Share

2/3 Kepingan Masa Lalu

Sepanjang perjalanan, Felisya dan Raka terus berbicara dan sesekali tertawa bersama. Syila yang duduk di jok belakang mobil memandangi keakraban mereka. Sama sekali tidak mengajaknya ikut dalam perbincangan. Sepertinya ia cuma dijadikan obat nyamuk. 

Tak apalah. Asalkan kakaknya bisa tersenyum bahagia dia juga turut bahagia. Ya, walaupun hubungan mereka tak seperti dulu setidaknya kakaknya tak sebenci saat di rumah sakit. 

Felisya juga mulai mengajaknya bicara, meski tak sesering dulu. Menurut Syila itu sudah kemajuan yang baik untuk hubungannya dengan Felisya. 

Tak terasa mobil telah sampai di parkiran sebuah taman hiburan. Raka langsung membantu Felisya keluar dari mobil. Syila juga turut keluar sambil membawa kruk. Setelah mengantri membeli tiket, berbagai wahana langsung tertangkap mata, ketika mereka memasuki taman hiburan itu. 

Felisya terlonjak senang. “Aku mau naik roller coaster!” 

“Enggak ingat kaki, heh?” Raka menyentil dahi Felisya. 

Felisya cemberut. Ia mengusap bekas sentilan Raka. “Elah, lupa.” 

Mereka tertawa bersama. 

“Syila, mau naik apa?” tanya Raka dan pertanyaan Raka padanya barusan adalah yang pertama ia dengar semenjak di mobil tadi. 

“Kak Feli gimana?” Syila mengalihkan pertanyaan pada Felisya. Ia cemas meninggalkan Felisya dalam keadaan seperti itu. 

“Aku baik, kok. Kalau kamu mau naik wahana, naik aja,” ujar Felisya sambil tersenyum. 

“Kamu enggak usah khawatir. Felisya biar aku yang jagain.” 

Padahal perkataan Raka biasa saja di telinganya. Namun, hatinya entah kenapa mendadak terasa ganjil. 

Syila mengangguk lalu tersenyum. “Aku mau mencoba semua  wahana,” katanya bersemangat sambil merentangkan kedua lengan. 

Raka dan Felisya pun tak bisa menahan gelak tawa melihat tingkah kekanakan Syila. 

“Hati-hati,” pesan Raka sambil mengusap kepala Syila pelan. Syila pun mengangguk. 

Setahunya jika naik wahana apa pun pasti akan terasa sangat menyenangkan. Namun, tidak bagi Syila. Ia merasa mood-nya memburuk. Hatinya mendadak sangat kesal, entah penyebabnya apa. Akhirnya, ia memutuskan untuk berhenti bermain wahana dan membatalkan rencananya untuk menaiki semua wahana. 

Penjual es krim menarik perhatian. Ia memesan es krim rasa pisang coklat. Biasanya bad mood-nya akan berubah lebih baik seiring menjilati es krim tersebut. 

Ia putuskan makan es krim sambil duduk di bangku yang disediakan, seraya menunggu Felisya dan Raka yang menghilang begitu saja entah ke mana.

Saat matanya mengarah ke arah jam sembilan, sebuah pemandangan menghentikan kegiatan Syila menjilati es krim. Dia yakin tadi mood-nya sudah membaik, tapi suasana hatinya kembali buruk ketika ia memandangi interaksi Felisya dan Raka, yang sedang bermain permainan menembaki bebek-bebekan. 

Es krimnya sudah habis. Bersamaan dengan mood baiknya menghilang.

“Syil, lihat deh!” Felisya dan Raka datang menghampiri Syila. 

“Kakak dikasih boneka sama Raka. Lucu deh. Tadi Raka nembak bebek-bebekan terus dia menang dapat boneka.'' 

Felisya memeluk boneka kelinci yang sangat besar berwarna putih. Kebahagiaan kentara terlihat di wajah Felisya. Syila tersenyum, tetapi itu bukan senyum bahagia lebih tepatnya miris. Diam-diam ia merasa iri. 

*

“Makasih, ya Raka sudah mau mengajak Felisya jalan-jalan,” ucap Ranti. 

“Iya, Tan. Maaf kalau pulangnya sampai malam.” 

“Gak apa-apa. Tante malah senang lihat Felisya bahagia.” Kentara sekali kebahagiaan Ranti di wajahnya. 

“Kalau begitu, saya pamit pulang dulu Tante. Om,” pamit Raka. 

“Gak makan malam di sini?” tawar Anton. 

“Enggak usah. Om, boleh Syila antar saya ke depan?” 

Anton melirik anak bungsunya yang duduk di sampingnya. Sejak kepulangannya dari taman hiburan, Syila menampakkan wajah tertekuk dan tak sepatah kata pun terucap. Sebenarnya anak ini kenapa? 

Anton mengusap kepala Syila. Syila terperanjat dan langsung menoleh. Ternyata ia sedang melamun. 

“Anterin Raka ke depan. Dia mau pulang,” pinta Anto, lalu Syila terpaksa mengangguk. 

Dengan malas, Syila bangkit dan menyusul langkah Raka keluar rumah. Syila mengantar Raka sampai ke mobilnya. 

“Dari tadi diam aja, kenapa?” tanya Raka langsung ke inti.

“Aku enggak apa-apa,” jawab Syila sekenanya. 

Raka mendengkus. “Gak apa-apa gimana, kamu diam aja dari tadi.”

Raka tahu. Instingnya sangat tajam jika mengenai penyebab keterdiaman Syila. Namun, dia diam saja sebab dia ingin Syila sendiri yang mengungkapkan alasannya pada Raka. 

“Aku tahu kamu bohong.” Raka merendahkan suara sehingga terdengar mengancam. Jika sudah begitu Syila sulit mengelak. 

“Aku ... aku lagi seriawan,” jawab Syila asal. 

Alis Raka terangkat. “Jawaban macam apa itu?”

“Katanya Kakak mau pulang, udah malam ini,” elak Syila mengalihkan topik seraya mendorong punggung Raka. 

“Aku tidak akan pulang sebelum kamu menjawab pertanyaanku dengan jujur.” 

Tak ada cara lain bagi Syila selain menjawab dengan jujur perasaannya yang tak tahu apa artinya itu pada Raka. Sebab cowok itu tak akan berhenti mengintimidasi sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan. 

Syila mengembuskan napas. “Aku juga tidak tahu pasti. Rasanya aneh aja. Tiba-tiba mood-ku berubah buruk saat Kakak mengabaikanku. Hatiku rasanya hampa, Kak dan aku tidak tahu penyebabnya apa,” tukas Syila frustrasi. 

“Sudah cukup.” Penjelasan Syila barusan membuat perasaan Raka berbunga-bunga. Dan semakin yakin akan isi hatinya. 

“Kamu ternyata masih bocah, ya?” Raka menepuk kepala Syila. Syila menepis tangan Raka. Dia tak suka jika Raka menepuk kepalanya dan menganggapnya seperti anak kecil.

“Tutup matamu,” pinta Raka. 

“Kenapa aku harus menutup mata?” tanya Syila polos. 

“Apa susahnya, sih menutup mata? Kecuali kalau aku menyuruhmu berlari keliling komplek baru kamu boleh bertanya,” ucap Raka tak sabar. 

Syila kesal jika sifat menyebalkan Raka muncul mendadak. Dia segera menutup mata, malas berdebat dengan Raka. Ia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh lehernya. 

“Buka matamu.” 

Syila terkejut ternyata sesuatu yang dingin menyentuh kulit lehernya adalah sebuah liontin warna silver berbentuk bulan sabit dan bintang kecil di tengahnya. 

“Cantik. Ini ...?” gumam Syila sambil menunjuk pada liontin itu dan menatap Raka dengan pandangan bertanya. 

“Ketika aku memandang bulan dan bintang, aku langsung teringat padamu. Kamu sama seperti mereka. Keindahannya begitu nyata, tak peduli malam semakin gelap atau awan mendung yang bergelayut di  sekitarnya. Mereka akan tetap bersinar sekalipun matahari jauh lebih terang cahayanya,” ungkap Raka tanpa melepas pandangannya pada mata Syila. 

“Kamu harus berjanji jaga liontin itu baik-baik jangan sampai hilang.” 

Syila mengangguk. Dengan cepat Raka memeluk tubuh Syila erat. “Sepertinya hatiku tidak bisa berpaling dari yang lain.” 

Syila mendongak tidak mengerti dengan ucapan Raka.

“Kamu benar-benar bocah, ya?” 

Syila memukul dada bidang Raka, cukup keras karena kesal. Raka terkekeh. Tidak merasa kesakitan sama sekali. Ia menangkap tangan Syila sehingga pergerakannya terhenti. 

“Tapi aku menyukainya,” bisik Raka di telinga Syila. Membuat bulu kuduk Syila meremang seketika dan entah kenapa hatinya berdesir hebat. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status