terasa lemas mendengarnya. Seratus juta? Untuk apa bapaknya sampai berhutang sebanyak itu? Tangan Raisa gemetar.

“Paling lambat dua minggu uang itu harus sudah saya terima!” imbuh Pak Mahmud.

“Astagfirullah, Pak. Mana mungkin saya mendapatkan uang sebanyak itu dalam jangka dua minggu?” Sulaiman menatap lekat pria berkopiah putih di depannya. Tidak habis pikir kenapa Pak Mahmud memiliki hati sekejam itu.

“Saya tidak mau tahu, Pak Sulaiman. Lagi pula, hutang bapak sudah lama. Sudah tiga tahun. Dan tidak sepeser pun Bapak membayarnya!”

“Tolong beri saya waktu lebih lama lagi, Pak. Setidaknya sampai saya menjual sawah saya.” Sulaiman menangkupkan telapak tangannya di depan dada. Memohon agar Pak Mahmud sedikit melunak.

“Tidak bisa. Saya butuh uang itu secepatnya. Atau begini ....” Pak Mahmud menjeda kalimatnya. Menatap Sulaiman dengan senyum menyunnging penuh rencana.

“Atau apa, Pak?”

“Bapak bisa membayarnya dengan sawah dan tanah ini. Bagaimana?” Pak Mahmud memainkan alisnya.

Sulaiman menggeleng. “Tidak bisa, Pak. Saya tidak punya apa-apa lagi selain tanah ini dan sawah itu.”

“Terserah Bapak.” Pak Mahmud mengangkat tangan. “Saya akan tunggu dua minggu dari sekarang. Jika tidak, terpaksa tanah ini menjadi gantinya. Oh, iya, sawah itu juga.” Pak Mahmud bangkit.

“Pak ....” Sulaiman ikut bangkit, mencoba untuk menego Pak Mahmud sekali lagi, tapi laki-laki berkopiah putih itu mengangkat tangan, tidak mau lagi bernegosiasi.

“Saya permisi.”

Sulaiman mematung, memandang nanar Pak Mahmud hingga hilang ditelan gelap. Sulaiman melangkah gontai sambil memijit kening. Kepalanya terasa nyeri memikirkan cara mendapatkan uang sebanyak itu. Tidak mungkin. Kepalanya kembali berpikir pesimis.

Laki-laki itu terkesiap ketika memasuki ruang tengah dan mendapati Raisa tengah mematung memandangi dirinya. 

“Raisa?”

“Bapak ... punya hutang sama Pak Mahmud?” Raisa berkata pelan. Suaranya serak.

“Sudahlah, ayo masuk.” Sulaiman tidak menggubris pertanyaan Raisa. Tidak perlu dijawab, Raisa pasti sudah mendengar semuanya, pikir Sulaiman. Gadis itu bergeming. Bulir bening yang sejak tadi ditahannya kini luruh.

Sulaiman menarik napas dalam-dalam. 

“Bapak ....” Belum genap kalimat Sulaiman tiba-tiba deru mobil mendekat ke halaman rumahnya.

Siapa lagi? batin Raisa. Buru-buru Raisa menyeka air matanya dan melangkah masuk.

“Assalamualaikum, Pak Sulaiman.”

Raisa berhenti di balik dinding penghubung ruang tengah dan ruang keluarga, di depan kamarnya. Penasaran dengan bariton yang tak pernah ia dengar. Siapa dia?

“Waalikum salam, Pak Kun. Silahkan masuk.” Sulaiman menyambut ramah.

Pak Kun? Raisa tahu orang itu. Laki-laki itu adalah Kepala Desa yang baru terpilih. Rumahnya jauh dari kampungnya meski satu desa.

Raisa memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Perbincangan basa-basi terdengar. Lalu suara tawa menggema setelah di tengah percakapan Sulaiman berseloroh menanyakan Kun sudah menikah apa belum.

“Belum, Pak.”

Keduanya tertawa lagi. Kemudian, tidak lagi terdengar percakapan dari ruang tamu.

“Raisa.” Sulaiman memanggil dari depan pintu kamar. Gadis itu bangkit dari rebahan menyongsong Sulaiman. Tanpa berkata-kata Raisa membuka pintu dan menatap bapaknya.

“Oalah, kamu ini. Ada tamu, kok, malah diam. Buat minum sana.”

Raisa mengangguk samar, kemudian melangkah ke dapur sambil membetulkan letak kerudungnya. Sulaiman kembali menemui tamu terhormatnya di ruang tamu.

Selang beberapa menit Raisa datang dengan membawa nampan berisi dua gelas minuman, teh manis dan kopi. Percakapan mereka terjeda. Dua netra tamu yang tengah duduk di sofa buluk itu menatap Raisa tanpa berkedip. Raisa menyerahkan nampan di tangannya kepada Sulaiman. Mendongak dan tidak sengaja matanya bersitatap dengan mata Kepala Desa muda itu. Kun merasa ada getaran hebat saat melihat wajah gadis itu dari jarak yang cukup dekat.

Raisa, gadis itu merasa jengah ditatap seperti itu. Buru-buru ia menunduk dan balik kanan untuk kemudian melangkah menuju kamarnya.

“Silakan, Pak Kun.”

Kun terbangun dari ketertegunannya, bibirnya masih menyisakan larik senyum. “Oh iya, Pak. Terima kasih.”

Sulaiman menyadari bahwa pria di depannya baru saja terperangah melihat anak gadisnya. Dia maklum. Itu biasa. Apalagi, Kepala Desa itu masih muda dan belum berkeluarga.

“Itu anak Bapak?”

Sulaiman tertawa kecil. “Iya, Pak Kun.”

“Masih sekolah?”

“Baru lulus SMA, Pak.”

“Mau kuliah di mana?”

Senyum Sulaiman seketika menguncup. Dia yang baru saja mendapatkan intimidasi dari Pak Mahmud membuat keinginan untuk menyekolahkan Raisa lindap. 

“Orang seperti kami lulus SMA saja sudah syukur, Pak Kun.”

Percakapan berikutnya terfokus pada ekonomi Sulaiman yang sedang babak belur setelah usahanya bangkrut tiga tahun lalu. Suasana hatinya yang gundah membuatnya berbicara panjang lebar pada Kun, hingga dia tidak sengaja menyinggung hutang 100 juta pada Pak  Mahmud yang harus segera dilunasi dalam waktu dekat.

Kun tersenyum, seolah mentsranfer semangat pada pria paruh baya di depannya. “Bapak tenang saja. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya.”

Sulaiman sedikit merasa lega saat mendengar ucapan Kun. Apakah pria itu akan membantunya? Sudah menjadi buah bibir di kalangan warga desa bahwa Kun sangat dermawan. 

“Besok saya akan ke sini lagi, Pak. Kita bisa bicarakan masalah ini.”

Mata Sulaiman terbelalak tidak percaya. “Maksud, Pak Kun?”

Kun kembali tersenyum. “Insya Allah saya bisa membantu.”

Jantung Sulaiman berdegup kencang, seolah baru saja didatangi malaikat penyelamat. Kun benar-benar baik hati, tidak salah memilihnya sebagai Kepala Desa. Senyum Sulaiman terus saja mengembang hingga Kun pamit pulang. Berkali-kali Sulaiman berterima kasih pada Kun.

***

“Halo, Pak Mahmud.” Kun tersenyum tipis, tangan kanannya fokus memegang setir. “Saya suka gadis itu. Saya akan transfer sisanya jika rencana berjalan sukses.” Kun memutus sambungan telepon. Deru mesin mobil Kun mengencang, merobek sunyi. 

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cahaya Asa
semangat, thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status