Share

2. Malapetaka

Di bawah siraman cahaya Matahari yang mulai menampakkan eksistensinya. sepasang manusia duduk di tepian sungai berarus deras. Satunya adalah lelaki pemilik surai pirang dan mata biru, sedangkan yang satunya lagi adalah sosok gadis bergaun merah dengan surai panjang berwarna kelam yang senada dengan iris matanya. Mereka sama-sama diam, hanya ada suara angin yang meramaikan kesunyian di antara mereka.

"Kau lebih terlihat seperti iblis penghancur daripada Dewa pelindung, Kitsune." Gadis itu memulai pembicaraan, sementara si pemuda mendengus sinis.

"Aku bukan lagi Dewa, permataku dicuri oleh manusia dan aku tidak bisa mengendalikan diri saat Bulan sedang purnama." Si gadis terbahak mendengar penjelasan Sang Kitsune yang sangat dikenal sebagai Dewa pelindung itu. "Jadi, apa yang membuat Zeus menyambarkan petirnya padamu ... Phoenix?" tanya Sang Kitsune pada gadis bergaun merah yang merupakan sosok manusia dari burung Phoenix.

"Oh itu ... Para Dewa sedang mengadakan rapat besar di Olympus. Aku dan Garuda mencuri dengar isi rapat dan kau tahu, Kitsune? Mereka bilang Asmodeus melarikan diri dari Neraka. Dan saat itu aku ketahuan oleh Zeus, karena itu dia menyambarkan petir sialannya padaku dan juga Garuda."

Sang Kitsune tertawa hambar saat mendengar penuturan Phoenix. Burung abadi yang memiliki kaitan erat dengan Ra—Dewa Tertinggi dari ranah Mesir—dan juga Garuda yang merupakan tunggangan Vishnu; Salah satu Trimurti dari ranah India bersama Shiva dan Brahma.

"Apa yang diinginkan Asmodeus?" tanyanya.

"Kekacauan ... apa lagi memangnya?" Sang Phoenix menjawab tak acuh.

Siapa yang tak mengenal Asmodeus; si iblis nafsu yang bisa memutar balikkan hasrat seksual seseorang? Dia adalah salah satu raja neraka di bawah Lucifer. Memiliki tiga kepala, yang pertama adalah banteng, yang kedua adalah laki-laki bermahkota, dan yang ketiga adalah domba jantan. Dia memiliki ekor ular, dan dari mulutnya mengeluarkan api. Selain itu, ia duduk di atas sebuah Dragon dan memegang tombak.

Diam-diam Kitsune mencuri pandang ke arah Phoenix yang tengah menatap lurus-lurus ke depan. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu yang amat jauh dari jangkauannya dan Sang Kitsune tak tahu apa itu.

"Aku ingin tahu bagaimana rasanya menjadi kau, Phoenix."

"Apa maksudmu?" Sang Phoenix menoleh Kitsune yang kini menatap aliran air sungai di hadapan mereka.

"Aku ingin tahu bagaimana rasanya terbang bebas di angkasa dan kau bisa membakar dirimu menjadi abu untuk bereinkarnasi, tidak seperti aku yang bergantung pada kekuatan dalam permata itu," katanya dengan sendu. 

Setiap Kitsune memang memiliki sebuah permata yang ia simpan di ekornya. Para manusia terbiasa menyebutnya bola bintang yang bisa digunakan untuk ilmu sihir. Sialnya Sang Kitsune bersurai keemasan itu kehilangan permatanya, lebih tepatnya seorang manusia mencurinya dan ia tidak bisa lagi menjadi pelindung bagi para manusia, karena ia tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, terutama ketika purnama tiba.

"Kau tahu Kitsune? Keabadian itu tidak kekal. Membakar diri menjadi abu dan menjalani reinkarnasi tak berkesudahan itu melelahkan. Kadang aku berpikir untuk menjadi manusia saja, mereka hanya hidup sekali, mati dan benar-benar bebas dari kutukan dunia."

Samar-samar suara seruling memenuhi indera pendengarannya. Jiwanya seperti diseret dengan paksa dari dimensi asing menuju tubuhnya sendiri. Kelopak kecokelatan itu membuka, menampakkan biner biru yang dimilikinya. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menemukan dirinya berada di tempat tadi sebelum ia lelap; belantara Britania Raya.

Tetes-tetes air turun semakin deras bersamaan dengan suara seruling yang mengalun indah bagai menyuarakan sebuah lagu perpisahan. Aksa yang menyadari dirinya tertidur di batang pohon itu lekas turun dan melangkah pasti menuju sumber suara. Aksa langsung pergi menuju hutan selatan tempat padang dandelion yang dikelilingi ilalang tumbuh.

Langkah kakinya terhenti begitu sosok familiar terekam dalam pandangan matanya. Sang Dewi Naga pengatur hujan tengah memainkan seruling untuk memanggil rintik-rintik hujan itu jatuh ke Bumi. Aksa bertanya-tanya, apa saat ia dibangkitkan di tengah hujan, Binar juga memainkan serulingnya? Jika iya, rasanya ia ingin berterimakasih pada Arawn yang membangunkannya dari tidur panjang ditemani melodi indah dari tiupan seruling Sang Dewi Naga.

Lama ia berdiri demi mengagumi keindahan sosok dalam balutan gaun putih panjang itu. Manik birunya menyipit saat merasa wajah Binar sangat familiar dengan sebuah ingatan yang berada jauh dalam dirinya. Kulitnya yang seputih butiran salju musim dingin, manik hitam dan surai panjangnya yang serupa langit malam tanpa Bintang, juga bibirnya yang sewarna ceri. Di mana ia pernah melihat sosok itu selain di hadapannya sekarang?

"Apa yang kau lakukan?"

Suara jernih Binar yang masuk dalam indera pendengaran Aksa menyadarkan pemuda pirang itu. Biru dan hitam saling menyelami kedalaman warna di hadapannya. Mereka seolah bisa berbicara tanpa kata, dan isyarat mata itu telah menjelaskan segala hal kabur yang ada dalam kepala.

"Binar ... apa hubunganmu dengan Phoenix?"

"Phoenix? Burung abadi yang musnah 900 tahun lalu?"

"Apa maksudmu dengan musnah?"

"Aku tidak tahu detailnya, yang jelas dia sudah tidak ada lagi di dunia ini."

Jantung Aksa berdegup keras dan menyakitkan seolah ada yang merematnya dari dalam. Apa yang sebenarnya terjadi? Ia sungguh tidak mengerti dengan semua kegilaan ini. Dibangkitkan kembali, diserang para Wyvern, ditolong dua sosok Dragon, dan sekarang ingatan tentang Phoenix. Apa-apaan itu?

"Apa yang kau lamunkan?"

"Tidak," jawab Aksa cepat. "Aku hanya merasa pernah melihatmu di suatu tempat di suatu waktu ... entahlah, aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya."

Keduanya berjalan meninggalkan hutan selatan diiringi rintik-rintik gerimis yang masih berjatuhan.

"Memangnya ... siapa kau sebelum Arawn membangkitkanmu?" tanya Binar penuh selidik. Siapa tahu Aksa adalah salah satu makhluk yang pernah ditemuinya di dasar lautan tempat tinggalnya dulu, tapi jika itu memang benar, dosa apa yang kemungkinan dilakukan lelaki pirang itu?

"Aku tidak tahu."

Binar menghentikan langkah, Aksa juga. Mereka kembali saling tatap, Binar berusaha menyelami kedalaman biru yang menenggelamkannya itu, dan ia benar-benar tidak menemukan apapun di bola mata itu selain bayangan dirinya sendiri. Ia tersentak dan mengalihkan pandang secara tiba-tiba. Jantungnya berdebar keras. Apa-apaan itu? Kenapa di kepala makhluk pirang ini hanya ada dirinya?

"Apa yang kau pikirkan tentangku?"

"Eh?" Aksa mendadak gugup. Oh, sial! Apa Dewi cantik ini bisa membaca pikirannya? Apa yang harus ia katakan padanya sekarang? Makhluk hina seperti dirinya yang bahkan tidak jelas asal-usulnya mencintai seorang Dewi, benar-benar bodoh. Itu hanya membuat dosanya semakin menumpuk dan hukumannya semakin berat. "Bagaimana jika kukatakan aku mencintaimu?" Oh mulut sialan! Kenapa juga harus dikatakan sekarang? Jantung Aksa berdebar keras. Mungkin setelah ini ia akan dibunuh oleh seluruh penghuni belantara Britania Raya. Berani-beraninya dia mencintai Sang Putri Ryuujin.

"Aksa—"

Ucapan Binar terhenti saat dua sosok Dragon muncul di hadapannya. Satu Dragon besar berwarna cokelat muda dan satu Dragon hitam legam yang lebih kecil dari Dragon satunya mengubah wujud menjadi manusia. Mereka berdua seolah diburu waktu untuk melakukan hal itu.

"Temaram, Gulita? Apa yang terjadi? Kenapa kalian ada di sini?" tanya Binar begitu melihat sepasang Dragon yang juga bertugas menjaga keseimbangan di dasar lautan. Mereka berdua juga tinggal di istana ayahnya. Ia yakin sesuatu yang buruk telah terjadi, karena itulah kedua Dragon kepercayaan ayahnya itu ada di sini.

"Kami perlu bicara dengan Anda, Yang Mulia," ujar Temaram; Dragon cokelat muda yang kini berwujud seorang lelaki dewasa dengan surai panjang yang terikat rapih.

"Aku mengerti."

Sejenak, Binar melirik ke arah Aksa yang sedang memandanginya. Hanya tatapan mata yang tak terbaca yang ditunjukkan Binar, membuat Aksa mengerutkan kening tidak mengerti.

"Mari, Yang Mulia."

Ucapan Gulita—gadis jelmaan Dragon bersurai kelam—mengalihkan atensi Binar sepenuhnya. Perlahan ia melangkah mengikuti Gulita dan saat itu pula rerintik air berhenti berjatuhan, dan entah kenapa Aksa merasakan sebuah kekosongan tak bersebab di dasar nuraninya.

※※※※※※※

Sesosok Dewa berpakaian serba putih dengan surai cokelat pendek tampak mengamati segala hal yang terjadi di belantara Britania Raya bersama pasangan hidupnya; Seorang Dewi bersurai kelam yang disanggul hingga menyisakan helai-helai tipis membingkai sisi wajah cantiknya. Mereka adalah Dewa Wisnu dan Dewi Laksmi, Dewa-Dewi yang ditugaskan untuk mengawasi penebusan dosa Aksa kepada semesta.

"Apa menurutmu dia mengingatnya?" tanya Dewa Wisnu melirik Dewi Laksmi yang semenjak tadi tak melepaskan pandang pada sosok Binar yang berjalan menjauh seiring rerintik air yang berhenti jatuh.

"Jangan bodoh. Para Dewa membutuhkan 900 tahun untuk menghilangkan ingatannya, tidak mungkin ia akan mengingat semuanya semudah itu. Paling tidak ... dia membutuhkan sembilan kehidupan untuk bisa mengingat segalanya." Dewi Laksmi memejamkan mata sejenak, ia tahu apa yang akan dikatakan Dewa Wisnu selanjutnya.

"Dan jika sampai kehidupan kesembilan dia gagal menebus dosanya bukankah ...."

"Ya ... dia akan dianggap musnah oleh seluruh peradaban yang ada di dunia. Ditolak oleh semesta raya maupun nirwana, dianggap tidak pernah ada oleh para Dewa."

"Bukankah itu terlalu kejam?"

Dewi Laksmi menghela napas sejenak, pasangan hidupnya itu memang memiliki hati luar biasa lembut. Ia memiliki rasa belas kasih yang luar biasa besar, pada semua makhluk, bahkan pendosa sekalipun.

"Kau tentu sangat paham dengan dosa yang diperbuatnya bukan?"

"Kehilangan permata dan tidak bisa mengendalikan dirinya saat purnama itu bukan salahnya."

"Kau benar, Sayang ... tapi bagian terhasut oleh Asmodeus dan .... Ah, dia tak termaafkan lagi, karena itu ikatan mereka dikutuk oleh gugusan bintang."

"Apa kita benar-benar tidak bisa membantu? Aku merasa kasihan padanya ...."

"Aku mengerti perasaanmu, tapi kita tidak akan membantunya." Aura suram menguar begitu saja dari Dewa Wisnu, dan Dewi Laksmi pada akhirnya hanya bisa menghela napas jengah. "Baiklah, baiklah, kita akan menemaninya ... tapi tidak di kehidupannya yang sekarang."

"Ah, terima kasih istriku. Kau yang terbaik."

Satu kecupan dicuri dari bibir merah Dewi Laksmi, dan Dewi bersanggul itu tersipu malu. Sejujurnya ia juga merasa kasihan pada Aksa, tapi hukuman itu adalah pilihannya sendiri 900 tahun yang lalu sebelum ia dibangkitkan tanpa ingatan yang berarti di belantara Britania Raya

※※※※※※※

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status